It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Dosen? Jd inget pas gw semester 1. Ada dosen akuntansi ganteng. Chinese, msh muda, pinter ( ya iyalah, makanya dia jd dosen). Tp sayang seribu sayang, dia sangat killer.
hhhhhh... i wish he was gay
ps : rem,mang teori ukuran sepatu yg sebanding dgn sizw mr.p itu bner? Ada cwo size sepatu 45, tp gw rasa ukuran sang mr.p ga gde2 amat. Just normal lah
gw maw chating neh
Empat jempol dah buat lo... masih muda aja CV partner bobo lo udah panjang ... gimana 3 taon lagi yak? Mesti pake microsoft access sepertinya
Anyway... empat jempol juga untuk keahlian nulis lo gak pengen jadi penulis beneran? 8)
Yup.. Dosen ganteng sih wajib di embat...
@ nicorobin
IPK cumlaude? yes.. setelah "cum"
@CaeCiuS
Lebih panjang, karena ngetiknya santai.. heheh.. thanks dah tetep baca...
Luv u too...
Heheh.. keknya sih sama aja bro....
gak selalu akurat sih,,, cuma yah,,, normal menurut ente pan laen menurut orang laen....
Kaga boz... lagi males nih....
Di list aja dulu pake exel... wkwkwkwk...
thanks dah baca ya?
BTW, siggy ente lucu.... :oops:
Seperti yang aku bilang, saat aku masih kerja di perusahaan lama, aku menempati sebuah kamar yang memang disediakan oleh perusahaan kalau ada karyawannya yang ingin tinggal tak jauh dari kantor. Kamar yang aku tempati tidaklah terlalu besar, hanya bisa memuat sebuah ranjang berukuran medium, sebuah lemari pakaian kecil yang kedua pintunya tidak dapat membuka lebar karena keburu tertahan oleh pinggiran ranjang, sebuah rak dua susun yang aku gunakan untuk menaruh televisi empat belas inci, pemutar DVD, speaker aktif, dan setumpuk buku koleksiku. Tapi ruangan ini bagiku sudah nyaman. Mungkin karena jabatanku juga, maka Bos aku saat itu tidak mengijinkan aku bergabung di kamar cowok yang lebih besar yang ditempati oleh empat orang karyawan account officer yang masih bujangan dengan dua buah ranjang besar. Aku kadang merasa iri ingin bergabung dengan mereka, karena itu akan memuaskan naluri ke-gay-an ku. Aku akan dengan sangat senang hati melihat rekan-rekan karyawan yang memang memiliki badan yang bagus itu datang dari kamar mandi dan berganti pakaian di dalam kamar setiap harinya. Atau tidur bersisian dengan mereka yang aku perhatikan sangat suka tidur dengan hanya menggunakan celana pendek saja. Tapi kalau dengan tinggal sekamar dengan mereka berakibat aku akan berbagi televisi, pemutar DVD, dan koleksi film porno aku, maka aku lebih baik tinggal di kamar sendirian.
Sambil memikirkan perlakuan Pak Anwar tadi, aku mengabaikan acara televisi yang aku biarkan menyala sejak sejam yang lalu. Aku melamun dan menatap kipas angin yang tergantung di langit-langit seolah-olah dengan berkonsentrasi penuh menatapnya maka aku akan mendapatkan jawaban dari segala pertanyaan yang terpikirkan di kepalaku. Lamunanku buyar saat seseorang mengetuk pintu kamarku. Tanpa menunggu aku membukakan pintu, sebuah wajah tampan menyembul sambil nyengir menatapku.
"Kang! nonton ya?" tanya si pemilik wajah itu.
Aku tidak menjawabnya dan dengan kode isyarat gerakan tangan aku menyuruhnya masuk.
Aku memang sengaja tidak mengunci kamarku malam itu karena Satya, cowok yang mengetuk pintu itu, sejak tadi siang sudah bilang padaku kalau ingin menonton bokep di kamarku selepas jam sebelas malam. Cowok batak berkulit putih berusia duapuluh satu tahun itu memang suka menonton koleksi film pornoku di kamar. Aku membiarkannya karena saat menonton di lantai tepat dihadapan layar monitor, Satya biasanya hanya mengenakan celana training saja tanpa atasan. Jadi saat Satya asik menonton film, maka aku juga puas menonton tubuhnya. Yang lebih mengasyikkan adalah Satya hampir pasti akan langsung menginap di kamarku, dan itu menambah panjang jadwal tontonanku, aku berusaha tetap terjaga selama mungkin agar dapat menikmati pemandangan tubuh Satya yang walau otot-otot tubuhnya tidak terlalu besar tetapi cukup terbentuk. Aku juga pernah menginspeksi saat penisnya terbangun setelah dia tertidur pulas, dia rupanya memiliki ukuran yang 'wah'. Namun aku hanya berani menatapnya tanpa bertindak lebih jauh, dan keesokan harinya pasti aku akan terkantuk-kantuk sepanjang hari. Tetapi malam itu aku tidak bersemangat untuk menonton tubuh Satya dan akhirnya terlelap. Aku terbangun sesaat saat Satya akhirnya selesai menonton dan berbaring di sebelahku dan kemudian melanjutkan tidur.
