BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

(Calon) Novelku Bab 2: Minta komennya ya

edited January 2009 in BoyzRoom
#2
From The ‘Bottom’ of My Broken Ass!


A New Chance?
Suatu siang aku mempunyai janji untuk bertemu dengan TJ dan Marko di Starbucks, Sarinah. Meskipun kami bertiga memutuskan untuk ketemuan jam setengah dua belas siang, namun aku sudah nangkring duluan di kafe kopi yang berhasil menyedot perhatian dunia bisnis kewirausahaan itu sejak pukul setengah sebelas siang. Sekalian aku juga ingin memanfaatkan fasilitas internet hotspot yang ditawarkan untuk browsing sebentar mencari-cari pekerjaan. Itu adalah misi utamanya, sedang misi sampingan: mengecek message box di situs jaringan persahabatan gay, fridae.com dan manjam. com.
Beberapa hari yang lalu, aku sempat mengirimkan surat lamaran ke beberapa perusahaan. Dan satu perusahaan sudah memanggilku untuk interview. Sebuah perusahaan garmen yang baru berkembang dan sedang membutuhkan staff bagian accounting. Hanya saja setelah bernegosiasi, kami berdua tidak mencapai kesepakatan harga. So, si interviewer itu hanya menanggapi dengan berkata, “Kami akan pertimbangkan penawaran anda. Dua minggu mendatang, bila penawaran anda diterima, kami akan menghubungi anda.” Dan kalau dalam jangka waktu itu tidak dihubungi, pastilah tawaranku ditolak mentah-mentah. Dan kini, aku sedang dalam masa penantian yang penuh ketidakpastian. Aku sendiri pun kurang yakin jika perusahaan itu akan rela menerima tawaranku itu.
Ah, mungkin saja aku ini terlalu tinggi meminta standar gajinya. Padahal, kurasa aku sudah banyak melampirkan kelebihanku. Sertifikat kursus Brevet Pajak A&B yang kuambil saat kuliah, sertikat Japanese Languange Proficiency Test yang kuikuti saat duduk di bangku SMA, transkrip tes TOEFL-ku yang mencapai angka 560, plus IPK 3.5 yang seharusnya bisa kubanggakan. Tapi, kenyataannya….Mungkin dewi fortuna belum berpihak padaku. Beginilah nasib buruk para fresh graduate.
Hhhh…aku menghela nafasku ketika membaca deretan job vacancy yang terpampang di hadapanku. Kubaca satu-satu sampai mataku terasa agak lelah. Tidak ada yang fit dengan keinginanku. Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Pengunjung kafe Starbucks mulai bertambah banyak.
Ting! Sebuah pesan pendek memasuki ponsel LG Shine-ku yang mungkin sudah ketinggalan zaman. Aku membuka isi amplop yang bergoyang-goyang pada layar ponselku. Sebuah nomor tak dikenal. Aku sempat mengernyitkan keningku sejenak ketika membacanya.

From: Delon
Hi, Ervan. Lagi apa? Kapan nih bisa ketemuan?


Terlonjaklah diriku seusai membacanya. Delon. 26 tahun. Berprofesi sebagai seorang dokter gigi, sekaligus dosen di sebuah perguruan tinggi swasta. Lelaki ini pernah kukenal lewat manjam beberapa waktu lalu. Sudah begitu sering kami juga berkirim-kiriman pesan satu sama lain. Tapi, sampai sekarang kami belum pernah bertemu. Dan tiba-tiba dia ingin mengajakku untuk ketemuan.
Wow! What a great chance! Siapa tahu, dialah Mr. Right yang akan mengisi hidupku. Aku memilih menu reply untuk membalas SMS-nya itu.

To: Delon
Hello, Delon. Kebetulan aku lg di Sarinah nih.
Soal ketemuan, it’s up 2 U. Aku bisa-bisa aja kok.

Send

Tak lama kemudian, Ting! 1 New Message

From: Delon
Oh, lagi di Sarinah. Gimana kalo sore ini jam 6 di Plaza Senayan?
Kebetulan kantorku di sekitar Sudirman jg. Kutunggu kabarnya ya. 

Yippie! Aku gembira sekali melihat tanggapan yang positif ini. Kuketik balasanku untuknya.

Ok. Sure, I’ll come there.

Lalu, balasan terakhir darinya:

I can’t wait to see you. See you soon.

