It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Sabar ya mas sampai hari sabtu. Biasanya sabtu dini hari sudah di rilis...
Antara jam 12 malem sampai jam 3 pagi, pasti sudah rilis, ehehe...
memberi semangat untuk menulis lbih baik? itu trmasuk komen bkan ?
Ya saya sabar deh.....tp reinvite saya lagi dong kemarin ja dah dah bs buka blog nya.....eeeh td mau buka ngk bs lagi
Di undang lg ya mas @bibay007 andreasj28@gmail.com
Thanx........
Dalam 24 jam kalian udah bisa baca kelanjutan kisah si Raffa dan si Evan, hahaha...
kesan dari awal chapter sampe chapter 15 yg gw baca, menandakan kalo penulis @bibay007 itu cerdas. Alurnya mengalir bgt, pemilihan bahasa jg pas. Mudah2an buat ke depannya penulis bisa lebih cerdik lg ngatur konflik. Oh ya, susunan kalimat dan tanda baca jg harus bs lebih diperhatikan..biar lebih rapi dibacanya. Menulis dgn suka rela bukan berarti harus acak2an kan?
gw percaya kok @bibay007 ini adalah penulis yg tulus. Keep the good work.
q tunggu lho smpe subuh...
Dan Itu Tulus dan Jujur...
“Raff, gua diajak temen gua nih nonton live music. Ikut yuk.” Kata Evan. Gua dan Evan yang sudah mandi sedang tidur-tiduran berdua diranjangnya Evan sambil menunggu waktunya buat ngampus. Mengobrol apa saja sambil menatap langit-langit kamar kos.
“Konser gay ya? Nggak ah, ntar gua diperkosa lagi di sana.” Kata gua yang langsung defensif
“Hidiih, pede banget lu, Raff. Konser musik biasa kali, kaya pada umumnya. Lagian siapa juga yang mau merkosa lo, cakep juga kagak.”
“You know, gua bingung deh, perasaan Cuma elu doang orang yang nggak pernah bilang gua cakep. Emang sejelek itu kah muka gua di mata lo, atau setinggi itukah selera lo akan cowok cakep?”
Evan sok lugu dan tidak berdosa. “Yaaa mau gimana lagi sih, emang pada dasarnya elo nggak cakep, Raff.”
“Haaaah, ngambek ah gua...!”
Evan menatap wajah gua sambil tersenyum, “Jiaaaaah, si Raffa ngambek, hahaha... nggak dibilang cakep ngambek, hahahaha...”
“Lah lagi, elu temen gua yang paling deket, tapi elu nggak pernah muji gua.”
“Uuuuh, my baby bro, ngambek ya, uuuh tayang-tayang... sini, cium dulu.” Bibir Evan mulai nyosor.
“Nggak-nggak-nggak!”
Bibir Evan terus berusaha mencium bibir gua, namun gua terus berusaha menghindar.
“Nggak mau-nggak mau-nggak mau!”
“Hahaha...” Evan kemudian menyerah dan tertawa. “Udah ah, yuk siap-siap buat ke kampus.”
Evan bangkit berdiri dan mulai berpakaian, hal yang sama juga gua lakukan. Setelah memakai sepatu dan siap, kita berdua berangkat bersama menuju kampus.
*** verterusvoso.blogspot.com ***
Kampus siang ini sangat panas. Panasnya udah masuk level jahanam, payung sekarang ini bahkan sudah tidak digunakan lagi untuk penghalau hujan, tapi juga untuk penghalau panas matahari. Gua, Margo, Misca, Nanda dan tentu saja Evan mengademkan diri di kantin ber-AC yang luarbiasanya bisa merokok didalamnya. Kita sambil makan siang sambil nyantai sebelum lanjut jalan-jalan entah kemana.
“Gila ya dosen gua, nggak doseniawi banget deh, masa baru Minggu kemarin gua disuruh bikin makalah, sekarang disuruh bikin lagi. Gua agak khawatir jangan-jangan dia punya ketertarikan yang aneh terhadap makalah.” Kata Nanda setelah selesai menyantap mie pangsit langganannya.
