It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Sang raja memiliki seorang anak laki-laki yang berumur 16 tahun. Dia pandai dan cakap dalam berbagai hal. Namanya Marscha. Hobinya berburu dan berkuda. Tubuhnya tinggi tegap tampan dan berwibawa. Banyak sekali puteri – puteri dari kerajaan lain yang menaruh hati kepadanya. Seluruh kerajaan menghormati dia karena kecakapannya. Mereka melihat dia merupakan pewaris kerajaan yang pantas. Namun sayang, hati dan sifatnya tidak secakap itu. Karena dia disegani oleh seluruh panduduk dia menjadi congkak. Mungkin karena dia merasa memiliki seluruh kerajaan. Dan mungkin juga karena dimanja oleh orangtuanya sejak kecil. Dia tidak suka memandang rakyat miskin. Tidak seperti ayahnya yang baik hati, dan suka memberi untuk rakyat miskin.
Pada suatu hari Marscha berjalan-jalan mengitari kerajaan dengan menaiki kudanya. Dia kelihatan gagah perkasa dengan penampilannya yang mengagumkan. Semua mata memandangnya sepanjang perjalanannya. Mereka membungkuk memberi hormat padanya. Tapi jangankan tersenyum, dia tidak pernah memandang kearah penduduk yang memberi hormat padanya. Sementara di perjalanan, tiba-tiba ada seorang pengemis yang berlarian di depannya dan hampir menabrak kudanya. Dia berhenti dan memandang pengemis itu. Sang pengemis memakai jubah panjang yang sudah kumal berwarna kehitaman. Kepalanya ditutupi penutup kepala dari kain yang kotor dan usang. Wajahnya kehitaman ditutupi debu dan hanya kelihatan matanya saja yang memandang sang pangeran dengan polos. Pengemis itu seorang anak laki-laki kira-kira seumuran dengan sang pangeran, tapi tubuhnya lebih mungil. Semua penduduk yang melihat kejadian itu menahan napas. Mereka tahu sifat sang pangeran.
Marscha turun dari kudanya. Digenggamnya cemeti yang biasa dipakai untuk mencambuk kudanya.
“ Kamu punya mata, kan?” Tanya pangeran itu angkuh.
Sang pengemis menundukkan wajahnya dalam sekali. Ujung cemeti itu diarahkan ke dagu pengemis itu. Kemudian dia menggerakkan cemeti itu mengangkat wajah sang pengemis.
“Jawab!!!...”bentaknya.
“Pu…punya, yang mulia…” mata bening pengemis itu kelihatan berair. Tetapi dasar di pangeran yang tidak punya hati, tak sekalipun merasakan ketakutan dan kesakitan yang dirasakan pengemis itu.
“Lantas… kenapa kamu menabrak aku? Kamu belum tahu siapa aku?” Katanya lagi dengan congkak.
“Ha… hamba tadi hendak cepat pulang kerumah. Ibuku sakit.. hamba harus membawa obat ini secepatnya. Kalau tidak…. “ terlihat air bening yang memenuhi bola mata anak itu mengalir membentuk dua buah garis di pipinya yang kotor berdebu.
“Aku tak peduli masalah kamu… sekarang kamu tahu apa ganjaran bagi orang yang menghalagi jalanku?” Katanya sambil mengetuk ujung cemeti itu di kepala pengemis itu.
Pengemis itu membungkukkan tubuhnya menyembah sang pangeran sampai kepalanya menyentuh tanah.
“Ampuni aku, yang mulia… “
Terlambat. Cemeti itu dengan cepatnya mengenai punggungnya dengan keras. Dan belum lagi terasa sakitnya, kedua kali cemeti itu mengarah ke punggungnya lagi.
“Akhh….!!! ” Pengemis itu mengerang kesakitan. Tubuhnya bergetar menahan rasa sakit yang amat sangat.
“Pergi sana…!!! Jangan sampai menghalagi jalanku lagi…” Kata Marscha dengan senyuman puas.
Sang pengemis itu berjalan dengan tertatih –tatih sambil menahan rasa sakit menjauh dari jalan. Tangannya menggenggam obat untuk sang ibu. Matanya menunjukkan kepasrahan yang teramat dalam. Dia tahu, sudah terlambat baginya untuk menyerahkan obat itu dengan kondisinya seperti ini. Dia terduduk di pinggir jalan. Kakinya tak mampu digerakkan lagi. Sia – sia sudah usahanya mencari jalan untuk mengobati ibunya. Masih terngiang di kepalanya kata-kata ibunya.