Perasaanku jadi berbunga-bunga banget. Sampai ketika Marko datang, aku masih saja tetap senyum-senyum sendirian. Dia sampai keheranan sendiri.
Dia menarik kursi di hadapanku sambil membawa minuman coffee-latte yang baru saja dipesannya. Hari ini dia terlihat fresh dengan kemeja bermotif garis-garis putih biru keluaran M2.
“Ada apa sih elu? Kayaknya hepi banget. Baru diterima kerja ya?” tanyanya sok menebak-nebak kayak cenayang. Lantas, dia segera menyeruput kopinya.
“Masalah pekerjaan sih kayaknya gue harus berserah pada takdir deh. Gue masih nunggu kabar dan panggilan.”
“Terus, apa yang bikin elu jadi hepi gitu?” Marko memincingkan matanya, berusaha menyelidiki.
Aku mengulurkan ponselku padanya. Dia menatapku keheranan. “You can find the answer here.”
Marko meraihnya, lantas membaca pesan-pesan dari Delon. Tampaknya, tak ada perubahan reaksi sedikit pun pada dirinya. Apakah dia tak merasa ikut bahagia melihat kabar gembira ini?
“Gue rasa, elu harus belajar banyak dari pengalaman gue kemarin ini. Jangan terlalu percaya sama orang dulu. Dan intinya, jangan terlalu berharap banyak.” Kalimat terakhir diberinya tekanan kuat dengan nada suaranya.
“Of course, darling. Thanks udah ngingetin gue.” Aku menerima ponsel yang diserahkannya padaku.
“Gue sekarang udah nggak mau terlalu berharap lagi untuk dapet pasangan yang serius. Sukur kalo dapet. Kalo nggak juga, bukan berarti gue nggak bisa menikmati hidup ini ‘kan?” sergahnya penuh keyakinan.
Satu hal yang sempat mengejutkanku adalah ketika mendengar kegiatan baru Marko untuk mengisi kesepiannya itu. Dia mengikuti kelas Yoga dan meditasi. Marko bilang, setiap kali menyelesaikan satu sesi meditasinya, dia merasa seperti mendapat ketenangan batin. Bahkan, dia juga meluangkan waktu setengah jam sebelum tidur untuk melakukan meditasi rutinnya dengan bantuan iringan musik khusus meditasi. Bisa dibilang, Marko telah menemukan tambatan spiritualnya.
Sekitar jam dua belasan TJ pun datang. Untung saja dia tidak setelat biasanya. TJ memang terkenal paling suka ngaret. Kali ini dia beralasan kalau pengujung toko handphone-nya yang bermarkas di Roxy Mas kebanjiran pembeli. TJ pun tak kalah kagetnya ketika mendengar ‘pertobatan’ Marko.
“Mau jadi pertapa lu?” selorohnya tanpa tedeng aling-aling.
“Terserah deh mau bilang apa. Elu nggak akan ngerti gimana rasa tenang yang akhirnya bisa gue dapatkan sekarang.” Marko malas berdebat dengan TJ yang memang punya banyak perbedaan pemikiran dengannya.
“Gue berani bertaruh, paling-paling juga cuma bertahan sementara. Nanti juga kalo udah ketemu lekong lain, pasti akan back to nature kayak dulu.” TJ terkikik sendiri membayangkannya.
Tiba-tiba TJ memperlihatkan sebuah foto lelaki yang tersimpan dalam handphone-nya. Penampilan lelaki itu sungguh terlihat begitu army-look. Rambut dipotong cepak. Tubuhnya pun pasti tinggi-besar dan berisi. Tampak dari gumpalan otot bisepnya yang mencuat dari lengannya saat kaos singlet membungkus tubuhnya.
Aku dan Marko langsung melempar pandang penuh pertanyaan pada TJ. Siapa gerangan lelaki ini?
“Gue baru kenalan sama dia beberapa hari yang lalu. Temen gue yang mengenalkannya padaku. Namanya Niko. Dia masih berumur dua puluhan. Tapi, dia terlihat mature banget. Macho banget! Gue ampe tergila-gila saat ketemu sama dia.”
Dan TJ pun akan bertemu dengan Niko, si army boy itu sore ini…

