It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"Gue belum berangkat...." ujarnya pelan ditelepon saat aku menghubunginya. Mungkin Mbak Dini ada di sebelahnya.
"Oh.. ya udah... gue berangkat duluan ya?"
"Iya, iya!" kata Iqbal terburu-buru lalu memutuskan sambungan. Aku menghela nafas. Beginilah nasib menjadi selingkuhan.
Padahal ada banyak yang ingin kuceritakan pada Iqbal, termasuk pertemuanku dengan Kakak Sepupu yang berhasil mengungkap beberapa hal di masa laluku itu. Susah memang! sejak tahun baru lalu aku dan Iqbal belum pernah lagi bermesraan. Apalagi sepertinya dia juga sedang banyak pikiran. Terlihat jelas dari tampangnya, tapi aku tidak berani bertanya. Kupikir percuma saja aku berangkat bersama Iqbal, kenapa? menurutku buat apa kalau hanya raganya saja yang hadir sedangkan jiwa dan pikirannya melayang kemana-mana. Dan rasa gengsi dan kurang empati yang aku miliki malah memperparah keadaan. Aku malas bertanya.
******
Kangeeeen..... aku kadang cuma bisa meringis sendiri betapa rindunya bermesraan dengan Iqbal. Benar tidak sih? kalau memang ada reaksi kimia antara dua orang yang memang sudah jodohnya akan membuat hubungan mereka langgeng? yang aku maksudkan adalah seks. Entahlah... kadangkala aku suka membandingkan. Seks dengan Iqbal seperti belajar ilmu pasti. Bersama orang lain aku bisa merasakan kegairahan, ketidakpastian, antusiasme dan perasaan deg-degan mencoba sesuatu yang baru. Kadang memang hasilnya tidak sesuai harapan, bisa buruk atau bisa pula luar biasa. Bagaimana dengan Iqbal? seks bersamanya seolah-olah suatu kebutuhan. Kami sudah sama-sama tahu bagaimana harus menyesuaikan diri terhadap yang lain, bagaimana harus mengatur siku, meletakkan lutut, atau bagaimana harus melengkungkan punggung saat bermesraan. Seperti mengoperasikan mesin cuci, Iqbal tahu bagaimana caranya menekan tombol yang tepat untuk mengatur kecepatan dan arah putaran, bahkan mengatur timer yang sesuai saat mengeringkan pakaian dan voila! semua cucian sudah beres. Memang tak ada yang salah dengan keduanya, tapi aku memang orang yang lebih menyukai segala-sesuatunya dengan darajat kepastian yang tinggi. Jadi buat apa aku mengabaikan Iqbal yang jelas-jelas menurutku selalu tahu apa yang harus dia perbuat terhadapku?
"Komunikasi...." ujar Kak Dhian. "Kalian sama-sama cowok, dua-duanya pasti enggak akan seterbuka pasangan suami-istri..." dia menghela nafas, ".... pokoknya berbeda." sambungnya. Aku nyaris merasakan ada nada ketus penuh ketidaksetujuan atas apa yang dia katakan sendiri. Yah, seandainya saja aku bisa seterbuka itu dan menanyakan apa yang menjadi pikiran Iqbal selama ini, pasti akan aku lakukan. Hanya saja, mencari waktu yang tepat untuk melakukan itu sangat sulit.
Sementara itu minggu ini aku direpotkan oleh keadaan cuaca. Sekarang hampir setiap pagi aku kehujanan dan kebanjiran, dan aku merasa makin jauh dengan Iqbal. Boro-boro mengharapkan ada waktu untuk berbicara dari hati ke hati, berangkat kerja sama-sama pagi hari saja sudah mulai jarang. Apakah ini artinya ucapan Iqbal saat tahun baru lalu, mengenai hubungan kita yang pada akhirnya hanya menjadi teman biasa tanpa rasa, sudah terjadi lebih awal? aku tidak ingin hal itu terjadi lebih cepat. Aku masih ingin ada seks diantara kita karena aku merasa betapa sayangnya kalau hal itu disia-siakan. Memang, banyak pikiran seperti ini membuatku sedikit melupakan Novel. Tapi yang benar-benar membuat mood-ku kembali jatuh adalah kejadian di hari Kamis minggu itu. Padahal pagi hari itu hujan tidak turun dengan lebat, namun aku tidak melihat Iqbal yang tak kunjung datang ke tempatku sampai kereta akhirnya berangkat, padahal sedari tadi aku mencoba mencari-cari sosoknya di keramaian calon penumpang yang akan naik. Aku pikir dia telat lagi, makanya aku mencoba tenang walau tak ada kabar darinya. Sesampainya kereta di Stasiun Kota, aku terkejut melihatnya berjalan datang dari arah gerbong belakang melewatiku yang masih duduk dibangku menunggu pintu terbuka. Dia melirikku sekilas dan terus berjalan ke gerbong paling depan dan turun melalui pintu yang ada di gerbong itu. Aku bertanya, apakah ini kebetulan belaka dia tadi terlambat tiba di stasiun sehingga terburu-buru naik dari gerbong manapun yang dekat dengannya, ataukah memang dia sengaja menghindariku?
*****
akhirnya...
gud gud gud..
lanjut bang....
Gue baru daftar di situs ini tapi sebetulnya sudah sejak lama membaca dan jatuh cinta pada ceritamu..
Tetap semangat ya! Salam, Div.
walopun sibuk, kehujanan, kebanjjiran, fans mu jgn di lupakan...
kita-kita juga pade kehujanan, kebanjiran tapi tetep menanti "cerita" dri bang remy lagi....hehehe...
btw, cerita yg terakhir emang rada sedih ya...bang remy yg tabah aja menjalaninya...
and sumpah ane ndak bakal bocorin ke org lain kok bang 8) 8) 8)
setelah 15 page...skip to last page...ditunggu kelanjutannya
kesabaran membawa berkah...
Tapi ada hal yang aneh di cerita lu.
Elu terlalu mengangkat seorang Iqbal yang mau nerima lu apa adanya, loveable banget. semntara lu menjatuhkan diri lu dengan segala petualangan lu.Otomatis pembaca hanya akan konsen pada Iqbal.