It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Kenya, 1928.
Di sebuah perkebunan kopi di pinggiran Pegunungan Kenya, terdengar suara Konser Klarinet Mozart mengalun dari sebuah gramaphone yang diputar di beranda sebuah rumah bergaya Eropa. Seorang gadis muda berwajah bundar tampak berseri-seri, setengah berlari kecil menghampiri seorang pemuda yang sedang berbaring di sebuah kursi malas di beranda rumah itu.
“Surat untukmu, Joseph…” kata gadis itu sambil menyodorkan sebuah amplop kepada pemuda yang ada di hadapannya. “Ini dari Richard…” sambungnya.
Joseph, pemuda itu, meraih amplop surat tadi. Diletakkannya amplop itu dengan dua telapak tangannya di atas dada. Dia memejamkan mata.
“Tidak kau buka? Itu dari Richard…” tanya gadis tadi tampak agak heran.
Joseph masih terdiam saja. Dia tak menjawab sampai sementara waktu. Pelan-pelan ia mulai membuka matanya lagi. Tatapan matanya kosong dan jauh. “Richard pasti akan datang, Emily…” jawabnya kemudian.
Gadis itu, yang bernama Emily, dengan wajah kecut membalikkan badan dan beranjak dengan lesu tanpa berusaha memberi komentar apa-apa. Sesaat sebelum masuk ke dalam rumah, ia masih menoleh lagi dan menatap Joseph. Murung Emily meraut tak tersembunyi dari wajahnya, ronanya yang tadi sempat berseri kini pudar. Sejenak saja ia menatap dan lalu segera beranjak dari hadapan Joseph.
Joseph masih tetap di beranda itu di atas kursi malasnya. Matanya mulai menerawang. Tatapannya menelusup melewati halaman rumah, melewati lereng-lereng kebun kopi, sampai ke barisan perbukitan di kejauhan di bawah naungan langit sore awal bulan April. Cakrawala sore tampak melukis ornamen-ornamen cahaya dengan warna indah, kuning keemasan di atas tanah Kenya yang telah dibasahi hujan siang tadi. Joseph, jiwanya dari dalam hati mulai bergerak naik mengarungi memori di kepalanya. Ia bergumam seorang diri.
“Richard, aku menunggu kau datang lagi… Aku akan menyambutmu. Kita akan seperti dulu lagi. Berjalan menyusuri kebun kopi, menghirup harum yang menyusupi udara bukit. Bertualang menyeberang sabana dan bukit-bukit Kenya. Mendengar nyanyian Kikuyu atau Samburu di kejauhan. Menaiki tanah tinggi menuju Danau Sonachi, tempat di mana kita sering berenang…” Joseph menggumam seorang diri. Matanya terpejam lagi. “Seperti dulu, Richard… Dan kita melepas lelah di beranda ini. Minum teh di perkebunan kopi… Haha… Seperti biasa… Seperti dulu…”
Joseph mulai berhenti bergumam. Matanya memejam. Tampaknya ia mulai tertidur. Sementara itu gramaphone di sampingnya masih memutar rekaman Konser Klarinet Mozart. Selain itu, semua tampak senyap di antara udara basah musim penghujan Kenya. Hari sudah mulai senja.
Danau Sonachi, 1927.
Sinar mentari memantul kembali dari permukaan air danau, menyelinapkan kilauan-kilauan cahaya di atmosfer sore yang ranum. Dua orang pemuda di pinggir danau menangkap nuansa cakrawala yang indah itu, bercengkrama.
“Sudah yang ke berapa Richard?”
“Sudah yang ke empat kalinya kita kemari.”
“Tapi kali ini lebih indah dibanding yang dulu…”
“Aku tahu kau suka dengan langit sore yang berwarna kuning. Tapi bagiku udara kali ini tidak begitu nyaman, Joseph. Terasa lebih dingin dari biasanya…”
Joseph tersenyum-senyum sambil menyibakkan air danau dengan tangannya. “Dulu kita kemari pada waktu musim masih panas. Sekarang memang lebih dingin.” Ia lalu memandang ke arah Richard. “Padahal kita selalu berenang bila kemari. Kau baru saja berkata bahwa saat ini tidak baik untuk berenang…” sindir Joseph.
