It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Moga2 aja coat lg siapin next chapt lbih banyak.. SEMANGKA SEMANGKA COAT
Jadi pengen baca juga
The Cursed One
and The Lost One
Status Sam resmi M.I.A. alias Missing in Action.
Ponselnya enggak bisa dihubungi, enggak tau juga tujuan perginya kemana, tambah keder lah anak-anak. Liam nyaris pingsan saking shocknya. Harris masih nyoba nelpon Sam tapi yang ngejawab mbak Veronica terus .. ‘nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif, silahkan tinggalkan pesan setelah nada tut, tutttt’ .. kentut deh mbak-nya, hha .. Kami pun sepakat untuk konsultasi ke para senior.
Pagi itu dapur sibuk dengan kegiatan masak-masak, masak aer buat bikin mie maksudnya. Tiga orang ngantri dengan gelisah di depan kompor gas, nunggu giliran sambil ngomel nyuruh Ferli rada cepetan dikit masak mie-nya.
“Bentar dong, lagi ngerebus telornya nihh,” kata Ferli cuek, malah sengaja dilama-lamain.
Robin ada di meja makan, ngolesin mentega ke rotinya. Liam langsung menyerbunya dan menceritakan kronologis peristiwa semalam.
“Jadi kalian nggak tau Sam nyuri mobil siapa?” Robin bertanya heran, mulutnya sibuk ngunyah roti panggang.
“Kok bisa sih?” Ferli yang udah selesai masak mie ikutan nimbrung.
“Ya aku juga enggak tau,” Liam menjawab dengan suram. “Gimana kalo Sam kecelakaan? Gimana kalo Sam diculik? Mau bilang apa kita sama orang tuanya?”
“Kasian ya Sam, malang betul nasib tu anak,” komentar Kevin, anak-anak mengangguk-angguk setuju.
“Malang sih enggak, malah justru dia beruntung. Soalnya namanya bakal melejit. Kalo bener kecelakaan, namanya kan bakal masuk koran, masuk tivi, dibicarain orang-orang,” sahut Ferli tiba-tiba dengan nada kalem. Yang laen jelas menatap Ferli bak orang tak berperikemanusiaan.
“Jangan negative thinking dulu,” ujar Robin menenangkan Liam yang udah siap pingsan, “Sapa tau Sam kesasar ato bensin mobilnya abis.”
“Kalo kesasar kenapa nggak ngehubungin kita? Kalo bensinnya habis ya beli di pom bensin dong,” Ferli terus nyerocos. Liam jadi tambah stress, yang lain memelototin Ferli galak. Nggak sensi banget sih? Dan Ferli pun diusir dengan tidak hormat dari dapur.
“Udah pokoknya kalian tenang aja, kita pasti bantuin nyari Sam kok,” kata Robin serius sementara Ferli misuh-misuh di ruang tamu, dan saat itu ponsel Harris berbunyi nyaring.
Harris melirik layar ponselnya. “Dari Sam,” katanya singkat.
Suasana langsung hening.
Harris menjawab panggilan itu. “Hallo Sam? Kamu dimana? Hmmm? .. Hah? ..” Mukanya mengernyit dan agak kaget, setelah beberapa saat dia menurunkan ponsel dari telinganya. Semua memandang Harris ingin tahu.
“Dia bilang apa?” tanyaku penasaran.
“Sam baik-baik aja, dia bilang sedang ada sedikit masalah jadi enggak bisa balik sekarang,” Harris menjelaskan. Dia bertopang dagu dan mengerutkan kening.
“Dan lo percaya?” kataku kaget.
“Tentu aja enggak,” balas Harris, “Aku yakin Sam lagi dalam masalah besar, tapi dia bilang sendiri kalo dia baik-baik aja, jadi kita biarin dulu dia nyelesaikan masalahnya sendiri. Kalo keadaan udah mulai gawat baru kita bantu dia.”
“Dia bilang nggak mobil siapa yang dia curi?” tanya Robin.
Harris menggeleng. “Enggak, dia juga nggak mau bilang dia sekarang ada dimana.”
“Aissshh .. mencurigakan ..”
“Yang penting kan Sam enggak kenapa-napa.” Harris bangkit dari kursinya dan meraih tanganku, “Ayo ikut aku, kita masih punya urusan.”
“Urusan apa?” tanyaku heran.
Harris menarik tanganku lebih kencang dan aku terpaksa mengikutinya. Dia membawaku kembali ke kamar kami di lantai dua. Setelah menutup pintu, Harris menatapku dengan pandangan aneh, lalu berbicara dengan serius. “Kita harus ngelepas cincin itu dari tanganmu.”
Huh?
“Dengan cara apapun, kalo perlu jarimu dipotong.”
Aku mendelik. “Apaan sih? Gw kira ada apa, ternyata masalah cincin lagi.”
“Kamu nggak tau sih, cincin itu ..”
Aku memotongnya. “Ini cincin Yoga, kenapa lo peduli banget?”
“Itu cincinku, aku yang ngasih ke Yoga,” bentaknya.
“Eh?”
“Harusnya dia yang pakai cincin itu, bukan kamu.”
“Oooh .. jadi lo marah karna gw pake cincin yang harusnya buat cowok lo itu?” aku berseru kesal. “Eh .. koreksi .. mantan cowok, kalian kan udah putus,” tambahku sinis. Menyebalkan sekali sih ni orang, kerjaannya ngajak perang mulu.
“Bukan soal itu. Cincin itu ..” Harris berhenti dan memandang aneh cincin yang ada di tangan kiriku, “Pokoknya kamu enggak boleh make cincin itu.” Lalu dia menjadi marah dan ngomel sendiri. “Aaaaaaargh .. Kenapa sih kamu sembarangan aja pake cincin orang?”
“Emang kenapa sih?”
Harris menatapku lurus. “Cincin itu kena kutukan.”
“Eung .. Apa?” aku nyaris ngira kalo aku salah dengar.
“Cincin itu kena kutukan,” ulangnya.
Aku tertawa geli. Semua rasa kesalku hilang tak berbekas. Kutukan? Aku enggak percaya orang macam Harris percaya sama yang namanya kutukan. Siapa yang ngutuk coba? Kok kayak Harry Potter aja ada kutukan segala.
“Ketawa aja terus,” kata Harris sinis.
“Kutukannya apa?” tanyaku setelah puas ketawa.
“Kamu bakal nikah sama aku.”
“HAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHH?”
Harris mendengus. “Enggak bisa ketawa lagi kan sekarang?”
“Siapapun yang makai cincin itu pasti nikah sama aku,” lanjut Harris serius.
“Kutukan apaan tuh?” komentarku ngeri. Lalu aku menatapnya bengong. “Maksudnya nikah gimana?”
“Nikah .. Dua manusia terikat janji saling setia. Ada penghulu, pelaminan, tuksedo, wedding song ..”
“Tapi .. gw kan cowok ..”
Harris meraih tangan kiriku dan menarik cincin dengan paksa. “Makanya cepetan dilepas cincinnya, aku nggak mau nikah sama kamu.”