“Yak elah, itu udah biasa kali, Nda.” Kata Evan sambil mulai merokok. “Dimana-mana dosen kan biasa nyuruh mahasiswanya bikin tugas makalah.”
“Masalahnya semester ini aja gua udah bikin lima makalah buat mata kuliah dia doang.”
“Buset!” Evan kaget. “Itu mah nggak wajar tuh.”
“Itu dia.” Kata Nanda.
“Seenggaknya elu nggak seribet kita, Nda.” Kata Misca ikutan nimbrung. “Lah kita disuruh bikin film pendek durasi 15 menit?”
“Lah, bukannya enak?”
“Enak dari hongkong.” Kata Margo.
“Enak pala lu. Bikin film pendek itu ribet, Nda.” Misca menjelaskan. “Harus nyari talent lah, bikin naskah, syuting, ngedit dan sebagainya. Kalo elu kan gampang, tinggal copy-paste aja makalah orang. Ubah-ubah dikit, jadi deh.”
“Iya sih. Tapi kan bikin film pendek itu seru. Fun.” Kata Nanda.
“Ya udah, kalo menurut lo bikin film pendek itu fun, elo jadi talent kita aja.” Kata gua.
“Boleh... emang kalian mau bikin film apaan?”
“JAV.”
Nanda langsung menggeplak kepala gua. “Semprul, lo makan dulu nih meja sampe habis, baru gua mau main film JAV bikinan lo.”
“Cowok di mana-mana emang sama aja, cabul.” Kata Misca. “Nggak, Nda, bikin film yang simple aja, yang ceritanya tentang sehari-hari.”
“Sehari-hari gua nontonnya JAV.” Kata Margo. “Elo coba aja, Nda. Siapa tau elu bisa jadi The Next Miyabi... Nandabi.”
“Eh gila deh lo semua. Cabul abis.” Kata Nanda. “Elo cowok-cowok, ngomong cabul lagi gua lempar teh botol nih.”
“Oke-oke, Nda, kalem-kalem.” Kata Evan.
“Soal film kita bahas nanti aja deh, masih tiga bulan ini kok tugasnya.” Kata Misca. “Ngebahas yang laen yuk.”
“Oke.” Kata Evan, ia meletakan rokoknya di asbak setelah menemukan topik. “Sekarang gua mau nanya. Kalian, cewek-cewek, cantik-cantik, kok nggak pada pacaran sih?”
“Gua udah punya pacar kaleeeee.” Jawab Misca.
“Siapa?” Tanya Evan.
“Alex.” Misca menjawab senyum senyum-senyum sendiri. “Kalo nggak si Tukang sate.”
“Punuk merindukan bulan.” Jawab Evan. “Kaya mau aja abangnya si Raffa sama elo.”
“Lagian gua juga nggak setuju kalo elu, Mis, jadian sama abang gua. Aneh aja rasanya.” Kata gua.
“Aneh gimana?”
“Umur kalian kan lumayan jauh jaraknya.” Kata gua.
“Eeeeh, Raffa, jarak umur gua sama abang lo tuh pas banget buat nikah.”
“Elu kenapa sih, kok jadi terobsesi banget sama abangnya si Raffa.” Tanya Evan.
“Entah kenapa, gua bisa melihat masa depan kalo sama abang lo Raff. Gua merasa si Alex bakalan menjadi ayah dari anak-anak gua.”
“Wueks.” Kata Evan.
“Lebay.” Kata Nanda.
“Nggak mungkin!” Kata Margo.
“Elu pacaran aja sama si Raffa, Mis. Dia kan udah putus sama cewek, udah avaliable tuh.” Kata Nanda.
“Nggak ah... bekas Gadis gitu logh. Gua nggak tertarik sama cowok bekas.” Misca menjawab sok angkuh.