“Alga, …. jangan kamu memandang kehidupan ini dari satu sisi, karena itu bisa membutakan kamu. Pandanglah dari sisi lain kalau kamu tidak bisa melihat dengan jelas kehidupan kamu. Carilah posisi yang baik untuk memandang kehidupan kamu… niscaya kamu akan menemukan kebahagiaan..”
“I….buu…. maafkan Alga… tidak bisa membantu ibu… Hahhh….” Tangisnya memilukan. Dia memandang kelangit. Seakan mengerti perasaannya, langit kemudian tiba-tiba menjadi gelap diselimuti awan hitam. Sang pangeran dan semua penduduk menjadi gempar. Kilatan petir disertai angin kencang membuat semuanya panik tak terkecuali sang pangeran. Hujanpun turun dengan deras. Membasahi tanah, membasahi semua yang belum sempat berteduh. Langit semakin gelap, kini terlihat hanyalah sosok tubuh Alga yang masih duduk bersimpuh. Sang pangeran yang diam saja sejak tadi, memandang kearah tubuh pengemis itu. Air hujan membasahi pakaian kebesaran yang dipakainya. Dia memacu kudanya melewati sang pengemis itu. Alga kemudian berdiri dan mulai berjalan. Wajahnya yang penuh debu kini terlihat dengan jelas. Wajah putihnya, hidungnya yang mancung indah, bibirnya yang merah merekah, kulit tubuhnya yang nyaris tanpa cacat terlihat transparan terkena air hujan. Kain penutup kepalanya jatuh hingga membentuk tudung kepala, menutupi rambutnya, sebagian pipinya, dan lehernya. Wajahnya begitu polos terlihat. Dia memandang sang pangeran sinar mata yang tulus. Tidak ada dendam disitu, tidak ada amarah yang terpancar, hanya sebuah wajah tanpa dosa.
Sang pangeran memandang kepergiannya dengan hati yang penuh dengan tanda tanya. Hatinya terasa ada beban. Kenapa pengemis itu memandangku seperti itu, pikirnya. Kenapa dia tidak memandang dengan marah? Dengan dendam? Sepanjang perjalananya Marscha memikirkan kejadian itu. Kenapa pandangan itu seakan menusuk sampai ke jantungnya?
Sesampainya di kerajaan dia langsung disambut dengan cepat oleh para pelayan. Mengeringkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya. Dia kemudian tiduran di tempat tidur mewahnya. Matanya terus membayang pandangan mata pengemis itu. Dia memandang kedua tangannya.
“Anak pengemis itu memohon padaku… ibunya sakit…” ada terbersit rasa dihatinya.
“Kenapa aku memukulnya… dia tidak sempat menabrakku..” rasa bersalah itu mulai ada. Keinginan untuk bertemu anak itu membuat dia bangkit kembali. Hujan sudah reda. Dipacunya kembali kudanya ketempat kejadian tadi. Dia bertanya pada penduduk sekitar kalau saja ada yang tahu tempat tinggal anak pengemis itu. Tapi sayang, tidak ada seorangpun yang tahu. Membuat hatinya makin tidak tentram.
This is soooo classic story...!!
Lamjoooottttt......
Saat seluruh kerajaan pusing memikirkan keberadaan pengemis itu dan Keadaan Pangeran, datanglah seorang kakek tua yang rambutnya putih semua. Janggutnya panjang hingga ke dada. Tangannya memegang tongkat kayu berukir gambar tarub diujungnya. Sang raja mengenalnya. Dia adalah Utusan yang mengangkat dia menjadi raja pada waktu dia genap berusia 17 tahun. Sang Raja menyambutnya dan menyembahnya bagaikan Dewa.
“Ada apa gerangan Tuwong (panggilan untuk utusan Dewa, qq) datang ke istana? Bukankan upacara Trendan (upacara pengangkatan pangeran menjadi raja, qq) masih lama?”
Sang kakek itu membungkuk menyapa sang Raja dan Permaisuri.
“Hamba datang kesini, bukan untuk melaksanakan Trendan, paduka. Aku sudah melaksanakan tugasku waktu mengurapi paduka Raja. Kini tugas itu bukan untukku lagi. Seseorang sudah dipilih untuk melaksanakan itu nanti..”
