It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ketipu sama iklannya dan rekomendasi.untung gak jadi beli dan ini aja nemu diperpustakaan kota.
Too easy. Resmi sudah, saya memilih Tsukuru sebagai karakter favorit saya di novel-novelnya Murakami selain May Kasahara (Wind-up Bird Chronicle) dan tentu saja, si nyentrik Midori Kobayashi (Norwegian Wood). Colorless sendiri sebenarnya novel yang tidak semagis dan seabsurd novel Murakami lain, masih level menengah, sehingga terasa lempeng saja, untung diselamatkan oleh karakter-karakter dengan kepribadian langka, yang selalu muncul di novel-novelnya Murakami
Parva (S. L. Bhyrappa)
It changed my perspective on Mahabharata, forever. Sebuah reinterpretasi mengagumkan dengan penceritaan ulang Mahabrata dengan sudut pandang dunia abad ke-21. Mahabrata, kisah-kisah yang penuh dengan kekuatan-kekuatan magis, makhluk-makhluk eksotis, pusaka-pusaka legendaris, kadang sulit dinikmati oleh pembaca "serius". Tapi, lewat novel ini, kisah Mahabrata di de-mitologisasi sehingga kisah Mahabrata jauh lebih membumi tanpa sediktpun mengurangi keeksotisan ceritanya.
Dan, kebencian saya semakin menjadi-jadi pada Yudisthira (dan Pandawa lain juga sih, tapi tidak sekuat ke Yudisthira) dan simpati yang terus mengalir pada Karna. Haha.
Novel misteri kriminal dengan latar musim dingin. Entah kenapa saat membacanya di puncak gunung, novel ini memberikan sensasi hangat. Haha. Jika kamu menyukai novel-novel kriminalnya Denis Lehane yang alurnya sederhana dan tak menampilkan sosok-sosok mastermind supervillain ala james Patterson, novel ini cocok dibaca.
A Visit from the Goon Squad (Jennifer Egan)
This is it. The DELICIOUS.
Curl up next to the fire under a blanket with tea book. The windowsill on a rainy day with your pet book. The stay up all night book. A chill goes down your spine (but in a good way!) while reading it.
Saya membaca buku ini di malam tahun baru. Sambil menunggu kantuk datang, sedikit memalukan, saya kelelahan banyak makan kekenyangan, haha. (di rumah, saya merasa menjadi raja, biasanya nyari makan sendiri keluar, pas malam tahun baru makanan datang sendiri bahkan diantarkan, hehe). Ok, stop.
"A Visit from the Goon Squad" sebenarnya bukan novel yang berdiri utuh. Tetapi lebih mirip sebuah kumpulan cerita pendek terpisah dan berdiri sendiri namun memiliki keterkaitan cerita antara satu bab dengan bab lainnya.
Saya awalnya sengaja membaca buku spt itu agar bisa menutup buku ini di akhir tiap bab untuk langsung tidur jika sudah ngantuk. Nyatanya, 4 jam berikutnya, saya terus melanjutkan membaca novel ini tanpa tertidur (meski sudah bergelung di bawah selimut tetapi selalu penasaran untuk membuka tiap bab berikutnya).
O wow. Apa yang akan kamu lakukan jika kamu sudah tahu bahwa kamu akan dibunuh? Kamu bahkan tahu kapan dan oleh siapa kamu akan dibunuh. Termasuk alasan kenapa kamu harus dibunuh. Dan, semua orang di kota mengetahui hal ini, tapi tak ada seorang pun berusaha menghentikannya.
Ketika adegan pembunuhan itu terjadi di halaman-halaman terakhir, saya seperti bangun dari mimpi aneh, keluar dari dunia dongeng yang menegangkan sekaligus memabukkan. Gabriel García Márquez, adalah satu-satunya penulis yang bisa menulis dengan gaya ajaib seperti ini. Gaya menulis ajaib yang bahkan akan membuat iri siapapun, karena gaya menulis seperti dia, adalah bakat luar biasa langka, yang belum tentu akan muncul seribu tahun sekali.
Gw suka yg misteri kriminal gitu. yg thrilling
Aaaakkk... Ada ebooknya ga ya
Untuk Chronicle of a Death Foretold, saya ada ebooknya. Novelnya tipis kok (lebih cocok disebut novella kali ya, cuma seratusan halaman). Kalau mau, sila PM-kan alamat surelnya.
Oya, ini ini bukan novel thriller biasa ya, lebih ke arah sastra, Marquez adalah pemenang Nobel sastra yang terkenal dg gaya narasinya yang realis magis. Ajaib banget pokoknya ceritanya, makanya saya gak mau ngasih spoiler banyak-banyak, hehe.
Ini buku ketiga Armstrong yang membahas kekerasan atas nama agama yang saya baca selain The Holy War yang setebal gajah itu (ini fokusnya ke perang Salib sih, tapi bab-bab terakhir menjelaskan fenomena kekerasan atas nama agama juga) dan The Battle for God.
Belum tamat sih baru baca 4 bab, tapi seperti buku-buku Armstrong lainnya, sebenarnya bagian prolognya sudah memuat kesimpulan bukunya. Bukunya enak banget buat dibaca. Membicarakan sejarah kekerasan atas nama agama.
Armstrong, dengan argumen yang eyakinkan ditunjang fakta-fakta membludak, berada di pihak yang tak setuju bahwa agama sumber (root of cause) dari kekerasan dan peperangan. Meski dia tak menafik bahwa agama bisa menjadi pemicu (trigger) dari perang, terorisme, dan bentu kekerasan lainnya.
Buku ini sebenarnya bisa membungkam kritik (dan tuduhan) para kaum ultra-atheist seperti Bill Maher yang menganggap agama menjadi sumber segala masalah termasuk kekerasan. Bahasa Armstrong yang lincah, menjadikan saat-saat membaca buku ini seperti baca novel berlatar belakang sejarah.