Richard merenung-renung. “Aku tidak ingin berenang. Rasanya memang sedang tidak nyaman. Aku merasa mudah sakit akhir-akhir ini…” Richard terlihat murung.
Joseph memandangi Richard. Ia melangkah mendekat, duduk di samping Richard di atas tanah yang sedikit berumput. “Kalau begitu aku juga tidak berenang…” cetus Joseph.
Richard merengkuh bahu Joseph yang ada di sampingnya, dan melekatkannya ke tubuhnya. Richard mengusap rambut Joseph yang pirang. Mereka berdua terdiam, menatap danau.
“Kenapa kau baru bilang kalau kau sedang tidak enak badan? Kita tak perlu kemari bila kau sedang tak sehat?” tanya Joseph pada Richard.
“Aku ingin menikmati waktu kita selagi masih di sini…” jawab Richard pelan. Sejenak mereka terdiam lagi.
“Aku sudah mengatakannya padamu beberapa kali bukan?” lanjut Richard.
“Tak usah kau katakan lagi…” balas Joseph dengan nada yang berubah dingin.
Richard sebenarnya merasakan beban berat di dalam hatinya. “Kau harus mengerti Joseph, aku harus pergi…Aku akan kembali ke Inggris…”
Joseph menghela nafas dalam. Akhirnya ia menanggapi juga. “Apa kau harus?”
“Ini bukan masalah keinginan kita. Aku hanya di sini bersama keluargaku selagi ayahku menjalani masa jabatannya di sini. Sekarang saatnya kami harus pulang ke Inggris… Aku ingin supaya kau bisa mengerti keadaan ini” jelas Richard.
“Itu artinya, kau tak akan kembali lagi ke Kenya?” tanya Joseph. Ia menatap wajah Richard. Mata mereka pun bertemu dalam satu tatapan.
“Aku tak tahu. Aku tak akan punya tempat tinggal lagi di Kenya.” Jawab Richard.
“Kau bisa tinggal di rumahku, Richard. Aku akan menjelaskan pada keluargaku…” sergah Joseph terdengar berusaha membujuk Richard.
“Apa alasan yang akan kau jelaskan pada keluargamu? Kau, atau aku, tak akan bisa menjadikan hubungan kita ini sebagai alasan bagiku untuk tinggal denganmu…” jelas Richard dengan wajah masam.
“Kenapa?” tanya Joseph. Tampak bahwa ia semakin gundah.
Richard menghela nafas. “Lihatlah dunia ini, Joseph. Hanya perempuan yang tinggal selamanya di samping pria dengan alasan cinta. Maaf Joseph, aku ragu kalau kita punya alasan untuk bersama selamanya...” desah Richard terbata-bata. “Tapi aku ingin menikmati apa yang bisa kita nikmati sekarang…” sambungnya pelan dan terasa tanpa asa.
Keduanya lalu terdiam lagi. Cukup lama. Hari-hari terakhir mereka bersama di Kenya, menjadi hal berat yang menggelayuti hati mereka. Richard mendekap lebih erat bahu Joseph.
Mentaripun semakin tenggelam di barat. Cahaya langit mulai redup. Perlahan Joseph melepaskan dekapan Richard di tubuhnya. Perlahan ia bangkit berdiri.
”Semakin dingin. Sudah gelap...” desah Joseph sambil beranjak meninggalkan tepi danau itu.
Richard menyusul mengikuti langkah pelan Joseph yang menuju sebuah villa kecil yang tak jauh dari tepi danau itu. Di tengah-tengah langkah, Richard meraih lengan Joseph. Richard menarik, dan segera memeluk Joseph erat. Joseph merasakan bibir Richard di bibirnya. Batin mereka bergemuruh. Emosi mereka menggoncang. Gundah mereka beradu menjadi emosi yang meluapkan keinginan terdalam mereka.