Top v.s Bottom: The Philosophy of Gay Sex?
Awalnya, kukira pertemuan itu akan menjadi suatu kenangan yang indah. Tetapi, kenyataan ternyata menyodorkan sensasi yang lebih pahit ketimbang khayal dan harapan. Dan percayakah bila Delon-lah yang menjadi penyebab hariku mendadak berubah menjadi kelabu?
Kami memang jadi bertemu di Plaza Senayan dengannya. Sejujurnya, secara fisik, Delon cukup mengagumkan. Dandanannya begitu familiar, seperti layaknya karyawan swasta. Kulitnya yang putih-mulus menambah kesan imut yang muncul dari perawakannya yang pendek. Kami berdua makan bersama di Sate Khas Senayan, lalu melewatkan waktu bersama dengan berkeliling area mal. Masuk dari satu gerai fashion ke gerai lainnya.
Bisa dibilang, Delon termasuk orang yang menyenangkan bila diajak berdiskusi tentang suatu hal. Dia suka sekali membaca buku-buku tentang bisnis dan manajemen. Salah satu buku favoritnya adalah Steven Covey. Pemikirannya pun luas dan cukup punya konsep yang kuat. Sayangnya, pemikirannya yang oke itu hanya sebatas tentang dunia bisnis saja. Sementara, tentang hubungan seks, agaknya dia masih harus banyak belajar. Sama seperti para gay lainnya.
Aku mengetahui kedangkalan konsep seks-nya saat tiba-tiba di dalam mobil, dia langsung memeluk dan menciumku. Aku sungguh tak siap dengan semua ini. Seusai dia menciumku (bukan berciuman lho, soalnya aku bener-bener gak siap dan tidak menggerakkan bibirku sedikit pun), dia berbisik padaku: “Let’s go to my home. I can’t wait to feel your ass. And I know that you also want to feel my thing inside of you.”
Glek! Tidak, tidak! Ini gila!
“Sorry, I can’t.” jawabku langsung dengan tegas.
Dia terperangah. Digenggamnya tanganku.
“Why?” tanyanya. Aku tak menjawabnya sedikit pun. Hanya saja aku berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya.
“Apakah kamu bukan bottom?” tanyanya lagi lebih jauh.
Wait…wait…pasti banyak yang nggak ngerti apa maksud istilah bottom itu dalam dunia gay. Akan coba kujelaskan sedikit. Jadi, top (arti: atas) menyatakan bahwa lelaki tersebut berperilaku maskulin dan ketika melakukan hubungan anal seks, dialah yang berada dalam posisi ‘menembak’. Sedangkan bottom (arti: bawah) adalah sebaliknya. Ditujukan buat lelaki yang memilih sikap pasif dan ‘ditembak’ dalam hubungan anal seks. Stereotype yang berkembang adalah bahwa lelaki bottom biasanya bertingkah sissy atau kemayu. Ada juga peran ‘versatille’ yang lebih fleksibel. Mereka bisa jadi top, bisa juga jadi bottom. Tapi, pada suatu titik dalam hubungan, mereka tetap harus memilih jadi top atau bottom sesuai dengan pasangannya.
Aku membalas tatapan matanya dengan tajam.
“Sorry, aku tak pernah terjebak dalam konstruksi konsep hubungan heteroseksual seperti itu!”
Aku bergegas keluar dan segera membanting pintu mobilnya. Delon termenung sendirian di dalam mobil. Cepat-cepat aku meninggalkan pelataran parkir dan kembali masuk ke dalam mall. Nafasku sempat terengah-engah sebentar sebelum akhirnya, kulanjutkan langkahku. Kembali keluar mall dan memberhentikan taksi.
Sesampainya di apartemen, aku menemukan TJ dengan wajah yang tak seperti biasanya. Dia sedang terduduk di atas sofa dengan wajah ditekuk seperti dompet tanggung bulan. Rambutnya awut-awutan kayak benang jahit yang kusut. Sejuta pertanyaan berkumandang dalam relung kepalaku.
“Elu udah pulang? Gimana acara ketemuan elu sama si Army-boy itu?” tanyaku dengan penuh penasaran.
TJ malah beringusut dan membaringkan dirinya di atas sofa. Ujung kakinya tersampir pada bagian atas sofa. Dia menghela nafas sebentar sebelum kemudian menjawab, “Gue nggak ngerti, kenapa belakangan ini radar gue seringkali soak. Udah nggak jitu lagi kayak dulu.”
Aku bergegas membuka kulkas. Meneguk air dingin langsung dari botolnya. Terasa kesegaran mengaliri batang tenggorokanku.
“Maksud lu? Gue ‘kan nggak tanya tentang radar elu! Gimana sih, elu ini?!” tanyaku gusar.
“Ternyata si Niko nggak seperti yang gue bayangkan. Bodi dan tampang boleh garang, tapi ternyata…” TJ menghentikan kata-katanya. Dia kembali menghirup nafas dalam-dalam, lalu dia menutup wajahnya dengan bantal sofa dan berteriak sekuat tenaga. Namun, suaranya sih teredam dan tidak menggema kemana-mana.