Sang Raja menjadi heran.
“Lantas ada keperluan apa Tuwong kesini?”
“Hamba mendengar Anak paduka, Pangeran Marscha mengalami ‘gangguan’ dalam kehidupannya.”
Kakek tua itu duduk bersila.
“Anak paduka, melakukan kesalahan besar selama dalam perjalanan keliling negeri. Dia memukul seorang pengemis. Dewa murka kepadanya..”
Mendengar hal itu Sang Raja dan Permaisuri menjadi lemas. Kesalahan besar.. membuat Dewa murka!
“Tapi ada penyelesaian dalam hal ini. Pangeran harus pergi menuju ke utara negeri dan harus membawa pulang seekor rusa yang bertanduk tiga. Dia harus sendirian kesana..”
Setelah mengatakan hal itu, kakek tua itu segera pamit dan melangkah keluar dari istana. Di sebelah utara negeri memang terdapat hutan buruan yang banyak hewannya. Tapi hutan itu berbatasan dengan hutan larangan. Semua penduduk negeri dilarang menginjakkan kakinya di hutan larangan itu. Konon, hutan larangan itu tempat para Dewa.
Singkat cerita, Pangeran Marscha dengan tubuh lemas pergi ke Utara untuk mencari rusa bertanduk tiga seperti yang di perintahkan. Sang Raja dan Permaisuri dengan berat hati melepas anaknya, itu demi ketentraman hidup anak mereka juga.
Sudah berjam-jam sejak pagi hari Pangeran Marscha belum juga menjumpai rusa itu. Dia memacu kudanya untuk mencari lagi. Karena lapar dia mencari buruan lain. Dia melihat seekor kelinci putih sedang mencari makanan. Diambilnya busur untuk memanah kelinci itu tetapi kelinci itu melarikan diri. Kesal dengan hal itu, Pangeran mengejar kelinci itu memasuki hutan lebih dalam lagi. Menuruni bukit yang lumayan curam. Akhirnya sang kelinci terdesak di bebatuan. Anak panah meluncur dengan cepat mengenai kelinci itu. Tetapi kelinci itu masih bisa melarikan diri. Sewaktu pangeran mengejar kelinci itu dengan kudanya, kuda itu menginjak bebatuan yang lunak sehingga kuda itu dan sang Pangeran tergelincir jatuh kedalam lembah yang curam. Sewaktu pangeran jatuh, sempat dia melihat seekor rusa bertanduk tiga datang mendekatinya. Sayang sekali karena menderita luka yang agak parah Pangeran akhirnya jatuh pingsan.
Ketika pangeran membuka matanya, dia tersadar sedang berbaring di dipan yang terbuat dari bambu. Kakinya dibalut dan terasa sakit sekali waktu digerakkan. Tangan dan kepalanya juga terasa nyeri. Dia mencoba berdiri.
“Jangan bergerak banyak. Lukanya masih belum cukup baik…” terdengar suara dari sampingnya. Itu suara anak lelaki. Pangeran Marscha memandang sekeliling. Terlihat kabut yang agak tebal menghalangi pandangannya. Pondok itu hanya terdapat dipan itu dan beratapkan daun kelapa.
Terlihat seseorang mendekat. Dia memakai pakaian putih panjang hingga ke lutut dan memakai selubung menutupi kepala dan wajahnya. Dia memeluk seekor kelinci putih yang terluka. Terlihat luka itu dibalut. Ternyata itu kelinci anak ini.
“Siapa kamu? Kita berada dimana?” tanya Pangeran.
“Siapapun dilarang memasuki hutan ini… termasuk kamu, Pangeran..” kata anak itu.
“Ki… kita di hutan Terlarang?” tanya Pangeran kaget.
“Sekali memasuki hutan ini… Anda tidak bisa kembali…” kata anak itu.
Pangeran menjadi ketakutan.
“Tidak mungkin. Aku Pangeran Marscha…. Pewaris satu-satunya Tahta kerajaan Ninire…. Aku bisa berada dimana saja selama aku mau. Aku akan kembali sekarang.” Pangeran Marscha berudaha turun dari dipan meski dengan rasa sakit yang amat sangat. Tetapi baru saja dia berdiri, kakinya tidak mampu menyanggah tubuhnya.
