It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Orang boleh berpendapat seperti apa saja. Dan kita musti menghargai apapun pendapatnya orang.
***
Dah lama gw ga masuk BF. Makin seru aja ceritanya.... Lanjuuut
Saya kirim PM, tolong dilihat inboxnya.
duh... duh.... gawat nih :shock: :shock: :shock:
bisa terbongkar identitas gw.
Ssssst.... de, jangan buka-buka disini dong :evil:
Rencana semula aku balik ke Parung hari Jumat seperti janjiku pada Nicky. Tetapi karena ada Ganef, ibuku memintaku untuk menemaninya sampai kedatangan keluarganya kembali ke Bontang, sehingga kutunda keberangkatanku sampai hari Minggu. Itu berarti aku harus lewat darat ke Balikpapan, karena hari Minggu tidak ada penerbangan Bontang – Balikpapan.
Selama dua hari itu aku mengajak Ganef keliling kota Bontang, sekalian melihat rumah keluarganya. Bontang adalah sebuah kota yang tidak terlalu besar tapi cukup moderen, terletak hampir dekat dengan garis khatulistiwa. Tanahnya berbukit-bukit, sehingga jalan aspal disana jarang ada yang datar, selalu naik dan turun. Dua perusahaan besar milik pemerintah di kota itu yang menyebabkan Bontang menjadi hidup. Seandainya tidak ada kedua perusahaan itu, maka Bontang hanyalah sebuah kampung yang mayoritas penduduknya adalah nelayan. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, masih banyak bule2 berkeliaran di hall dan community centernya, itu pula yang menyebabkan pembayaran gaji di kota ini lebih didasarkan kepada dollar US, bukan rupiah. Mudah sekali mencari uang di kota ini, tetapi mudah juga uang itu menjadi habis, karena barang-barang yang dijual serba mahal.
Baru-baru ini Balikpapan dinobatkan menjadi kota termahal di Indonesia menurut hasil survey Mercer Indonesia. Aku tidak mengerti kenapa Bontang tidak dimasukkan ke dalam daftar itu, padahal biaya hidup di Bontang lebih tinggi daripada di Balikpapan. Ganef sendiri kaget setelah kuajak keliling Bontang.
Sabtu sore, aku mengajaknya ke perkampungan di atas laut, yang dikenal dengan nama Bontang Kuala. Sebuah tempat yang unik, mungkin tempat seperti itu hanya ada di Bontang dan Balikpapan. Letaknya benar-benar berada di atas laut, semua bangunan yang terdiri dari perumahan, tempat ibadah, kantor pemerintahan dan fasilitas umum lainnya dibangun diatas papan ulin yang disusun rapi diatas balok-balok gelagar ulin yang ditancapkan ke dalam laut. Jalanan utama kampung itu tersusun dari papan ulin juga, menjorok ke laut sepanjang kurang lebih satu kilo meter. Jadi kalau kita berjalan diatasnya, maka seolah-olah kita sedang berjalan menuju ke tengah laut. Perumahannya cukup padat, rata-rata pekerjaan mereka adalah nelayan, pengolah ikan kering, pedagang ikan dan pengusaha rumah makan.
“Apa ga takut rumah mereka akan roboh tiba-tiba? Kayunya kan lama kelamaan akan lapuk terkena air.” Ganef takjub melihat pemandangan itu.
“Itulah uniknya kayu ulin. Semakin kena air, maka akan semakin kuat. Berbeda dengan jenis kayu yang lainnya. Perumahan ini saja umurnya mungkin sudah lebih dari lima puluh tahun.” Aku menjelaskan.
“Dan jangan kaget, Nef, kalau kamu lihat isi rumah mereka. Lengkap sekali, mungkin lebih lengkap dari rumah orang tuaku. Coba lihat parabola yang terpasang di beberapa rumah itu.” Aku menambahkan sambil menunjuk ke arah parabola yang terpasang di sebuah rumah tembok yang dibangun diatas papan ulin.
Ketika sampai di ujung jalan, Ganef mengajakku makan di sebuah warung makan di atas laut, pengen nyoba katanya. Kalau di Bandung atau Jakarta, makan di warung seperti itu paling hanya menghabiskan sepuluh ribu sampai lima belas ribu rupiah saja untuk setiap porsinya. Nah, waktu itu dia sok mau mentraktir aku, sehingga setelah makan kubiarkan saja dia membayar makanannya. Aku sempat malu sama si pemilik warung, ketika Ganef protes dengan harga yang harus dia bayar. Aku cepat-cepat keluar dan menjauh dari warung, kubiarkan dia menyelesaikan sendiri keributannya dengan pemilik warung.