“Elu ini kenapa sih? Hiperbola banget!” Aku menghampirinya dan merebut bantal itu dari pelukannya.
Kami berdua sempat bersitatap beberapa detik. Keheningan membius ruangan dan membuat suara desiran angin sampai terdengar jelas menyentuh gendang telinga kami.
“Ternyata si Niko itu bottom! Dan gue langsung ngabrit begitu gue tahu hal itu!” cetus TJ.
Mendengar jawabannya, aku jadi tambah penasaran ingin mendengar kronologis peristiwa yang telah menimpa sahabatku itu. Aku mengambil posisi duduk di sebelahnya. TJ pun beringsut bangun dan dengan mata berkaca-kaca, dia menceritakan segalanya.
Mereka jadi ketemu sore ini dan sempat makan bersama di Kemang. Setelah itu, di dalam mobil, mereka berbincang-bincang satu sama lain. Anehnya, saat sedang mengobrol berduaan di dalam mobil, perilaku beserta gerak-gerik Niko berubah total. Dari macho, sekarang dia menjadi sissy abis, Ngomongnya klemak-klemek kayak tante-tante yang lagi tawar-menawar harga dengan tukang ojek. Mendengar perubahan itu, nyaris TJ menabrak gerobak bakso yang lagi nangkring dengan adem-ayem di tepi trotoar. Sampe-sampe si Abang bakso memaki-makinya dengan nama-nama penghuni kebun binatang.
“Eeehh…Kodok…kodok…kodok…” Buset dah! Udah klemak-klemek, ternyata si Niko itu latah abis. Latahnya juga nggak bonafid. Apa coba bawa-bawa spesies kodok segala? Coba kalo dia latahnya sama nama merk-merk terkenal. ‘Kan nggak malu-maluin. Misalnya, “Ehhhhh….Gucci, Gucci., Gucci!”
TJ berusaha menenangkan dirinya. Diberanikan dirinya untuk bertanya pada si Niko tentang gender-rolenya. Ehm…Ehm…Nggak lupa TJ berdehem seraya mengetes mike dan membuat suaranya kelihatan lebih berwibawa.
“Boleh tanya sesuatu nggak?” TJ agak hati-hati bertanya.
“Tanya aja, Kak…” jawab Niko masih dengan nada sissy-nya.
“Ehm…begini…Hmmm…” TJ berusaha mengatur nafas dan suaranya. Tak lupa dia pun mencari padanan kata yang baik supaya tidak menyinggung perasaan Niko.
Niko meliriknya dengan tatapan penasaran. Sesekali matanya berkedip-kedip seperti lampu bohlam yang udah mau putus. Melihatnya, TJ semakin kelimpungan dan ilfil. Gila! Penampilan sama tingkah laku berbanding terbalik.
“Oke, kalau boleh tahu, kamu itu top atau bottom?” Seusai mengucapkannya, perasaan TJ terasa sedikit lega. Setidaknya, dia sudah bisa mengutarakan beban yang menghimpitnya sedari tadi.
Niko menggerakkan tangannya dengan kemayu dan menyentuh paha TJ. Keringat dingin jadi tambah deras bercucuran dari kening TJ. Padahal, cuaca lagi nggak panas dan AC masih nyala.
“Masa sih Kakak masih tanya-tanya hal begituan? Apa jangan-jangan Kakak pura-pura nggak tahu?” Niko mengedipkan sebelah matanya.
Buset dah! Ondel-ondel yang satu ini maunya apa sih?! Nyebut-nyebut! Pikir TJ dalam hati.
“Maksudmu? Aku bener-bener nggak tahu. Tapi, kalau menurut kamu, itu adalah hal yang private, it’s oke sih! Buatku nggak masalah kok…” jawab TJ setengah putus asa.
“Aku bottom kok, Kak!”
Jeger! Jawaban itu seperti halilintar yang seketika menghanguskan daun telinga TJ. Jantungnya berdegup semakin kencang. Oke…Gue udah salah orang dan sekarang gue harus bisa melarikan diri dari jelmaan dedemit banci ini!
“Terus kelanjutan ceritanya gimana? Kok elu bisa kabur dari dia?” tanyaku pura-pura memperlihatkan wajah prihatin. Padahal, dalam hati, aku tertawa cekikikan. Rasain si TJ! Makanya, punya mind-set jangan sex oriented melulu dong.
“Untungnya gue dapet SMS dari temen gue…Gue baca dan gue pura-pura kaget gitu! Gue bilang sama si ondel-ondel itu, kalau temen gue kecelakaan dan sekarang masuk rumah sakit. Padahal, isi SMS-nya mah bukan itu.”
“Untung aja elu masih kepikiran ide begitu. Kalau nggak, sekarang mungkin dia masih ngebuntutin elu!” ujarku.
“Tadinya sih dia maksa mau ikut nemenin gue ke rumah sakit. Tapi, gue bilang kalau gue mau nungguin temen gue itu. Soalnya, dia sohib baik gue. Akhirnya, gue anterin dia sampe halte busway. Dan elu tahu nggak, ternyata sebelum dia turun dari mobil, dia pake ngecup kening gue segala, terus bilang ‘Kak, nanti kita ketemuan lagi ya…’. Ugh! Hari ini benar-benar menyebalkan!”
“Yup, bener banget! Hari ini emang hari yang terkutuk. Gue juga ngalamin hal yang sama kayak elu.” Kini aku yang menceritakan kejadian buruk yang sempat menimpaku.