“Aku perintahkan kamu… bawa aku kembali ke kerajaan. Budi baikmu akan aku balas dengan harta yang berlimpah…” katanya dengan sombong.
Anak itu berlutut. Melepaskan kelinci tadi dari genggamannya. Dia seolah-olah tidak mendengar apa yang diucapkan Pangeran.
“Tidak mungkin.. sayapun tidak bisa keluar dari Hutan ini. Begini saja,…. Kita tinggal disini sementara. Setelah Pangeran sembuh, baru kita mencari jalan keluar…” kata anak itu menghibur. Pangeran terdiam memikirkan perkataan anak itu. Anak itu menyodorkan sesuatu. Itu ikan yang ditaruh di tempurung kelapa.
“Makanlah… Pangeran belum makan selama 2 hari..”
Pangeran Marscha terkejut.
“Dua hari…? Sudah dua hari aku disini?”
“Iya… luka Pangeran cukup serius..” kata anak lelaki itu. Pangeran Marscha menyadari, ternyata anak itu telah merawatnya selama dua hari. Tetapi hatinya terlalu angkuh untuk berterima kasih. Setelah makan, Dia menyerahkan tempurung kelapa itu kepada anak itu. Anak itu memberikan air minum dalam sebuah potongan bambu. Dia meminumnya sampai habis.
“Mau tambah??” tanya anak itu.
Pangeran Marscha menggeleng. Badannya terasa gerah karena dua hari belum mandi. Tapi tidak mungkin dia mandi dalam keadaan luka seperti ini. Seandainya di Istana, dia pasti sudah menyuruh para pelayannya untuk memandikan dia. Pangeran mengibas-ngibaskan tangannya.
Anak itu berjalan menjauh menghilang dalam kabut. Dia kemudian kembali dengan membawa kendi dan beberapa potong kain. Dia mendekati pangeran dan duduk di dipan dibelakang pangeran.
“Biar aku bersihkan badan Pangeran…” kata anak itu. Pangeran begitu kaget dengan perkataan anak itu. Tetapi anak itu sudah mengulurkan tangannya mebuka pakaian pangeran dari belakang. Dia melepaskan ikat kepala, hiasan di leher, baju bagian atas, ikat pinggang, dan celana Pangeran. Kini pangeran hanya memakai pakaian dalam saja. Anak itu menuntun Pangeran untuk berbaring. Dia mengikuti saja. Anak itu memiringkan tubuh Pangeran Marscha berlawanan dengannya. Dibukanya pakaian satu-satunya yang melekat di tubuh Pangeran Marscha, tanpa melihat ‘barang pribadi’ Pangeran Marscha.
“Sopan sekali anak ini..” Batin Pangeran Marscha.
Terdengar gemercik air saat anak itu mencelup kain pembersih. Diusapnya wajah pangeran dari samping. Begitu lembut kulit wajah Pangeran dirasakannya. Anak itu bisa memandang wajah tampan itu, bahkan mengusapnya. Kemudian kearah dagu, leher dan bahu sang pangeran. Pangeran merasakan kenyamanan dengan usapan lembut kain dan kulit tangan anak itu begitu halus. Turun kebagian punggungnya, kemudian ke dadanya. Anak itu menutupi pinggul sang Pangeran sampai tertutup semuanya. Dibalikkannya tubuh Pangeran hingga terlentang. Kini dengan nyaman Pangeran merasakan usapan lembut itu di dadanya hingga ke perutnya. Tubuh atletis berisi namun terawat halus membuat anak itu memalingkan wajahnya saat mengusapnya. Pangeran membuka matanya. Kini dia bisa melihat wajah anak itu yang tertutup selubung dari kain dan hanya matanya yang sedikit terlihat.
“Kenapa Pangeran bisa sampai kesini? Pangeran mencari apa?” tanya anak itu membuyarkan pandangan Pangeran Marscha dari wajahnya. Anak itu terdiam sebentar.
“Aku melakukan kesalahan.. sampai saat ini aku tidak bisa melupakan kejadian itu. Untuk menebus kesalahan itu, aku harus membawa pulang ke istana seekor rusa berkepala tiga…”
Anak itu terkejut. Tangannya gemetaran, dia menyimpan sesuatu tetapi dia menutupinya.