Dia meneruskan omelannya setelah keluar dari warung itu. “Gila!! Masa makan segitu aja hampir delapan puluh ribu?” katanya sambil menggaruk-garuk kepala.
“Makanya kita makan di rumah aja…. Udah gratis, lebih enak lagi daripada di warung.” Kataku sambil tertawa.
“Iya, kita pulang aja, Kang. Tau gitu saya ga ngajak makan di warung. Jadi ga enak body nih, bikin bisulku jadi tambah nyut-nyutan aja.” Sepanjang jalan kayu itu Ganef tak berhenti ngomel, menyumpah-yumpah si pemilik warung. Ketika sampai di parkiran Ganef langsung memboncengku pulang. Sejak semalam dia menolak untuk duduk di belakang, bisulnya jadi terasa sakit katanya kalau dibonceng.
Begitu sampai di kamar, tanpa malu-malu Ganef langsung membuka celananya berikut cd-nya dan duduk di tepi ranjang memeriksa bisulnya. Yah, itulah Ganef. Baginya hidup itu ga perlu ada yang disembunyikan. Tiga hari aku bergaul akrab dengan dia, sepertinya aku sudah tahu hampir seluruh kehidupannya, keluarganya, kebiasaan-kebiasaannya, kisah-kisah lucunya, kejailan-kejailannya, foto pacarnya, tipe cewek yang disukainya, bahkan berapa sisa uang yang dia punyai sekarang. Kalau dia sudah bercerita, sepertinya tidak akan berhenti kalau tidak karena mengantuk atau alasan lain yang lebih penting. Keceriaannya mengalihkan aku dari pikiran-pikiran jelekku tentang Nicky.
“Sepertinya sudah mau pecah nih, Kang”
Aku mengunci pintu kamarku, supaya tidak ada yang bisa masuk tanpa mengetuk pintu. Kemudian aku menghampiri Ganef yang sedang duduk menundukkan kepala sambil memijit-mijit bisulnya. Hair pubic-nya dicukurnya habis, mengikuti saranku supaya salep hitamnya bisa lengket di kulit.
“Iya, sudah matang itu. Dipijit aja, Nef, keluarkan mata dan nanahnya, terus sampai keluar darah merah.” Aku berjongkok didepan Mr. P-nya.
Ganef mulai memijitnya agak keras, tapi kemudian aku mencegahnya. “Ntar dulu, Nef. Jangan disitu, nanti nanahnya kena kasur. Bisa bisulan juga aku nanti…..hehehe. Bentar, kuambilkan dulu alas.” Aku mengambil handuk besar dari lemari, tisu, kapas dan air hangat. Kuhamparkan handuk besarku di karpet, lalu kusuruh dia duduk diatasnya.
Mengeluarkan mata bisul sendiri memang memerlukan kekuatan nyali. Rasa sakit akibat pembengkakan biasanya membuat ragu untuk menyelesaikan pekerjaan itu dengan cepat. Setiap aku bisulan, pasti aku minta bantuan orang lain untuk mengeluarkannya, karena kalau aku sendiri yang melakukannya pasti tidak akan tuntas karena rasa sakit yang tak bisa kutahan. Begitu juga dengan Ganef, dia terlihat ragu2 menekan-nekan sekeliling mata bisul, hampir sepuluh menit dia melakukan itu, tetapi mata bisulnya tidak pecah juga. Tak sabar rasanya aku ingin menekan bisul itu sampai pecah.
“Jangan ragu2, Nef. Yang keras nekannya. Udah mateng tuh, tinggal ngeluarin aja.”
Dia malah menghentikan aktivitasnya. “Sakit, Kang…., akang sih ga ngerasain.” Katanya sambil memandangku. Aku tertawa, “Iyaa, aku juga tau, pasti sakit, tapi kalau cuman digituin aja, ya kapan keluarnya?”
“Akang aja deh, yang ngeluarin, ga berani saya.” Katanya sambil kemudian berbaring di atas handuk, pasrah.
“Tarik kausnya ke atas supaya ga kena nanah.” Kataku. Ganef bukannya menggulung kausnya keatas, tapi malah membuka kaus itu dan melemparnya ke atas ranselnya. Lalu dia berbaring lagi telentang dan telanjang bulat di atas hamparan handuk. Aku jadi geli sendiri melihatnya dengan posisi seperti itu, kok aku jadi kayak perawat sih? Waktu itu Nicky, sekarang Ganef. Apa ini gara2 cita-citaku jadi dokter ga kesampaian?