Dan sekali lagi senja di danau itu menjadi saksi, saksi yang tak akan mengatakan kepada siapapun selain membiarkannya menjadi satu memori dari sepasang anak manusia. Memori tentang perasaan yang mereka rahasiakan dari siapapun.
Inggris, akhir tahun 1940.
“Apa itu, Ibu?” seorang anak laki-laki berumur 8 tahunan bertanya pada ibunya.
“Paket pos, Sayang. Tapi Ibu belum tahu isinya.” jawab si ibu sambil tersenyum.
“Apakah kado Natal? Aku boleh lihat?” tanya anak itu lagi.
“Biar Ibu membukanya dulu. Kau makanlah, di dapur Bibi Lidia membuatkan pie apel untukmu.” bujuk si ibu.
Anak laki-laki itu membalas dengan senyum lebar, sambil bergegas menuju ke dapur. Sedangkan si ibu sambil menenteng sebuah bungkusan kotak di tangannya beranjak menuju ke ruang lain di rumah itu.
Ibu anak itu, seorang perempuan berumur 30 tahunan. Wajahnya masih terlihat remaja, dengan rona-rona merah di pipinya. Rambut pirangnya digelung sedemikian rupa. Dengan gaun tebal musim dingin, ia melangkah ringan ke sebuah ruangan di rumah itu. Ia seorang perempuan yang anggun dan menampilkan kesan ketegaran dalam dirinya.
Di sebuah ruang baca, perempuan itu mengambil sebuah kursi duduk. Ia mengamati bungkusan yang diterimanya dari petugas pos siang itu. Ia mengernyitkan kening ketika meneliti identitas pengirim yang sama sekali tidak dikenalnya. Lalu ia mulai membuka sampul paket kiriman itu. Didapatinya sebuah kotak cover piringan hitam bertulisan besar “Mozart”. Ia juga mendapati sebuah amplop surat di dalamnya. Dengan penasaran dibukanya juga amplop itu dan menarik kertas surat di dalamnya. Dia mulai membaca surat itu.
Kepada Richard, kawan lama yang kurindukan.
Richard, bagaimana kabarmu? Aku berharap semua baik-baik saja denganmu. Aku minta maaf karena tak ada balasan dari surat-suratmu sebelumnya. Setelah bertahun-tahun kau berhenti mengirim surat, kini aku membalasmu, untuk mengabarkan beberapa hal yang sangat perlu untuk kau ketahui.
Sesungguhnya aku hampir tak punya keyakinan untuk menulis surat ini padamu, karena aku ragu akan alamatmu yang sebenarnya di Inggris. Sampai akhirnya secara kebetulan aku bertemu dengan Tuan Mallaby di Nairobi, teman ayahmu, yang menurut pengakuannya pernah mengunjungimu di London sekitar setahun yang lalu. Dia tak banyak bercerita tentangmu, dia hanya memberiku alamatmu dan menceritakan bahwa kau telah menikah dan berputra. Seandainya aku bisa membuka suratmu sejak awal, aku pasti akan tahu lebih awal soal pernikahanmu sebagaimana pernah kau kabarkan melalui surat terakhirmu. Dan tentunya aku tak akan terlambat memberimu ucapan selamat. Sayang sekali, aku baru bisa membuka surat-suratmu beberapa minggu lalu.
Aku telah meneliti surat-suratmu pada Joseph. Surat terakhirmu sudah sembilan tahun yang lalu kau kirim. Sejak itu kau tak pernah mengirim surat lagi. Dan aku sungguh menyesal untuk mengatakan padamu bahwa Joseph tak pernah membuka surat-surat darimu itu. Dia hanya menyimpannya di dalam laci, tanpa pernah membacanya. Itulah sebabnya tak pernah ada balasan untuk surat-suratmu.
Kau perlu tahu Richard. Setelah kau tak lagi tinggal di Kenya, Joseph banyak berubah. Dia tak lagi periang. Dia hanya melamun seharian. Dia terlalu kehilangan seseorang yang tampaknya sungguh berarti baginya. Sepertinya dia tak pernah bisa menerima kepergianmu.