“Rusa itu sudah punah. Tidak ada lagi yang tersisa…”
“Tapi aku melihatnya waktu jatuh dari tebing itu…” kata pangeran yakin.
“Tidak mungkin… anda berhalusinasi..” anak itu meneruskan usapan ke bagian kaki.
Setiap kali anak itu mengusap pahanya dari arah betis kearah paha, pangeran menggerakkan kakinya karena merasakan suatu sensasi. Suatu sensasi yang nyaman. Sesekali tangan halus anak itu menyentuh pahanya, membuat pangeran merinding. Tanpa disadari, sesuatu di selangkangannya membesar. Usianya yang kini berada pada masa puber membuat Pangeran merasakan perubahan ini hampir setiap malam. Dan kini dia merasakan itu. Ditutupinya dengan tangannya agar tidak dilihat oleh anak itu perubahan yang terjadi di daerah selangkangannya. Anak itu terus mengusap bagian kakinya tanpa memperdulikan apa yang ditutupi oleh sang Pangeran. Kini dia membalikkan tubuh Pangeran hingga posisi tengkurap. Kini Pangeran tidak perlu lagi menutupi selangkangannya. Tapi ketika tangan anak itu mengusap bagian pinggulnya kearah paha, Pangeran merasakan sensasi itu lagi. Dan kini dia merasakan sesuatu membesar tapi terjepit oleh tubuhnya. Tersiksa rasanya Pangeran dengan keadaan itu. Namun sesaat kemudian anak itu memakaikan pakaian yang disiapkan anak itu. Pakaiannya mirip yang dipakai anak itu. Tapi dia tidak memakai selubung kain.
Anak itu mengambil pakaian Pangeran dan berjalan menuju kesamping pondok. Ternyata, setelah terbiasa, Pangeran bisa melihat disamping pondok terdapat sebuah sungai yang mengalir tenang. Airnya begitu jernih ditutupi sedikit kabut. Indah sekali pemandangan itu. Di tepi sungai di tumbuhi pohon-pohon yang daunnya berwarna merah dan kekuningan sehingga mirip emas yang bertaburan. Pangeran memandang anak itu mencuci pakaian dan menjemurnya. Kini anak itu kembali menuju ke sungai. Dengan tubuh menghadap ke sungai, anak itu membuka selubung kain yang menutupi kepalanya. Rambutnya ternyata dipotong pendek. Tapi kenapa anak itu menutupi wajahnya? Apa yang disembunyikannya? Batin Pangeran.
Kini anak itu membuka pakaian yang dipakainya. Kulitnya yang putih berkilauan karena pantulan air sungai. Anak itu membuka pakaian bawahnya sehingga dia telanjang membelakangi Pangeran yang melihat anak itu. Tubuhnya direndamkan di air sungai itu. Ah,… nyaman sekali.
Alur ceritanya enak banget.
Sama dengan cerita buterfly dan rocky.
Lanjut...
Sukses slalu
“Kalau sudah sehat, pangeran bisa mandi di sungai itu. Airnya sejuk sekali… aku suka sekali mandi di situ..” Anak itu mulai menunjukkan keakraban.
“Kenapa kamu menutupi wajahmu? Cacat?” tanya pangeran. Anak itu menggeleng.
“Kesalahan apa yang Pangeran lakukan? Hingga pangeran harus mencari rusa bertanduk tiga?” tanya anak itu seakan mengalihkan pembicaraan.
Pangeran Marscha terdiam. Dia kembali teringat peristiwa yang terus menghantuinya sampai sekarang.
“Andai aku bisa ketemu dia lagi, akan aku perbaiki kesalahanku…” kata Pangeran pelan.
Dua hari kemudian, seiring berjalannya waktu, sang Pangeran sudah menjadi akrab dengan anak itu. Terlihat mereka bercanda dengan riang. Tidak terlihat adanya perbedaan derajat disitu. Kini sudah nampak senyuman dan tawa Pangeran, Sesuatu yang dulunya tidak pernah ada dalam hidupnya. Beban yang selama ini dipikulnya sudah hilang lenyap. Bayangan anak pengemis itu sudah hilang.
Pangeran kini sudah bisa berjalan dan menggerakkan tubuhnya. Lukanya sudah sembuh karena dirawat anak itu.