Rasa nyeri menjalar dari jari telunjuk di tangan kiriku. “STOOOP .. berhenti Ris, sakit bego.”
“Tahan dikit, cincinnya harus lepas sekarang juga.”
Cincin itu tetap nyangkut di jari telunjukku, aku mendorong Harris dan mengusap jariku yang perih. “Sakit Ris, lo gila ya.”
“Mana sini tanganmu.”
“Enggak.”
“Mana tanganmu!!”
“Sakit tau .. Lagian mana gw tau kutukannya beneran ato enggak. Bisa aja kan lo cuman ngarang.”
“Kamu kira kenapa aku jadi histeris gini hah?” teriak Harris keras, mulai hilang kesabaran. “Kalo kutukannya nggak beneran, cuma boongan aja. Enggak mungkin aku jadi panik kayak gini.”
“Tapi cincinnya macet Ris, lo kira gw suka apa pake cincin jelek kayak gini?” aku balas teriak juga.
Harris terlihat ingin marah, tapi suaranya malah terdengar putus asa. “Kita coba pake sabun, gel, lotion ato apalah .. sapa tau kalo dikasih pelicin bisa keluar. Aku cari dulu di kamar mandi.” Dia pun keluar kamar.
Aku memandang ganas cincin emas di tangan kiriku.
Gara-gara lo nih.
Dasar cincin bego.
Waktu Harris menyeret Kaka pergi entah kemana, aku tetap duduk di meja makan sambil minum teh hangat yang dibuatkan Kak Robin.
“Untung deh Sam nggak kenapa-napa,” ujarku lega.
Kevin melirikku kritis. “Kamu tuh masih sempet-sempetnya nguatirin orang laen. Harusnya kamu nguatirin diri kamu sendiri.”
“Kenapa?”
Robin tersenyum kecil. “Betul tuh, tugasmu belom selesai kan?”
“Caessar tu galak loh, kalo dia sampe marah, ribet deh urusannya,” Yudha menambahkan.
Aku menjadi lesu lagi. “Ah iya tugasnya. Kenapa sih aku dapet tugas aneh kayak gitu. Eh .. Kak Caessar mana?” aku menanyai Robin, agak heran belum melihat Caessar lagi sejak rapat semalem.
“Dunno. Dia kan emang sering ilang gitu,” Kevin yang menjawab.
“Palingan di kampus, sibuk dia disana. Ketua UKM sih,” sambung Yudha sambil lalu.
“Trus gimana progress tugasmu?” tanya Robin singkat.
“Nol persen.”
“Kamu cepet bertindak deh, ntar nggak keburu lho,” kata Robin lagi.
“Aku cuma ..” aku bingung menjelaskan apa yang aku rasakan. Robin menungguku menyelesaikan kalimatku. Akhirnya aku menjawab frustasi, “Seumur hidup aku belum pernah pdkt sama cowok, jadi aku nggak tau caranya.”
“Sama aja kok kayak pdkt ama cewek,” kata Kevin cepat.
“Yoa, pertama kamu deketin dia dulu,” kata Yudha.
“Tapi karena kamu dikejar deadline satu bulan, menurutku kamu langsung tembak dia aja,” saran Kevin serius.
“Langsung nembak?” tanyaku kaget.
“Boleh juga tu,” komentar Robin. “Cara cepat buat narik simpati cowok, ngerebut hati cowok, ya dengan nunjukin ke dia kalo kamu suka dia.”
“Enggak, aku nggak mau. Malu lah,” jawabku segera. “Lagian dia kan cowok, masa cowok nembak cowok?”
“Biasa aja Liam. Aku aja sering kok nembak Ferli,” sahut Yudha asal. “FEERRRR .. I LOVE YOOOUUUU ..” teriaknya keras ke Ferli yang lagi makan mie sambil nonton tivi di ruang tamu.
Terdengar suara balasan. “Monyet lo Yuddd ..”
Aku bengong sementara mereka semua tertawa geli.
“Ferli baru masuk ke kost tahun kemaren,” Robin menjelaskan. “Yudha juga sama. Nah waktu mereka di tes ama Caessar, Yudha dapet tugas nyuri hatinya Ferli.”
“Hah? Nyuri dari anak kost sini? Bukan kost laen?”
“Tiap taun kan aturannya ganti,” kata Robin lagi. “Waktu jamannya mereka dulu emang targetnya anak Wisma Indah Empat semua, hhe, seru deh .. jadi anak satu kost pada ribut sendiri. Tapi ujung-ujungnya pada kompakan semua.”
“Dulu Ferli tuh judesnya minta ampun,” Yudha menerawang.
“Tapi sekarang udah dijinakin ama Yudha,” kata Kevin setengah tertawa.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari atas kami, disusul teriakan bersahut-sahutan. Aku mendongak. Tepat diatas dapur adalah lokasi kamar Kaka dan Harris. Saking ributnya, suara mereka berdua sampai terdengar ke lantai satu.
“Itu anak dua kok ribut terus,” komentar Kevin, ikutan mendongak juga.
“Emangnya lagi pada ngapain sih?” Yudha menanyaiku.
Aku menggeleng.
Aku mengacak-acak rambutku dengan kesal.
Semua kacau. Mobil rusak. Aku ketahuan Rion. Dan Rion sekarang masih belum sadar.
Untungnya semalem ada seorang warga yang menemukan kami, dan kami langsung diantar ke sebuah desa enggak jauh dari sana. Kebetulan sedang ada rombongan mahasiswa kedokteran yang lagi KKN di desa itu. Jadi Rion pun disambut dengan hangat sebagai subjek pasien mereka. Dia ditempatkan di rumah Bapak Wahyu, Kades di desa itu yang rumahnya juga dipakai untuk menginap dua mahasiswa KKN lain.
“Kamu istirahat dulu Sam,” kata Samuel kuatir. Seorang calon dokter muda yang merawat Rion. Gara-gara namanya Samuel, nama panggil kita jadi mirip. Sama-sama Sam.
“Aku enggak ngantuk kok,” jawabku bohong. Gimana aku bisa tidur sementara keadaan kacau kayak gini?
Rion tertidur, luka-lukanya sudah diobati, ada perban besar di kepalanya. Sejak kecelakaan itu dia belum sadar juga, walaupun Samuel bilang Rion baik-baik aja tapi aku nggak bisa tenang.
Aku duduk tepat disebelah tempat tidur Rion. Memandangnya gelisah. Begitu dia membuka matanya nanti, dia pasti bakal langsung marah-marah, entah apa yang akan dilakukannya padaku. Aku sudah nyuri mobilnya, bikin dia celaka seperti ini, pasti dia marah besar. Mungkin dia akan memukulku lagi, atau lapor polisi .. semua pikiran mengerikan berputar di benakku.
“Tapi kamu kan abis kecelakaan, istirahat dulu sebentar,” kata Samuel lagi. “Kalo kamu mau tidur, ke kamar saya di sebelah ya, biar temen kamu ini tidur sendirian disini.”