*****
Hubungan antara aku dan Pak Anwar pada minggu-minggu berikutnya hanyalah sebatas hubungan antara seorang dosen dan mahasiswanya. Tapi perbuatannya jelas-jelas telah mengganggu perasaanku pada Ice. Aku semakin mengabaikan Ice dan berujung pada makin dekatnya dia dengan Johan. Rya sudah mengingatkanku agar tidak menarik-ulur perasaan Ice dan menyuruhku lekas-lekas meresmikan hubungan dengannya sebagai pacar, tapi rupanya pesona Pak Anwar membuatku seperti orang yang penasaran. Aku seperti terobsesi dengannya dan berharap akan ada sesuatu yang lebih diantara kita dari sekadar hubungan antara dosen dan muridnya.
Setiap akhir mata kuliahnya aku selalu berharap akan ikut dengan kendaraannya. Sepertinya Pak Anwar tidak tertarik untuk kembali mengajakku pulang bersamanya, terbukti berkali-kali dia hanya lewat begitu saja dengan mobilnya atau malah sama-sekali tidak kelihatan dia hendak pulang, dan aku yang tak mungkin berlama-lama menunggunya akhirnya pulang begitu saja.
Semester selanjutnya, aku kembali diajar oleh Pak Anwar. Hubunganku dengan Ice kini benar-benar hambar akibat terlalu terobsesi dengan Pak Anwar. Aku heran dengan diriku sendiri mengapa hanya dengan sebuah sentuhan kecil di paha pada suatu malam menjadi sangat berbekas dalam pikiranku? sebuah sentuhan yang bahkan bagi Pak Anwar sendiri mungkin tidak berarti apapun. Aku masih mengagumi namun sudah mulai tidak berharap banyak pada Pak Anwar. Sampai pada suatu hari tepat seminggu sebelum ujian tengah semester, aku kembali mendapat kesempatan untuk ikut dengan kendaraannya saat pulang kuliah.
"Ikut lagi Rem?" tanya Pak Anwar. Kali ini nada suaranya yang seperti kurang antusias membuatku ragu ikut walau sangat ingin.
Pak Anwar mungkin menangkap keraguanku dan beberapa saat kemudian dia membukakan pintu samping Isuzu Panther nya. Setelah aku duduk di sebelah Pak Anwar, kami hanya terdiam cukup lama. Pak Anwar tidak lagi memastikan aku akan turun di mana, mungkin masih ingat dimana aku akan diturunkannya nanti. Kemudian Pak Anwar lah yang memulai percakapan.
"Manajemen Operasional cukup sulit ya Rem?" tanyanya sambil terus menatap jalan raya.
"Kalau yang bapak maksud itu hasil Kuis try-out kemarin, itu karena saya kurang persiapan..." jawabku.
"Kamu dulu ambil jurusan apa waktu SMA?"
"IPA pak."
"Nah! saya pikir enggak ada masalah buat anak IPA ngehadapin soal hitung-hitungan kan? Manajemen Operasional itu kebanyakan hitungan."
Aku tidak berkomentar atas ucapan terakhir Pak Anwar dan melanjutkan aksi diam. Aku memang tidak mendapat nilai tertinggi Hasil Kuis try-out sebelum Ujian Tengah Semester kemarin, selain karena hari itu bertepatan dengan kesibukan yang cukup menyita waktu di kantor, pikiranku juga terganggu oleh sikap Pak Anwar yang menurutku "telah melakukan sesuatu namun mencoba menyangkalnya". Oh, Please Rem! dia cuma megang paha kamu aja kok! protesku dalam hati. Dalam diam sebenarnya aku sangat ingin berteriak pada Pak Anwar, "Maksud bapak apa sih? megang-megang paha saya segala?" tapi pertanyaan itu tidak pernah bisa keluar dari mulutku.
Ketika mobil Pak Anwar sampai juga di Jembatan Merah tempat aku turun dan menyambung dengan angkutan umum, Pak Anwar meminggirkan mobilnya. Entah mendapat keberanian dari mana aku menolak untuk turun. Jantungku berdegup kencang selama hampir satu menit aku bersikukuh untuk tidak turun dari kendaraannya menunggu reaksi dari Pak Anwar. Pak Anwar menatapku. tatapan itu bukan tatapan heran namun seperti tatapan menyelidik ingin memastikan sesuatu. Kadang tak perlu kata-kata untuk mengetahui pikiran seseorang. Pak Anwar kemudian menjalankan kembali mobilnya. Jantungku berdetak semakin cepat menyadari kalau aku tak tahu akan dibawa kemana oleh Pak Anwar. Tapi aku mencoba santai dan meletakkan tangan kananku di sisi jok berdekatan dengan paha Pak Anwar. Beberapa lama kemudian masih dalam diam Pak Anwar menurunkan lengan kirinya, meraih telapak tanganku dan meremasnya hingga aku merasa tubuhku sedikit bergetar dengan sensasi yang ditimbulkannya.
