Belajar adalah kebutuhan, bukan hanya bagi si anak, melainkan juga bagi bangsa. Tapi sebagian anak memiliki keterbatasan tertentu untuk bersekolah di sekolah konvensional. Einstein kecil, misalnya, adalah seorang anak dengan keterbatasan tertentu. Sehingga ia dikeluarkan dari sekolah.
Agar peristiwa di DO-nya Eintein tidak terulang, maka saat ini mulai tumbuh pemikiran tentang sekolah alternatif. Salah-satunya adalah homeschooling alias sekolah rumah. Beberapa contoh dari kalangan selebriti seperti Nia Ramadhani, Kak Seto, dan Neno Warisman memilih alternatif ini.
Pakar pendidikan, Prof.Dr. Arief Rahman, mengatakan bahwa kelebihan homeschooling adalah proses belajar yang berdekatan dengan orang tua. Aslinya, yang mengajar homeschooling memang orangtua, bukan guru privat.
Hal ini sesungguhnya sangat mendasar, sangat filosofis. Karena dalam Quran pun dikatakan bahwa orangtua-lah yang bertanggungjawab atas pendidikan anaknya. Dan kewajiban itu bukanlah sekedar membayar SPP, ‘kan?
Banyak kalangan yang berpendapat bahwa metode homeschooling bisa menghambat potensi sosial anak. Karena anak diasumsikan akan kurang bergaul, kurang belajar bersosialisasi, kurang belajar menerima pendapat orang lain lain, atau kemahiran bekerja-sama.
Asumsi tersebut jelas keliru. Karena anak homeshooling justru secara khusus didesain untuk belajar dan mempraktekkan bagaimana bermasyarakat secara baik dan benar. Homeshooling adalah kegiatan belajar di manapun, kapanpun, dan dengan siapapun.
Namun praktisi homeschooling Harmonis, Nur Adi Setyo mengakui, bagian tersulit dari proses homeschooling adalah pelibatan orangtua. Padahal orangtualah yang paling menentukan keberhasilan homeschooling yang sebenarnya.
“Pendidikan, terutama peletakan dan pembangunan tata-nilai, pada dasarnya berpusat di rumah,” katanya. Karena itu, Homeschooling Harmonis secara berkala mengundang para orangtua selaku mitra pengajar. Biasanya pertemuan berlangsung hari Minggu.
Ada anak yang bercita-cita ingin jadi psikolog, misalnya, maka dia merasa tidak perlu untuk belajar kimia dan fisika. Masalahnya, target kurikulum tak dapat diabaikan begitu saja. Maka homeschooling menyiasati dengan model pembelajaran interaktif.
Ketika belajar membuat tempe goreng, misalnya, siswa belajar bahwa kandungan air dalam adonan pembungkus tempe menjadi kering dan habis sama-sekali pada suhu sekian; zat apa yang membuat gorengan menjadi garing, dsb.
Sehingga peserta homeshooling akhirnya bisa mengikuti ujian kesetaraan, dan mempunyai ijazah. Itu diakui pemerintah. Contoh lain ketika anak belajar menanam. Kita ajak ke ahlinya seperti ke Ciawi, sekalian outbond. Mereka belajar cara menanam. Besoknya kita evaluasi, mereka begitu antusias sehingga bisa menulis berlembar-lembar.
Orangtua bisa mengajar anak sejak bangun tidur dan kapan pun anak mau belajar. Sehingga belajar bukan lagi merupakan kewajiban melainkan sudah menjadi kebutuhan anak. Mereka mendapat modul dan modul pembelajaran untuk orang tua.
Jadi dalam hal ini orang tua terjun langsung. Kalau orangtua kekurangan informasi akademis, mereka bisa panggil tutor. Alokasi waktu bisa lebih banyak, dan belajar sangat menyenangkan buat mereka karena memang didasari oleh kebutuhan.
Tapi kalau kedua orangtua bekerja maka lebih baik ke homeshooling komunitas. Sifatnya tutorial. Dalam hal ini mereka mesti hadir di kegiatan komunitas.
Pendidikan bukan hanya soal menambah ilmu-pengetahuan di segala bidang, namun ada hal yang perlu juga seperti interaksi dengan kawan-kawan lainnya.
Sosialisasi anak-anak homeshooling begitu terjaga. Kita mengajak mereka ke pasar. Kita perkenalkan juga kepada anak-anak pasar. Lalu kita bawa juga mereka ke alam terbuka dan ke rumah singgah. Yang paling penting juga adalah kita memberikan kemandirian, yaitu dalam belajar dan mengambil keputusan. Kita juga memberikan wawasan mengenai kewirausahaan. Jadi sejak dini mereka sudah dilatih bagaimana bisa bermanfaat bagi orang lain.
Kalau lingkungan untuk pendidikan formal temannya hanya itu-itu saja. Hari ini ketemu si A dan besoknya ketemu si A lagi karena satu lingkup sekolah.
Menyimak sejarah Ki Hajar Dewantoro, ternyata tak satu pun anaknya masuk sekolah Belanda. Mereka homeschooler. Ketua BEM UI yang sekarang juga mantan homeshooler. Di luar negeri ada homeshooler Bill Gates dan Thomas Alfa Edison.
Di Indonesia ada homeschooling paket A setara dengan Sekolah Dasar (SD), paket B setara Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan paket C setara Sekolah Menengah Atas (SMA).
Homeschooling memberikan masing-masing peserta didik kebebasan memilih pelajaran, tapi tidak terlepas dari kurikulum. Karena di ujung sana ada ujian kesetaraan.
Seorang remaja yang merasa tidak nyaman di kelas dua sekolah formal, misalnya, dapat pindah ke kelas tiga di homeshooling. Karena berdasarkan prinsip Diknas, homeshooling adalah multientri dan multiexit. Mudah masuk dan mudah keluar. Legalitasnya sudah dijamin pemerintah.***
Alandra