BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

(Calon)Novelku: Minta Komennya ya...

edited January 2009 in BoyzRoom
#1
Rela-‘sex’-ionship




Men around You: Do You Know Them Exactly?

Lihatlah daerah sekeliling anda ketika sedang menyusuri jalanan protokoler Sudirman yang dipenuhi oleh jejeran bangunan yang menjulang tinggi—tempat para manusia sedang memperjuangankan karier-nya, atau kafe yang bergelimang cahaya, serta mall yang semakin lama semakin menjamuri kota Jakarta. Anda akan menemukan banyak lelaki-lelaki berpakaian necis selayaknya para eksekutif muda—berkemeja garis-garis keluaran teranyar dari sebuah rumah mode internasional, bercelana katun, kadang diberi aksen jas, sweater, syal atau cardigan, mengenakan sepatu hitam licin seperti habis disemir, keluar-masuk mobil yang wah (meskipun mobil milik kantor)—setidaknya, mungkin ketampanan mereka akan membuat anda berpikir dua kali bila ingin mengatakan bahwa mereka sulit untuk mendapat jodoh. Perempuan mana yang tidak rela mengantri di belakang tubuh atletis mereka demi meraih hati sang pangeran pujaan? Mungkin anda, para wanita yang punya gen nekad besar dalam diri anda akan bertanya pada mereka, “Are you still single?” .
But…wait a minute, jika jawabannya mereka masih jomblo, bukan berarti mereka punya potensi untuk dijadikan pacar atau bahkan, calon suami. Soalnya, mereka bukan pasangan yang cocok buat para perempuan yang menginginkan komitmen berumah-tangga. Pasalnya, mereka memang tidak berniat untuk terperangkap dalam penjara rumah. Dan alasannya, bukanlah seperti para perempuan di negara maju yang memang ingin stay single without marriage. Lelaki-lelaki itu bukan Samantha Jones dalam serial Sex and The City.
Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah they are gays! Dan banyak di antaranya yang mungkin mengaku single di depan umum, bukan karena untuk sekedar menutupi status gay mereka. Tapi, karena memang dia single beneran, alias nggak punya gandengan!
Dan inilah hal yang terjadi pada suatu Jumat sore, kisah yang tak asing lagi dan membuktikan bahwa karier yang sukses terkadang tidak berbanding lurus dengan kehidupan cinta. Malahan, berbanding terbalik. Karier boleh saja sukses, tetapi hubungan percintaan bisa saja selalu mandek di tengah jalan—malahan, kadang masih di tepi jalan dan belum sampai ke tengah:

Lagi-lagi Gagal!

Ting! Tong!
Suara dering bel terdengar menembus dinding kamar mandi. Untung saja misi utamaku sudah kelar. Yup, pasti sudah ketebak ‘kan? Entah salah makan apa kemarin, dari tadi pagi sampai sore begini, perutku masih terasa tidak enak. Berkali-kali aku keluar masuk toilet. Sampai-sampai isi perut aku terasa seolah kosong melompong. Ringan tanpa ada sedikit pun beban yang bersarang di dalamnya.
“Hhhh…” Tetapi, aku sempat mendengus juga. Pasti ini ulah TJ yang selalu saja kelupaan membawa kunci duplikat apartemen miliknya. Sudah berkali-kali kuperingatkan, tetapi dia selalu saja tidak menggubrisnya.
Pernah suatu kali, tengah malam buta, dia membunyikan bel berkali-kali sampai telinga aku terasa pekak sekali. Mau tidak mau, aku beringsut bangun dari ranjang. Dengan langkah terseret-seret dan kepala yang masih terasa berat, aku membukakan pintu untuknya. Baru saja aku akan menyemprotnya dengan omelan, dia berdiri di hadapanku dengan tampang sumringah-nya seolah bocah tak berdosa. Aku tak jadi mengomelinya. Tetapi, bukan karena senyum bitchy-nya itu yang membuat aku jadi diam seribu bahasa. Seorang lelaki tampan berperawakan tubuh tinggi berdiri di sampingnya dan merangkul pundaknya dengan mesra. Oh, my god! Seperti biasanya, teman kencannya dibawa pulang! Apartemen ini seolah jadi tempat penginapan massal aja! (Untung aja, TJ tidak terlalu berjiwa sosial. Kalo iya, bisa-bisa korban Lumpur Lapindo diungsikannya kemari semua…Yuuukk…Mari…)
Mudah-mudahan kali ini dia tidak memberi kejutan serupa lagi. Bergegas kulangkahkan kakiku.
“Wait a minute, TJ sayang!” teriakku sok mesra dari ruang tamu.
Klik!
Kunci yang menggantung pada lubang knop pintu kuputar. Pintu terdorong sedikit ke dalam. Seorang pria yang teramat sangat kukenal berdiri di hadapanku dengan wajah yang digelayuti kekekewaan. Ditekuk kayak dompet tanggung bulan. Hari ini, dia tampil dengan style smart-casualnya. Kerah kemeja berwarna putih menonjol dari dalam kaos lengan panjang berkerah V-neck abu-abu. Sementara itu, celana panjang berwarna coklat muda membungkus pergelangan kakinya yang panjang. Harum parfum terbaru keluaran Hermes membelai-belai indera penciumanku.
Namanya Marko. 31 tahun. Manajer operasional sebuah restoran yang cukup berkembang dan mempunyai banyak cabang di Jakarta. Untuk masalah penampilan, lelaki yang bernama Marko ini wajib diacungi empat jempol (ditambah jempol kaki, maksudnya). Tetapi, kalau untuk masalah cinta….hmmm….