Sejak kau pulang ke Inggris, Joseph seolah-olah tak menganggapmu sudah pergi. Bahkan beberapa tahun terakhir, ia terlalu aneh bagi kami semua. Aku sendiri tak pernah berhenti cemas bila melihatnya berlaku seolah-olah kau masih ada di dekatnya. Dia sering bicara sendiri. Kadang seperti sedang bicara denganmu. Kami tak bisa menghentikan ketidaksadarannya. Dia begitu rapuh sejak kau pulang ke Inggris. Dan saat itu kami tak ingin menceritakannya pada siapapun, termasuk kepadamu.
Kau dekat dengan Joseph, tapi aku dan orang lain tak pernah cukup dekat denganmu. Aku sendiri tahu keakraban kalian, meskipun aku tak dapat mengerti. Aku tahu Joseph ternyata sangat membutuhkanmu, tapi aku tak paham alasannya. Kami tak tahu bagaimana mengatasi masalahnya. Joseph tak mungkin menyusulmu ke Inggris. Sejak perang pertama dulu kami sudah tak punya aset apapun di Inggris. Milik kami sekarang hanyalah tanah perkebunan di Kenya. Dan kami tak mungkin memintamu kembali ke Kenya. Sangat tak sopan rasanya.
Kini kami hanya bisa memberitahu semua keadaan itu, setelah semua sudah berakhir. Hal penting yang ingin kukabarkan padamu, bahwa Joseph telah meninggal. Dia pergi ke Danau Sonachi untuk berenang. Dia pulang dalam keadaan terserang malaria. Seharusnya bisa tertolong. Tapi dia seperti tak cukup bersemangat untuk tetap hidup. Joseph meninggal 20 April lalu. Kami semua kehilangan dia. Dan aku ingin kau tahu, mengingat dia sangat dekat denganmu. Namamu disebutnya beberapa kali pada detik-detik terakhirnya.
Kami menganggap penderitaan batin Joseph yang tak kami pahami telah berakhir. Kami menerimanya sebisa mungkin. Sejak meninggalnya, aku baru bisa membuka surat-suratmu yang disimpannya di laci dalam kamar. Aku telah baca semuanya, bagaimana kau berusaha membuatnya untuk menerima kenyataan. Tapi, apa yang terjadi pada adikku adalah seperti yang telah kuceritakan. Kenyataan tampaknya memang bisa berbeda di mata tiap orang. Aku tak ingin menyalahkan siapapun, Richard. Aku hanya ingin kau tahu apa yang telah terjadi.
Aku juga mengirimkan piringan hitam milik Joseph. Seingatku, dulu itu adalah pemberianmu juga. Sekarang, aku ingin kau menyimpannya kembali. Kau lebih paham tentangnya daripada kami semua.
Maaf bila aku telah merepotkanmu dengan apapun yang kusampaikan padamu. Sampaikan salamku pada istrimu, Joyce. Dan juga putramu, aku tak tahu namanya. Semoga kalian menjadi keluarga yang bahagia. Terima kasih.”
Salam dariku,
Emily Balley
Perempuan itu melipat kembali kertas surat yang telah selesai dibacanya. Tangannya gemetar. Ia termenung di kursi di ruang baca itu, beberapa menit lamanya. Matanya nanar menatap sebuah potret besar yang terbingkai di dinding. Tampak bahwa ada suatu pergumulan batin dalam dirinya.
Perlahan kemudian ia bangkit, menghampiri potret besar itu. Ia menatap diam. Di samping potret itu, terbingkai juga sebuah piagam kecil dengan sebuah medali. Ia menyentuhkan jarinya menelusur tulisan-tulisan di piagam itu. Matanya tampak mulai berkaca-kaca membaca tulisan di piagam itu. “Medali Penghormatan Richard Winston Bradbury, Prajurit Inggris Raya, Gugur sebagai Pahlawan di Kota London, 7 September 1940.”
“Richard… Aku tak tahu seandainya ada masa lalu yang tak pernah kau ceritakan. Tapi bagiku kau seorang suami yang akan selalu kucintai. Kau adalah ayah yang akan dibanggakan oleh anakmu. Aku tak peduli apa masa lalu yang tak pernah aku tahu…” Perempuan itu akhirnya tak bisa menahan air matanya. Ia mulai terisak di depan potret besar suaminya. Beberapa waktu lamanya dia berdiri dalam luapan kesedihannya, sendiri di ruang itu.
