It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aduh. Pengetahuan politik Iran saya harus diapgred. Pascarevolusi Islam Khomeini, saya hampir tak mengikuti perkembangan berikutnya selain berita-berita sekilas di portal berita daring tentang pemilu pemilihan Amhmadinejad dan Rouhani. Sisanya bablas.
Saat membaca buku ini, saya terpaksa googling artikel-artikel ttg kondisi Iran kontemporer untuk memahami dan membayangkan, Iran yang sekarang dan dulu seperti apa pasca embargo yang bertubi-tubi.
Buku ini adalah sebuah memoir dari Nafisi, menceritakan saat dia masih kecil di Iran sejak masa Pahlevi yang liberal (mirip dg kondisi Afghan praTaliban), lalu dilanjutkan dg revolusi negara Islam Khomenei yang mengubah drastis sejarah dan nasib negara (dan warga) Iran selamanya.
Premis buku ini (seperti terbaca pada sinopsis di sampul belakangnya), adalah bagaimana Nafisi--secara sembunyi-sembunyi, mengajak keenam murid perempuannya untuk membaca novel-novel klasik Barat (seperti The Great Gatsby, Invitation to a Beheading, Daisy Miller, Pride and Prejudice, dan tentu saja Lolita yang menjadi judul buku ini.
Sayangnya, bagian ini, justru mendapat porsi paling sedikit. Ada dua subtema lainnya, memoir saat masih kecil Nafisi (yang tidak berbeda jauh dengan Persepolis-nya Satrapi), dan bagian yang paling menarik dari buku ini: kritik Nafisi dalam mengkritisi karya sastra Barat.
Pada saat mengulas The Great Gatsby misalnya, Nafisi mendebat habis-habisan, apakah memang novel tsb mengajarkan tentang budaya hedonisme dan mempengaruhi orang berbuat cabul? Dengan bahasa lugas (namun kadang emosional) Nafisi mendebat, mencaci maki, bahkan menolak ide-ide dari karya sastra yang dibacanya.
Dan, seperti itulah sebuah buku harus diperlakukan. Ketika kita mendengar kabar sebuah buku yang "kontroversial", kita tidak boleh lantas menolak. Tidak boleh langsung takut, menyabotase, menarik dari peredaran, bahkan membakar dan memusnahkannya.
Bacalah buku tersebut. Bacalah buku tersebut. Lalu, kritisi isi buku tsb yang dianggap tidak sesuai. Sebuah buku bukan untuk ditakuti atau sebaliknya disakralkan. Dia bebas didebat dan dicaci maki.
Nafisi, dengan bahasa yang luar biasa jernih, menngeluarkan semua unek-unek ttg buku yg dibacanya, yang menyadarkan kita bahwa tidak perlu menajdi seorang dosen atau sastrawan misalnya utk mengkritik sebuah buku. Kita sebagai orang biasa bisa dengan bebas melakukannya. Buang semua paranoid dan sifat langsung mudah percaya kabar burung yang beredar. Baca dan saksikan.
Di tengah-tengah gelombang perombakan nilai-nilai budaya dan hukum Iran karena revolusi, Nafisi berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan sikap kritis tsb. Namun, pada akhirnya, Nafisi menyerah jua.
@wing bacaan nua keren... btw itu ebook atau cetak ? dan dpt Info buku drmn aja ?
hehehe
@foursquare kombinasi antara buku cetak dan elektronik. Tergantung yang sedang dipegang aja yang mana. Info buku/film saya dapet dr forum dan komunitas buku/film gitu. Lumayan banyak sih yang diikutin, sumbernya gak hanya satu. Jadi gak pernah kehabisan info. Yang ada, gak punya waktu buat baca/nonton semua. Haha.
Kubah (Ahmad Tohari)
Ah... Akhirnya saya kecewa juga dengan Ahmad Tohari. Premis ceritanya sangat menarik sebenarnya, bagaimana seorang ekstahanan politik karena dituduh simpatisan PKI yg dipenjara di pulau B, mencoba merenggut kembali kebebasan dan hidupnya yang terampas, untuk meyakinkan masyarakat dan orang-orang terdekatnya bahwa dia adalah korban dr tuduhan yang tak terbukti.
Sayangnya, di novella ini (tipis seratusan halaman), Tohari melakukan apa yang masuk dalam kategori perpanjangan propaganda Orde Baru untuk mengerdilkan faham Marxisme/Komunisme dengan kritik yang tak ilmiah dan mengandalkan stereotif. Khas Orde Baru.
Tokoh-tokoh di novel ini digambarkan secara hitam putih; yang binal, jahat, berbicara kasar, munafik, tamak, tukang fitnah, dan tentu saja atheis adalah sudah pasti simpatisan PKI, sedangkan yang baik-baik semuanya adalah orang desa lugu, agamis dan pancasialis.
Legitimasi bahwa semua komunis adalah jahat dan atheis ini ditampilkan oleh Tohari dengan tegas dan jelas sehingga terasa sekali upaya pembentukan opini yang ingin dibentuk.
Tak mengherankan jika novel ini mendapat penghargaan sbg novel terbaik dari pemerintah Orde Baru.
Eating Animals (Jonathan Safran Foer)
Ada banyak film dokumenter maupun bacaan yang mempromosikan ttg ajakan hidup vegetarian. Banyak diantara film/buku ini yang cenderung emosional bahkan irasional spt tuduhan yg terlalu membabi buta dan bahkan penghinaan bagi mereka yang mengkonsumsi daging. Buku Foer ini adalah salah satu buku yg mempromosikan hidup vegan dengan tetap rasional (yang sangat unik dalam segi kepenulisan, sama uniknya dg novel-novel ajaibnya spt Extremely Loud and Incredibly Close atau Everything is Illuminated)
Dengan gaya narasi ala novel, Foer menguraikan riwayat keputusannya utk memilih hidup vegan yang ternyata sampai ke buyutnya yang pelarian tawanan NAZI (hal yang selalu muncul di setiap novelnya). Namun, Foer tetap menunjang ceritanay ini dg segudang data dan fakta yang validitasnya sukar dibantah. Dalam hal ini, buku Foer ini sama baiknya dg buku The Omnivore's Dilemma-nya Michael Pollan.
Jadi, tentu saja buku ini membuka mata saya ttg fakta-fakta mengejutkan (juga mengerikan) ttg riwayat sekerat daging yang ada di atas piring kita. Begitu banyak pengorbanan (termasuk kepunahan spesies) yang harus dilakukan agar sekerat ikan tuna asap tersaji hangat di depan kita.
Apakah saya setelah membaca buku ini termotivasi menjadi seorang vegan? Ehemm... Sejak baca buku Pollan atau nonton dokumenter kekejian peternakan, saya sebenarnya sudah termotivasi utk menjadi seorang vegan, tetapi saat disajikan seporsi T-bone steak, tomyam seafood, dimsum isi daging, dan ayam goreng original KFC... saya mendadak lupa dg buku-buku ini... Hehe...