Kenapa ya kok para gay masih memegang konsep tradisional ‘top’ dan ‘bottom’ melulu? Apakah itu sudah kodratnya? Apakah memang konsep itu sudah nggak bisa ditawar-tawar lagi? Padahal, tahu nggak, kalau konsep ‘top’ dan ‘bottom’ itu berakar dari konsep hubungan seks kaum heteroseksual. Kenapa kita mesti ikut-ikutan segala? Jelas-jelas homoseksual dan heteroseksual itu berbeda. Nah, mungkin masalahnya terletak pada konstruksi gender tradisional yang kaku. Pada konstruksi kaku ini, hubungan heteroseksual dianggap yang paling normal. Sehingga homoseksual diekslusikan dan diberi label ‘abnormal’. Dan lagi, menurut konsep tradisional itu, lelaki harus berperilaku ‘maskulin’ sedangkan perempuan ‘feminin’. Lelaki harus yang aktif alias jadi ‘top’-nya sedangkan perempuan jadi pasif atau ‘bottom’-nya. Nah, nilai-nilai semacam inilah yang diinternalisasikan oleh para kaum gay. Ketika kita mengafirmasi nilai ini, sebetulnya kita udah terjebak dalam nilai-nilai heteroseksual yang selama ini membelenggu kita semua. Mendiskriminasikan dan melabeli kita dengan sebutan ‘penyimpangan seks’.
Kenapa sih kita nggak coba alternatif lain? Nah, ini masalah yang berkaitan dengan kenikmatan seks sebetulnya. Banyak gay yang akan merasa puas dalam seks-nya bila mereka menjalani peran gendernya tersebut. Dan hal inilah yang sulit diubah. Padahal, konsep itu amat sangat membelenggu. Misalnya, dua orang lelaki saling mencintai, tetapi ternyata begitu diselidiki, dua-duanya ternyata bottom. Bila mereka memegang konsep kaku ‘top v.s bottom’ itu, tentu saja hubungan cinta mereka berada di ujung tanduk. Cinta mereka ditundukkan oleh konsep yang kaku itu.
Padahal, kalau mau dipikir lebih jauh, yang terpenting dalam hubungan gay itu ‘kan cinta dan komitmen. Bukannya seks melulu. Seks adalah ungkapan cinta terdalam. Seperti kata Paulo Coelho dalam novel “Eleven minutes”-nya, bahwa cinta itu ibarat air yang mengisi sebuah gelas. Seks adalah sebuah ungkapan personal ketika air itu sudah memenuhi gelas dan lumer. Itulah sebetulnya filosofi seks yang amat sangat sesuai untuk kita saat ini.
Dan juga sebetulnya, gay tidak perlu terjebak dalam konsep gender yang kaku juga seperti kaum heteroseksual. Nggak harus kalo yang top itu mesti maskulin dan yang bottom itu feminin. Yang benar adalah seorang gay harus punya dua-duanya. Maskulinitas dan feminitas. Kita harus jadi androgini. Lha kok harus gitu? Ya ialah, jadi androgini itu membuat kita serba bisa. Kita bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan ‘feminin’—seperti menjahit, mengerjakan pekerjaan rumah, merawat—tanpa harus kehilangan ‘maskulinitas’ kita juga—bisa tegas, berani mengungkapkan pendapat dan penuh pertimbangan akal sehat.

Malam itu, sepulang work-out di Celebrity Fitness, Marko mampir ke apartemen kami. Tak ketinggalan dia membawa Pizza berukuran jumbo. Kami berdua langsung menyambutnya. Dan satu hal yang pertama kulakukan adalah merampas kantong plastic berisi pizza itu, mengeluarkannya, dan menaruhnya di atas meja. Kontan saja, sepotong pizza itu segera mengisi perutku.
“Tumben banget elu bawa-bawa makanan begini…” desisku sambil menguyah sehingga suaraku terdengar sedikit bindeng.
Marko tergelak, “ Udah sukur gue bawain. Malah pake nanya-nanya segala lagi…”
Dia bergegas menjatuhkan dirinya di atas sofa sambil berkipas ria dengan majalah Da Man yang tergeletak begitu saja. Serta merta TJ langsung ngomel-ngomel, “Woi, itu majalah baru gue, say! Belum aja gue baca, udah elu perawanin seenaknya aja!”
Marko memandangi sejenak majalah mode khusus pria itu. Pada cover halaman depannya, seorang aktor film terkenal asal Indonesia sedang berpose dan menyunggingkan senyum manisnya.
“Sejak kapan elu ikut-ikutan gue baca majalah mode segala?!” cetus Marko. Diletakkannya majalah itu kembali di atas meja.
“Ya, sejak majalah itu terbit. Gue ngerasa gak boleh ketinggalan sama hal-hal yang berbau fashion! Gue harus eksis di manapun gue berada.” Jawab TJ sekenanya. Dicomotnya sepotong pizza. Dalam sekejap, makanan asal Italia itu sudah berada dalam kunyahan mulutnya.
“Marko, elu tau nggak, kita berdua lagi mengalami musibah yang benar-benar mengerikan!” kataku mengawali pembicaraan yang sesungguhnya.
“Musibah apaan?” Marko keheranan. Soalnya, kami berdua bener-bener nggak ada tampang lagi ketiban musibah. Buktinya, makan aja masih lahap, ketawa aja masih lancar. Ya, maklumlah, kita berdua udah berhasil ngelupain kejadian yang cukup nyebelin itu. Ekspektasi yang terlalu berlebihan memang terkadang membuahkan hal-hal yang mengerikan.
“Gini ceritanya. Tadi gue janjian ketemu sama si Army-boy dan si Ervan juga ketemuan sama laki dari dunia maya-nya itu…” TJ akhirnya mengambil kesempatan untuk bercerita. Marko sampai-sampai memerhatikan dengan seksama seolah-olah tak ingin kelewatan satu adegan pun. Matanya membulat besar. Sesekali dia mengangguk-anggukan kepalanya perlahan. Kadang keningnya juga mengernyit. Membentuk garis-garis kerutan pada kulit cokelat susunya. Namun, saat cerita sampai pada titik klimaks, yakni saat TJ sudah berada dalam mobil bersama si army-boy gadungan itu dan tingkah laku sissy-nya dia mulai menampakkan diri, langsung deh tawa Marko pecah membahana. Dia cekikikan sendiri. Nggak tahan menahan perasaan geli yang berkecamuk dalam dadanya.
“Hahahaha….Lagian, pake banyak berharap segala sih!” Marko berkomentar. Diteguknya air dingin langsung dari botolnya. Kemudian, dia kembali mengarahkan perhatiannya pada kami berdua.
“Yeee, elu malah ketawa lagi…Bukannya turut prihatin. Gue nggak abis pikir, ternyata radar gay gue udah pantes dimuseumin. Masa gue nggak bisa ngebedain lagi mana yang top dan mana yang bottom…” TJ menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Bukannya nggak bisa dimuseumin, tapi elu-nya aja yang terlalu banyak ekspektasi. Belum tentu cowok yang bodi dan penampilan macho itu pasti memegang peran jadi top. Banyak juga kok dari mereka yang sebetulnya malah bottom.” Jelas Marko.
“Aneh ya, kenapa sih para gay itu masih aja mementingkan peran top dan bottom dalam relasi mereka?!” cetusku. Aku merasa tak sepaham mengenai hal itu.
“Kadang ada gay yang ngaku-ngaku dia itu top supaya merasa dirinya lebih superior.” ujar Marko pendek.
“Maksud elu? Superior?” TJ balik bertanya. Aku pun memasang wajah penasaran.