“Sialan lo.” Gua merasa terhina lahir batin. “Bekas sih bekas, tapi performa gua setara mesin baru.”
“Elo anggota Transformers, Raff?” Tanya Margo.,
“Idiot.” Kata Misca.
“Nah, elo sendiri, Nda, kenapa elo nggak pacaran?” gua kini beralih ke si Nanda.
Nanda tampak senyam-senyum seolah dia ketangkap basah nyolong sempaknya si Evan. “Gua emang lagi pengen ngejomblo aja sih. Kalo single kan bisa bebas, mau ngapa-ngapain nggak ada yang ribut nanyain.”
“Elu bukannya satu untuk semua, ya Nda?” tanya Evan.
“Salome dong.” Si Margo nyeletuk.
“Salome apaan?” Nanda bertanya bingung akan istilah yang baru dia denger itu.
“Satu lobang rame-rame.” Jawab si Evan yang kemudian diikuti dengan tawa.
“BANGSAAAAATTT...!” Seru si Nanda nggak terima. “Bedebah lo semua. Dasar cowok-cowok cabul, pervert! Margo sialan lo!”
“Hahaha...” kita semua tertawa.
“Udah ah-udah ah-udah ah, cabut yuk, jadi pada nonton nggak?” kata si Misca.
“Jadi lah... film seru nggak boleh dilewatin. Nonton di mana?” tanya gua.
“Blitz GI aja yuk..” Jawab Evan.
“Oke.” Gua menyetujui.
Kita berlima pun beranjak dari kantin yang semakin penuh dengan asap dan bergerak menuju ke Grand Indonesia dengan menggunakan busway. Tidak ada kemacetan yang berarti dalam perjalanan menuju Grand Indonesia, Cuma setengah jam yang dibutuhkan begitu kita turun di halte Bundaran HI dan jalan sedikit menuju ke mall tersebut. Setelah tiba di bioskopnya Evan dan Misca langsung ke loket tiket untuk memesan tiket dan memilih posisi duduk yang enak. Sementara gua, Margo dan Nanda duduk-duduk di lobi. Mendadak celana gua bergetar dan gua mengeluarkan ponsel gua. Ada SMS dari Alex, katanya dia nanya stick PS 3 yang satu lagi gua simpen di mana. Soalnya di rumah temen-temennya si Alex datang dan mereka pengen ngadu game Winning Eleven. Begitu gua membalasnya ternyata SMS nya nggak kekirim dan begitu gua cek ternyata pulsa gua habis.
Gua akhirnya pergi turun keluar mall untuk mencari tukang jualan pulsa, tidak jauh dari pintu keluar mall terdapat tukang jualan pulsa dan gua langsung membeli voucher pulsa seratus ribu. Setelah mengisinya, gua diam sebentar untuk membalas SMS, lalu setelah itu kembali masuk ke mall. Setelah menunggu di depan lift sebentar gua langsung masuk begitu pintu lift terbuka, cukup seneng juga karena Cuma gua doang di lift, jadi gua bisa langsung melesat ke lantai 8 kalo-kalo tidak ada yang naik diantaranya. Sayangnya gua tidak sendirian lagi begitu lift berhenti di lantai 2, bahkan penumpang yang akan naik ini pun malah membuat gua semakin tidak nyaman di lift tersebut.
Gadis muncul dari balik pintu lift ketika pintu lift terbuka. Dia tertegun sejenak begitu melihat ada gua di dalam lift tersebut, dia tampak ragu untuk berada satu lift bareng gua, namun pada akhirnya dia melangkahkan kakinya juga masuk ke dalam lift. Begitu masuk dia langsung menekan tombol lantai delapan yang dari sebelumnya sudah menyala. Pintu lift tertutup dan kini gua berduaan sama mantan gua.
Entah kenapa perjalanan lift ini menjadi terasa lambat sekali. Di sebelah gua ada cewek yang pernah dan masih gua sayangi namun sekarang sudah tidak bisa lagi. Ini benar-benar Awkward moment. Tapi gua berusaha bersikap gantle dengan mengajaknya berbicara.