Aku senyum kecil. “Makasih Kak.”
“Panggil Sam aja.”
“Nama saya kan juga Sam, ntar bingung Kak.”
“Ya udah deh terserah kamu aja. Saya tinggal dulu ya, kalo ada apa-apa panggil saya,” Samuel tersenyum lebar dan keluar dari kamar.
Aku mencoba tersenyum balik walau masih agak kikuk.
Aku menarik napas panjang dan melirik jam dinding. Sudah jam delapan pagi. Aku ingat kalo aku belum ngasih kabar ke anak-anak, pasti sekarang mereka lagi ribut nyari aku.
Aku meraih ponselku.
Mati. Mungkin gara-gara benturan semalam.
Atau mungkin baterainya habis? Ah enggak mungkin, aku yakin semalam masih full. Aku coba nyalain dan setelah nunggu sebentar akhirnya nyala juga. Begitu aktif, ponselku langsung diserbu sms dari Liam, Kaka dan Harris. Ada sms juga dari operator, ngasih informasi kalo ada missed call, semua dari Harris. Aku langsung nelpon Harris.
“Hallo Ris? Iya ini aku. Denger Ris aku baik-baik aja. Oke? I’m fine. Tapi untuk sementara aku enggak bisa balik. Aku ada di .. Aku enggak bisa ngasih tau, aku aja nggak tau aku ada dimana. Aku mungkin baru balik dua hari lagi. Kalo sekarang belum bisa, aku lagi kena masalah Ris. Aku ceritain nanti .. Hallo .. Ris?”
Sambungan terputus.
Aku mengecek ponselku. Sinyalnya remuk redam. Gimana sih? Katanya menjangkau seluruh Indonesia, tapi baru dibawa keatas gunung dikit aja udah enggak dapet sinyal. Payah nih.
Rasa capek dan pegel-pegel semalem datang lagi. Aku duduk di kursi, merendahkan tubuhku dan agak nyender di kasur yang ditiduri Rion, lalu memejamkan mata. Aaah enaknya kalo bisa tidur. Dan kayaknya aku emang beneran tidur deh, aku bener-bener ngerasa melayang. Sampai kemudian aku ngerasa ada gerakan pelan di kasur. Aku terbangun, membuka mata dan menemukan Rion sudah sadar. Dia sedang duduk di kasur dan melihatku kosong. Tatapannya ganjil, penuh tanda tanya tapi ragu.
Aku tersentak kaget. Bingung harus ngapain.
“Oh udah bangun ya. Gimana? Masih ada yang sakit?” tanyaku gelisah, menatapnya dengan mata melebar. Rion berkerut samar, perlahan-lahan mengangkat tangan ke kepala, tetapi segera aku hentikan. “Jangan, kepalamu masih sakit, baru saja diperban.”
Rion menatapku bingung. Matanya memandang penuh selidik.
“Kenapa? Ada yang sakit?” tanyaku lagi, semakin cemas. Jangan-jangan otaknya konslet nih, gawat.
Setelah keheningan yang agak canggung aku memanggilnya pelan. “Rion?”
“Sakit sekali kepalaku,” bisik Rion serak, ia menjatuhkan tangannya kembali ke sisi tubuhnya. Da kelihatan masih sangat lemah.
“Di mana aku?” Rion memandang sekelilingnya dengan penuh ingin tahu, lalu menatapku tajam. Dengan suara lirih dan bingung, ia bertanya, “Siapa kamu? Siapa Rion?”
Huh? Apa?
Dia enggak ngenalin aku?
Dan parahnya lagi dia enggak tau namanya sendiri?
Aku duduk dengan shock, bingung. Terbelalak menatap Rion, mulutku terbuka.
Tanpa sadar aku langsung berdiri, berlari ke pintu sambil memanggil nama satu-satunya orang yang aku tahu bisa menolongku, “KAK SAAAM.”
The Return of The King
“Aku pasti nolong kamu, aku enggak akan ninggalin kamu.”
Suara itu adalah hal terakhir yang aku ingat. Ketika mendengarnya aku merasa aman, seakan semua bebanku hilang dan aku yakin semua akan baik-baik saja.
Aku membuka mataku, terbangun dengan kepala pusing dan badan kaku. Hal pertama yang aku sadari adalah aku tidak mengenali dimana aku sekarang, semua terasa asing. Disampingku ada seorang cowok yang tertidur di kursi, ia terlihat sangat letih, sinar dari jendela menyinari wajahnya yang agak pucat. Aku melirik ke luar jendela. Langit di luar terang. Sudah pagikah? Jam berapa ini? Aku mengerang, memejamkan mata sejenak. Rasanya masih capek sekali. Badanku menolak untuk bergerak. Pelipisku berdenyut-denyut.
Aku memaksakan diri untuk duduk. Lalu tanpa sadar aku kembali mengamati cowok disebelahku. Kenapa dia tidur disamping tempat tidurku? Apa dia sedang menungguiku? Apa dia kenal aku?
Cowok itu membuka matanya lalu tersentak melihatku.
“Oh udah bangun ya. Gimana? Masih ada yang sakit?” katanya cemas.
Suaranya. Aku ingat suara itu. Aku ingat.
Akhhh .. tiba-tiba kepalaku sakit ..
“Jangan, kepalamu masih sakit, baru saja diperban,” cowok itu menahan tanganku.
Aku menatapnya lagi. Siapa orang ini? Kenapa dia begitu peduli ..
“Kenapa? Ada yang sakit?”
Aneh sekali. Otakku tidak mengenalnya. Aku yakin tidak mengenal cowok itu. Tapi kenapa hatiku berkata sebaliknya? Kenapa hatiku seakan berkata bahwa aku menginginkan cowok itu? I want him for some reasons ..
“Rion?”
Aku terkesiap. I want him? how ridiculous.
“Di mana aku?” aku memaksakan diri untuk melihat sekelilingku tapi entah kenapa aku hanya ingin melihatnya lagi. Dia bilang apa tadi? Rion? Siapa Rion?
Aku menatapnya bingung, “Siapa kamu? Siapa Rion?”
Wajahnya langsung berubah, dia berlari keluar dan memanggil seseorang. Beberapa saat kemudian dia masuk lagi bersama seorang cowok. Sepertinya cowok itu dokter karena dia langsung memeriksa keadaanku. Menanyaiku macam-macam hal. Memberitahuku berbagai macam hal juga. Katanya aku mengalami kecelakaan dan kepalaku terkena benturan hebat.
“Hmmmmmm, Sam kelihatannya temanmu hilang ingatan,” dokter itu memberitahu.
“A .. Apa Kak? Kenapa?”
“Amnesia paling banyak diakibatkan benturan atau guncangan terhadap otak. Amnesia bersifat sementara dan selektif. Enggak banyak yang bisa aku lakukan sekarang. Kita cuman bisa menunggu. Pelan-pelan ingatannya pasti kembali.”