“Ibu, aku mencari piringan hitam ayah…” tiba-tiba anak laki-laki perempuan itu masuk dan memecahkan keheningan dengan pertanyaannya.
Perempuan itu segera mengusap matanya yang basah. Dengan agak gugup ia menjawab anaknya. “Ada di laci meja ruang depan, Sayang…”
“Sepertinya itu milik ayah…?” tanya anak itu tanpa memperhatikan wajah sembab ibunya, menghampiri kotak cover piringan hitam di atas meja baca.
“Bukan itu, Sayang… itu milik teman Ibu. Kamu putar yang milik ayah saja, ambillah di depan…” cegah perempuan itu pada anaknya.
Si anak cemberut. Dia masih tak sempat menyadari wajah ibunya yang berusaha menyembunyikan sisa-sisa airmatanya. Ia lalu beranjak hendak keluar dari ruangan itu.
“Joseph…” tiba-tiba perempuan itu memanggil anaknya.
Si anak menoleh. “Ada apa, Ibu?” tanyanya polos.
Perempuan itu memandangi wajah putranya yang mungil dan tampan itu. Lalu ia mulai tersenyum. “Putarlah lagu kesayangan ayah…” ujarnya lembut.
Si anak tersenyum lebar. “Lagu kesukaan ayah, kesukaanku juga…” jawabnya sambil beranjak pergi dengan bersemangat.
Perempuan itu kembali seorang diri di ruang itu. Dia lalu kembali duduk di kursinya tadi. Sambil duduk dia menatap potret besar suaminya lagi. Wajah perempuan itu kembali muram.
“Joseph nama yang kau berikan untuk anak kita… Kau juga menyebutnya saat kami menemani saat-saat terakhirmu di rumah sakit London. Kau mengigau nama itu…” Perempuan itu mulai bergumam lirih sendirian. “Siapa yang sebenarnya kau panggil…?”
Lamat-lamat mulai terdengar alunan suara dari gramaphone, rekaman Konser Klarinet Mozart. Alunan melodi mulai mengaliri udara ruang-ruang dalam rumah itu. Perempuan itu menutupkan telapak tangan ke wajahnya. Tubuhnya tergoncang, menggumam gemetar. “Aku mencintaimu Richard…”
***end***
So.. sad... Hiks2
Klimaksnya bertubi2....dapet bgt....
Pemilihan katanya jg bagus, jd kyk baca novel asli
Boleh kritik ya...?
Hmm.. Critanya mirip2 brokeback (serupa tp tak sama)
Alur critanya gw gk bisa ngikutin, knp hrs flashback dulu dr thn 1928 br thn 1927? Knp gk berurutan aj...
Coz pertama kali gw baca awal2nya (thn 1928) ngak ngerti critanya, jd gw bc 2x deh
Dh gitu aj coment gw, klo ngk berkenan jgn d mskin ati ya...
D tunggu cerpen2 selanjutnya...
Kalo soal inspirasi cerita, sebenarnya aku gak pernah terpikir pada Brokeback Mountain. Soalnya, terus terang aku tidak suka dengan cerita Brokeback Mountain. Soal hubungan antar tokoh di cerpenku murni imajinasiku sendiri, hanya soal settingnya aku memang sangat terinspirasi oleh film. Tapi jelas bukan Brokeback. Out Of Africa, salah satu film favoritku.
Kenapa settingnya di Africa/Kenya, soalnya aku sudah lama kagum sama geo-anthropologis Africa. Jadi aku memasukkan beberapa spesifikasinya sekalian. Kikuyu dan Samburu adalah suku asli Kenya. Danau Sonachi adalah danau di Pegunungan Kenya. Ada sekitar 7 danau besar di Kenya. Aku pilih danau Sonachi karena danau ini adalah danau paling tenang (yang lain adalah danau yang terlalu buas untuk dijadikan setting). Selain itu, danau Sonachi letaknya ada di Pegunungan Kenya, di mana juga merupakan daerah konsentrasi perkebunan kopi di Kenya. Pas dengan yang aku perlukan untuk setting cerita ini.