“Apa kabar?” tanya gua, sambil menoleh menatap wajah cantik Gadis. Dia tampak agak kurusan sekarang, namun dia tetap saja cantik dan mempesona. Seandainya gua masih pacaran sama dia, mungkin udah gua cipok si Gadis dan kita akan berciuman selama perjalanan lift tersebut. Sayangnya gua Cuma ngarep.
“Baik.” Gadis menjawab tanpa memandang gua. “Kamu apa kabar?”
“Aku baik juga.” Gua menjawab. “Kamu mau nonton juga?”
“Iya. Kamu nonton sama siapa?”
“Aku sama Evan, sama temen-temen kampus yang lain.”
“Oooh.”
Akhirnya... akhirnya! Pintu lift terbuka dan gua bisa terbebas dan siksaan ruangan lift tersebut. Gadis keluar duluan dan gua berjalan beberapa langkah dibelakangnya.
“Gadis!” Seru Evan begitu menyadari Gadis sudah terlihat dimatanya.
Gadis melambai-lambaikan ceria dan berjalan menghampiri Evan. “Bulekuuuu! Kamu apa kabar?”
“Baik gadisku... elo sendiri gimana kabarnya? Elo mau nonton juga?”
“Kabar gua baik, Van. Iya nih, gua juga mau nonton.”
“Sendirian aja?”
“Ya enggak lah. Gila aja gua nonton di bioskop sendirian. Hahaha... Kebetulan banget ya bisa ketemu di sini.” Jawab Gadis sambil duduk disebelah Evan. “Aduuuh, gua kangen banget deh sama elo, Van.”
Gua duduk di ujung yang lainnya, di mana Margo, Misca dan Nanda memperhatikan obrolan Gadis dan Evan.
“Sama, udah lama banget kita nggak kumpul-kumpul.” Kata Evan.
“Hahaha, sekarang kan udah susah, Van.” Jawab Gadis, dan gua mengerti maksudnya. Dia kemudian menatap layar ponselnya sebentar sebelum kemudian berbicara lagi. “Ya udah, gua duluan ya Van, film gua udah mau mulai nih. Bye-bye Evaaaaan...”
Dan Gadis pun beranjak dari tempat duduknya dan pergi. Gua terus memperhatikan sampai sosok si Gadis tidak tampak lagi.
“Itu mantan lo, Raff?” tanya Misca begitu Gadis sudah tak terlihat.
Gua hanya mengangguk-anggukan kepala.
“Cantik ya, Raff. Kok elo bisa putus sih sama dia?” kata Nanda.
“Ribet gua ngejelasinnya.”
“Ah bilang aja elu selingkuhin dia.” Kata Misca.
“Sok tahu.”
“Ckckck... Raaaff-Raff, elu tuh ye. Rugi lo putus sama tuh cewek.” Kata Margo. “Kalo gua jadi lo mah bakalan gua kejar lagi tuh cewek, gua ajak balikan lagi. Cewek secantik itu elo putusin, rugi lo!”
“Gua udah bilang, gua putus sama dia itu karena masalahnya ribet. Gua males ngejelasinnya.”
“Ah repot lo jadi orang. Susah amat sih tinggal minta maaf dan ngajak balikan lagi.” Kata si Margo.
“Udah lah, nggak usah bahas dia lagi. Ntar jadi galau gua.” kata gua.
Temen-temen gua malah pada senyam-senyum nggak jelas.
“Kayanya pintu studionya udah dibuka deh, masuk yuk.” Ajak si Nanda.
Kita berlima pun beranjak dari lobi dan pergi ke studio 9. Ada sedikit rasa penasaran dalam diri gua di studio mana Gadis berada, film apa yang dia tonton, dan sama siapa dia menontonnya. Sekali lagi gua mengakui, gua belum siap kehilangan Gadis.