Dokter menyuruhku agar banyak istirahat lalu mengajak cowok yang tadi menungguiku untuk keluar, namun aku bisa mendengar ia berkata pelan, “Temanmu baik-baik saja. Kamu juga harus istirahat Sam.”
“Iya Kak.”
Cowok tadi masuk kamar lagi. Aku menyadari kalau bibirnya terluka, pipinya lebam, sepertinya dia dipukul oleh seseorang. Siapa yang begitu tega memukul orang sebaik dia? Menurut cerita Dokter, dia yang telah menolongku dari kecelakaan.
Ia menatapku gugup. Ia mendekat dan duduk di kursi di sebelah tempat tidurku. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu tapi ragu. Ragu dan takut. Tapi kenapa dia takut padaku?
“Siapa kamu?” kataku memecah keheningan.
Dia tampak terkejut. “Oh .. Ummm .. Aku Sam ..”
Sam .. aku tidak ingat apapun tentang nama Sam ..
“Dan aku Rion?” tanyaku lagi.
Sam mengangguk.
Aku merasa bodoh. Bahkan namaku sendiri terasa asing. “Nama macam apa itu?”
“Itu nama yang bagus,” kata Sam tiba-tiba. “Artinya ‘King’ .. Raja.”
Aku tersenyum masam.
“Ummmm, kamu bener-bener nggak ingat apapun?” Sam bertanya penuh selidik.
Aku menggeleng.
Sam menghela nafas dan menutup wajahnya dengan tangan.
“Damn,” makinya kesal.
“Kenapa?”
Sam memandangku penuh penyesalan sebelum menjawab, “Enggak ada apa-apa, kamu tidur saja, kamu kan masih sakit, belum sembuh bener. Aku jagain kamu disini. Kalo kamu perlu apa-apa bilang aja ya.”
Perasaan itu datang lagi. Aku merasa aman.
Aku bisa mempercayai cowok ini. Sam pasti akan menjagaku.
Hmmmmmmmm .. Sam .. Jadi namanya Sam? Aku suka namanya.
Dan Sam benar-benar memegang perkataannya. Dia menjagaku. Dia selalu berada disampingku. Dia menyuapiku untuk makan walaupun aku yakin aku masih bisa makan sendiri. Dia juga yang membantu membersihkan tubuhku. Aku tidak merasa risih ketika dia membuka bajuku dan mengusap badanku dengan handuk basah. Anehnya aku malah merasa senang.
Aku ingin sekali mengajak Sam ngobrol tapi entahlah aku merasa ada yang ganjil. Setiap kali melihat Sam, aku merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Perasaan yang membuatku bingung, perasaan yang mendorongku melakukan sesuatu yang bahkan tidak kupahami sendiri. Aku ingin dia tunduk padaku. I want him ..
But why?
Lagi-lagi aku melirik Sam.
“Ada apa? Haus? Mau minum?” tanya Sam cepat.
Aku menggeleng. Bahkan Sam sampai rela tidur di sofa disamping tempat tidurku untuk menjagaku. Sebenarnya siapa sih Sam?
“Sam, apa kita itu teman?” tanyaku pelan.
Sam mengernyit, tampak kesulitan menemukan kata yang tepat, “Yah bisa dibilang begitu.”
“Teman lama?”
“Enggak juga.”
“Hubungan kita .. baik? Kita berteman dekat?”
Sam tidak langsung menjawab. Setelah ragu-ragu sesaat, dia mengangguk lagi. “Ya.”
Memang tidak salah. Aku sudah menduga hubunganku dengan Sam cukup baik, karena aku selalu merasa nyaman berada di dekatnya. Tapi aku tidak mengingatnya.
Aku menghela napas panjang.
“Aku tidak ingat. Sori.” Kataku kemudian.
Sam memandangku penuh simpati. Dia nampak sangat frustasi. Tapi kenapa?
Setelah istirahat yang lelap semalaman, esok harinya badanku menjadi agak baikan. Paling tidak badanku sudah tidak kaku lagi. Sam masih tidur. Raut wajahnya terlihat kusam, lelah, dan pucat. Tapi semua itu tidak bisa menghapus ketampanan yang ada di sana. Aku tersenyum. Entah kenapa hanya dengan melihatnya saja cukup untuk membuatku tersenyum.
Aku memutuskan untuk membasuh muka di kamar mandi. Bayangan wajahku di cermin tampak sangat asing. Sial, masa sama wajahku sendiri saja aku tidak ingat. Aku menghela napas pelan dan memejamkan mata. Kepalaku selalu bertambah sakit setiap kali mencoba mengingat-ingat. Aku membuka mata dan kembali menatap bayanganku yang pucat di cermin. Bagaimana kalau aku mencoba memukul kepalaku sendiri? Mungkin ingatanku bisa kembali. Atau aku bisa mencoba membenturkan kepala ke dinding ..
Aku ingin ingatanku cepat kembali. Terutama aku ingin ingat lagi semua tentang Sam. Aku merasa ada sesuatu yang sangat penting tentang dia yang harus aku ingat.
“Rion?” Sam masuk ke kamar mandi dan langsung menghela nafas lega. “Kenapa nggak bangunin aku? Tadi aku kira kamu ilang kemana. Kalo kamu jatuh gimana?”
Aku tersenyum. “Kamar mandinya kan deket Sam.”
Sam tidak membalas senyumanku, ia malah tampak terpukul, seperti ia merasa tidak pantas mendapatkan senyuman dariku. “Kamu sudah ingat sesuatu?” tanya Sam kemudian dengan nada penuh harap.
Aku menggeleng. Dan raut wajah Sam seketika berubah. Melihatnya tiba-tiba aku merasa bersalah. Aneh sekali .. Aku mendapati diriku tidak ingin membuat cowok itu kecewa.
“Ah aku ingat sedikit,” kataku pelan, Sam menatapku tegang. “Ummmm aku ingat sedang ada di mobil lalu ada kilatan cahaya dan tiba-tiba terjadi kecelakaan, aku ingat kepalaku terbentur lalu semua langsung gelap.” Aku mengarang-ngarang cerita sebisaku. “Aku ingat itu.”
Sam memaksakan tersenyum kecil tapi aku tahu dia kecewa.
“Oh iya tentang mobilmu,” Sam memberitahuku ketika dia membantuku naik ke tempat tidur. “Hari ini aku mau ke lokasi kecelakaan untuk ngambil mobilmu itu. Kemarin sudah minta bantuan sama warga juga. Mungkin seharian nanti aku sibuk disana. Kamu enggak apa-apa kan aku tinggal disini?”
Eh? Jadi Sam mau ninggalin aku. Jangan Sam. Aku enggak peduli sama mobil itu, aku bahkan enggak ingat kalau aku punya mobil. Aku cuma mau kamu ada disini.
“Oke, kalo kamu butuh apa-apa panggil Bu Wahyu ya, dia ada dirumah kok,” kata Sam lagi. Aku cuma bisa mengangguk.