Kenapa Kenya? Karena Kenya adalah negeri hitam yang eksotis, dan juga merupakan daerah kolonial Inggris sejak abad 19. Jadi di situ aku bisa bermain, mempertemukan karakter2 kulit putih (Inggris) di sebuah negeri negro yang very very awesome. Dan akhirnya bisa menjadi alasan juga untuk memisahkan mereka.
Kenya adalah jajahan Inggris. Setelah peristiwa perang dunia pertama (pasca 1914) keadaan di Inggris kacau. Banyak aset hancur. Tapi tidak di negeri2 jajahannya, termasuk Kenya yang lebih ter-amankan dari penghancuran. Orang2 swasta di Inggris (dan juga Eropa yg lain) mulai berspekulasi untuk membuka usaha di luar Inggris. Salah satunya di Kenya dengan perkebunan kopi (itulah yg dilakukan oleh keluarga Joseph). Di sisi lain, pemerintah Inggris tentu juga memiliki perwakilan dari kerajaan untuk mengawasi daerah jajahannya. Itulah yang menjadi tugas ayah Richard di Kenya, sebagai salah satu bagian dari wakil Inggir di Kenya. Dari latar belakang itulah, Joseph dan Richard bertemu.
Joseph mengalami scizophrenia, penyakit kejiwaan yang berhalusinasi tentang keberadaan orang lain di sekitarnya. Richard adalah person dari halusinasi Joseph. Ini terjadi sejak Richard meninggalkan Joseph.
Richard setelah pulang dari Kenya, memasuki kemiliteran sebagai prajurit Inggris Raya. Ini tidak aku jelaskan detail dalam cerpen dan kurasa memang tak perlu karena di situ ada porsi buat pembaca untuk berimajinasi sendiri. Lalu ia menikah dengan Joyce. Soal pernikahan aku memberi petunjuk bahwa surat terakhir Richard pada Joseph menjelaskan hal itu, sembilan tahun sebelum tahun 1940. Jadi empat tahun perjalanan hidup Richard sejak meninggalkan Joseph, dan di rentang waktu itu ada banyak kemungkinan untuk membuatnya memutuskan menikahi seorang perempuan dan berkeluarga. Silakan memainkan imajinasi anda sendiri...
Sejak tahun 1939 terjadi perang dunia 2 di Eropa. antara bulan juli sampai september pesawat tempur Jerman menyerang Inggris. puncaknya pada bulan september, penghancuran besar2an dilakukan Jerman atas Inggris dan dikenal sebagai peristiwa "Battle of Britain". Inilah peristiwa yang merenggut nyawa Richard. "Battle of Britain" mengakibatkan Richard terluka parah hingga harus dirawat di rumah sakit di London. Di situlah dia sekarat dan mengigau nama "Joseph" di saat istri dan anaknya menemaninya.
silakan teruskan kritik dan komentarnya. itu akan menjadi pelajaran terbaik buatku. thanks sebelum dan sesudahnya.
wuih, latar blakang sjarahny keren bo
lagi donk bikin cerita cinta (gay) yg bertemakan sjarah
sebenarnya masih ada cerpen lagi, tapi sedang aku edit. sebentar lagi pasti aku posting. tunggu aja ya.
thanks bgt utk setiap atensinya.
bole sambil ngupil ngga ya ....... chandaaaaaaaaaaaa ......
so...
Marvelous!
Astounding!
Stupendous!!
Wah, kalo Gw dosen, mungkin udah Gw kasih nilai
A++
Hahahha...
Bagus ada flash back nya juga, sehingga tidak monoton hanya satu alur waktu.
Pemilihan katanya juga bagus juga, sesuai dengan karakter yang diciptakan, baik pada para tokoh maupun juga suasana yang dideskripsikan bisa dinikmati dengan lebih imajinatif.
Thanx a lot, ditunggu cerpen lainnya...
Warm Regards,
Terry Sie