Sore itu sang Pangeran mengajar anak itu memanah. Digenggamnya tangan anak itu dari belakang tubuhnya yang agak mungil. Anak itu terdiam merasakan hembusan napas Pangeran di telinganya, genggaman tangan Pangeran pada kedua tangannya, sentuhan lembut dada Pangeran di punggungnya.. Anak itu merasakan dadanya berdesir aneh.. entah apa yang dirasakannya. Baru kali ini dia merasakan hal seperti itu dalam hidupnya.
“Kita mandi yuk.. kan aku sudah bisa mandi di sungai.. lukaku sudah sembuh…” kata Pangeran dengan bersemangat. Sudah beberapa hari ini Pangeran menahan keinginannya untuk mandi di sungai itu.
“Pangeran saja mandi duluan. Aku mandi nanti saja..” kata anak itu menolak.
“Ayo.. temani aku mandi..” kata Pangeran sambil menarik tangan anak itu. Ditariknya tangan anak itu sampai kepinggiran sungai. Pangeran melepaskan pakaiannya dan turun ke sungai yang dalamnya hanya sebatas pinggang. Anak itu hanya memandang tubuh Pangeran yang padat berisi itu dari belakang. Jernihnya air sungai tidak bisa menutup bagian bawah tubuh Pangeran yang membuat anak itu berdebar. Pangeran menatapnya.
“Ayo.. kemari…” kata pangeran ketika melihat anak itu masih belum membuka pakaiannya.
Anak itu menggeleng. Pangeran menyiram anak itu dengan air sungai dengan kedua telapak tangannya. Anak itu tidak bisa mengelak hingga tubuhnya menjadi basah. Karena basah, maka pakaian yang dipakainya menunjukkan bentuk tubuhnya yang putih mulus. Pangeran menatap anak itu yang belum juga turun ke sungai.
“Ayo turun.. atau aku seret kesini…” kata Pangeran.
Anak itu akhirnya mendekat. Dibukanya pakaian yang dikenakannya. Pangeran menatap anak itu yang perlahan melepaskan pakaiannya. Tubuh anak itu begitu polos. Lehernya, badannya, tangannya, kakinya begitu putih bersinar. Melihat itu, Pangeran merasakan sensasi itu lagi. sesuatu yang berada di selangkangannya mulai bereaksi. Ditutupnya dengan tangan kirinya agar anak itu tidak melihat apa yang terjadi. Anak itu sudah turun ke sungai berhadapan dengan Pangeran. Tapi pembalut wajahnya tidak dilepaskannya. Ditatapnya Pangeran dengan pandangan menusuk.
“Nah begitu…” kata pangeran sambil mengibasakan air sungai dengan telapak tangannya kearah anak itu. Anak itu membalasnya. Kini dengan riang keduanya saling bercanda riang di sungai itu. Sempat sang anak itu terpeleset. Tubuhnya jatuh menimpa Pangeran dari depan. Dengan refleks Pangeran menangkap tubuh anak itu sehingga mereka berpelukan. Keduanya kemudian merasakan sesuatu yang membuat keduanya berdebar. Baru kali ini Pangeran memeluk seseorang dengan telanjang. Begitu juga anak itu. Sekilas ketika anak itu berbalik, terlihat sesuatu yang membuat Pangeran ngeri. Tubuh anak itu terlihat dua bekas luka memanjang di bagian punggung anak itu. Sebuah luka yang serius. Pangeran menarik anak itu mendekat. Dilihatnya lebih dekat bekas luka itu.
“Siapa yang melakukan hal ini padamu…??” tanya pangeran.
Anak itu menggeleng.
“Bilang saja.. nanti kembali keistana, aku akan menghukum orang itu seberat-beratnya.” Kata Pangeran lagi.
Anak itu hanya terdiam.
Setelah mandi, anak itu menyiapkan makanan. Kemuadian dia menyerahkan bungkusan ke arah pangeran. Bungkusan itu berisi pakaian kerajaan Pangeran.
“Aku akan menepati janjiku. Membawa pangeran keluar dari hutan ini..” kata anak itu.
“Ya…aku sudah sembuh.. kita akan kembali ke kerajaan. Kamu ikut aku..” Kata pangeran. Anak itu mengangguk.
Dilepaskannya pakaian yang dikenakan Pangeran dari belakang. Dan dipakaikannya pakaian Pangeran. Dirasakannya lagi tangan lembut itu menyentuh bagian tubuhnya, membuat pangeran memejamkan matanya. Tanpa disadarinya, dia mulai meresapi sentuhan-sentuhan itu di tubuhnya. Pangeran berbalik menghadap anak itu.