Dan siangnya aku menyesali ketidak-beranianku mencegah Sam pergi. Kamar terasa kosong. Sesekali Bu Wahyu mengecek keadaanku. Dia seorang wanita berumur pertengahan yang ramah, tapi dia tidak sama dengan Sam. Aku lebih merasa nyaman dengan Sam.
Aku menoleh ke sofa tempat Sam biasa tidur dan membayangkan Sam sedang tidur disana. Aku tersenyum. Lalu aku melirik meja kecil disamping sofa. Ada ponsel.
Aku bangkit dan duduk di sofa, aku raih ponsel itu. Sepertinya punya Sam. Aneh .. aku hilang ingatan tapi masih ingat bagaimana cara mengunakan ponsel. Aku mengecek contact list-nya mencari namaku .. Rion. Aku pasti juga punya ponsel kan?
Tapi tidak ada. Kenapa Sam tidak menyimpan nomerku? Atau dia menyimpannya dengan nama lain? Aku membuka gallery photo-nya. Banyak foto Sam. Lucu-lucu. Ada foto cewek juga, siapa dia? .. Aku terus melihat gallery-nya sampai satu foto membuatku kaget.
Dalam foto itu Sam sedang menciumku.
Aku tertegun. Sam menciumku? Dan aku kelihatannya tidak keberatan. Malah di foto itu aku memejamkan mata.
Tiba tiba ada suatu pemahaman yang mengalir di dalam diriku. Sebuah pemahaman yang hangat dan menyenangkan. Aku sadar kalau aku dan Sam bukan sekadar teman. Kita sepasang kekasih. Itu sebabnya Sam sangat peduli padaku, itu sebabnya Sam sedih ketika aku tidak mengingatnya. Dan perasaan ingin memiliki Sam yang aku rasakan sejak kemarin pasti karena aku menyayanginya.
Ternyata Sam milikku. Aku dan Sam pacaran.
Aku sama sekali tidak merasa aneh mengetahui aku pacaran dengan sesama cowok. Karena aku tahu sebelum ini aku sudah pacaran dengannya. Aku cuma tidak ingat. Pasti aku sudah melewati tahap denial dan menerima orientasi seksualku.
Tanpa sadar aku tersenyum lebar. Kenapa hari ini dunia rasanya jadi lebih indah?
Sam kembali ketika hari sudah hampir malam, ia terlihat kelelahan. Hal pertama yang ia lakukan begitu sampai tentu saja mengecek keadaanku. Pacarnya tersayang. Ah kok aku jadi malu begini ya ..
“Errr .. kamu enggak kenapa-napa kan?” tanya Sam heran.
“Enggak kok. Emang kenapa?” aku tersipu.
“Oh enggak.”
Sejak Sam kembali aku jadi sering melirik dan tersenyum padanya. Kadang Sam balas tersenyum walau masih agak kikuk. Dia jadi tambah tampan saja.
“Eh Sam, malam ini kamu tidur di kasur saja sama aku,” aku mengusulkan ketika sudah waktunya kami tidur.
Sam menatapku tidak percaya.
“Kayaknya aku tidur di sofa aja deh.”
Aku menarik tangannya ke tempat tidur. “Enggak, disini saja. Kasurnya kan lebar, cukup buat berdua. Lagian kita kan bukan orang lain. Jadi nggak apa-apa kalo tidurnya bareng.” Aku melirik Sam penuh arti.
Sam menatapku dengan mulut agak terbuka. Mungkin dia sedikit shock.
“Rion. Kamu beneran enggak kenapa-napa kan? Sejak aku balik tadi kamu jadi agak .. aneh.”
Aku menggeleng. “I’m fine. Udah malem nih. Kamu juga pasti capek kan tadi seharian ngurusin mobil. Tidur aja yuk.” Aku memegang pundaknya dan memaksanya untuk berbaring.
Sam menurut dan berbaring dengan tegang disampingku. Kenapa dia tidak bisa rileks sih? Aku mendekatinya. Wajahnya tampak kaget. Sebelum dia bisa menghindar aku menciumnya.
“Good night. Sweet dream.” Gumamku lembut sambil tersenyum manis.
Sam seolah langsung membatu karena ciumanku, wajahnya merah. Haha .. ternyata dia tipe pemalu. Aku mengelus rambutnya sebelum berbaring dan menutup mata. Besok aku akan bilang kalau aku sudah tahu tentang hubungan kami, jadi dia tidak perlu kuatir lagi.
Dan ketika aku terbangun keesokan harinya, matahari sudah bersinar cerah walaupun rasa dingin di luar sana tetap menusuk tulang. Tidak ada siapa-siapa di kamar. Aku mendesah kecewa, apa Sam sudah bangun duluan? Kenapa aku tidak dibangunkan? Aku harus mencarinya.
Ketika aku sedang berusaha bangkit dari ranjang, pintu kamar terbuka. Aku mengangkat wajah, berharap melihat Sam, tetapi ternyata bukan.
“Bu Wahyu?”
Bu Wahyu tersenyum hangat lalu masuk kamar dan meletakkan beberapa barang di meja kecil.
“Ini ada barang yang kemarin ditemukan di mobilmu. Sam kelupaan. Coba kamu liat-liat dulu, sapa tau kamu bisa cepet ingat,” katanya ramah.
Aku terlonjak senang. Barang-barangku?
“Ibu tinggal dulu ya?”
“Makasih Bu.”
Aku melompat ke sofa dan meraih barang yang dibawa Bu Wahyu. Ada dompet. Aku membukanya. Uangnya masih ada empat ratus ribu, ada KTP, hmmmm atas nama Rion, jadi namaku beneran Rion. Ada rokok dan pemantik api. Apa aku ngerokok? Lalu ada ponsel, tapi mati. Aku menghidupkannya.
Begitu hidup langsung ada serangan sms masuk. Wow pasti aku orang yang sangat penting sampai ada sms sebanyak ini. Belum sempat aku membuka sms-sms itu ponsel berbunyi. Ada panggilan masuk. Aku melirik caller ID-nya. Yoga.
Siapa Yoga?
“Halo?” jawabku ragu-ragu.
“AKHIRNYA DIJAWAB JUGA TELPONNYA .. KENAPA HAPEMU DIMATIIN HAH? KAMU KEMANA AJA YOOOO ????? AKU BUTUH KAMU SEKARANG JUGA. ANAK-ANAK BIKIN AKU STRESS.”
Anak? Apa aku sudah punya anak?
“Ini Yoga?”
“IYA .. EMANG KAMU KIRA SIAPA?”
“Anak-anak siapa maksud kamu?”
“ANAK-ANAK ASRAMA LAHH ..” terdengar suara napas ngos-ngosan kecapekan, lalu Yoga bicara lagi dengan suara yang lebih pelan, “Kemaren .. dua hari yang lalu .. asrama kita kemasukan ninja lagi ..”
Ninja?
Ninja? .. Akkhhh .. tiba-tiba kepalaku terasa nyeri. Sakit. Rasa sakit yang tajam menyengat kepalaku. Kepalaku seperti hendak terbelah dua. Seperti ada paku yang menusuk-nusuk dari dalam. Dan bersamaan dengan itu semuanya datang kembali padaku. Semuanya kembali. Semua ingatanku. Tentang mobil. Kecelakaan. Bagaimana aku memukul Sam. Bagaimana Sam mencuri mobilku. Dan sama seperti datangnya yang tiba-tiba, rasa sakit itu pun lenyap. Semuanya baik-baik saja. Aku merasa menjadi diriku lagi.
Aku duduk tegak di sofa, merapikan rambutku yang agak berantakan. Yoga masih terus ngomel, aku mendengarkan dengan bosan.
“.. dan aku dapet kabar kalo Mbak Nyit-Nyit mau inspeksi dadakan ke kost hari ini. Kamu harus pulang sekarang. Kamu kan ketua asramanya. Kalau kamu nggak ada, mau bilang apa aku sama dia. Kamu kan tau dia suka rese sama kita anak-anak kost.”
“Yoga. Lo mau gak jadi ketua?” tanyaku setelah Yoga akhirnya berhenti bicara.
“Heh? Tentu aja mau.”
“Well, kalo gitu sekarang lo ketuanya.”
“Hah? Nggak bisa gitu dong. Kamu gak tanggung jawab banget sih?”
Aku menghela napas. “Justru karna gw bertanggung jawab makanya gw nggak bisa pulang sekarang.”
“Maksudnya? Kamu sebenernya lagi ngapain sih? Kamu dimana?” Yoga menuntut.
“Lagi liburan aja. Lagi pengen nangkep kucing.”
“Kucing?”
“Yup. Kucing garong. Nakal banget. Suka nyuri.”
“HAH?” Yoga teriak heran.
“Pokoknya gw mau semua hal yang ada kaitannya ama asrama sudah beres waktu gw balik. Ngerti?”
“Aduh Rion. Aku gak suka kalo kamu udah mulai kayak gini,” Yoga mulai protes dan aku langsung menekan tombol end call.
Aku berdiri, mematikan ponsel dan menyembunyikannya di laci meja.
Aku berjalan ke luar kamar mencari kucing yang harus aku tangkap.
Beware little cat. The king has returned.
“Dia bilang apa?” Robin menanyai Yoga yang menatap ponselnya galak.
“Dia bilang lagi liburan. Lagi nangkep kucing,” jawab Yoga kesal.
“Hah? Sejak kapan Rion nangkepin kucing?” tanya Dennis heran.
“Mana aku tau,” bentak Yoga. “Oke. Kalo beneran Mbak Nyit-Nyit mau sidak hari ini kita harus siap-siap. Dennis kamu bersihin dapur.” Dia menunjuk Dennis yang langsung mengeluh.
“Suruh Jay aja.”
“Jay bersihin dapur.”
“Suruh Jun.”
“Jun bersihin dapur.”
“Oke.”
“Hei dapurnya kan kotor sekali, kenapa nggak dikerjain bareng-bareng aja,” aku langsung protes melihat Jun ditindas seperti itu. Dapurnya Wisma Indah Lima emang kotornya kebangetan, pada males semua sih orangnya.
Yoga terbeliak menatapku. “Heh negara tetangga nggak boleh ikut campur.”
Nyaliku langsung hilang.
Hari ini Robin mengusulkan untuk menginvestigasi asrama tetangga kita itu, karena sudah dua hari berlalu tapi enggak ada tanda-tanda orang kehilangan mobil. Normalnya kan kalo ada yang kehilangan mobil pasti rame beritanya kemana-mana, nah ini kok malah adem ayem aja. Jelas kita jadi tambah penasaran, jangan-jangan yang dicuri Sam bukan mobilnya anak Wisma Indah Lima.
Dan Mbak Nyit-Nyit yang sudah membuat Yoga heboh itu adalah anak perempuan ibu kost. Nama benernya sih Mbak Yunita, tapi karena orangnya menyebalkan sekali, semua manggil dia Nyit-Nyit. Dia bertugas memeriksa kondisi asrama tiap dua bulan sekali. Sayangnya acara pemeriksaan itu suka tidak pasti. Mendadak banget, biar anak-anak nggak bisa siap-siap dan ketahuan semua belangnya.
Kata Robin suatu ketika pernah ada rumor dia mau sidak. Gegerlah anak-anak, semua langsung siap-siap, ngebersihin kos-kosan sampai mengkilap. Eh ditunggu-tunggu sampe subuh malah nggak dateng. Nah giliran nggak ditunggu malah nongol dia di depan pintu, tengah malem jam satu pula. Mbak Nyit-Nyit emang suka kebangetan kalo sidak, ngeganggu orang tidur. Marah-marah soal kamar mandi yang kotor, baknya enggak dikuras, halaman kotor, dapur nggak bersih, tanaman ada yang mati dan lain-lain.
Aku sih belum pernah ngalamin sidak tapi dari cerita para senior kayaknya agak serem.
Yoga masih terus menjelaskan panjang lebar pembagian tugas operasi pembersihan asrama ketika Jun berjalan santai ke dapur. Aku mengikutinya.
“Kamu nggak apa-apa nih beresin dapur sendirian?” tanyaku.
“Enggak. Kebanyakan juga piring kotor bekasku kok. Aku suka males kalo abis makan langsung nyuci.”
“Aku bantuin ya?”
“Oke.”
Aku membereskan sampah yang betebaran di dapur, lalu membantu Jun mencuci piring. Heran deh, penghuninya cuman sepuluh orang tapi cuciannya numpuk kayak orang habis kondangan.
Aku melirik Jun yang bekerja dalam diam.
“Jun kalau ada orang yang tiba-tiba nembak kamu. Bilang suka sama kamu. Reaksimu gimana?”
“Tergantung siapa yang bilang,” jawab Jun.
“Kalo ..” aku berdehem pelan, “Kalo aku yang bilang?”
Jun menoleh. Menatapku dengan pandangan menilai.
“Aku terima.”
Yes.
“Oke, Jun aku suka kamu,” tembakku langsung.
“Aku juga suka kamu.”
Hah? Tapi aku langsung sadar ‘suka’ yang dimaksud Jun itu bukan ‘suka’ yang aku maksud.
“Maksudku suka dalam arti sayang .. cinta.”
“Oh.” Komentar Jun pelan seakan aku baru saja bilang cuaca hari ini cerah dan nggak akan turun hujan.
“Buktinya apa?” Jun bertanya santai.
Hah? Bukti? Wah aku belum mikir sampai kesitu. Tapi Jun ini memang aneh, masa sama sekali nggak ada reaksi. Cowok nembak cowok kan jelas aneh, diluar kewajaran, tapi masa dia enggak kaget atau heran atau apalah.
“Kamu mau bukti apa?” tanyaku.
Jun menghentikan kegiatan mencucinya dan memutar tubuhnya menghadapku.
“Cium aku.”
“Hah?”
“Kalo kamu sayang, kamu pasti pengen nyium aku kan?”
Aku menatapnya kosong.
Jun bercanda atau beneran? Aku menatapnya tajam. Matanya serius. Sial. Dia serius. Apa diseriusin juga?
Lalu dia berjalan mendekat.
Mau apa dia. Aku berjalan mundur menjauh.
“Kenapa?” tanyanya.
“Ah .. Umm .. kamu tuh yang kenapa. Mau ngapain?” kataku tergagap.
“Jadi gimana mau nyium nggak?” dia bertanya lancar.
Aku diselamatkan oleh Robin yang menyerbu masuk ke dapur dan berdesis panik.
“Kita balik sekarang.”
“Oh .. Oke ..” aku menoleh ke Jun dengan pandangan minta maaf. “Nanti kita lanjutin lagi yah.”
Jun mengangguk.
“Ada apa Kak?” tanyaku sambil berjalan cepat berusaha mengejar Robin yang sudah hampir sampai di depan pagar asrama.
“Mbak Nyit-Nyit ada di kost kita.”
Sampai di Wisma Indah Empat, Kevin, Yudha dan Ferli sedang berbaris canggung menyambut seseorang, sementara seorang wanita tinggi langsing bersepatu hak tinggi berdiri didepan mereka. Ketika wanita itu berbalik aku melongo. Dia .. waria.
“Mana Caessar? Kenapa ini ketuanya enggak ada,” dia bertanya judes.
“Sedang ke Surabaya Mas .. eh Mbak ..” Kevin tunduk dipelototin Mbak Nyit-Nyit.
“Saya nggak percaya.”
“Kalo gitu ke Jakarta deh,” sambar Ferli.
Mbak Nyit-Nyit melotot lagi. “Jadi sebenernya kemana? Jakarta atau Surabaya?”
“Sori Mbak Yun. Caes lagi ada urusan di kampus jadi saya yang sementara megang alih kekuasaan disini. Wakil presiden gitu.” Robin buru-buru mendekat.
“Whatever. Let’s get the inspection started.”
“Kok Mbak Nyit-Nyit-nya gitu sih?” aku berbisik menanyai Robin. Katanya kan perempuan kok malah cewek jadi-jadian gitu.
Robin nyengir. “Surprise.”
Sial. Dikerjain lagi aku sama senior. Setelah ini pokoknya aku enggak mau lagi percaya apa kata Robin.
Waktu mengecek kamar mandi, Mbak Nyit-Nyit menjerit histeris. Aku kira ada apaan, ternyata cuma gara-gara ada celana dalem yang ngegantung di gantungan di balik pintu. Entah milik siapa. Yudha dan Ferli saling melempar pandangan menuduh.
Di dapur, Mbak Nyit-Nyit ngomel soal noda di dinding dan tempat sampah yang keliatan kotor (namanya juga tempah sampah Mbak). Lalu ketika terdengar jeritan keras yang tak diragukan lagi berasal dari kamar Kaka diatas kami, Mbak Nyit-Nyit langsung gemes dan menyerbu tangga untuk naik ke lantai dua.
“Unbelievable .. Dikira rumah neneknya apa? Berisik banget.” Omelnya kesal.
Sampai di lantai dua suasana jadi agak tenang dan kami bisa mendengar jelas apa yang sedang diributkan Kaka dengan Harris.
“Udah Ris. Stop. Sakit.” Suara Kaka terdengar kesakitan.
“Jangan kebanyakan gerak. Susah nih dilepasnya. Arrrrghhh.” Harris mengerang disusul oleh suara Kaka merintih.
Kami mendekati kamar Kaka pelan-pelan.
“Lihat tuh udah merah. Kalo lecet gimana? Yang lembut kenapa sih?” bentak Kaka galak.
“Iya ini lagi dicoba. Kamu kan cowok, jangan kayak cewek. Diem aja.” Harris balas teriak, terdengar sangat tidak sabar dan dia mengeluarkan suara mendesah ketika dia berusaha melakukan apapun yang sedang dia lakukan didalam.
“Enggak Ris. Gw gak mau lagi. Udah stop. Minggir. Jangan tindihin gw gini. Panas tau.”
“Buka aja bajunya kalo panas.”
“Pokoknya gw gak mau lagi .. AAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHH .. bego .. bego .. gw kan udah bilang stop .. AAHHHH .. Minggir.”
Terdengar suara liar desahan, rintihan dan teriakan. Disertai apa yang tampaknya bunyi tempat tidur goyang-goyang.
“Ini aku tambahin lagi pelicinnya. Pasti enggak sakit. Sekali lagi Ka.”
Ferli, Yudha dan Kevin saling melempar pandangan cemas. Aku menoleh ke Robin.
Wajah Robin merah karena marah. “Aku bunuh mereka nanti.”
“Aku bisa menjelaskan ini Mbak Yun,” Robin menoleh ke Mbak Nyit-Nyit mencoba memberi alasan, tapi Mbak Nyit-Nyit mengangkat tangannya menyuruh Robin diam.
“Kelakuan amoral di kamar kost. Cowok dan cowok berbuat mesum di siang hari bolong. Oh tunggu sampai Mami tau semua ini,” dengan gesit Mbak Nyit-Nyit mencatat semua di notebook-nya. Namun dia berhenti ketika terdengar suara lagi.
“Sekali lagi Ka. Udah aku tambahin pelicinnya. Sekali lagi.”
Keheningan yang canggung menyelimuti kami.
Lalu dipecahkan oleh suara jeritan Kaka yang kesakitan dan memaki-maki Harris. “AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHH .. FUCK YOU RISSSSSS ..”
Robin kelihatannya tidak bisa menahan diri lagi. Dia langsung mendobrak paksa pintu kamar Kaka. Kami semua terkejut melihat pemandangan di dalam kamar. Harris sedang menindih Kaka dan memegang tangan kirinya dengan paksa. Kaka tampak sangat kesal.
Kaka dan Harris juga tak kalah terkejutnya. Mereka berdua hampir meloncat kaget waktu melihat kami.
“Ada apa?” tanya Harris ketus. “Kalau mau inspeksi silahkan. Tapi aku nggak bisa nemenin. Lagi sibuk.” Dan dia mulai menarik-narik sesuatu yang sepertinya cincin dari jari tangan kiri Kaka.
Kaka mulai teriak-teriak lagi. “Udah dong Ris. Sakit. Stop.”
Aku bengong sementara Robin bertukar pandang kosong dengan Mbak Nyit-Nyit.
Aku duduk disamping Harris di sofa ruang tamu.
Didepan kami Robin melotot galak. Setelah inspeksi selesai, Robin mengumpulkan semua anak di ruang tamu. Katanya sih mau ngasih pengumuman sekalian menyidang kami berdua.
“Kalian berdua. Aku minta jangan berantem lagi.” Semprotnya panas. “Oke .. berantem boleh tapi lakukan dengan diam. Jangan berisik. Jangan ribut. Untung tadi kita lolos inspeksi.” Robin berkacak pinggang, memandang aku dan Harris remeh. “Walaupun ada sedikit salah paham ..”
“Aku nggak habis pikir. Masa kalian ngira aku ama Kaka ..” Harris tidak bisa meneruskan kata-katanya, ia mengernyit jijik.
“Sok banget sih lo,” aku memotong jengkel. “Padahal lo seneng kan?”
Harris memandangku dengan ekspresi antara kaget dan marah.
Tapi bener kan? Harris yang seneng kalo beneran aku sedang gitu-gituan ama dia. Kan dia yang homo, bukan aku.
Harris itu bener-bener kelewatan. Kasar banget orangnya. Seenaknya saja dia narik paksa cincin di tangan kiriku. Sekarang jadi bengkak deh jariku. Sakit banget, sampai kalo digerakin dikit aja jadi kerasa perih. Tapi ini gara-gara salahku juga sih, coba dulu aku nggak iseng makai cincin sialan ini.
Robin melanjutkan.
“Sekarang aku punya berita baik dan berita buruk. Kalian mau yang mana dulu?”
“Yang baik aja dulu,” usul Ferli.
“Berita baiknya, sepertinya aku tau mobil siapa yang dicuri Sam.”
Liam langsung bersemangat. “Eh? Mobil siapa?”
Robin agak ragu untuk menjawab. “Ah itu masuk ke berita buruknya.”
“Kenapa?”
“Aku rasa, Sam nyuri mobilnya Rion.”
“Rion? Rion anak Wisma depan kita itu?” tanya Yudha nggak percaya.
Robin mengangguk. “Rion menghilang dua hari lalu, mobilnya juga. Yoga bilang dia lagi liburan. Tapi .. aku kenal Rion cukup lama, dan dia nggak suka ama yang namanya liburan.” Robin mengacung-acungkan dua jarinya ke udara. “Dua hari yang lalu. Coba ingat. Waktu yang sama kan seperti hilangnya Sam. Dan menurutku kayaknya sekarang mereka sedang bersama.”
“Uh oh. Gawat,” gumam Kevin.
“Sangat gawat,” sambung Yudha.
“Emangnya kenapa?” tanyaku heran.
Ferli menatapku serius. “Karena kalo Rion udah marah, dia bisa nelen orang. Apalagi dia cinta banget ama mobilnya itu. Bisa dimakan hidup-hidup tuh Sam kalo sampe mobilnya kenapa-napa.”
Liam terlonjak kaget.
Robin menoleh ke Harris. “Waktu Sam nelpon dia bilang enggak bisa balik karena ada masalah kan? Sekarang kita tahu apa masalahnya .. Rion.”
“Terus sekarang gimana?” tanya Liam panik.
“Coba hubungi Sam. Suruh dia balik secepatnya.”
“Tapi kalo dia ditawan ama Rion gimana?” tanya Liam ngeri dan langsung menghubungi nomer Sam tapi nggak ada jawaban.
“Tanya lokasinya ada dimana. Kita culik dia. Tapi biar aku ama Caessar yang pergi,” jawab Robin kalem.
“Eh?”
Robin mengernyit. “Bukan cuma kalian aja yang bisa jadi ninja. Lagipula lawannya Rion. Kalian nggak bisa apa-apa lawan dia.”
“Oke. Rapat selesai. Aku mau ke kampus dulu nyari Caessar. Ahhhh .. dia pasti marah-marah kalo sampe denger ini,” Robin berjalan sambil mengomel nggak jelas.
Kami semua mengawasi Robin sampai dia keluar melalui pintu depan.
“Aku mau ke Wisma Indah Lima,” Liam memberitahu dan bangkit.
Aku menatapnya heran. “Mau ngapain?”
“Ketemu Jun,” Liam mengangkat bahu. “Harus cepet dikelarin tugasnya.”
“Oh iya. Ya udah sana pergi. Curi hatinya.”
Liam mengikuti jejak Robin berjalan ke pintu depan.
“Kita juga harus pergi,” kata Harris tiba-tiba.
Aku mengernyit. “Kemana?”
“Rumah sakit. Sudah saatnya kita minta bantuan professional untuk melepas cincin itu.”
Aku mendelik galak. “Mau ngapain lagi sih?”
“Pokoknya kamu ikut aja.”
“Apa cincin ini beneran .. kena kutukan nikah?” aku memandang cincin emas ditanganku dengan tidak percaya. “Sejauh ini gw cuman ngerasa terkutuk aja gara-gara diganggu terus ama lo.”
Harris mengacak-acak rambutnya. “Ayahku memberi cincin itu ke ibuku. Terus seminggu kemudian mereka menikah,” katanya menerawang.
“Karena mereka saling mencintai,” sambungku kesal.
“Karena ibuku pakai cincin itu. Padahal sebelumnya mereka musuh,” kata Harris yakin.
“Harris. Tolong yang agak rasional dikit,” aku memegang pundak Harris dan mengguncangnya keras-keras. “Enggak ada yang namanya kutukan.”
“Masa bodo, pokoknya aku nggak mau ambil resiko. Kita ke rumah sakit sekarang,” Harris menarik tanganku dan menyeretku ke pintu depan. “Kamu belum dengar cerita yang paling ngeri sih. Waktu kakakku ngasih cincin itu ke cewek yang baru ditemuinya di bis. Tiga hari kemudian mereka menikah. MENIKAH. Bayangkan. Padahal baru ketemu.”
Aku mengerang kesal.
“Good luck,” terdengar suara Ferli menyemangati. “Jangan berantem di jalan.”
Aku menatapnya ganas.
hhe, hai non clay, makasih loh udah mampir
@sukinyit2
wow, lucu juga nick-nya, hhe
yah kayaknya sih happy ending deh
@loafer_boy
hha, makasih broo, iyahh pasti dilanjut kok
lanjutannya besok ya
@choco_latteZ
hhe, jumpa lagi, iya nih semoga nggak banyak telat kayak dulu
@coolmon
lam kenal, semoga suka ma lanjutan-nya
@_tampan_
sabaarrr ya, nggak bisa sering2 update gw
@bibay007
waaaaaaaaa, rafaelkiddo kan?
hhe, makasih loh udah mampir
@DoubleUnC
hha, makasih, baca terus yaa
@Aness
makasih broo, lam kenal yahh
@hantuusil
hhi, ya jangan banyak ketawa dong, ntar dikira gila beneran loh
@PUTRA_LANGIT
ho oh, sementara buka cabang juga disini, hha
lanjutan yg kemaren msh disiapin, sabarr yaa
@Secret|admirer
oh, kita jumpa lagi, hhe
makasih loh masih mau baca
iya nih dulu nggak sempet update jd terlantar deh ni cerita
@rhein_a
hha, masa sih? makasih yaaaaaaaa
eh yg kamu sebutin itu kayaknya semacam buku kayak raditya dika gitu ya
@flominetry_boi
hhe, banyak anak gif juga ya ternyata
sabar yaaa, tinggal 4 chapter lagi kok