*** verterusvoso.blogspot.com ***
Pukul 7 malam gua dan Evan sudah tampil keren. Gua dengan celana Jeans, kemeja kotak-kotak serta jaket cokelat dan sepatu Converse all star gua, sementara Evan dengan celana Jeans, kaos V-Neck krem hijau polos dipadukan dengan jaket Jean dan sepatu. Kita berdua tampak keren dan kece. Kita pun berangkat menuju kafe tempat temannya si Evan manggung. Ternyata kafe cukup elit yang kita datangin. Untung aja yang manggung itu temannya si Evan sehingga kita bisa dapet minuman dan makanan gratis, kalo nggak kita berdua bisa bingung mau pesen apaan.
Kita dapet tempat duduk di pinggiran, temannya si Evan yang manggung itu ada di posisi gitaris. Begitu duduk kita langsung disajikan minuman dan disuruh memesan makanan. Berhubung kita udah makan, maka kita mesan makanan ringan aja. Dan band temannya si Evan pun mulai bermain. Lagu-lagu yang mereka bawakan rata-rata merupakan lagu-lagu yang lagi ngetren sekarang-sekarang ini. Jenis lagu yang mereka bawakan cenderung pop, walau ada rasa-rasa Jazz atau soul-nya.
“Gua tau, Van alasan kenapa elo mau diajak temen lo nonton mereka manggung. Pasti elo pengen ngeliat vokalisnya, ya kan?” tanya gua sambil mengajak Evan melihat vokalisnya yang tampak ganteng dan imut.
“Enak aja, pikiran elo tuh negatif mulu sama gua. Gua ke sini emang karena diajak temen gua.” Jawab Evan.
“Hahaha... udah sih, jujur aja sama gua, Van.” Kata gua.
“Sotoy...”
“Tapi kalo dikasih nomor hapenya elo nggak nolak kaaaan?” gua kembali menggoda Evan.
“Iya sih, hehehe...” Evan menjawab diikuti dengan cengiran.
“Hahaha...”
Kita berdua menikmati penampilan dari band temannya Evan tersebut. Temannya pun sempat turun sebentar untuk menyapa kita berdua saat jeda. Kita ngobrol bertiga selama beberapa menit sebelum temannya harus kembali manggung lagi. Dan pada saat ngobrol Evan mengambil kesempatan untuk menanyakan siapa nama vokalisnya. Evan pura-pura merasa kaya pernah kenal sama si vokalis, padahal emang bisanya dia aja.
Entah kenapa begitu sesi manggung berikutnya, lagu-lagu yang dibawakan oleh band ini cenderung lagu-lagu galau. Lagu-lagu orang patah hati, dan mereka sukses membuat gua galau selama satu setengah jam berikutnya. Sementara Evan memanfaatkan status “Temannya anggota band” dengan beberapa kali order makanan ringan. Dan gua juga cukup merasa bahagia dengan alasan Evan sering order cemilan.
“Nih, elo makan deh, baby bro. Biar elo nggak bengong galau begitu. Kasihan gua sama lo.” Kata Evan.
Gua menerima sepiring kentang goreng dengan senyuman dan menyantapnya dengan santai, walaupun rasa galau masih saja menguasai diri gua. Apa mungkin ini efek dari gua ketemu sama Gadis tadi siang, sehingga bayang-bayang Gadis dan hubungan gua dengannya kembali menyeruak keluar.
Evan juga dengan baik hatinya mengajak gua ngobrol atau mendengar curhatan gua soal si Gadis, yang mungkin untuk Kesekian kalinya dia dengar. Namun Evan dengan sabarnya mendengarkan dan memberikan masukan serta tanggapan yang sewajarnya. Entah bakalan gimana gua kalo gua harus bergalau sendiri tanpa Evan ada di samping gua. Dia benar-benar menyayangi gua, dan gua juga menyayangi dia.