“Yup, mereka ngaku-ngaku ‘top’ supaya terlihat lebih macho dan masih bisa berhubungan intim dengan perempuan. Nggak kayak kaum bottom yang pastinya nggak akan bisa menikah. Terkadang itu jadi senjata dan tameng bagi para top jadi-jadian itu.” Marko menjelaskan panjang lebar. Ya, tiga puluh persen aku setuju dengan penjabaran Marko. Hanya saja kembali pada poin dasarnya, aku tetap tidak mengerti, mengapa para gay masih harus terjebak pada peran gender yang kaku itu.
Aku pun mulai mengutarakan alasan keberatanku seperti yang telah kujelaskan panjang lebar di atas, “Gue nggak setuju dengan konsep yang berakar dari hubungan seks kaum hetero itu! We are different from them! Jadi rasanya nggak perlu bawa-bawa konsepsi mereka ke dalam relasi hubungan kita.”
“Biasa deh Mr. Idealist…” desis TJ sinis saat mendengar argumenku.
“But wait…wait…wait…” Marko berusaha menengahi. Lalu, lanjutnya, “Gue gak mau menghakimi argumen Ervan. Tapi, gue punya penemuan sedikit mengenai hal ini. Dan penjelasan gue ini berasal dari filosofi Yoga Tantra dan Kundalini.”
Dan kuliahnya berjalan dengan lancar banget:
Menurut konsep Yoga Kundalini, anus merupakan cakra pertama (muladhara) yang menghubungkan tubuh manusia dengan alam. Ketika kita duduk dalam posisi bersila mirip bunga teratai dalam yoga, kita telah membuat cakra pertama itu berhubungan langsung dengan tanah atau alam itu sendiri. Anus yang merupakan saluran pembuangan itu seringkali dapat diartikan bahwa manusia seringkali harus makan demi kelangsungan hidupnya. Dan dalam mendapatkan bahan makanan, manusia seringkali harus membunuh hewan. Jadi, cakra pertama ini ingin mengindikasikan pengalaman tentang mortalitas (kematian). Selain itu, anus sendiri memiliki banyak hubungan dengan saraf-saraf otonom yang berada di luar jangkauan kendali kesadaran kita. Karena anus langsung berhubungan dengan otak melalui saraf tulang belakang, kaya dengan ujung-ujung urat saraf dan juga kelenjar yang memproduksi feromon, sehingga dia dapat berfungsi menjadi organ seksual. Dan lagi, kelenjar prostate juga terletak di atas dubur, maka anal seks dapat membawa kenikmatan seksual. Kelenjar prostat juga ternyata adalah chakra kedua lho.
“Apa bener tuh kalau anal seks itu bisa membawa kenikmatan?” tanyaku penasaran. Aku agak meragukannya. Soalnya, dubur ‘kan tempat eksresi dan pastinya di sana kotor dong.
“Ya, menurut sebagian orang sih begitu.” Jawab Marko acuh. Dia melirik TJ yang lagi mesem-mesem. Lalu, katanya lagi, “Tanya aja tuh si TJ.”
“Lho, kok gue sih yang jadi obyek penelitian elu orang!? Ih….hal-hal semacam itu ‘kan private and confidential kaleee…” seloroh TJ.
“Tapi, jangan lupa, bagaimanapun juga safe sex adalah hal yang penting. Don’t ver forget to use condom…” Kali ini Marko kelihatan seperti dokter ahli seksologi. Hahaha, kayak dokter Boyke.
“Beres bos!” TJ langsung menanggapi.
Aku hanya terdiam. Masih berusaha mencerna penjelasan Marko. Gila! Kalau ini semua benar, kenapa nggak ukuran anus para pria gay itu berevolusi kayak teorinya Darwin? Harusnya seleksi alam plus pengalaman mendidik sistem tubuh para gay biar lubangnya jadi lebar dan tidak kesakitan pas melakukan anal seks. Aku tertawa sendiri dalam hati. Kegelian karena kegokilanku sendiri memodifikasi teori biologi Bapak Charles Darwin yang selalu bikin resah kaum agamawan fanatik itu.
“Kayaknya, semenjak elu mendalami yoga, elu jadi tambah bijak deh, Mar. Gue jadi pengen ikutan…” canda TJ.
“Beneran lu? Ah, elu sih kadang-kadang Cuma anget-anget tahi ayam doang…” Marko rada nggak percaya sama kredibilitas sohibnya ini.
“Gue mau mengaktifkan potensi tersembunyi chakra pertama gue, boooo!”
Mendengarnya, Marko mengeleng-gelengkan kepalanya sendiri. Jadi nyesel menjelaskan semuanya.