Aku duduk disampingnya dan mulai meraba pembengkakan bisulnya. Ganef mengaduh pelan. Setiap kuraba, pasti keluar aduhannya. Sempat lain-lain pikiranku, karena jari-jariku secara otomatis menyentuh rambut2 pendek di sekitar bisulnya itu. Dan karena letaknya berada di selangkangan, tak sengaja (mungkin juga waktu itu aku memang sengaja) tanganku juga menyentuh pangkal batangnya yang tergolek pasrah. Tapi karena kulihat Ganef seperti menderita, kupaksakan pikiranku untuk tetap fokus mengeluarkan bisulnya.
“Tahan ya, Nef.” Kataku sambil jari-jari kedua tanganku menekan keras bisulnya.
Ganef berteriak agak keras, sambil menekukkan kedua lututnya. Tapi usahaku lumayan berhasil, sebab terlihat mata bisul yang putih itu keluar, seperti lahar yang keluar dari sebuah gunung yang meletus. Kuluruskan lagi kedua kaki Ganef yang telanjang itu, lalu kulanjutkan pijatanku untuk mengeluarkan, nanah, cairan bening dan darahnya. Ganef terus mengaduh sambil tangan kirinya memegang lututku, menahan sakit. Nanah dan darahnya kemudian berceceran di perut, paha dan Mr. P-nya.
Setelah aku yakin bahwa tidak ada lagi yang perlu kukeluarkan, kubersihkan semuanya dengan tissue dan air hangat. Ganef tetap berbaring sambil mengatur nafasnya, matanya terpejam. Lagi-lagi karena memang dasarku adalah homo, ya pada moment terakhir itu tanganku tidak bisa kukendalikan, dengan dalih membersihkan tubuhnya dari nanah dan darah, gerakan tanganku kadang-kadang menjadi elusan di bagian2 yang memang selalu ingin kusentuh.
“Sudah bersih, tinggal dikasih plester. Insya Allah sembuh.” Aku bangkit berdiri menuju kamar mandi untuk mencuci tanganku. Sebenarnya aku masih ingin duduk disampingnya. Tapi aku tidak ingin memberi kesan jelek, jadi kupaksakan diriku untuk meninggalkannya.
Setelah selesai mencuci tangan, aku keluar lagi dari kamar mandi dan kulihat Ganef masih berbaring telentang diatas handuk, matanya masih terpejam. Lho, kok malah tidur? Tanyaku dalam hati.
“Bangun, Nef! Kalau mau tidur jangan disitu. Tutup dulu lukamu dengan perban, biar ga infeksi!” Ganef tidak bereaksi. Kulihat nafasnya teratur panjang, seperti orang yang sedang tidur nyenyak. Lah, kok malah tambah nyenyak tidurnya. Aku berdiri lama mengamati tubuh indahnya yang telanjang. Akhirnya kugoyang-goyang bahunya untuk membangunkannya.
“Nef, bangun, Nef!” tapi tetap tidak ada reaksi darinya. Kemudian aku menggoyang lagi lebih keras sambil memanggil-manggil namanya. Ketika kembali tidak ada reaksi darinya, aku malah takut dan agak panik, teringat pada seorang sepupuku yang pingsan ketika bisulnya dipijat paksa oleh ayahnya.
Aku termenung sebentar, kemudian kuulangi lagi usahaku untuk membangunkannya. Karena tetap tidak ada reaksi, kuangkat tubuh telanjang itu untuk dipindahkan ke atas kasur. Bingung aku setelah itu, tidak tahu harus berbuat apa. Jadi aku diam saja, sambil mengamatinya. Perutnya naik turun teratur menunjukkan bahwa dia masih bernafas dengan baik, jadi aku tidak terlalu khawatir.
Mengamati tubuhnya yang indah itu membuatku berfikir nakal. Mumpung dia lagi ga sadar, kesempatan bagus pikirku. Aku bisa berbuat apa saja saat ini, toh bukan aku yang menelanjanginya. Ibarat makanan lezat yang sudah tersaji di piring, tinggal melahap saja.