Kira-kira pukul setengah dua belas malam akhirnya temannya Evan selesai manggung. Para tamu yang hadir pun sudah mulai beranjak pulang. Gua dan Evan masih ingin sedikit berlama-lama di kafe tersebut, masih mencoba menetralisir kegalauan gua sampai ke tahap gua bisa tenang lagi.
Temannya Evan tampak sudang turun dari panggung dan pergi entah kemana. Tinggal vokalisnya serta drumernya aja yang masih di panggung. Gua menatap panggung dengan tatapan kosong untuk beberapa saat, sampai gua menyadari kalo vokalis band tersebut berjalan ke arah kita berdua. Evan tampak sumringah, sepertinya si vokalis bakalan ngajak kenalan si Evan, tapi itu semua buyar dalam sekejap begitu tahu kalo vokalis band yang ganteng dan cute menurut Evan tersebut mendekati gua sambil memberikan secarik kertas. Gua menerimanya dengan bingung, di kertas tersebut terdapat sebuah nomor telepon. Sang vokalis tersebut kemudian memperagakan gaya “telepon aku” sambil berjalan menjauh. Si Evan hanya bisa menganga melihat kejadian tersebut.
Hal ini cukup menghibur gua. Melihat ironi yang sedang terjadi ini. Evan lah yang berharap bisa dapet nomor telepon si vokalis, tapi nyatanya gua yang didatangi si vokalis dan diberikan nomor teleponnya, dia pun berharap gua meneleponnya lagi, hahaha...
“Ini nggak adil!” cibir Evan dengan muka sebal.
“Seenggaknya tuh cowok bisa liat mana cowok yang ganteng, mana yang enggak.”
“Emang elo bakalan nelepon tuh cowok?” tanya Evan sangsi, masih gak terima akan kenyataan pahit ini.
“Ya enggak lah, kalo elo mau telepon, nih nomornya.” Kata gua sambil memberikan kertas tersebut ke Evan.
“Nggak perlu.”
“Hahaha, ngambek lo? Hahaha... emang enak.” Gua mulai terhibur sekarang.
“Cabut yuk!” Evan berdiri duluan dan tidak peduli.
Kita berdua pun meninggalkan kafe tersebut untuk pulang.
*** verterusvoso.blogspot.com ***
Selama jalan pulang kita berdua terus-terusan bercanda, segala kita jadikan bahak lelucon, sampai mendadak hujan secara gaib tturun membasahi bumi pertiwi. Sontak kita berdua mencari tempat berteduh, sayangnya butuh lebih dari semenit bagi kita berdua untuk mencari tempat teduh sampai akhirnya kita terpaksa masuk ke sebuah rumah bertingkat yang sudah kosong dan terabaikan.
Awalnya kita berdua rada-rada takut, kemudian dari takut menjadi ragu, dan dari ragu menjadi coba-coba. Kita akhirnya masuk ke rumah tersebut. Fakta lain yang muncul adalah untungnya bukan kita aja yang neduh di rumah tersebut, ada beberapa orang dan pengendara motor yang berhenti untuk berteguh di rumah tersebut. Mungkin efek dari cukup banyak orang di sana sehingga perasaan takut perlahan-lahan sirna.
Niatnya Cuma buat neduh, tapi begitu melihat sudah ada lebih dari sepuluh orang yang ikutan nimbrung Evan mengajak gua kelantai dua. Sambil mengendap-endap kita berdua naik ke lantai dua. Berusaha tidak membuat suara supaya orang-orang yang berteduh didepan tidak melihat Kepergian kita berdua.
Diatas rupanya sedikit lebih baik. Kita memutuskan untuk duduk di balkon yang menampilkan pemandangan gedung-gedung Jakarta yang menjulang tinggi. Kalo siang mungkin hanya akan terlihat seperti gedung-gedung biasa. Namun kalo malam berubah menjadi pemandangan urban cantik dan indah. Lampu-lampu gedung-gedung tersebut menyala memberikan tampilan seperti bintang-bintang yang tersusun berkelompok walaupun acak, ditambah lampu-lampu dari perumahan warga yang seperti hamparan bintang yang cantik. Semua itu memberikan kita berdua pemandangan kota Jakarta pada malam hari yang luar biasa. Minus hujan.