“Terima kasih… kamu sudah merawatku, menemani aku, bahkan… bersama denganmu, aku sudah melupakan kejadian yang menghantuiku… kamu penolongku yang sebenarnya.. bukan rusa itu..” Pangeran memegang bahu anak itu.
Anak itu hanya diam tertunduk. Pangeran menarik tubuh anak itu dan memeluknya. Anak itu merasakan debaran di dadanya makin keras.
“Kamu sudah kuanggap sahabatku… kamu akan tinggal bersamaku di Istana..”
Anak itu hanya mengangguk pelan mendengat perkataan pangeran.
“Bagaimana cara kita keluar dari hutan ini…??” tanya pangeran.
“Ikut aku, pangeran…” Kata anak itu sambil berjalan kearah sungai. Dia mengeluarkan sesuatu dari rerumputan di tepi sungai. Itu sebuah rakit yang terbuat dari bambu.
“Sebentar lagi air sungai ini naik. Rakit ini akan membawa Pangeran sampai ke hulu sungai di perbatasan kerajaan. Disana banyak nelayan yang menangkap ikan. Mereka pasti menolong Pangeran…” Anak itu menjelaskan.
“Berpegangan erat jangan sampai jatuh..” anak itu mengingatkan.
“Tunggu dulu… kamu ikut aku kan?” tanya Pangeran. Anak itu menggeleng.
“Kenapa??” tanya Pangeran heran.
“Tempatku disini.. aku tidak bisa bergi..”
Pangeran menatap anak itu. Meninggalkan anak ini, membuat hatinya tidak nyaman.
“Tidak… kamu harus ikut.. kalau tidak aku juga tidak akan pergi dari sini…” kata Pangeran tegas. Terlihat anak itu berpikir.
“Baiklah…” kata anak itu. Kini air sungai mulai meninggi. Rakit itu kini mulai mengapung. Pangeran dan anak itu menaiki rakit itu.. dengan perlahan, makin lama makin cepat arus sungai membawa rakit itu. Anak itu menatap Pangeran dengan pandangan menusuk. Rakit makin meluncur dengan cepat.
“Maaf, Pangeran…. Sampai disini…” anak itu melompat keluar dari rakit. Pangeran yang bermaksud menangkap tangan anak itu kalah cepat. Kini anak itu berenang ke tepi sungai. Kain pembalut wajahnya terbuka. Anak itu berlari mengikuti arah rakit yang semakin menjauh dari tepi sungai.
“Ingat, Pangeran…. Berpegangan erat.. jangan jatuh…” teriak anak itu.
Ditatapnya wajah anak itu yang berlarian di tepi sungai. Mata itu,…. Wajah itu… membuat Pangeran pucat pasi dan tak bisa bicara apa-apa..
“Aku sudah memaafkan Pangeran…. Jangan dipikirkan lagi yah… kita sahabat..selamanya..” teriak anak itu.
Tanpa bisa melepaskan pandangannya, Pangeran Marscha merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakan seumur hidupnya. Dia menangis..
Orang yang selama ini dicarinya, ternyata sudah bersamanya selama ini. Tanpa kata maaf, dia sudah memaafkan… kini hatinya merasakan suatu kehilangan melebihi dari harta yang dia miliki.. ternyata luka anak itu, bekas cambukan darinya… dan cambukan itu dibalasnya dengan merawat lukanya… dibalas dengan kasih sayangnya…
Dipandangnya anak itu yang sudah menjauh. Bibirnya masih terkatup rapat. Hanya bisikan yang terdengar diantara kabut yang semakin menutup..
“Aku akan kembali menjemputmu.. sahabatku…”
Tamat?
(Kalo tamat sampai disini gimana ya? Ada yang protes gak? Kalo nggak… yah gw tamatin aja… biar bisa nyambung nulis “Fallen Butterfly” setuju?)
Contact YM : revengelqq
Temanya lain dari yang lain.
Lanjutin ya qq..Please
usul nih kalo bisa alur ceritanya agak lambat ya biar bisa panjangggggg ceritanya
lo bisa memainkan emosi pembaca melalui cerpen lo
ttp nulis
pasti gw baca selalu karya lo!
smangat!
u never will be alone