Marko cuma menggangkat bahunya saja dan langsung menghambur masuk ke dalam ruang apartemenku tanpa sedikit pun ba-bi-bu. Minimal, say hi dulu kek. Bahasa tubuhnya membuatku curiga bahwa ada sesuatu yang tidka beres terjadi pada dirinya.
“Gue gagal lagi…” cetus Marko sambil menjatuhkan dirinya di atas sofa. Aku bergegas mendekatinya.
“Kalimat itu udah terlalu sering elu ucapin.” Yup, dalam setahun ini, entah sudah berapa kali dia mengucapkan kata itu. Dan ungkapan ‘gagal’ itu mengacu pada satu pokok permasalahan. Soalnya, dia sama sekali belum pernah mengeluh tentang masalah pekerjaannya sama sekali. Paling-paling dia cuma bilang capek mengurus restorannya. Sebatas itu saja. Sekalipun proyeknya gagal, dia tidak pernah sampai menggembar-gemborkannya begini. Tapi, kalau udah masalah cinta, lain ceritanya deh.
“Kali ini, gue ditipu sama bajingan itu! Bener-bener ditipu!” Dia memandangku dengan wajah penuh kecewa yang bercampur dengan amarah.
“Oke, oke, gue rasa elu butuh sedikit penyegar biar elu bisa agak tenang. Elu mau minum apa?” tanyaku seperti seorang tuan rumah yang baik.
Marko mengeryitkan keningnya. Kembali dia mengangkat bahu dan memanyunkan bibirnya. “Terserah deh.”
“Ya udah, diet-coke aja yah…” Aku paham betul kalau Marko memang pemerhati tubuh yang teramat sangat baik. Apalagi, dia sekarang sedang melakukan diet sixpack-nya buat mewujudkan impiannya untuk memiliki tubuh seseksi Gerard Butler di film 300.
“Nih, tangkap!” Aku berseru padanya ketika sekaleng diet-coke sudah berada di dalam genggaman jemariku. Begitu Marko menoleh ke arahku, segera kulempar kaleng itu ke arah tangannya. Serta merta dia langsung menangkapnya dengan sukses. Tembakanku jitu. Tidak meleset dari sasaran. Kebetulan letak kulkas tidak jauh dari sofa.
Terdengar suara desis ketika kaleng itu dibuka olehnya. Segera diteguknya diet-coke itu.
“Mar, elu mau buah nggak? Sorry, gue belum sempat beli snack lain nih. Stok lagi kosong. TJ juga belum beli apa-apa. Maklum, lagi tanggung bulan.” Aku malah jadi bercerita panjang lebar.
“Buah apaan?” Marko meletakkan kalengnya di atas meja kaca yang terhampar persis di depannya.
“Kemarin, gue beli apel, nanas, sama papaya. Terus gue potong-potong kecil-kecil deh. Mau nggak?”
“Boleh, boleh…Lagian, gue juga belum makan sore. Dari kantor langsung ke sini.” Jawabnya agak malas-malasan.
Aku beranjak menuju sofa dan meletakkan mangkuk berisi potongan aneka buah itu di sebelah kaleng diet-coke-nya.
“So, ada apa sih tiba-tiba elu jadi begini kuyu?” Aku juga jadi ikutan penasaran.
“Ini masalah Alex.”
Deg! Bener baget dugaanku dari tadi. Pasti nggak jauh-jauh dari masalah percintaan. Alex adalah pria berusia dua puluh enam tahun yang berprofesi sebagai staff accounting pada sebuah perusahaan kecil yang baru berkembang. Setidaknya itulah yang dia akui pada saat perkenalan mereka pertama di fridae.com, situs persahabatan khusus kaum gay dan lesbian.
Ditilik dari fotonya, dibilang tampan, ya so-so deh. Lumayan dan enak dilihat. Warna kulitnya yang cokelat matang benar-benar sesuai banget sama tipe idamannya Marko.
Sejak perkenalan mereka di sana dan bertukar nomor ponsel, Alex kerap kali menghubungi Marko, mengirimkan pesan pendek, untuk menanyakan hal-hal tetek-bengek yang bisa membuat hati seorang kesepian yang sudah berusia genap tiga puluh satu tahun berbunga-bunga, seperti sudah makan siang-kah, atau sudah bangun belum? Plus, setiap malam mereka berbincang bersama mengenai kebiasaan masing-masing, cerita cinta masa lalu, kejenuhan pekerjaan, dan tidak lupa, acara PDKT itu pun ditutup dengan sebuah kecupan selamat tidur yang hangat.
Marko yang awalnya sudah merasa putus asa dengan status single-nya akhirnya merasa hidup kembali. Dia yakin sudah menemukan tambatan hatinya.
“Gue nggak nyangka, dia cuma manfaatin gue doang. He just wants sex!” cetus Marko dengan emosi berluapan.
” I can’t believe it!” Aku mendekatkan wajahku padanya. “Coba deh elu ceritain semuanya dengan detail.”
“Setelah dua minggu gue kenal dengan dia, empat hari yang lalu, gue memutuskan untuk ketemu dengan dia di Chatter Box Café, La Piazza sepulang kerja.” Begitulah awal Marko membuka kisahnya, dan kemudian, kalimatnya terus menerus bergulir dari mulutnya.