Tapi ketika dorongan itu semakin kuat, aku bimbang, teringat bahwa sekarang ini aku berada di rumah. Tempat dimana ibuku selalu mengisi hari-harinya dengan mengaji, dengan ibadah-ibadahnya yang tidak pernah berhenti. Ah, betapa jeleknya aku sebagai anaknya, kalau aku mengotori rumah ini dengan perbuatan nista. Tidak! Aku tidak ingin seperti itu. Jadi kubatalkan niatku, kututup tubuh telanjang Ganef dengan selimut tebal.
Tiba-tiba saja terfikir untuk menelepon adikku di Bandung, untuk meminta sarannya. Sebelum aku turun dari ranjang untuk mengambil ponsel, kucoba lagi menggoyang bahunya, kali ini aku tambah dengan menepuk2 pipinya agak keras. Tiba tiba saja tangannya bergerak cepat memegang lenganku, matanya terbuka, dan dia tertawa ngakak. Aku terkejut. Hah, aku dikerjain rupanya.
“Sialan kamu, Nef. Bikin aku panik aja.” Kataku sambil memukul tangannya. Ganef masih tertawa keras. Dasar jail, ingin sekali kubalas perbuatannya itu, tapi aku tidak tau harus seperti apa aku harus membalasnya. Di dalam hatiku ada perasaan lega, untung tadi aku tidak melakukan hal2 yang buruk, betapa malunya aku kalau itu sampai terjadi. Aku duduk terdiam di tepi ranjang.
“Marah ya Kang?” katanya sambil memelukku dari belakang, tapi sambil masih tertawa. Duh, ni orang, sudah tadi bikin kesal, sekarang pake peluk-pelukan lagi, bikin aku horny aja. Aku kemudian tertawa dan berdiri meninggalkannya.
“Mandi dulu ah, dah maghrib.” Aku menuju kamar mandi.
“Bareng aja mandinya, Kang.” Katanya sambil loncat dari tempat tidur.
Selalu ada maaf dari Bunny untuk lo.
Btw, gw dah PM lo, buka ya....
“Hah! Ngga ah....., kamu aja duluan kalo gitu.” kataku sambil mundur dari pintu kamar mandi. Enak aja bagi dia yang sudah biasa mandi di tempat umum, tidak akan terpengaruh oleh ketelanjanganku. Bisa dibayangkan betapa repotnya aku kalau harus mandi telanjang bareng Ganef. Pasti tersiksa setengah mati menahan diri untuk tidak terangsang. Sekarang aja melihat dia telanjang bulat seperti itu, aku sudah setengah mati untuk menahan diri.
“Yaah..... akang, bareng aja deh, kan seru, bisa sambil gosok2an punggung.” katanya. Iya seru disitu, tapi tersiksa di aku, batinku. Tapi aku cuman tertawa sambil menuju ke pintu keluar kamar.
Malam itu setelah makan malam, kami mengobrol lagi di kamar. Sebenarnya lebih tepat kalau dikatakan Ganef bercerita, dan aku mendengarkan, karena memang obrolan kami biasanya lebih banyak didominasi oleh dia. Kali itu topiknya adalah film Indonesia yang kembali menguasai bioskop-bioskop di Indonesia. Beberapa minggu sebelum ke Bontang, dia sengaja bermalam di Bandung untuk menonton film Heart, film yang sedang booming waktu itu dengan lagu soundtracknya yang selalu terdengar dimana-mana. Meskipun aku hafal lirik dan melodi lagu itu, aku sendiri belum sempat menonton filmnya ketika itu, karena judulnya yang kurang membuatku tertarik, agak cengeng menurutku, dan pemainnya juga tidak ada yang membuatku terkesan. Berbeda ketika film Ada Apa dengan Cinta dirilis, aku menontonnya sampai berulang kali di Bandung, sangat terkesan dengan permainan apik dan kecantikan Dian Sastro dan terutama juga karena Nicholas Saputra yang good looking.
Diakhir obrolan tentang film itu kemudian Ganef menyanyikan lagu My Heart dengan suaranya yang merdu. Karena terpancing, aku kemudian menyambung nyanyian itu, seolah-olah aku adalah Irwansyah dan Ganef adalah Acha. Kami menyanyikannya sampai selesai. Sayang sekali gitarku kutinggal di Parung, jadi lagu itu terdengar seperti acapella saja. Di rumah, yang suka gitar cuman aku seorang. Kakakku orangnya serius, ga tertarik musik. Adik cewek lebih tertarik ke organ, sedang adik cowokku – si bungsu lebih suka pada bidang olah raga.
Ketika berdiskusi tentang film bioskop, dari tadi aku teringat sesuatu yang kemudian kuhubungkan dengan niatku untuk membalas perbuatan jahilnya tadi sore. Jadi setelah selesai menyanyikan lagu My Heart, aku langsung saja melancarkan niatku itu.
“Nef, dulu waktu aku di Bandung, pernah ada satu kejadian memalukan di Bioskop.”
Ganef tertarik, langsung bertanya :”Kejadian apa tuh?”
“Waktu itu kan aku sedang ngantri tiket, di depanku berdiri seorang laki-laki umur tiga puluhan.” aku berhenti sebentar, berakting seolah-olah sedang mengingat-ingat kembali kejadian itu.
“Terus.....?” Ganef ga sabar menunggu kelanjutannya.
“Iya, antriannya cukup panjang. Jadi aku cukup lama berada di belakang orang itu. Waktu dia sampai di depan loket karcis, tiba-tiba dia seperti kebingungan mencari-cari sesuatu di saku celananya. Aku diam saja karena ga tau juga apa yang sedang dicarinya.”
“Pasti duitnya ilang ya?” Ganef menebak.
“Iya, karena tiba-tiba dia bilang, hah, mana dompetku? Dia bilang begitu sambil melihat ke lantai dan sesekali melirik aku. Aku jadi ga enak, karena aku dari tadi berada di belakangnya.” Aku berhenti bercerita dan menghela nafas, seolah menyesali kejadian itu.
“Pasti akang yang dituduh ya?” tanya Ganef.
“Bener banget...., orang itu langsung melihatku, dan bilang : 'Mana dompet saya? Jangan macem2 ya! Tentu saja aku marah, dan kubilang 'eh, jangan sembarangan nuduh pak, mana buktinya?' Tapi dia tetep aja ngotot kalau aku yang mengambil dompet itu, alasannya adalah hanya aku yang berada di belakangnya dari tadi. Aku langsung saja keluarkan seluruh isi sakuku, dan aku bilang sekali lagi bahwa bukan aku yang mengambilnya.”
“Waktu itu banyak orang yang liat, ya?” Ganef terus bertanya penasaran.
“Ya, iyalah, malunya aku waktu itu, semua orang melihat aku dituduh sebagai pencopet. Mana waktu itu aku sendirian saja, ga bawa temen. Dan orang itu, meskipun aku sudah keluarkan isi kantongku, tetep yakin bahwa aku yang ngambil dompetnya. Dia bilang bahwa pasti dompetnya diserahkan kepada temanku sesama pencopet. Jelas saja aku marah, dan orang2 di belakangku juga marah karena tertahan untuk membeli tiket.”
“Orang apa sih dia?” tanya Ganef.
“Ga tau lah, sepertinya sih orang sunda juga, tapi agak kasar gitu. Dan karena kami terus ribut-ribut, datanglah dua orang petugas keamanan, mereka menarik kami keluar dari antrian dan mengajak kami masuk ke kantornya bioskop. Awalnya aku ga terima, karena aku juga mau mengantri membeli karcis. Tapi setelah kulihat semua orang melihatku, kuputuskan untuk mengikuti permintaan satpam itu. Bayangkan deh, waktu itu aku berjalan diiringi oleh petugas keamanan seperti orang pesakitan dan dilihat oleh orang se bioskop.”
“Malu banget, pasti. Kurang ajar orang itu, mustinya dihajar aja. Trus gimana kelanjutannya?” Ganef menunjukkan simpatinya.
“Di kantor, orang itu tetep ngotot bahwa aku yang ngambil dompetnya, dan aku juga terus ngotot bahwa ga ada bukti bahwa aku yang mengambilnya. Kami sama-sama berkeras, sampe2 hansipnya kewalahan.” Aku berhenti bercerita sambil menghela nafas lagi.
“Nah, ketika sedang seru-serunya bertengkar, tiba-tiba masuk seorang wanita menuntun anak kecil. Wanita itu ternyata istri dari orang itu, kemudian bertanya :'Ada apa Mas?”, dijawab oleh si suami :'dompetku ilang, kayaknya dia yang ngambil, tapi ga mau ngaku.' Si istri langsung bilang :'hah? Dompet Mas ilang? Ntar dulu... ntar dulu.' katanya sambil membuka tas dan mencari-cari sesuatu'.” Ganef memantengkan tatapannya kepadaku, mulutnya membentuk huruf o kecil, terlihat seperti anak kecil yang sedang menunggu kelanjutan cerita.
Aku bernafas dulu agak panjang, setelah itu kulanjutkan :”Lalu wanita itu mengambil sesuatu dari tas :'Lah ini dompet Mas, tadi kan dititip ke aku?' Melihat itu aku langsung lega, dan kulihat laki-laki tadi terlihat seperti malu.”
“Habis itu gimana Kang? Bagusnya ditinju aja tuh orang sama Akang.” Ganef terbawa emosinya.
“Aku sih diam saja, tapi si satpam itu yang bilang begini : 'lain kali pak jangan sembarang tuduh orang, bisa dituntut loh pak, karena mencemarkan nama baik orang di depan umum.' Orang itu lalu meminta-minta maaf kepadaku. Lantas aku bilang begini :'Minta maaf sih gampang pak, dan gampang saja saya maafkan bapak. Tapi bapak bisa ga menghilangkan rasa malu saya karena dituduh di depan orang banyak? Malu saya pak, malu banget.... Saya ga terima bapak memperlakukan saya seperti itu.”
“Hahahaha...., bener banget.... orang itu memang musti dibuat begitu.” Kata Ganef. Nampak sekali Ganef seperti terlibat dalam cerita itu, karena tangannya kadang mengepal seperti marah dan bertepuk tangan pada bagian cerita yang terakhir.
“Orang itu lantas mengeluarkan uang dari dompetnya dan bilang begini : 'Sudahlah de, maafkan saya, terus terang saya bingung harus bagaimana, tapi terima aja ini sebagai permohonan maaf saya.' lalu dia menyodorkan selembar uang seratus ribuan.”
“Terima aja, Kang, kan lumayan tuh.” Kata Ganef sambil mengepalkan tangannya, seolah-olah peristiwa itu sedang berlangsung saat itu.
“Hah, apa? Diterima? Tentu saja aku ga mau. Aku bilang begini : 'memangnya dengan uang seratus ribu, rasa malu saya bisa hilang pak?' Orang itu jadi bingung, terus dia melihat ke istrinya, dan kembali mengambil uang lagi dari dompetnya, jadi tiga ratus ribu. Kemudian si istri yang bilang : 'De, maafkan suami saya ya... terima saja uang ini sebagai permohonan maaf kami kepada Ade.' Aku luluh juga mendengar suara istrinya yang lembut. Terus juga kupikir2 lumayan juga nih tiga ratus ribu.”
“Hahahaha, matere juga si Akang ini ternyata............. terusnya gimana, Kang?” Ganef menunjukkan muka cerah, tapi masih kelihatan penasaran.
“Akhirnya kuputuskan saja untuk terima uang itu. Tapi pas aku mau ngambil uang itu, tiba-tiba badanku seperti digoyang-goyang............, seperti ada suara di dekatku : 'A......, A......, bangun A sudah siang nih.' ...... ternyata aku mimpi Nef.” Aku mengakhiri ceritaku sambil tertawa puas.
Sejenak Ganef bengong mendengar akhir ceritaku, tapi kemudian dia tertawa ngakak sambil berulang-ulang mencoba meninju dadaku. Aku menahan dadaku dengan kedua tanganku.
“Sialaaaaaaan!...... sialaaaaaan!..............., tega banget nih akang nipu saya? Tega......... tega.....”
“Gantian Nef, makanya jangan suka ngerjain orang.” Kataku sambil terus tertawa puas.
“Kok, bisanya ya saya tertipu? Sampe pake usul-usul segala...” Katanya sambil menggeleng2kan kepala sambil menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal. Rupanya Ganef masih penasaran, karena kena kukerjai.
Yah, malam itu adalah malam terakhir aku bersama dengan Ganef. Kuhabiskan sisa malam itu dengan terus bercerita dan bercanda. Entah kapan aku bisa ketemu lagi dengan dia? Karena keesokan harinya aku pagi2 betul harus meninggalkannya menuju ke Balikpapan. Ganef sendiri masih tinggal di rumahku sampai sore hari Minggu itu, menunggu kedatangan keluarganya dari Jakarta.
Meskipun hanya empat hari, tetapi kesan yang ditinggalkannya cukup kuat melekat dalam ingatanku. Ganef yang ganteng, Ganef yang lucu serta ceria, Ganef yang jahil dan Ganef yang ga tahu malu.
kok gw ga ikutan di pm T.T
*ngarep
Tp gw ttep ga bs ngerti,knp dia ga ada sungkan2ny tlanjang d dpn org yg br ktmu bbrp jam. Beda adat dan kbiasaan sih ya.
Btw,bunny ngajar apa yah?
"""Bagus sekali, pengendalian diri yg baik"""""