“Keren ya pemandangannya.” Kata gua masih menatap ke arah gedung-gedung tersebut.
“Iya...” jawab Evan.
Kita berdua pun duduk di lantai balkon tersebut. Saling berdempetan. Menatap kearah pemandangan urban didepan.
“Kayanya bakalan lama nih hujannya.” Kata Evan.
“Kita pun kayanya nggak bakalan dapet angkot buat pulang.” Gua menyambungnya.
“Tapi biarin aja lah, kan ada elo yang nemenin gua.” kata Evan.
Gua tersenyum menatap Evan yang masih terus menatap ke depan.
“Kalo kita terpaksa nginep di sini gimana, Van?”
“Nggak apa-apa. Gua nggak takut setan kok. Yang gua takut Cuma kesepian aja.”
“Kan ada gua.”
Sebuah senyum terbentuk di bibir Evan. “Itu dia, makannya gua nggak takut untuk bermalam di sini.”
Kita berdua kembali terdiam menatap ke depan. Hujan masih saja deras mengguyur dan kita berdua semakin merapatkan badan.
“Elo beneran nggak mau nomor telepon si vokalis?” tanya gua.
“Kagak ah... tuh cowok kan datengnya ke elo. Artinya dia tertarik sama elo.” Kata Evan.
“Tapi kan gua nggak mungkin nelepon tuh cowok.”
“Ya kalo gitu, ada maksud lain kali. Siapa tau tuh orang mau bicara sesuatu sama lo.” Kata Evan.
“Yeah, mungkin aja, tapi mau ngomong apaan? Gua kenal sama dia aja enggak.”
Evan mengangkat kedua bahunya. “Meneketehe.”
“Hahaha...” gua tertawa kecil. “Lagian, gua nggak perlu ada cowok homo lagi yang ngedeketin gua. Elo aja nggak habis-habis, masa gua masih nyari yang lain.”
“Sialan lo, hahaha... lo kira gua kue.” Kata Evan sambil menyenggol badan gua.
Kita berduapun tertawa kecil, dan lalu kembali terdiam. Menikmati suasana yang mulai dingin, menikmati hujan yang perlahan-lahan berubah menjadi gerimis kecil, menikmati saat-saat gua dan Evan berdua saat ini. Entah kenapa suasananya berubah menjadi romantis.
“Van... gua seneng malam ini.” Sebuah kalimat yang merupakan hasil dari akumulasi perasaan gua malam ini muncul keluar.
“Sama, Raff, gua juga seneng malam ini.”
“Gua seneng, elo bareng gua saat ini. Gua juga mau ngucapin makasih pas waktu di kafe elo mau dengerin gua yang lagi galau.” Gua berkata dengan tulus.
Evan kembali tersenyum manis, seolah dia ikut merasa bahagia dan puas telah menjadi orang yang selalu ada buat gua. “Gua bahagia kalo elo bahagia, Raff.”
“Thanks, Van.”
Dan sebuah dorongan hati yang tiba-tiba saja muncul membuat gua mendaratkan bibir gua dipipi Evan. Evan kemudian menoleh menatap gua setelah ciuman tersebut dan tidak ada yang bisa gua lakukan selain membisikan kalimat; “Makasih Van, elo udah baik sama gua.”
Lagi-lagi senyum kebahagiaan yang sama tersirat di wajah Evan. Perasaan yang bahagian pun juga muncul didiri gua. Untuk segala alasan dan sebab, saat ini gua merasa nyaman berdua dengan Evan, gua merasa bahagia bersama Evan, gua merasa senang berada disisi Evan sekarang ini. Untuk beberapa saat, kita menikmati malam ini dalam diam yang menenangkan dan membahagiakan.
“Raff...” kata Evan setelah beberapa lama keheningan yang mendamaikan.
“Apa, Van?”
Evan menolehkan wajahnya ke gua, menatap mata gua dalam-dalam. Masih diam sejenak dan masih menatap gua. Seolah apa yang akan dikatakan berikutnya membutuhkan perhatian khusus dari gua.
“Gua cinta sama lo.”
Kalimat itu akhirnya terucap lembut dari bibir Evan.
Gua terpaku. Kita berdua masih saling bertatapan. Kata-kata Evan seperti menggema dalam diri gua. Seperti meresap ke dalam relung-relung jiwa gua. Memaksa menerobos ke dalam hati gua dan menempatkan dirinya dalam salah satu ruang hati gua. Mencoba untuk tinggal dan tidak akan pernah pergi.
Tatapan mata Evan yang tulus dan serius, ucapannya yang jujur dan tulus, semua menyatu dalam keadaan ini. Yang anehnya membuat gua cuma terpaku untuk beberapa saat sebelum kemudian hanya sebuah senyum yang muncul di bibir gua. Gua tahu Evan mengharapkan yang lebih, tapi masih ada perasaan dan logika yang menahan kebebasan gua dari belenggu tradisi dan kodrat. Gua masih belum bisa mengucapkan hal yang sama terhadap Evan. Maka hanya senyum saja yang bisa gua berikan untuknya. Untuk orang yang gua sayangi, untuk orang yang sudah mendapatkan tempat yang istimewa di hati gua, untuk orang yang sudah bernyali besar merusak tatanan hidup gua, untuk orang yang sudah berjuang dan sabar mendapatkan gua, untuk orang yang sudah melangkah masuk ke dalam kehidupan gua dan tidak berniat pergi.
Evan pun tersenyum, merasa bahwa memang ini yang hanya bisa gua berikan. Tidak tampak kekecewaan dalam dirinya, tapi lebih kepada perasaan puas dan lega. Dan berikutnya adalah hal yang tidak dapat lagi gua tolak. Evan mendekatkan bibirnya, menutup matanya dan mencium bibir gua. Kita berciuman.
Ciuman ini hangat... lembut... dan saling menanggapi. Gua membalas ciuman Evan dan Evan membalas ciuman gua. Mata kita saling menutup. Saling menikmati momen-momen indah ini. Kita terus berciuman, saling menenggelamkan diri dalam rasa sayang dan cinta. Dan setelah semua dirasa cukup, kita menghentikannya.
Mata kita masih saling bertatap, senyum pun muncul kemudian. Dan kita kembali menatap pemandangan urban malam yang indah.
“Makasih Raff, udah mau menerima gua apa adanya.” Kata Evan.
“Nggak perlu bilang makasih, Van.” Kata gua. “Elo udah menjadi bagian dari hidup gua. You are my baby bro.”
Evan menyenderkan kepalanya dibahu gua. Walaupun gua tidak melihat, tapi gua bisa merasakan senyum akan terus terpancar dari wajah Evan. Gua hanya akan menambahkan lagi kebahagiannya saat ini. Gua genggam tangannya dan ia menanggapinya dengan genggaman yang lebih erat.
“Dingin ya, Raff...” Kata Evan.
“Ya iyalah, sekarang jam satu pagi dan masih gerimis, Van.”
“Oh iya ya, hehehe...”
Evan tertawa kecil karena kebodohannya. Gua mengecup lembut kepala Evan dengan penuh kasih sayang karena rasa sayang gua. Kita pun akhirnya memutuskan untuk bermalam di sini sampai matahari pagi muncul. Memutuskan untuk terus menikmati momen-momen ini sampai pagi tiba. Karena kita berdua tahu, masing-masing tidak ingin saat-saat ini cepat berakhir. Semuanya terasa indah, terasa nyaman dan terasa menyenangkan. Kita berdua menikmati malam ini.
“Gua bahagia saat ini, Raff.”
“Gua juga.”
Dan itu tulus dan jujur...
Bersambung Ke Chapter 17