Pak Anwar rupanya membawaku ke jalan Sawojajar. Jalan kecil yang menghubungkan jalan utama Ahmad Yani dengan terminal Pasar Anyar itu cukup sepi kalau sudah malam. Sisi kanan-kiri jalan tersebut yang masih ditumbuhi pepohonan besar saat itu membuatnya gelap dengan penerangan jalan yang sangat minim. Beberapa mobil lain aku lihat masih terparkir di pinggir jalan di depan beberapa rumah besar yang kelihatan terawat. Memilih tempat yang cukup terlindung dari cahaya penerangan yang berlebih, Pak Anwar memarkir mobilnya tepat dibelakang sebuah sedan hitam yang lampu biru penanda alarmnya berpendar bolak-balik pada kaca bagian belakangnya, mematikan mesin dan membiarkan bagian dalam kendaraannya dalam kondisi gelap.
Aku meneguk ludah berkali-kali mencoba menghilangkan kegugupanku sambil terus menunduk. Sabuk pengaman sudah kulepaskan. Aku kemudian melirik ke arah Pak Anwar yang tubuhnya naik turun karena bernafas panjang-panjang dan teratur dengan kedua lengannya masih memegang setir. Tiba-tiba Pak Anwar menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi sementara kedua tangannya sibuk membuka ikat pinggangnya, lalu membuka pengait dan menurunkan risleting celananya.
Saat itulah... dengan dibantu penerangan jalan yang sangat minim aku bisa melihat penis Pak Anwar yang sudah mulai menegang.
*****
Aku menatap hasil ujian tengah semester mata kuliah Manajemen Operasional dengan alis bertaut. Skor sembilanpuluh enam, dan akulah yang mendapatkan nilai tertinggi dari seluruh kelas. Saat Rya ingin melihat hasil ujianku, aku buru-buru melipatnya dan memasukkan kertas ujian itu ke dalam tas.
"Rem! kamu kok enggak ngasih tahu aku nomor dua! curang! kamu bilang kamu enggak bisa!" protes Rya. Dia sendiri padahal mendapat skor delapanpuluh lima.
Aku nyengir sambil menggaruk kepala. Padahal yang dikatakan Rya itu benar! aku memang tidak bisa menjawab soal nomor dua dan tiga saat ujian. Tapi rupanya Pak Anwar membenarkan jawabanku yang jelas-jelas aku sendiri sadar kalau jawabanku itu salah. Kalau saja Pak Anwar tidak berbuat seperti itu, mungkin skor yang aku dapat akan sama dengan hasil yang didapat Rya. Aku merasa seperti pelacur saat itu, hanya saja berbeda jenis. Kalau pelacur mendapatkan imbalan berupa uang, maka aku mendapat imbalan nilai yang tinggi.
Saat perkuliahan usai, aku mengawasi Pak Anwar yang keluar ruangan terlebih dahulu. Sepertinya dia hendak kembali ke ruang dosen.
"Rya! gue mau ketemu Pak Anwar dulu ya? ente duluan aja..." kataku sambil bangkit dan keluar mengejar Pak Anwar tanpa mengunggu jawaban Rya.
Aku mengetuk pintu ruang Dosen yang terbuka. Pak Anwar masih berdiri di dalam sambil membereskan kertas-kertas yang berserakan di mejanya. Dia kemudian menoleh dan mengangguk padaku tanda memyuruhku masuk.
"Ada apa Rem?" tanyanya dengan nada yang luar biasa sangat biasa.
"Saya mau tanya hasil ujian pak!" ujarku sambil mengeluarkan kertas hasil ujian itu dan meletakkannya di atas meja.
Pak Anwar terdiam dan membetulkan letak kacamatanya sambil menatap kertas hasil ujianku.
"Kenapa dengan hasil ujianmu?" tanyanya.
"Nomor dua dan tiga seharusnya salah. Saya enggak pantas dapat nilai segini." jawabku dingin.
"Kamu pantas dapat nilai segitu Rem, karena kamu memang hebat..." kata Pak Anwar menatapku sambil menyeringai sementara sebelah lengannya menepuk lenganku.