Marko datang lebih awal dan menunggu di Chatter Box Café terlebih dahulu. Setelah sepuluh menit berselang, yang ditunggu pun datang. Alex tampil dengan balutan kaos Print-Tee hitam Giordano dan celana jeans denim biru laut. So simple! Tetapi, justru dengan begitu dia jadi kelihat begitu fresh. Tubuhnya yang kurus terlihat begitu cocok dengan gaya berpakaiannya. Rambutnya dipotong model spike. Kacamata berbingkai hitam menegaskan aksen intelektual yang ada pada dirinya. Sepanjang pertemuan itu, Marko menjadi tergugup-gugup. Nervous gak keruan! Jujur saja, Marko memang sudah menaruh harapan begitu besar saat mereka baru saling mengenal lewat telepon.
Berkali-kali mereka saling pandang-memandangi. Dalam hati, Marko berharap bahwa kencan ini tak akan berakhir dengan cara yang sederhana. Pokoknya, kencan ini harus menjadi momentum perubahan hidupnya. Dan memang benar! Kencan ini akan membawa perubahan drastis bagi Marko, khususnya secara psikologis.
Alex mengajaknya untuk berbincang-bincang lebih jauh di apartemennya. Tanpa pikir panjang lagi, Marko langsung mengiyakan. Ternyata, ajakan ‘berbincang-bincang lebih jauh’ itu hanyalah kamuflase untuk sebuah acara one-night stand belaka. Semalaman, mereka melalui malam bersama. Sampai ketika subuh menyapa, Marko segera terbangun dan berniat untuk pulang. Dia harus bersiap untuk pergi ke kantor!
Tak lupa sebelum berlalu meninggalkan apartemen itu, Marko memeluk Alex dan mengecup keningnya. Sejak saat itu, tak ada lagi SMS, telepon, apalagi perhatian dan kecupan hangat dari sang lelaki pujaan. Semuanya kembali seperti semula.
Jalanan macet yang membuatnya pengen menabrakkan moncong mobilnya ke bemper mobil di depannya. Kerjaan numpuk yang membuatnya harus berkelana dari cabang demi cabang. Tubuh lelah yang tak lagi segar tanpa bisikan kata-kata sayang. Handphone yang benar-benar pengin dia banting karena tak ada lagi SMS cinta dan perhatian dari Alex.
Marko berusaha menghubungi Alex berkali-kali. Tetapi, tak ada satu pun yang digubrisnya. Paling-paling, kalau ditanggapi juga, Alex hanya menjawab dengan ‘iya’ dan ‘nggak’ buat semua pertanyaan Marko. Nggak seperti dulu lagi. Komunikasi berjalan satu arah kayak mobil yang remnya blong, lantas nabrak ke tembok atau nyebur ke jurang. Tak ada lagi respons yang indah seperti dulu.
“Sampai kemarin malam, gue udah nggak tahan lagi. Gue hubungi dia dan menanyakan kepastian hubungan kita. Dan tau nggak dia malah menyemprot gue dengan penuh emosi! Dia bilang, ‘Kamu ini memang bodoh dari lahir atau cuma pura-pura bodoh! Apa yang terjadi sama kita kemarin, itu cuma one night stand doang! Sekarang udah jelas ‘kan semuanya? Jadi, nggak usah ganggu saya lagi!’ Sambungan telepon pun terputus.”
Aku menghela nafasku dalam-dalam sembari berharap kisah itu tak akan menimpaku di masa mendatang.
“Marko, gue ngerti banget gimana rasa kecewanya elu. Gue cuma mau bilang sama elu satu hal. Lain kali elu jangan pernah langsung percaya sama orang lain. Apalagi, yang baru elu kenal. He just wants your body! Not your heart! That’s it!”
Kulihat Marko kembali meneguk diet-coke-nya hingga habis. Dia mencomot sepotong buah nanas, dan langsung memasukkannya ke dalam mulut.
“Gara-gara kejadian ini, gue jadi bener-bener pesimis. Kayaknya di dunia gay ini memang udah nggak ada yang namanya hubungan serius lagi. Semuanya cuma pengen having fun saja. Sex and Money! Atau nggak ujung-ujungnya ditinggal kawin!” keluh Marko. Dia merebahkan kepalanya di atas sofa. Kedua pergelangan tangannya direntangkan, seperti ingin melepaskan rasa lelah yang mengelayuti persendian tubuhnya.
“Gue rasa, masih ada kok yang namanya cinta di dunia gay. Yang perlu elu lakukan sebetulnya hanya bersabar. Cinta datang ketika kita siap.” hiburku. Berusaha untuk menenangkannya. Meskipun sebetulnya, dalam hatiku pun ada perasaan skeptis mengenai hubungan di dalam dunia gay ini.
“I don’t think so…Elu masih terlalu muda, dude. Baru 23 tahun, masih harus banyak belajar.”
Senyum terpaksa mengembang pada sudut bibirku. Mungkin ada benarnya kata Marko barusan.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Kami berdua menoleh ke arah datangnya suara. Sepasang langkah kaki mengejutkan kami. Seorang lelaki yang sudah begitu amat sangat kami berdua kenal muncul dengan gaya bitchy-nya.
“Yuhuuuu!!!! TJ is back!” Dengan gaya ngondek alias sissy-nya, dia melangkah masuk dengan dua paperback menggantung pada pergelangan tangannya. Yang satu bermerk ZARA. Sedangkan yang satu lagi bermerk (X)SML. Pastinya dia baru saja pulang dari acara arisan dan belanjanya.
TJ adalah room-mate –ku yang kadang asyik dan kadang nyebelin. Tapi berdasarkan data statistik, sikap menyebalkannya jauh melebihi sikap asyiknya. Sikap asyiknya muncul musiman kayak durian. Oh ya, nama yang sesungguhnya tentu saja tidak sesingkat dua huruf itu saja. Sebetulnya, TJ adalah inisial dari nama pemberian nyak dan babe-nya yang kurang komersil. Tito Juwono. Akhirnya, berdasarkan teori-teori marketing yang dipelajarinya waktu kuliah, dia menyulapnya jadi TJ.
“Lagi berduaan aja nih?” tanyanya sok-sok cari bahan percakapan. Dia meletakkan dua tas belanjaannya. Kemudian, melepaskan topi nelayan berwarna putih yang menutupi tempurung kepalanya. Seketika tampaklah rambutnya yang dipotong pendek dan dicat highlight warna biru.
“Marko lagi ada masalah, TJ.”
“Ada apa lagi sih, jeung?! Pasti deh masalah lekong lagi.” TJ mendekati Marko dan duduk di sebelahnya.
Aku akhirnya yang menceritakannya pada TJ. Soalnya, tampaknya Marko sudah malas menceritakannya ulang. Lidahnya sudah terasa capek serasa habis melakukan treadmill.
“Ya, ampun…” TJ bereaksi memukul pundak Marko. “Makanya, elu harus berguru dulu sama gue. Ngapain coba, hidup yang udah susah dibuat jadi makin susah. Nggak usah ngarep-ngarep cinta kayak Cinderella. Jalanin aja semuanya dengan fun, kayak gue. Gue aja kagak pusing mikirin komitmen atau hubungan. Pokoknya, nggak usah dibikin ribet deh intinya.” TJ menutup kata-katanya dengan cekikikan penuh kemenangan. Sementara, aku dan Marko saling berpandang-pandangan keheranan. Kami berdua merasa menjadi pecundang di hadapan manusia aneh ini.
Lalu, TJ melanjutkan, “Tau nggak, minggu ini aja gue udah dapet kenalan tiga cowok berbeda. Masa elu-elu pade masih karatan kayak gini? Para lelaki itu akan lari dari kalian kalau elu meneror mereka dengan yang namanya komitmen! Percaya deh kata gue.”
Aku dan Marko masih saja tetap berpandang-pandangan dan membisu.
“Udah deh, Mar. Jangan dipikirin lagi. Let it go aja. Nanti juga elu pasti ketemu yang baru lagi kok.” TJ bangkit dari sofa dan melenggak-lenggok bak penari Bali.
“Gue mau istirahat bentar, terus nanti malem gue mau ke salon bentar buat ngerapiin rambut. Bye, all.” TJ beranjak masuk ke dalam kamarnya sambil berdendang tembang lawas Madonna.
…Like a virgin…Touch at very first time…Like a Virgin…
Aku dan Marko cuma bisa mengangkat bahu dan menggelengkan kepala serempak.

Is There Any Serious Relationship in Gay World?
Malam itu aku kembali sendirian di apartemen, setelah Marko memutuskan untuk pergi work-out di Celebrity Fitness dan TJ bertemu dengan teman masa kecilnya. Aku menyalakan televisi dan berusaha mencari-cari acara yang bisa membuatku jadi betah sendirian di apartemen. Tetapi, tampaknya televisi tidak bersahabat baik denganku. Semuanya rata-rata menyiarkan sinetron yang membuatku jadi ogah untuk berlama-lama mematung di depan layar berwarna berukuran 29 inchi itu.
Segera aku masuk ke dalam kamarku dan menyalakan notebook-ku. Connect internet. Buka website job vacancy. Berburu pekerjaan yang kira-kira cocok denganku yang masih menyandang gelar fresh graduate ini. Tetapi, setelah sekian lama surfing, kayaknya masih belum ketemu juga yang cocok denganku. Rata-rata mengutamakan yang sudah berpengalaman di bidang yang sama satu-dua tahun. Sedangkan aku? Huh, baru aja kelar siding skripsi sebulan lalu dan belum diwisuda secara resmi.
Aku membuka folder musik dan menyetel lagu Alicia Keys ‘No One’ yang sekarang sedang jadi favoritku. Dan mulailah aku melamun dan berpikir sendirian.
Cerita Marko tadi sore, sekaligus juga dengan perangai TJ yang cuma pengin having-fun saja menimbulkan satu pertanyaan besar dalam kepalaku: “Masih adakah hubungan serius di dunia gay ini?”
Benarkah apa yang Marko bilang tadi, kalau kebanyakan gay memang terjebak dalam pesona dunia kosmopolitan yang hedonis, plus dengan segala tetek-bengeknya, semacam seks, uang, hubungan pendek yang paling-paling bertahan satu-dua bulan dan paling banter setahun saja lamanya, dan yang paling umumnya, ditinggal kawin pasangan kita, atau bahkan malah, kita-nya juga ikutan kawin dan membohongi diri kita sendiri? Apakah kita tak akan pernah punya harapan untuk bisa merajut masa depan bersama, seperti layaknya pasangan heteroseksual yang diikat dalam lembaga pernikahan?
Semua itu tetap menjadi pertanyaan yang mengendap dalam kepalaku malam itu. Aku membaringkan tubuhku di atas ranjang. Mengulurkan tanganku untuk meraih majalah Da Man, Cosmopolitan Men, dan Men’s Folio Indonesia edisi terbaru yang kupinjam dari TJ. Kubolak-balik halamannya tanpa ada sedikit pun niat untuk membaca deretan huruf yang tercetak pada halamannya. Beberapa kali aku sempat menguap karena kantuk yang menjerat. Akhirnya, aku pun sempat tertidur sekitar satu jam dan terbangun oleh suara yang sudah begitu akrab di telingaku.
Aku menggeliat dari tidurku, dan memincingkan mataku ke arah datangnya suara. TJ berdiri di depan pintu kamarku yang terbuka. Wajahnya terlihat sumringah.
“Buset deh! Masih jam sepuluh juga udah tidur! Nggak takut diketawain nyamuk?” ujarnya seraya berjalan mendekat ke ranjangku.
Aku beringsut bangun. Menyandarkan kepalaku pada bantal yang kutegakkan di hadapan dinding. Sempat aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 22.13 WIB.
“Tumben banget lu ke salon cuma bentar? Biasanya, pake acara manicure atau creambath segala…” tanyaku serta merta.
“Yeee…gue ‘kan cuma gunting rambut doang. Eh, bagus nggak hasilnya?” TJ memamerkan potongan rambutnya yang kini beraksen structured mess.
“Lumayan lah…” jawabku singkat. Aku tahu, jawabanku itu ambigu. Bisa bermakna lumayan bagus atau lumayan jelek. Tapi, kelihatannya TJ tidak mempermasalahkannya lagi. Soalnya, dia membawa kabar gembira terbaru.
“Eh, elu inget si Jacky ‘kan?”
Jacky Setiawan. 29 tahun. Pekerjaan: pegawai swasta yang selalu mengeluh lantaran, nggak pernah mendapat kesempatan promosi naik jabatan. Dia adalah sahabat yang pernah dekat dengan kami. Tetapi, karena sibuk dengan pekerjaan dan pacarnya, kami jadi jarang bertemu dan terpaksa berkomunikasi by phone saja.
Aku mengganggukan kepalaku. “Memang kenapa dia?”
“Dia tadi telepon gue dan mengundang kita bertiga ke acara syukurannya dia malem minggu ini.”
“Syukuran?” Aku terheran sesaat. Syukuran rumah, maksudnya?
“Jadi, si Jacky dan pacarnya mau merayakan hari jadi hubungan mereka yang kelima, sekaligus ingin meresmikan hubungan kami yang kini bukan lagi sekedar pacaran biasa. Soalnya, mereka udah memutuskan untuk hidup bersama!” sembur TJ panjang lebar.
“Wow! Beruntung banget sih cecunguk itu?!” Aku sempat tercengang mendengarnya.
“Ah, nggak juga kaleee…Sekarang si Jacky malahan udah kagak bisa bebas lagi. Dia nggak bebas lagi berkeliaran di gay club. Ya ampun, coba deh elu bayangin, seandainya si Jacky ke gay club, pasti dia diintilin sama lakinya. Buset bo…kayak anak balita aja deh.” TJ menggerakkan tangannya dengan gaya semampai.
“Soalnya bagi elu, cinta cuma sebatas mencari cowok di dunia maya atau dunia ajep-ajep, lalu having seks doang!”
TJ beranjak mendekati pintu kamarku.
“Gue nggak butuh komitmen, sayang! We are different with heterosexuals! And the point of difference is we can have sex with every man that we meet on the streets without fear of being pregnant!” Dia mengangangkat bahunya dengan santai dan keluar dari kamarku. Pintu berdebam tertutup.
Aku pikir, acara syukuran Jacky dan pasangannya itu secara filosofis sama maknanya dengan resepsi pernikahan pasangan heteroseksual. Fungsinya untuk mengumumkan pada kerabat terdekat bahwa status mereka sekarang sudah pasangan hidup. Cuma letak perbedaan krusialnya adalah kaum gay tidak membutuhkan legalitas catatan sipil di negara ini, alias surat kawin.
Secuil rasa iri mulai bertumbuh subur dalam hatiku. Belakangan ini manusia memang agak sulit untuk merasa ikut gembira bila mendengar sesamanya mengalami keberuntungan. Ah, betapa bahagianya Jacky sekarang. Setelah sekian lama menjalin hubungan, mimpinya untuk hidup bersama pun terwujud. Sedangkan aku, TJ, dan Marko...
Ups, astaga!
Ternyata, apa yang diucapkan Marko tadi sore tentang skeptisisme dalam dunia gay itu runtuh dengan sendirinya. Buktinya, Jacky dan pacarnya bisa memiliki hubungan serius dan akhirnya, kini mereka tinggal bersama layaknya pasangan suami-istri.

Sesungguhnya, ketika kita mencintai dan dicintai oleh seseorang, segala sesuatu yang berada di sekitar kita bisa terasa begitu indah. Hidup kita terasa lebih berarti. Saat kita pulang dari kantor atau kampus, akan ada orang yang kita nantikan. Saat sedang berada di dalam kamar, kita bisa saling berpelukan berduaan. Saat sedang sakit, ada yang menunggui kita dengan penuh sabar. Duh, indahnya....Tapi, kenapa ya kebanyakan gay malah tidak pernah menyadari hal ini? Yaaah, mungkin mereka menganggap, karena tidak ada ikatan pernikahan di negara ini, maka para gay itu bebas bercinta dan gonta-ganti pasangan seperti ganti underwear saja. Contoh golongan seperti ini adalah sahabatku, si TJ itu. Padahal, aku percaya dalam hati kecil mereka tersimpan rasa kesepian yang begitu mendalam. Manusia tak bisa hidup sendiri. Aristoteles aja pernah bilang, manusia adalah makhluk sosial (Ceile! Gayanya sok intelek...)
Banyak di antara mereka, yang tak tahan dengan itu dan akhirnya terpaksa menikahi seorang perempuan. Tak jarang juga, melampiaskan kesepiannya itu dengan cara bergonta-ganti pasangan.
Meskipun secara garis besar konsep cinta di dalam dunia gay dan heteroseksual itu sama, ada sedikit perbedaan yang bisa kita tarik dari cinta sesama jenis, yakni cinta kaum gay tidak terpolarisasi secara kepentingan biologis-reproduksi. Maksudnya, kalau dalam konteks hubungan heteroseksual kita melihat perbedaan biologis dalam relasinya demi sebuah kepentingan reproduksi. Contohnya: lelaki heteroseksual sangat kepingin mewariskan gen-nya (yang dianggapnya unggul) pada keturunannya nanti. Makanya, banyak banget tuh rumah tangga yang retak gara-gara salah satu pasangannya didiagnosis mandul. Cinta dan hubungan seumur hidup direduksi seolah hanya sebatas demi melahirkan anak saja.
Sedangkan dalam dunia gay, karena kita sama-sama sejenis, justru kita terlepas dari segala tetek-bengek kepentingan reproduksi itu. Malahan, para gay dapat menemukan dirinya sendiri dalam diri pasangannya. Gimana tuh? Kok bisa?
Dengan mencintainya yang sejenis dengan diri kita sendiri secara biologis atau tampilan fisik, berarti juga kita mengagumi apa yang secara langsung telah kita miliki. Seperti dalam cermin, kita menemukan keindahan fisik kita dalam dirinya. Kesamaan fisik itu meniadakan rintangan yang biasa muncul dari perbedaan fisiologis tubuh dan semakin membuat kita mudah mengenal satu sama lain. Misalnya: lelaki gay tidak harus resah bila menghadapi perubahan emosi pada perempuan yang diakibatkan oleh menstruasi, seperti layaknya lelaki hetero.
Begitu pun saat kita harus berkorban, kita seharusnya tak lagi harus merasa pamrih. Kenapa? Karena ketika kita memberikan sesuatu pada dirinya, sebetulnya kita juga memberi pada diri kita sendiri. Intinya adalah dalam diri mereka, terdapat gambaran eksistensi kita juga. Diri mereka adalah bayangan diri kita juga. Dan kita mencintai keduanya sekaligus secara langsung maupun tidak langsung. Cuma masalahnya, sedikit sekali gay yang memahami ini. Kebanyakan dari mereka hanya mereduksi hubungan gay sebatas hubungan seks belaka.

Kembali lagi pada kabar gembira Jacky, sebetulnya pasti masih ada hubungan serius dan cinta sejati di dunia gay ini. Hanya saja persentase-nya kecil. Ibarat mencari jarum di bawah tumpukan jerami. Cuma dalam kasus berburu jarum, kita bisa menggunakan bantuan lup atau kaca pembesar. Tapi, kalau bicara masalah hati, wah, ini yang rumit. Walaupun rambut sama-sama hitam, tapi perasaan orang, siapa yang tahu?
So, kayaknya aku mesti berguru pada Jacky!

What A Wonderful Night (But not for us)
Malam minggu.
Tiga pria gay yang masih single dan selalu memiliki malam minggu yang kelabu (kecuali, TJ) akhirnya datang menghadiri pesta syukuran yang diadakan oleh Jacky. Dijemput oleh mobil Nissan X-Trail Marko, kami bertandang ke rumahnya yang terletak di daerah bilangan Tomang.
“Selamat ya…” Kami bertiga—aku, Marko, dan TJ—langsung berebut memeluk Jacky yang menyambut kedatangan kami. Hari ini, Jacky terlihat amat sangat menarik dengan style-nya yang simple, tetapi tetap kelihatan elegan. Tubuhnya yang tinggi kurus dibalut dengan kemeja putih polos berlapiskan vest rajutan merah. Potongan rambut spike-nya terlihat mengkilap akibat pengaruh lumuran gel.
Setelah acara berpelukan ala teletubies dan ritual cium pipi kiri-kanan selesai, Marko pun segera menyerahkan seiikat bunga lili putih pada pria yang tengah merayakan hari kebahagiaan terbesar dalam hatinya. Setidaknya, begitulah anggapanku dan Marko sedari tadi saat kami berada dalam perjalanan kemari.
“Thanks banget ya udah mau meluangkan waktu datang kemari.” ucap Jacky dengan lembut. Seulas senyum mengembang di sudut bibirnya. Menciptakan dua sumur lesung pipit kecil pada pipinya.
“Mari masuk ke dalam…” Jacky mempersilahkan kami bertiga untuk masuk ke dalam rumahnya. Ternyata, pestanya diadakan di kebun belakang rumahnya. Begitu kami tiba di sana, kami bertiga sempat takjub sesaat melihat betapa indah dan kerennya dekorasi pesta yang diselenggarakan oleh Jacky dan pacarnya itu.
Berlokasi di taman belakang rumahnya, aneka lampu bohlam berwarna-warni membentang dari satu dahan pohon ke dahan lainnya. Terdapat beberapa tenda-tenda yang menyediakan aneka penganan, seperti siomay goreng, sate ayam, bakso, kue-kue kecil, dan es krim. Tembang Jazz lawas ‘Smoke Gets in Your Eyes’ mengalun merdu mengisi rongga udara. Keredap sinar dari api lilin kecil yang diletakan pada setiap sudutnya menambah kesan romantis malam itu. Tampaknya, tembang-tembang jazz romantis akan terus melantun sepanjang pesta ini.
TJ tiba-tiba berpisah dengan kami berdua begitu menemukan kenalan-kenalan lamanya yang juga hadir dalam pesta itu. Aku sempat melihat TJ menyapa beberapa tamu di sana, lalu juga seperti biasanya, ritual cium pipi kiri-kanan menjadi titik puncak dalam lingkaran persahabatan. Ternyata, Jacky memang mengundang banyak tamu yang rata-rata semuanya adalah gay. Pantas saja, di sepanjang jalan depan rumah Jacky, berderet banyak mobil. Sampai-sampai Marko harus memarkir mobilnya agak jauh dari rumah Jacky.
Jacky memperkenalkan pacarnya kepada kami. Namanya Leo Malkames. Melihat penampilannya yang terlihat begitu dewasa, aku menebak umurnya pasti sekitar range tiga puluh delapan sampai dengan empat puluh. Perawakannya berbeda jauh dengan Jacky yang tinggi kurus. Tubuh Leo tinggi dan gemuk. Lemak di perutnya membeludak sehingga membuatnya menggelembung ke depan. Rambutnya pun sudah tak lebat lagi. Nyaris botak, seperti professor. Ya sudahlah, penampilan ‘kan nggak penting. Yang penting hatinya. Leo tampak amat sangat menyayangi Jacky. Setelah kami berjabat tangan dengannya, Leo segera merangkul Jacky dan berkata pada kami berdua, “Aku sangat bahagia bisa menemukan seseorang seperti Jacky. Seperti judul lagu Barry White, Jacky is the first, the last, and my everything…”
Glek! Mendengarnya, aku dan Marko hanya bisa mencibir dalam hati. Tau deh yang lagi bahagia. Hati kecil kami diam-diam menangis sendirian, kayak anak kecil yang kehilangan balon. Balon sih bisa dibeli atau ditiup lagi, tapi kalo cinta?
Kami berkeliling melakukan wisata kuliner. Mencobai aneka makanan, sambil memanfaatkan potensi mata dewa kami untuk mencari kenalan baru, yang mudah-mudahan bisa jadi gebetan kami nantinya. Duh, ngarep banget seh!
Saat Marko sedang meninggalkanku untuk mengambil kue kecil, aku mendekati seorang pria dewasa yang kira-kira berumur tiga puluhan. Tampaknya dia datang kemari sendirian. Dia sedang menikmati cocktailnya.
“Excuse me, do you mind if I sit beside you?” Aku berusaha untuk berbasa-basi.
“Silahkan…Kebetulan saya datang sendirian kemari.” Dia tersenyum padaku.
Aku menjulurkan tangan kananku.
“Ervan.”
Dia membalasnya. “Dony.”
Penampilannya lumayan sederhana. Kemeja dan celana jeans. Potongan rambutnya pendek seperti actor George Clooney. Tipikal lelaki kantoran biasa, pikirku.
Aku menjatuhkan diriku di sampingnya.
“Kadang aku sering berpikir, akankah aku akan mengalami hari yang indah seperti ini?”
Dony menolehkan pandangannya kepadaku. Sebuah senyum kembali tersungging pada sudut bibirnya.
“Jangan terlalu banyak berharap. Hidup ini tidak seperti yang dikisahkan dalam film-film romantis.”
“Tapi, kamu bisa lihat sendiri ‘kan, Jacky dan Leo saja bisa mewujudkan cinta mereka. Masa kita nggak sih?”
Dony mengangkat bahunya, lalu katanya: “Yang terpenting jalanin aja hidup ini dengan baik. Mau ada pacar atau nggak, ya udahlah. Nggak usah ngoyo. Aku aja udah lima tahun single dan tetap baik-baik saja.”
Menilik jawabannya, bisa dipastikan Dony adalah tipe orang yang tidak punya perspektif untuk maju. Cuma mau ikut arus doang, tanpa ada ambisi atau usaha.
Tiba-tiba lagu ‘What A Wonderful World’ yang sedang mengalun berhenti. Terdengar suara Leo yang membahana lewat mikrofon. Memohon para hadirin untuk mendekat pada kolam air pancur. Di sana, Leo sudah berduaan dengan Jacky.
“Semua yang hadir di sini adalah sebagai saksi atas komitmen kami berdua untuk hidup bersama.” ujar Leo. Tangannya meraih jemari Jacky yang ukurannya jauh lebih kecil ketimbang jemarinya.
Perlahan-lahan, Leo mengambil sebuah kotak kecil dari dalam saku celana bahannya dan mengeluarkannya. Ternyata, sepasang cincin berlian.
Semua yang menyaksikan hanya tercengang dan terperangah. Betapa beruntungnya Jacky mendapatkan pria sebaik Leo yang bisa mencintainya dengan segenap hati. Sedangkan sebagian dari mereka sudah mulai pesimis dengan dunia gay yang penuh dengan ketidakpastian ini.
“Dengan ini, saya Leo Malkames, bersumpah untuk menjadi pendamping hidup Jacky dan akan setia mendampinginya, baik di kala suka maupun duka, di kala sehat maupun sakit.” ikrarnya seraya menyusupkan cincin itu ke dalam jari manis Ferdi.
Begitu pula dengan Jacky yang berniat menyusupkan cincin yang satunya lagi ke dalam jari manis Leo. Namun, baru saja dia hendak memasukkannya, tiba-tiba cincin itu tergelincir dan terhempas di atas lantai.
“Eh, aduh…” Salah seorang hadirin yang latah langsung nyeletuk, kaget.
Serta merta wajah hadirin langsung berubah menjadi kaku. Tegang. Apakah ini adalah sebuah pertanda buruk? Atau mungkin hanya kebetulan saja?
Zaman sekarang memang bukan zamannya untuk percaya sama takhayul. Mimpi gigi copot, berarti katanya ada yang mau mangkat ke akhirat. Mimpi meninggal, katanya bakalan panjang umur. Duduk di depan pintu pas menjelang petang, katanya bakalan bikin berat jodoh. De-el-el. Duh, banyak banget sih kepercayaan orang kuno dulu. Tapi, untuk hal yang satu ini, kok rasanya ada firasat yang nggak enak ya? Apakah jatuhnya cincin itu pertanda hubungan mereka bakalan nggak langgeng? Pikiranku lari-lari ke mana-mana.
langsung berjongkok dan mengambilnya di lantai.
“Phuih! Sorry. Mungkin aku terlalu gugup.” desahnya pelan, berusaha untuk menyegarkan kembali suasana yang sempat terjebak dalam keheningan.
Leo tak mengatakan apa-apa. Tetap berdiri tegap. Senyum tetap menggantung lunglai di sudut bibirnya.
“Dengan ini, saya, Jacky Pratama bersumpah untuk menjadi pendamping hidup Leo dan akan selalu setia menemaninya hingga maut memisahkan kami, baik dalam suka maupun duka, dalam keadaan sehat maupun sakit. Aku sungguh mencintaimu…” Seusai cincin berlian itu duduk tenang di dalam jeruji jemari manis Leo, Jacky langsung mengecup kening Leo.
Suasana yang tadi sempat kaku pun mencair. Para sahabat serentak bertepuk tangan. Malahan, ada yang sampai bersiul-siul heboh.
Seusai acara itu, para hadirin pun dipersilahkan untuk menikmati hidangan utama yang sudah tersaji. Buat yang pengin menikmati sentuhan wine, Jack Daniels, Vodka, atau tequila, sudah disediakan pula meja yang menampung berbotol-botol minuman impor itu. Tetapi, aku malah langsung mendekati Jacky dan menariknya ke sudut taman.
“Jack, gue salut sekaligus iri banget sama elu. Gila, akhirnya elu bisa menemukan cinta sejati elu.” Aku menghela nafas sejenak, lalu lanjutku, “Sementara, gue? See, gue tetep aja single setelah tiga tahun lalu gue broke-up.”
“Apakah elu pikir gue juga mudah menemukan pasangan yang serius?”
Aku terdiam menatap mata bulat besarnya.
“Nope! Gue juga harus jatuh-bangun sampe bertahun-tahun sampe akhirnya bisa bertemu dengan Jacky.” Jawabnya penuh semangat.
“Tapi, rasanya gue susah banget ketemu orang yang baik. Marko juga begitu, baru kemarin ini dia diboongin lagi.” protesku.
“Nah, ini paradigma yang harus diperbaiki. Bukan orang baik yang seharusnya kamu cari, tetapi orang yang cocok denganmu! Banyak kok orang yang mungkin bagi kita tidak baik, tetapi buat orang lain bisa jadi someone yang spesial.”
Ada benarnya juga nih omongan bocah satu ini.
“Dan jangan pernah elu pikir kalo dengan begini, gue langsung dengan sendirinya bahagia. Justru, mulai dari hari ini, tantangan yang akan kami hadapi akan semakin membeludak. Kita bukan Cinderella atau Snow White yang ceritanya tamat saat mereka menikah, seolah dengan begitu mereka hidup bahagia selama-lamanya. “

The Voice Within’
Seusai pesta.
Gara-gara kebanyakan melahap minuman beralkohol, TJ pun dilanda badai mabuk. Jalannya sempoyongan kesana-kemari. Mulutnya meracau tak keruan. Dan sudah bisa ditebak, kalau sudah mabuk atau tipsy, pasti TJ akan membikin ulah yang aneh-aneh. Salah satunya adalah dia sempat memeluk seorang pria dan lantas ingin menciuminya. Tentu saja, pacar lelaki itu langsung berusaha untuk memisahkan TJ dari kekasihnya. Untung aku dan Marko melihat kejadian itu dan segera menarik TJ menjauh.
Huh, kini giliran kami berdua terpaksa memapahnya hingga masuk ke dalam mobil. Kami menidurkannya di jok tengah. Lalu, Marko segera menghidupkan mesin dan melajukan mobilnya.
Tiba-tiba TJ mengucapkan racauannya yang tak pernah kami sangka-sangka. Kami bahkan yakin jika racauannya itu sungguh jujur dari dalam lubuk hatinya yang terdalam.
“Heeeehhhh….gue iri banget tuh sama si Jacky. Bisa-bisanya dia punya pacar yang sayang banget sama dia. Nggak kayak gue. Setiap cowok yang gue temuin semuanya cuma pengen hubungan jangka pendek doang. Dan karena terlalu sering ketemu cowok macem begitu, akhirnya gue sendiri jadi terpengaruh deh. Gue jadi demen one night stand juga. Padahal, Gue kadang capek lari dari satu cowok ke lain cowok…” Lalu, TJ merintih-rintih nggak keruan.
Aku dan Marko saling melempar pandangan. Sempat hening membungkus kami berdua, sebelum akhirnya, kami berdua ketawa cekikikan. TJ, TJ, ternyata di balik sikapnya yang bitch dan cuek abis, dia masih berharap cinta juga.
Hooeeekkkk!
Marko menginjak pedal rem-nya mendadak. Dia menoleh ke belakang. Tampaklah pemandangan TJ yang sedang muntah-muntah. Jack-pot.
Serta merta wajah Marko langsung memerah. Sakin tak tahan lagi, dia menjerit sekuat tenaga, “TJ!!!! Kalo elu sadar nanti, pokoknya elu harus nyuci jok mobil gue!”

Comments

Sign In or Register to comment.