Unbelievable Change
Semangat TJ untuk menenggelamkan dirinya dalam dunia meditasi tak hanya tinggal di bibir saja. Ternyata, di dalam lubuk hatinya, dia pengen banget jadi kayak Marko yang akhirnya bisa sedikit lebih wise dalam memaknai kehidupan sekitarnya, meskipun siapa yang tahu isi hati Marko yang sesungguhnya? Apakah memang dia benar-benar sudah menemukan tambatan spiritualnya dan tak lagi berharap sama yang namanya cinta?
Aku agak skeptis mengenai hal yang satu ini. Aku berani bertaruh pasti kalau nanti ketemu cowok baru yang sesuai sama seleranya, pasti Marko juga kelojotan sendiri. Lagian, mana mungkin sih orang setipe Marko gitu mau hidup selibat seperti pertapa yang mencari wangsit di balik kegelapan gua yang mengerikan itu? Sehari hidup tanpa AC aja udah kelabakan kayak onta kekurangan suplai air. Ini semua terbukti pada suatu ketika saat mesin pendengin mobilnya lagi mengalami kerusakan fatal. Marko terpaksa membuka kaca jendela mobilnya demi mendapatkan semburan angin segar. Dan tentu saja, tak hanya angin yang masuk, namun diikuti dengan asap kendaraan dan debu yang sudah tercemar polusi. Serta-merta sepanjang perjalanan Marko jadi gusar dan mengumpat-umpat tanpa ampun.
Kembali lagi pada tokoh kita yang paling nyentrik, TJ. Melihat kemauannya yang besar untuk menggali kehidupan spiritualitasnya, Marko pun meminjaminya beberapa buah buku mengenai cara-cara meditasi yang tepat disertai dengan sebotol aroma terapi wangi Lavender. Sempat beberapa malam, setelah mengurusi segala tetek-bengek masalah toko handphone-nya, dia membaca buku-buku bertema meditasi itu sampai akhirnya dia merasa betul-betul siap untuk mempratikkannya secara langsung pada suatu malam.
Dihamparkannya selembar karpet berbentuk persegi di atas lantai, kemudian dibakarnya sumbu yang terletak di ujung botol aroma terapinya sampai api tersebut mati, dan sebagai penggantinya, aroma bunga Lavender menyeruak mengisi tiap sudut kamarnya. TJ menghela napasnya sebentar sebelum dia melipat kedua pergelangan kakinya untuk membentuk formasi duduk sila.
Dia mencoba untuk memfokuskan pikirannya supaya tidak sibuk dan keliaran sendiri. Matanya terpejam dan merasakan kegelapan pekat yang menyelimuti sekujur pandangannya. Awalnya, memfokuskan pikirannya agar tidak memikirkan suatu hal apapun sulit sekali. Baru saja satu menit dia bisa berkonsentrasi dengan baik, tiba-tiba di menit berikutnya, konsentrasinya buyar. Memang sulit banget sih untuk mengontrol pikiran kita sendiri. Soalnya, pikiran kita itu mirip kayak cacing kepanasan yang kelihatannya sih kecil dan gampang dikontrol, meski sebenarnya di balik semua itu, dia suka menggeliat-geliat sendiri nggak keruan dan susah banget untuk diatur.
Namun, akhirnya setelah sekian lama berusaha, TJ pun memfokuskan pikirannya. Tapi, sudah bisa ditebak, itu hanya bertahan sekitar tujuh menitan doang. Aku baru saja membuka pintu apartemen saat sebuah teriakan menggema dari dalam salah satu kamar. Beberapa hari ini, aku memang sedang kerajingan berenang untuk sedikit menghilangkan kecemasan dan keresahan menunggu panggilan kerja.
Dan tipe suara semacam itu—yang sok-sok melengking kayak Mariah Carey— sudah begitu akrab di telingaku.
Teriakan TJ.
“Aaaarghhhh!!!”
Aku jadi berpikiran yang tidak-tidak. Jangan-jangan ada perampok yang masuk ke dalam rumah. Ah, tapi kok nggak ada tanda-tanda yang menunjukkan hal itu? buktinya keadaan ruang tamu masih seperti sediakala. Nggak berantakan seperti abis diobrak-abrik perampok yang ingin mencari barang berharga.
Tanpa perlu pikir panjang lagi, aku langsung bergegas menghambur masuk ke daalam kamar TJ. Aku melongok ke bawah, tempat TJ duduk bersila. Wajahnya berkerut-kerut seperti menahan kesakitan. Matanya berkaca-kaca, setengah menangis. Bibirnya megap-megap kayak ikan cucut kekurangan air dan lagi kelojotan di atas talenan.
“Elu kenapa?!” tanyaku serta merta. Perasaan bingung menyergapku.
“Van, tolongin gue dong…” jawab TJ dengan nada suara memelas.
“Ada apaan sih?” reaksiku jadi gusar sendiri.
“Tadi gue coba meditasi, terus mendadak gue kebelet boker. Pas gue pengen bangun, kaki gue kesemutan….Duh, tolongin gue dong. Gue kagak bisa bangun…”
Mendengarnya, aku cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala penuh keprihatinan.
Lagi-lagi TJ bikin ulah yang nggak penting!

Comments

  • Terus terang, ceritanya semakin lama semakin menarik. Karakterisasinya sudah mulai (lumayan) kuat. Dan lagi, ada bagian2 penjelasan yang cukup mendalam yang membantu pembaca dalam memahami kehidupan gay dan sekaligus karakterisasi. Keep on the good job. :D Ditunggu lanjutannya.
Sign In or Register to comment.