Ucapan Pak Anwar benar-benar membuatku terhina. Ya! aku memang senang mendapat kesempatan menikmati his fourty years old dick! tapi mendapat imbalan seperti ini membuatku seperti pelacur! Lalu aku berkata, "saya percaya kemampuan saya sendiri pak! saya harap saya bisa mendapatkan penilaian yang lebih obyektif dari bapak. Selamat malam!" ujarku. Kemudian aku pamit keluar setelah sebelumnya mengambil kembali kertas ujian milikku.
*****
Selama satu tahun berikutnya, aku benar-benar tidak memedulikan apa yang pernah terjadi antara aku dan Pak Anwar. Hubunganku dengan Ice semakin menjauh. Dia kini telah bergabung dengan geng Johan dan kawan-kawan. Aku tak peduli. Aku lebih memikirkan untuk mendapat nilai yang baik saat kuliah. Kesibukan hingga kesulitan membagi waktu tak menyisakan saat-saat untuk bersosialisasi. Yang pasti aku hanya mengandalkan Rya saja untuk membantuku melengkapi catatan dan menyusun tugas. Efeknya memang ada. Aku benar-benar menantang Pak Anwar untuk membuktikan kemampuanku sendiri. Pada Mata Kuliah yang dipegangnya di semester kemudian, aku mendapat nilai yang sangat memuaskan dari hasil jerih payahku.
Syukurlah (atau sebenarnya sayangnya?), pada saat aku menyusun skripsi, Pak Anwar bukanlah salah satu dari dua dosen yang membimbingku. Intensitas pertemuanku dengannya benar-benar berkurang. Saatnya menyusun skripsi adalah waktu dimana semua mahasiswa berjuang sendiri (kecuali yang skripsinya minta dibuatkan orang lain, tetapi itu lain cerita). Tetapi Pak Anwar adalah salah satu dosen penguji yang akan memberikan pertanyaan saat Ujian Komprehensif nanti. Ujian Komprehensif diberikan sesaat sebelum ujian sidang skripsi dimana kami semua harus menjawab secara lisan lima mata kuliah utama Manajemen di hadapan dosen penguji.
Yang menjadi masalah bagiku, aku benar-benar tidak punya waktu untuk belajar dan membuka-buka catatan lama sekadar menyegarkan memori otak dalam menghadapi ujian. Apalagi seminggu sebelum ujian sidang, aku mendapat tugas dari kantor sebagai ketua panitia acara family gathering menyambut ulang tahun perusahaan sehingga aku sibuk sekali menyiapkan segala sesuatunya hingga aku benar-benar kurang persiapan menghadapi ujian. Ini kusadari lima hari sebelum ujian tiba dimana aku merasa tak siap menghadapi ujian sidang nanti. Kalau skripsi mungkin aku siap, namun untuk menjawab teori secara lisan, pikiranku saat itu benar-benar sudah buntu.
Lalu aku tergoda untuk mencari jalan pintas. Siapa lagi orang yang memiliki akses menghadapi ujian yang aku kenal dekat selain Pak Anwar? dengan sedikit ragu aku menghubungi nomor telepon Pak Anwar dan meminta jadwal untuk bertemu.
Pak Anwar memintaku untuk datang ke kampus sore harinya. Rupanya dia sedang ada jadwal bimbingan. Aku yang menunggu di lobi kampus sempat menyapa beberapa rekan mahasiswa yang aku kenal. Jam tujuh malam, Pak Anwar meninggalkan ruangannya dan dengan isyarat tangan tanpa menoleh kepadaku, dia menyuruhku mengikutinya ke pelataran parkir. Setelah kami berdua di dalam mobil, Pak Anwar mengawali percakapan.
"Kamu tahu kan, ini sangat berbahaya kalau ketahuan?" tanya Pak Anwar.
Aku mengangguk.
Pak Anwar lalu mengambil sesuatu dari map yang dibawanya. Dia mengeluarkan selembar kertas dan menunjukkannya padaku. Aku sempat melihatnya sekilas dan menangkap salah satu pertanyaan yang memang berhubungan dengan mata kuliah yang akan diujikan, kemudian Pak Anwar memasukkannya lagi ke dalam map.
"Saya minta kamu siap cuti kerja besok..." Kata Pak Anwar.
Aku menatap Pak Anwar berharap mendapatkan penjelasan lebih. Lalu Pak Anwar meneruskan.
"Kamu tahu Rem? saya tidak memerlukan uang untuk pengganti hal ini..." katanya sambil mencondongkan badannya ke arahku. Aku merasakan lagi tangannya menyentuh pahaku. Kali ini dia meremasnya kuat-kuat.
****
rem...cerita lo betul2 bikin imaginasiku melayang-layang...
entah ini cerita nyata atau karangan belaka yang di dramatisir sedemikian rupa, betul2 membuatku terhanyut dalam alurnya... klo ini cerita nyata, pastinya pengalamanmu dah seabrek ttg dunia PLU....
good job rem...!!! :bd: :roll: