It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Sudah beberapa hari ini Putra muak sendiri mendengar suara anak kucing mengeong yang merupakan pertanda ada pesan teks masuk di ponselnya. Suara mengeong yang seharusnya terdengar sangat menggemaskan berubah menjadi begitu mengganggu terutama sejak Dewo sering mengirim pesan teks berkali-kali membahas tema yang sama. Bayangkan saja! sejak tadi pagi terhitung sudah hampir seratus kali Dewo mengirim pesan teks memaksa Putra untuk terlibat dalam pikiran temannya yang seperti sedang kebingungan. kebingungan yang nyaris gila lebih tepatnya. Belum lagi gangguan di Yahoo messengernya yang juga datang dari Dewo. Percuma membuatnya tampak offline karena Dewo tahu, Putra tak mungkin tak online mengingat pekerjaannya banyak bergantung pada fasilitas messenger dari Yahoo tersebut. Nyaris gila! itu yang dirasakan Putra. Tenggat waktu laporannya sudah hampir habis dan dia mengkalkulasi sendiri kalau dia baru menyelesaikan kurang dari separuhnya akibat konsentrasinya yang terpecah.
"Gimana??? udah bilang sama bos lo belom???" tanya Dewo lewat sms.
"Soal apa?" balas Putra pura-pura bego.
"soal cutiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!! udah dapet belooooooooooooom???!!"
Putra tak menjawab. dia melempar ponselnya ke dalam laci mejanya dan menguncinya puas.
Sepuluh menit tak mendapat respon, Dewo memancing keributan lewat Yahoo Messenger.
Dewo_tampan:"Buzz!!"
Dewo_tampan:"B"
Dewo_tampan:"U"
Dewo_tampan:"Z"
Dewo_tampan:"Z"
Dewo_tampan:"BUZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ"
Dewo_tampan:"HEH! JAWAAAAAAAAAAAAB!!!! JANGAN KABUR LOOOOOOOO!!!"
Putra_thea:"Gue lagi kerja nyet!! lo mau tanggung jawab kalo gue dimarahin boss??"
Dewo_tampan: "bakar aja bos loooooooo... kalo dia ampe marahin loooo....."
Kesal merasa terganggu, Putra melakukan sesuatu terhadap fasilitas pesan instan di komputernya dan berharap gangguan dari Dewo segera berakhir. Ketenangan yang dia dapat tak sampai satu menit sampai Dewo mengirim pesan instan lagi.
Dewo_tampan: "Heh! gue tau lo di inviiiiiiiiiiiiiiiiiisssss!! jawaaaaaaaaaaaaaabbb... cepeeeeeeeeeeeettt!!!"
Agak marah, Putra menutup layar laptopnya dengan sedikit bantingan hingga otomatis berubah kondisi menjadi hibernasi. Melirik arlojinya dia menyadari bahwa sudah lewat sepuluh menit dari jam dua belas. Mendadak perutnya merasa lapar dan dia berpikir untuk makan siang. Dengan reflek dia membuka laci meja kerjanya hendak mengambil kembali ponselnya. Tapi gerakannya terhenti saat dia melihat selembar formulir permohonan cuti yang tiga hari lalu dimintanya dari bagian HRD. Tujuh hari. Bayangkan! Tujuh hari! itu sama saja meminta lebih dari separuh jatah cutinya dikantor. Tidak tanggung-tanggung Dewo, sahabatnya itu meminta Putra mengambil cuti sebanyak itu dari kantornya. Apa dia tidak tahu kalau sangat sulit meminta cuti sepanjang itu, berturut-turut pula dari atasannya? Apalagi belum ada dua tahun Putra bekerja di kantornya yang sekarang, walau sebenarnya hak cuti penuh sudah mulai didapatnya sejak tahun kedua.
Lebih baik aku pakai untuk liburan sendiri nanti menjelang akhir tahun! begitu pikir Putra. Malaysia, Singapura, atau mungkin Thailand, sudah menjadi target liburan Putra menghabiskan jatah cutinya sebagai backpacker. Tapi dia sadar. Sangat sulit menolak keinginan Dewo. Walaupun Dewo jugalah yang menjadi alasan utama Putra pindah dari tempat kerjanya yang lama.
"Lo mau resign?" tanya Dewo tak percaya saat Putra mengutarakan niatnya satu setengah tahun lalu.
Putra mengangguk.
"Lo gak kasian sama gue? we're partner in crime, Put! cuma lo yang ngerti gue! gue musti gimana nanti?" rengek Dewo sedih yang Putra tahu itu hanyalah rengekan manja pura-pura dari sahabatnya.
"Loh? kita kan masih temanan?" tanya Putra.
"Gak akan sama kalau kita masih sekantor!" sergah Dewo.
Tapi keinginan Putra tidak bisa dibendung, walau dengan rengekan Dewo sekalipun. Berbagai usaha dilakukan Dewo agar sahabatnya mengurungkan niat untuk hengkang ke tempat kerja lain, termasuk memaksa pimpinannya untuk mempertimbangkan kenaikan gaji bahkan promosi! Dewo tidak tahu kalau sebenarnya alasan utama Putra meninggalkannya adalah karena dia.
Bersahabat sejak bangku kuliah membuat mereka berdua seperti tak terpisahkan. Terlebih sejak mereka sama-sama mengaku kalau mereka berdua adalah gay! ya! terang saja Dewo berkata tak ada lagi yang mengerti dirinya selain Putra. Tapi Putra sudah bosan dengan kisah stereotip yang dialaminya. Dua anak manusia, yang sangat cocok bersahabat tetapi dinodai oleh rasa suka diam-diam oleh salah satu pihak yang tidak pernah terbalas. Yang satu pendiam, yang satu sangat populer. Dan itu yang dialami Putra sejak berteman dengan Dewo. Bosan rasanya melihatnya begitu gampang pindah dari satu pria ke pria yang lain untuk berpacaran maupun untuk bersenang-senang. Putra selalu menahan diri walau bukannya dia tidak pernah berusaha bersenang-senang pula. Tapi sepertinya kondisi dia yang diperbudak cinta terpendam kepada sahabatnya membuat Putra lebih suka menutup hati apabila ada pria yang mengajaknya berhubungan lebih serius. Bosan pula rasanya dimanfaatkan Dewo sebagai penyelamat apabila dia terjebak pada pertemuan atau kencan dengan seseorang yang ternyata tidak dia sukai.
"Inget! kalo gue misscall elo berati gue butuh bantuan! se-ce-pat-nya!"
Begitu pesan Dewo setiap dia hendak bertemu dengan seseorang yang dia kenal dari dunia maya. Entah sedang melakukan pekerjaan lain, belajar di kamar kos, atau saat lembur mendadak, tak pernah sekalipun Putra absen menolong Dewo dari kencan malapetaka. Saat Dewo merasa tidak cocok, terjebak dalam pertemuan membosankan, atau mungkin berkenalan dengan orang sakit jiwa, maka Dewo akan meminta bantuan Putra untuk datang ke tempatnya untuk memaksanya pergi. Terlalu pengecut? atau mungkin juga Dewo adalah pribadi yang kerap merasa bersalah terhadap orang lain apabila terpaksa mengakhiri kencan? Tapi Putra tak pernah menanyakan alasan Dewo selalu memanfaatkan dirinya untuk menyelamatkannya. Semua dia lakukan karena di sayang kepada Dewo.
"Kenapa lagi sekarang? mukanya tuh cowok ga simetris? kuping kanan lebih besar dari kuping kiri? atau ternyata umurnya jauh lebih tua dari foto yang dia kirim?" tanya Putra asal-asalan suatu ketika setelah mereka keluar dari sebuah klub malam dalam rangka menyelamatkan Dewo dari kencan mengerikan.
"Psikopat Put! sakit! bener-bener sakit! lo perhatiin gak tas ransel yang dia bawa? didalemnya ada cemetinya Put! dan dia bilang gak tanggung-tanggung ngegunainnya!" desis Dewo sambil bergidik.
"Lain kali, gue gak bakal nyelamatin lo kalo sekiranya lo kenalan sama orang sakit jiwa! biar diperkosa sekalian!" sungut Putra kesal sambil membuka pintu mobilnya.
Sejak kuliah hingga keduanya bekerja di kantor yang sama membuat mereka memilih tinggal bersama pula. Dari mulai sebuah kamar kos kecil hingga menyewa sebuah apartemen studio yang tidak terlalu mewah saat sama-sama meniti karir. Ada momen-momen yang tidak bisa Putra lupakan. Walaupun Dewo dengan tegas menyatakan bahwa dia sayang Putra sebagai sahabat, tapi kadang beberapa perlakuannya kepada Putra membuatnya melambungkan harapan yang terlampau tinggi bahwa suatu saat Dewo akan membalas cintanya. Seperti misalnya, walau mereka tidur di ranjang terpisah, tak jarang Dewo selalu meminta Putra untuk menemaninya. Bahkan seringkali Dewo memeluk Putra (untuk yang satu ini, Putra biasanya tidak mau melepaskan momen indah itu dan memilih untuk tidak tertidur hingga berakibat keesokannya dia mengantuk sepanjang hari). Atau misalnya, saat makan berdua di kamar tak segan-segan Dewo menyuapkan makanan kepada Putra. Hal-hal yang terlihat romantis itu mungkin biasa saja dilakukan oleh Dewo, tapi enggan dilakoni oleh Putra. Putra takut, Dewo akan salah paham dan mungkin akan merasa dikhianati apabila dia tahu kalau Putra ternyata menyukainya kalau dia juga membalas kemesraan semu Dewo.
Dewo adalah cowok populer. Populer di kampus, kini populer di tempatnya bekerja, populer diantara orang-orang yang hobi bermain futsal, dan bahkan populer di pusat kebugaran walau dia sendiri hampir tidak pernah ke pusat kebugaran. Bagaimana bisa dia populer di pusat kebugaran?
"Gym cuma buat homo!" sahutnya enteng suatu hari. Lho? bukannya Dewo juga homo? Benar. Tapi dia memang lebih suka menjaga tubuhnya yang tinggi atletis dengan berolahraga futsal dan renang dibandingkan mendaftarkan diri menjadi member pusat kebugaran dan menghabiskan waktu berjam-jam di sana.
"Gue gak suka aja kalo gue lagi telanjang bodi gue dipelototin sama orang-orang sampai mikir macam-macam." begitu alasannya. Aneh, tapi itulah Dewo. Reputasinya sebagai badboy-playboy juga menjalar ke pusat-pusat kebugaran karena Dewo beberapa kali mengencani membernya.
****
Bagaimana dengan Putra? si cowok yang diam-diam menyukai sahabatnya sendiri itu? motivasinya dalam menjalani hidup cukup sederhana dan tidak macam-macam: menempuh pendidikan yang baik, mendapat nilai terbaik, bekerja di perusahaan dengan posisi yang baik, menabung untuk investasi dan membuka usaha di kemudian hari. Dia juga masih heran bagaimana dia bisa begitu akrab dengan Dewo saat kuliah dulu. Mungkin benar kata orang, kalau sebenarnya dua orang bisa menjadi pasangan terbaik, bersahabat dengan baik, bukan karena banyaknya kesamaan di antara mereka. Melainkan bagaimana perbedaan yang ada malah akan saling melengkapi. Putra sangat serius dalam mengerjakan apapun. Sedangkan Dewo bisa dibilang sangat santai. Itulah sebabnya, Dewo bisa menjaga keseriusannya dalam menyelesaikan kuliah karena pengaruh Putra, dan Putra bisa sedikit santai ketika Dewo berhasil membujuknya untuk melupakan tugas-tugas kuliahnya untuk sementara.
Putra yang pendiam tak sepopuler Dewo. Bukannya dia tidak menarik, Putra tergolong tampan. Hanya saja Putra lebih suka menyembunyikan matanya yang tajam dengan kacamata model kuno dan potongan rambut yang tidak mutakhir. Walaupun memang, tubuh Putra lebih kurus dan tidak atletis seperti Dewo. Memang sudah sifatnya demikian, meskipun sejak bersahabat dengan Dewo, Putra tak lagi sepemalu pertama kali dia masuk kuliah.Dia sudah tidak sanggup lagi berharap banyak dari Dewo. Itulah sebabnya dia memutuskan untuk mencari peruntungan karir di tempat lain sekaligus untuk melupakannya. Bukan melupakan sebagai sahabat, tapi berusaha melupakan perasaannya kepada Dewo dan berharap suatu hari nanti, yang tersisa hanyalah rasa sayang terhadap sahabat. Mungkin sepertinya mustahil, tapi bagi Putra itulah yang bisa dia jalani sekarang ini.
Putra tidak ingin lagi merasa sakit ketika terpaksa harus mengasingkan diri saat Dewo membawa kekasih atau partner tidurnya ke kamar kost mereka. Hal ini sudah diprotes berkali-kali oleh Putra, tapi Dewo belum bisa menemukan alasan mengapa Putra harus keberatan. Toh, Dewo tidak menggunakan ranjang Putra dan hanya beraktivitas pada sisi kamarnya. Atau ketika Dewo datang bersama seorang cowok padahal sudah larut malam dan tak bisa 'mengusir' Putra yang sudah tertidur. Terpaksa Putra pura-pura tidur menghadap dinding sambil memakai earphone iPod miliknya walau dia sangat cemburu dan hatinya remuk menahan tangis mendengar desah-lenguhan aktivitas Dewo bersama pasangannya di ranjang sebelah.
"Sori bro... kalau gue terpaksa, sebisa mungkin bakal pelan-pelan dan gak bakal berisik." ujar Dewo keesokan paginya meminta maaf.
Putra tak menjawab. Dia berusaha terlihat kesal yang murni kesal bukan kesal karena cemburu. Tapi pada kenyataannya Putra selalu cemburu kepada pria-pria yang berhasil tidur dengan Dewo. Sepertinya tak ada satupun dari mereka yang berniat serius dengan Dewo. Semuanya hanya bermotif nafsu. Dan Dewo bisa sedih berhari-hari ketika dia berharap banyak pada seseorang untuk menjalin hubungan serius, si cowok yang dikenalnya itu menghilang begitu saja. Ingin rasanya Putra menampar Dewo dan memberitahukan padanya bahwa satu-satunya orang yang tulus mencintainya adalah dirinya. Tapi seperti biasa, Putra tak pernah punya keberanian untuk melakukan itu. Itulah sebabnya Putra harus pergi. Tak ada alasan lagi harus mendampingi Dewo. Sekali-kali Putra ingin egois. Dia tidak mau berada di sisi Dewo ketika akhirnya dia mendapatkan jodohnya. Terbayang sudah betapa sakitnya ketika hari itu tiba. Cukup! Putra ingin mendukungnya dari jauh saja. Hanya sebagai sahabat. Tak lebih.
"Kenapa harus pindah tempat tinggal segala sih?" Tanya Dewo.
Putra hanya mengangkat bahu. Tak mungkin dia menjelaskan kalau pindah kerja dan pindah tempat tinggal adalah untuk menjauh dari Dewo.
"Lo marah ya sama gue? gue salah apa ya?" rengek Dewo.
"Enggak Wo! gue gak marah sama elo. Cuma, gue merasa gue harus memulainya sendiri. Kita udah terlalu sering bersama-sama. Gue pengen coba menaklukan tantangan kerja dan hidup dengan diri gue sendiri tanpa bantuan orang lain."
"Tapi lebih mudah kalau ada yang support kan?!" protes Dewo dengan nada suara yang makin meninggi.
"Iya Wo... tapi gue ngerasa gue terlalu bergantung sama elo. Kadang-kadang gue pengen ngatasi masalah gue sendiri, nyari solusi, murni dari otak gue. Gue pengen ngelatih otak gue buat memecahkan masalah. Lagipula sampai kapan memangnya? toh cepat atau lambat kita bakalan pisah juga Wo!.
Dewo masih tidak menerima alasan Putra. Sebagai bentuk protes, ketika Putra harus mengemasi barangnya dan pindah. Dewo sama sekali tidak mau membantu. Dia malah asyik nonton tivi. Sementara beberapa kawan mereka berdua membantu Putra berkemas dan memindahkan barang-barangnya.
"Lo tega Wo! masa segitu ngambeknya gak mau bantuin?" sindir Yuri sambil membawa kardus berisi buku-buku milik Putra.
Dewo tidak bereaksi. Sudah beberapa kali teman-temannya menyindir Dewo dan berusaha membuatnya tergerak membantu Putra. Teman-teman mereka berdua paham kalau Dewo marah dan tidak suka dengan kepindahan Putra. Tetapi bukankah seharusnya tidak membuat Putra lebih sedih dengan mengabaikannya sepanjang hari? tak mau menyapanya sedari pagi? sahabat macam apa itu? pikir teman-temannya. Putra pun merasa tertekan tak diacuhkan oleh Dewo sejak beberapa hari sebelumnya setelah dia memberitahukan tanggal kepindahannya. Puncaknya adalah hari itu. Dewo tidak berbicara dengannya sejak pagi tadi saat Putra mulai membereskan barang-barangnya. Tapi keputusan Putra sudah bulat. Dewo tidak bisa menghentikannya. Ketika akhirnya tinggal sebuah kardus kecil yang harus Putra angkat, dia berkata pada Dewo yang sedang berdiri sambil mengaduk secangkir kopi.
"Wo... gue minta maaf udah ngecewain elo. Maafin juga kalau selama ini gue ada salah sama elo." Suara Putra tercekat menahan sedih, berharap untuk sekali saja Dewo mau menatap matanya. Dewo diam saja.
Tanpa pikir panjang Putra membanting kardus yang dia pegang dan menghambur ke arah Dewo dan memeluknya erat dari belakang. "Maafin gue Wo..." ujarnya pelan sambil terisak. Tapi dewo tidak bereaksi.
Menyerah dengan sikap sahabatnya, Putra melepaskan pelukannya dan mengambil kembali kardus yang dia tinggalkan menuju pintu. Di depan pintu dia menoleh ke arah Dewo yang masih terdiam memunggunginya. Sambil menunduk sedih, Putra menaruh kunci kamar miliknya di sebuah meja dekat pintu dan menutup pintu.
****
Kardus terakhir begitu berat untuk diangkat sendirian. Putra dibantu kedua temannya akhirnya berhasil menurunkan kardus berisi buku-buku koleksi Putra dari dalam mobil. Setelah mengelap keringat di dahi dan menghela nafas lega, Putra bertolak pinggang menengadahkan wajahnya ke atas. Ini dia! apartemen baru tempat dia akan tinggal. Sendiri. Tanpa Dewo. Dia tersenyum bahagia tetapi sedikit sedih karena berharap Dewo bisa bersamanya di saat-saat seperti ini.
Gedung Apartemen itu terletak di luar jalan utama. Dekat perbatasan kota. Tapi Putra suka. Selain lalu lintasnya tidak terlalu padat, aksesnya sangat dekat dengan stasiun kereta dan pusat perbelanjaan. Keputusan Putra untuk mulai mencicil apartemen itu dia rasakan sungguh setimpal. AKhirnya dia bisa memiliki tempat tinggal sendiri. Miliknya sendiri! jeritnya dalam hati. Ketika Putra tersenyum-senyum sendiri, dia mendengar suara motor mendekat. Suara motor yang sangat dia hafal karena sering dia dengar. Suara itu berasal dari motor Dewo! Putra menoleh dan benar saja Dewo yang datang dengan motor Kawasaki hitamnya.
"Wah.. gue beruntung yah? gak perlu ngangkat kardus berat-berat? sekarang tinggal makan-makan kan?" tanya Dewo sambil menatap Putra. Dia berdiri di samping motornya. Berkaus merah, berjaket kulit, dan terlihat tampan! sangat tampan!
"Yang gak ikut bantu gak dapat jatah traktiran makan!" sahut Putra pura-pura marah.
"Ah.. gapapa.. tapi minumnya tetep dapet kan?" tanya Dewo sambil berjalan ke arah Putra sambil tersenyum manis.
Begitu sampai di dekat sahabatnya, Dewo tak ragu memeluk Putra erat. Membalas pelukan dari sahabatnya satu jam lalu. "Maafin gue ya? maafin karena udah jadi temen yang brengsek..." ucap Dewo yang hanya bisa didengar oleh Putra. Tangannya menepuk-nepuk punggung Putra. Putra mengangguk-angguk kuat sambil tersenyum bahagia. Kejadian mengharukan itu disaksikan teman-teman mereka berdua yang sudah paham bagaimana eratnya persahabatan mereka.
Sebenarnya tak ada niat pula dari Putra untuk menjauhi Dewo. Dia berharap tetap intens berkomunikasi dengan sahabatnya. Tapi mungkin secara psikis, Putra sepertinya mulai menutup diri dari Dewo. Awalnya mereka masih sering makan bareng, janjian nonton film di bioskop bersama, ataupun saling menelepon. Lama-lama Putra sering beralasan banyak acara, atau Dewo yang mendadak membatalkan janji mereka karena harus bertemu dengan seseorang. Ingin rasanya Putra kembali bertugas sebagai penyelamat kencan-malapetaka Dewo sekaligus berharap semua kencan Dewo adalah kencan malapetaka. Tapi Dewo tak pernah lagi meminta bantuannya. Diam-diam Putra sedih karena mungkin saja Dewo mendapatkan jodohnya dan dimiliki oleh orang lain. Putra pun mulai berkencan. Dia mulai mengenal beberapa pria dan berusaha untuk berkencan dengan mereka. Tak hanya itu. Putra kini mulai memperhatikan penampilan. Selain dituntut oleh bosnya untuk selalu berpenampilan terbaik karena pekerjaannya berhubungan dengan banyak klien, Putra juga berharap bisa membuatnya mengalihkan pikirannya dari Dewo. Itu sebabnya dia kini tercatat sebagai member sebuah pusat kebugaran. Rutin melatih tubuhnya walau dia masih ingat kata-kata Dewo bahwa Gym hanya untuk homo. Memang tidak salah kan? aku memang homo! ujar Putra. Akhirnya, tiga bulan ternyata cukup untuk membuat mereka berjauhan.
Tiga bulan adalah waktu yang bisa dipakai Putra untuk menikmati apartemen baru miliknya. Bosnya menugaskan dia untuk pindah ke kantor cabang selama setahun karena melihat prestasi kerja Putra yang sangat baik. Di sana dia ditempatkan dengan harapan bisa mengembangkan perusahaan dengan iming-iming kenaikan jabatan sekembalinya ke kota. Praktis komunikasi antara Putra dan Dewo menjadi terbatas. Hanya dengan situs jejaring sosial, telepon ataupun messenger. Itu tak menjamin keduanya rutin berkomunikasi. Jarak telah melunturkan intensnya persahabatan mereka. Di kota baru Putra mulai berkencan dan bertemu dengan beberapa pria. Tetapi kebanyakan dari mereka memang tak ada yang serius. Kebanyakan hanya berharap bisa melakukan hubungan seks dengan Putra. Suatu hal yang sangat Putra hindari. Ya! diam-diam Putra masih berharap bahwa saat dia melakukannya pertama kali, dia akan melakukannya dengan Dewo. Penuh hasrat dan cinta! pikirnya. Dan dia pasti akan menjadi pria yang paling bahagia di muka bumi. Pernah dia berhubungan cukup serius dengan seorang pria yang usianya sepuluh tahun lebih tua. Dewasa, mapan, tampan, dan baik hati. Tapi sepertinya dia frustasi ketika Putra tak kunjung juga memberinya kesempatan untuk bercinta dengannya. Hubungan itu akhirnya kandas setelah sang pria memutuskan untuk pergi dari kehidupan Putra.
Sempat terpikir oleh Putra untuk tidak hidup selibat tanpa seks. Buat apa dia melakukan itu? seks itu enak, enak, dan enak! buat apa dia menahan diri untuk tidak melakukannya demi menyimpannya untuk Dewo dan berharap suatu saat Dewo lah yang menjadi orang pertama baginya? tapi Putra tetap tidak punya keberanian. Dia lebih suka diperbudak dan berharap demi cinta. Dia bisa sangat penasaran dengan Dewo. Apakah dia sedang dekat dengan seseorang? itulah sebabnya dia kadang menjadi penguntit Dewo di situs jejaring sosial Facebook. Istilahnya stalker! tapi Putra juga frustasi. Dia tahu, Dewo tak akan mengumbar sisi gay-nya di situs jejaring sosial itu karena akun pribadi miliknya adalah resmi. Ada keluarga dan teman kantornya di situ, dan dia belum berniat mempublikasikan kondisinya kepada orang lain.
Di messenger pun tidak membantu. Kadang bisa sampai bermenit-menit Putra menghabiskan waktu menatap avatar Yahoo Messenger milik Dewo yang kuning pertanda dia sedang online. Tapi dia enggan untuk menyapa. Putra hanya berharap bisa mendapatkan sesuatu informasi dari status-status yang dia pasang. Tapi kebanyakan tidak berarti apa-apa dan hanya iseng belaka. Sampai suatu hari, Dewo kembali menghubunginya. Meminta bantuan pada Putra.
Dewo_tampan : "lo harus bantuin gue! temenin gue!"
Putra_thea : "Ih.. apaan sih ni orang? udah lama gak nyapa, say hello dulu kek? nanya kabar kek?"
Dewo_tampan : "gak ada waktuuuuuuuuu... pentiiiiiiiiiiiingg!!"
Putra_thea : "soal apa?"
Dewo_tampan : "there was this guy..."
Putra_thea : "cowok mana lagi?"
Dewo_tampan : "hadooooh... denger dulu kek???"
Dewo_tampan : "gue kenal dia di friendster. anak makassar. cakep! hot! dia Chinese makassar!" ntar gw kasih link fs dia deh!"
Putra_thea : "gue kok gak tau kalo lo punya friendster?"
Dewo_tampan : "Hadooooooh.. bukan itu inti permasalahannya. gini-gini..gue kontak-kontakkan ama dia dan udah saling tuker nomor hape. trus gue udah ketemu dia waktu dia ke Jakarta sebulan lalu. gue udah nonton show nya dia.."
Putra_thea : "show?" :-/
Dewo_tampan : "iya! kan gw tadi dah bilang kalo dia stripper.."
Putra_thea : "hah? kapan ya lo bilang soal stripper?"
Dewo_tampan : "iiih... pokoknya gini, dia ngundang gw nonton shownya dan kita ngobrol-ngobrol. Anaknya asik! dan yeah.. sempet ML satu kali juga sih.. :"> tapi dia terus balik ke makassar..
Putra mendengus kesal.
Putra_thea : "trus?"
Dewo_tampan : "gue gak bisa ngelupain diaaaaaaaaaaaaa.. ( gue suka sama diaa... ( gue pengen dia jadi pacar gue..... ( T__T"
Putra_thea : "then ask him!"
Dewo_tampan : "gak berani.. :"> gak pede..:">"
Putra_thea : "-_______-; trus mau lo sekarang apaaaaaaaaaaa???"
Dewo_tampan : "dia ngajakin gw pergi ke sulawesi! dia bilang dia pengen liburan ke Palu dan minta gue nemenin diaaaaaaaaaaaaa.. huwaaaaaaaaaaaaaaa...... gimana gue gak ge-eeeeeeeeeeeeerrr???"
Putra_thea : "yaudaaaaaaaaaaaaaaaaahhh pergi ajaaaaaaaaaaaaaa...."
Dewo_tampan : "gak mau sendiri.. pengennya ada yang nemenin.. "
Putra_thea : "ih manja! minta digaplok!"
Dewo_tampan : "biarin! yang penting tampan gimana? mau yah? yah? yah? semingguuuuuuuuu ajah?"
Putra_thea : "ogah! berarti musti ngambil cuti dong?"
Dewo_tampan : "Putra ja-at! ( ( ("
Putra_thea : "-____-;"
Dewo_tampan : ":(( ( ("
Dewo_tampan : ":(( ( ("
Dewo_tampan : ":(( ( ( ( ( ( ("
BUZZ!!
BUZZ!!
Putra_thea : "heh! pengen gue panggang yah?"
Dewo_tampan : ":'( temenin gue Put.... please..?"
Putra_thea : "yaudah! gue usahain! tapi gak janji yah!"
Dewo_tampan : "T_T makasih put... lo emang sahabat gw paling baik....."
Putra_thea : "au ah!"
Sambil sesekali memperhatikan sekitarnya, Putra diam-diam membuka jendela browser untuk melihat akun friendster. Dia kadang mengutuk ruangan kerjanya yang seperti akuarium. Ruang kerja Putra terdapat dua buah pemisah berupa kaca besar tanpa tirai. Tata letak mejanya diatur sedemikian rupa hingga punggungnya membelakangi dinding kaca bersebelahan langsung dengan lorong tempat para pegawai berlalu-lalang. Dia sudah berusaha memindahkan mejanya agar layar laptopnya tak terekspos begitu kentara. Bukan karena Putra suka melihat situs yang 'aneh-aneh' karena dia bisa melakukannya di rumah, tetapi kadangkala dia tidak suka apa yang dia kerjakan terlihat oleh orang lain. Tapi begitu usulan itu dia kemukakan, beberapa orang langsung meledeknya. "Kenapa sih pak Putra...? gak enak yah kalo liat situs porno?" begitu sindir rekan-rekan kerjanya. Oh! seandainya dia bisa bekerja di salah satu kubikal yang ada di ruangan sebelah!
Dewo_tampan: "lo liat sekarang jugaaa!!"
Putra_thea: "entar aja napa! lagi di kantor nih!"
Dewo_tampan: "gak bisa! lo liat sekarang n kasih pendapat! nih gw kasih linknya!"
Putra sudah memprotes Dewo yang memaksanya melihat profil cowok idamannya itu di friendster. Tapi Dewo sedang tidak mau dibantah. Kemudian Putra membuka tautan yang dikirimkan oleh Dewo dan melihat profil dan foto-foto cowok chinese-makassar itu. Namanya di friendster adalah James Chow. Tampan, berkulit putih mulus dengan rahang kuat. Sepertinya akun miliknya itu didedikasikan untuk para gay yang dia ajak bersahabat. Dan dia juga cukup murah hati membiarkan tubuhnya yang atletis berotot bagus itu untuk dinikmati dan dikomentari orang lain. Terutama cowok-cowok!
Dewo_tampan: "gimana? gimana? cakep kan? :">"
Putra_thea: "iya. lumayan lah..."
Dewo_tampan: "segitu badannya belum 'jadi' kek sekarang..! pas ketemu gue.. uuuh... gak nahan... :">"
Putra_thea: "zzzz.. -____-!"
Dewo_tampan: "udah ngomong sama bos lo belom?"
Putra_thea: "blom"
Dewo_tampan: "Heh! cepeeeeeeeeeeeeeeeettt!!! kita berangkat seminggu lagiiiiiii!"
Putra_thea: "haduh! kan gw bilang gak janji!"
Dewo_tampan: "Anjrit! pengen dibakar ini anak! tiketnya udah gue beliiiiiiiiiiii!!"
Putra_thea: "siapa suruh?"
Dewo_tampan: "T___T"
Putra_thea: "ck! iya! iya! ntar siang gue nanya"
Dan itulah janji Putra kepada Dewo tiga hari yang lalu. Kini dia sedang memandangi form permohonan cuti yang telah dia isi hanya tinggal menunggu persetujuan dari atasannya saja. Semoga tidak dikabulkan... desahnya. Situasi ini sangat dilematis bagi Putra. Di satu pihak dia ingin sekali kembali bertemu dengan Dewo. Di sisi lain, dia tak ingin melukai hatinya dengan melihat kemesraan antara Dewo dengan si cowok Makassar itu. Tapi bukan Putra namanya kalau tidak pernah menuruti kemauan temannya. Setelah istirahat makan, Putra mendatangi atasannya yaitu direktur cabang untuk mengutarakan maksudnya. Entah mengapa sang Boss malah merasa khawatir.
"Mengundurkan diri?" tanya si boss was-was.
"Saya tidak bilang seperti itu pak, hanya minta cuti satu minggu..." jelas Putra bingung.
"Kamu akan kembali lagi kan? terus terang, saya tidak mau buat kamu besar kepala, tapi saya benar-benar membutuhkan kamu di sini. Saya tidak mau kamu keluar setidaknya sekarang!"
"Saya tidak berniat keluar pak... saya cuma mau ambil cuti..." Putra semakin bingung.
"Cuti? cuti tujuh hari? itu waktu yang diperlukan untuk wawancara dan ikut serangkaian tes di tempat kerja baru... kamu tahu kan? kalau sebentar lagi tugasmu di kantor cabang ini mungkin segera berakhir dan seperti yang boss besar janjikan, akan ada peluang promosi untuk kamu..."
"Saya jamin bukan seperti itu pak! ada masalah penting.. yah.. sebenarnya tak terlalu penting juga, saya ingin berlibur..."
"Kenapa gak bilang dari tadi??? berlibur ya? oke! oke! saya tahu kamu butuh penyegaran. Dan setelah pencapaian kamu yang luar biasa tahun kemarin, saya rasa kamu layak untuk mendapatkan liburan. Mana? mana form yang harus saya tandatangani?" ujar si Boss bersemangat.
Putra hanya tertegun melihat tingkah laku atasannya. Kemudian dia segera menyerahkan formulir pengajuan cuti yang dia pegang dan tugasnya setelah ini adalah memberitahukan kabar baik ini pada Dewo dan siap-siap untuk berangkat.
*****
Sudah setengah jam lebih Dewo menunggu Putra di Bandara. Dia memain-mainkan kopernya di pelataran terminal 1-B Bandara Soekarno-Hatta. Sesekali dia memanjangkan lehernya menatap ke jalan berharap taxi yang ditumpangi Putra muncul. Udara sore itu cukup panas. Sebenarnya Dewo sudah sangat ingin buru-buru check in dan menunggu di ruang tunggu yang berpendingin udara. Namun Putra sudah mengkonfirmasikan bahwa ada kemungkinan dia akan terlambat dari jadwal yang sudah disepakati karena mendadak terjebak macet.
"Adik mau ke mana? Makassar juga seperti saya?" tanya seorang ibu gemuk berkerudung dengan ramah.
"Eh? oh.. saya mau ke Palu bu.." jawab Dewo. Dewo melihat di depan si Ibu itu ada dua buah troli dengan beberapa tas kopor dan kardus-kardus besar.
"Palu ya? saudara ibu juga banyak di sana."
"Banyak banget bawaannya bu? oleh-oleh?" tanya Dewo penasaran.
"Bukan dik.. Ibu mau jualan di sana. Isinya baju-baju." jawab si Ibu.
Dewo mengangguk-ngangguk paham. Mendadak perutnya minta diisi makanan. Kemudian dia berpamitan pada si Ibu berkerudung untuk mencari makanan diantara gera-gerai cepat saji di pelataran bandara. Dia memilih untuk membeli roti yang dijual satuan. Dengan sabar dia menunggu seorang Pria kaukasia menyelesaikan transaksinya dengan si penjual roti.
"Terima kasih..." ucapnya sambil tersenyum dengan logat 'bule' nya yang kentara kepada si gadis kasir penjual roti. Saat dia berbalik dia mengangguk sambil tersenyum pada Dewo dan berlalu.
Kerika menerima pesanannya, dua roti bun dan segelas kopi, dirasakan oleh Dewo ponselnya bergetar. Buru-buru dia meletakkan bawaannya dan membuka pesan teks yang masuk. Dari James.
"Hallow say.. masih udah brangkat? "
Dewo membalas. "Belum. Lagi nunggu teman. Eh, beneran gak apa-apa nih gue ajak temen?"
"gak papa say. kita bisa senang-senang kalo rame. bisa threesome kan? hahaha )"
"hahaha. dasar!"
Dewo tersenyum membaca candaan James di pesan teks. Teringat kembali olehnya perkenalan dengan James. Diam-diam Dewo memiliki akun friendster khusus untuk berkenalan dengan sesama Gay yang dia temui di dunia maya. Tak ada yang tahu. Bahkan dia tidak memberitahukan akun tidak resminya itu pada Putra. Bukankah akan lebih mudah bila kita memiliki akun di jejaring sosial khusus laki-laki penyuka laki-laki juga? bisa kita taruh foto bahkan yang paling pribadi sekalipun. Oh! tapi Dewo tidak senekat itu membiarkan foto telanjang tubuhnya diumbar di situs jejaring sosial tersebut. Hanya wajah saja dan itu pun tak terlalu banyak. Dewo khawatir foto-fotonya akan disalahgunakan oleh orang lain untuk membuat profil palsu. Ketika dia melihat siapa yang melihat profilnya, terpampanglah akun milik James. Saling tertarik dengan profil masing-masing, mereka kemudian bertukar pesan, berkenalan, chatting, dan berlanjut dengan saling bertukar nomor ponsel. Dari situ Dewo tahu kalau James adalah anak tunggal dari seorang pengusaha keturunan Tionghoa di Makassar. Kenekatannya untuk tidak ikut dengan keluarganya dikarenakan seluruh keluarganya tidak menyetujui pilihannya untuk terbuka sebagai Gay. Membuka usaha dan memiliki beberapa gerai penjualan ponsel dan elektronik menjadi pilihannya untuk menyambung hidup.
James yang tampan, bertutur kata sopan, dengan senyumannya yang maut mampu meluluhkan hati Dewo. Dewo sadar betul, dengan profil berani yang dimilik James (dia memamerkan foto-foto telanjangnya), Dewo berprasangka bahwa James berprofesi pula sebagai pria bayaran. Pengakuan ini muncul dari ucapannya sendiri bahwa dia pernah dipakai oleh artis pria yang sudah beristri mantan atlit softball yang selama bertahun-tahun dikontrak oleh sebuah merek minuman energi, dan James pernah bercerita bahwa pengguna "jasa" nya yang lain adalah salah seorang anggota grup vokal parodi asal Bandung yang juga telah beristri. Dewo tidak pernah mencari tahu apakah pengakuan James itu benar ataukah hanya sekedar omong kosong belaka. Tapi yang pasti, dari James pulalah Dewo tahu pekerjaan sampingannya adalah sebagai stripper. Tetapi James tidak pernah mau menjalankan profesi bayarannya di Makassar, dia bilang dia hanya melakukannya untuk have fun. Kalaupun ada yang membayarnya, dia bilang anggap saja sebagai bonus untuk mentraktir karyawannya. Itulah sebabnya James hanya mau melakukan show di Jakarta atau Bali sesuai permintaan.
"Dibayar? biasanya kalau ada yang gue suka, gue gak pernah minta bayaran. Dan gue jadi stripper cuma untuk menyalurkan jiwa seni gue aja." ucap James suatu ketika.
Ketika tiba waktunya James berkunjung ke Jakarta, Dewo tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk bertemu dengannya. James pun tidak menolak saat Dewo berkata ingin menemuinya. James malah mengundang Dewo sebagai tamu khusus saat sebuah perkumpulan eksekutif muda memintanya menghibur salah satu anggota mereka yang berulangtahun di sebuah apartemen. Dengan mengenalkan Dewo sebagai asistennya, James leluasa mengajak Dewo ikut masuk dan menonton pertunjukan tari telanjangnya. Pertunjukkan yang membuat nafas Dewo tak beraturan. James yang bertubuh sempurna, menyuguhkan pemandangan yang membuat nafsu pria-pria penyuka sesama jenis bergejolak. Setelah pertunjukan usai, James menolak beberapa orang yang ingin berlanjut berkenalan dengannya ke atas ranjang dan memilih untuk berjalan-jalan bersama Dewo dan Kawasaki hitamnya berkeliling kota Jakarta. Tak butuh waktu lama buat James dan Dewo terlibat percakapan asyik saat mereka makan malam. Dan tak perlu ada ucapan lisan pula bahwa mereka sangat menginginkan untuk saling merasakan tubuh satu sama lain setelah sekian lama keinginan itu terpendam. Malam yang sangat indah bagi Dewo. Karena dia melakukannya dengan hati! itulah kesalahan terbesar Dewo. Memakai hati saat bercinta dengan orang yang hanya singgah sementara di kota dan hatinya. Dewo sendri tidak pernah berani menanyakan pada James apakah pertemuan pertama mereka itu berarti sesuatu ataukah tidak. Hubungan mereka berlanjut seperti semula saat James kembali ke Makassar. Dan kesempatan untuk Dewo menanyakan kemungkinan ke arah yang lebih serius itu tiba saat James mengajaknya berlibur.
****
Putra mengamati voucher taxi yang sedang dipegangnya. Sungguh beruntung! sang atasan bukan saja memberikan persetujuan permohonan cuti Putra saja, tetapi dia juga mengatakan sesuatu di luar dugaan.
"Selamat berlibur. Kalau kamu kembali, saya akan mempertimbangkan untuk menaikkan gajimu diluar kenaikan reguler sebesar sepuluh persen. Tapi ingat! hanya kalau kamu kembali bekerja di sini." kata sang atasan.
Rupanya kekhawatiran atasannya akan kehilangan karyawan sebaik Putra membuatnya berupaya dengan berbagai cara memastikan kepulangannya ke perusahaan. Termasuk memberikan beberapa voucher taxi untuk digunakannya. Lumayan! bisa menghemat pengeluaran beberapa ratus ribu.
"Terminal berapa pak?" tanya supir taxi membuyarkan lamunan Putra.
"Satu B pak!" jawab Putra.
Putra turun dari Taxi. Tubuhnya menggigil mencoba menyesuaikan diri dengan udara luar yang panas. Sangat kontras dengan Taxi yang berpendingin udara. Setelah menyerahkan voucher Taxinya yang tertera seluruh jumlah pengeluaran termasuk ongkos tol, Putra menyeret tangkai kopornya menuju pelataran terminal bandara mencari-cari sosok Dewo.
Kemudian Putra mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi nomor Dewo. Tak mengamati jalan karena konsentrasinya terpecah saat mencari-cari nomor Dewo, Putra menabrak seorang pria kaukasia yang baru saja mengambil kopi dari mesin penjual otomatis di dekat toilet hingga isi gelas yang dipegangnya tumpah dan bungkusan berisi roti bun yang dibawanya juga ikut terjatuh.
"Ya ampun! A.. I'm sorry..." ujar Putra penuh penyesalan. Dia berusaha membantu dengan mengambil bungkusan roti harum yang terjatuh tetapi karena pembungkusnya tak sempurna, roti itu menjadi kotor karena terkena debu di lantai.
"It's Okay... tak mengapa...!" ujarnya berusaha menenangkan Putra yang tampak khawatir.
"Lemme buy you another okay?. Please. I insist.." ucap Putra ketika melihat semua makanan yang dipegang si pria kaukasia itu tampak tak lagi bisa dimakan.
"Hey.. tidak perlu.. Tidak apa-apa..." ujar si Pria jangkung itu mencoba mencegah Putra.
Tapi putra tidak bisa dicegah. Dia kemudian mencari-cari selembar uang limaribuan dan memasukkannya ke mesin penjual kopi otomatis. saat hendak menekan tombolnya, dia menoleh dan bertanya pada si Pria kaukasia.
"Black coffee? or with cream?" tanya Putra sedikit memaksa.
"With cream please." si Bule akhirnya menyerah. Begitu pula saat Putra buru-buru membelikan roti yang sama dan menyerahkan pada si pria bule itu.
"Thanks... anda sebenarnya tak perlu repot-repot..." kata si Bule itu berterima kasih.
"No. It was my fault..." kata Putra.
"Oke. Nice to see you. Terima kasih untuk makanannya". Lalu si Pria bule tampan yang memakai kaus polo biru gelap dan celana khaki serta sepatu kets putih itu berlalu sambil mengangkat makanannya dan tersenyum pada Putra.
Putra mengangguk dan bernafas lega. Alamak! baru saja datang sudah dapat kecelakaan. Keluhnya dalam hati. Kemudian dia kembali mencari ponselnya untuk menghubungi Dewo. Tapi terlambat. Dewo sudah lebih dulu meneleponnya.
"Dimana lo Put?"
"Udah di bandara. Deket mesin jual kopi. Elu di mana Wo?"
"Deket ATM. elu kesini dong! kita harus cepet-cepet check in!" paksa Dewo.
Kemudian Putra kembali menyeret kopernya dan mencari-cari Dewo yang berkata sedang menunggunya di dekat ATM. Dan itu dia! berdiri di sana. Di mata Putra, Dewo adalah pria yang paling tampan di dunia. Padahal dia hanya memakai kaus putih berjaket kulit dan bercelana jeans, tapi bagi Putra penampilan Dewo seperti itu sudah membuatnya tampak rupawan. Dengan bersemangat Putra mendekati Dewo.
"Heyy... akhirnya... udah lama gak ketemu. Pakabar?" Ujar Dewo sambil menaruh ranselnya di atas bangku panjang dan berdiri menyambut Putra untuk memeluknya.
"Baik Wo. Lu kelihatan makin hebat sekarang." Kata Putra tulus sambil balas memeluk Dewo dan mengusap-usap punggungnya.
"Kok cuma peluk sih? kan udah lama gak ketemu. Cium dong?" Canda Dewo sambil memonyongkan bibirnya.
Dengan reflek Putra mendorong wajah Dewo dengan telapak tangannya. "Heh! lo mabok ya?" protesnya. Seorang ibu menatap kejadian itu heran sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dewo terbahak-bahak.
"Eh, Put? lo sekarang gak pake kacamata? weits.. tambah ganteng nih temen gue yang satu!" Dewo mengamati Putra sambil mengelilingi tubuhnya dan memandang dari atas ke bawah dengan teliti.
"Baru sadar lo?" tanya Putra.
"Udah dari dulu sih, tapi gapapa kan kalo gue bilang sekarang? hehehe" ujar Dewo sambil mengacak-ngacak rambut Putra yang kini berpotongan spike.
"Katanya mau buru-buru check in?" kata Putra mengingatkan Dewo.
"Hah? check-in? ke hotel?" tanya Dewo bingung.
"Dasar otak mesum!! check-in pesawat lah! heran, bego ga ilang-ilang!"
"Hahaha.. becanda Put! yuk ah! tadi gue sempet liat petugas check in nya lumayan ganteng." Ujar Dewo sambil menarik tangan Putra.
"Hahaha.. ya ampun Wo! mata lo enggak pernah berhenti jelalatan ya dari dulu?!" kata Putra sambil terkekeh mengikuti langkah Dewo.
Mereka berdua tak perlu menunggu lama di ruang tunggu karena pengumuman petugas menyuruh penumpang segera naik ke pesawat. Entah karena mereka berdua tak meminta secara khusus tempat duduk atau dianggap sebagai dua anak muda yang sehat, Putra dan Dewo ditempatkan pada bangku dekat dengan pintu darurat. Mereka tidak keberatan, tetapi rupanya seorang Ibu yang duduk dekat jendela terlihat cukup khawatir.
"Pertama kali naik pesawat bu?" tanya Putra khawatir melihat kecemasan di wajah si Ibu. Dia duduk di tengah sementara Dewo di pinggir sedang asyik membaca majalah. Si Ibu hanya mengangguk. Beberapa menit kemudian seorang pramugari menghampiri mereka bertiga.
"Permisi ibu, bapak-bapak, saya ingin menerangkan sejenak tentang tata cara membuka pintu pesawat apabila dalam keadaan darurat karena anda bertiga duduk dekat dengan pintu darurat. Tata caranya silakan anda baca pada kartu petunjuk ini, kecuali kalau anda keberatan duduk di sini?" jelas si Pramugari ramah.
"Sa...saya keberatan! saya minta pindah!" ujar si Ibu di dekat jendela ketakutan. Rupanya si Ibu ketakutan mendengar kata-kata "pesawat dalam keadaan darurat" padahal dia baru saja pertama kali naik pesawat. Si Pramugari terlihat sedikit kesal. Mungkin dia kesal karena petugas check-in sepertinya tidak memiliki pilihan lain untuk menempatkan orang lain di sisi jendela dekat pintu darurat. Si Pramugari berusaha mencari-cari siapa kira-kira yang bisa menggantikan ibu tersebut dan rela bertukar tempat dengannya.
"I'll do it!" sahut sebuah suara.
Dewo dan Putra sama-sama menoleh ke asal suara yang berasal dari deretan bangku tepat di belakang mereka. Ternyata suara itu berasal dari seorang pria kaukasia tampan berusia dua puluhan berkaus polo biru gelap yang dengan sigap langsung berdiri meminta jalan. Pramugari itu tersenyum lega dan buru-buru si Ibu yang ketakutan tadi melepas sabuk pengamannya dan pindah ke deretan belakang.
"Thank u sir." ujar si Pramugari tersenyum pada si bule yang sudah duduk di sebelah Putra. Si bule mengangguk sambil tersenyum manis. Saat dia menoleh ke arah Putra, matanya langsung berbinar karena merasa kenal.
"Hey.. you're that coffee guy!" ujarnya memastikan.
"Yes I am..." kata Putra sambil mengulurkan tangannya kepada si Bule.
"Putra... Putra Wicaksana." kata Putra mengenalkan diri.
"Nama saya Nemanja... Nemanja Jovanovich. I'm from Serbia.." ujarnya ramah menyambut uluran tangan Putra.
"So... kamu ke Palu juga?" tanya Nemanja dengan bahasa Indonesia berlogat bule.
"Iya. Saya dengan kawan saya mau liburan ke Palu." Kata Putra sambil menunjuk Dewo. Dewo melambaikan tangannya sambil tersenyum pada Nemanja.
"Hi! Dewabrata.. but you can call me Dewo.." ujar Dewo sambil menjabat tangan Nemanja.
"Ada rencana apa ke Palu? jalan-jalan?" tanya Putra penasaran.
"Memangnya saya terlihat seperti tourist kah? hahaha." tanya Nemanja. "Bukan.. saya sedang survey lokasi untuk usaha pertokoan dan shopping center..." lanjutnya.
"Bahasa Indonesia anda bagus juga... sudah lama di Indonesia?" tanya Putra.
"Uh-huh. Sudah lima tahun." Jawab Nemanja sambil mengangguk semangat.
"Wow!" ujar Putra kagum.
"Hey, look.. karena kita sama-sama di Palu, can I call you sometime? here's kartu nama saya..." kata Nemanja sambil merogoh ranselnya dan mengeluarkan kartu nama.
"Oh.. of course. Here's my cellphone number."
Putra kemudian mengambil bolpoin untuk menulis nomor ponselnya karena ponselnya sudah dia matikan dan di taruh di dalam tas yang ia masukkan ke dalam tempat penyimpanan barang kabin, dan menyerahkannya pada Nemanja.
"Thanks..." ujar Nemanja.
Kemudian Dewo mencolek lengan Putra.
"Apa?" tanya Putra sambil berbisik.
"Dia kok gak nanya nomor hape gue?" protes Dewo sambil ikut berbisik.
"Hehehe.. dia lebih tertarik sama gue kali?" ujar Putra sambil menyeringai.
"Masa sih?" tanya Dewo penasaran mencoba melihat Nemanja yang asyik melihat ke luar pesawat lewat jendela. Tapi sepertinya dia tidak tertarik untuk berbicara lebih jauh pada Dewo.
Menarik nafas panjang, Putra kemudian menyandarkan tubuhnya dengan santai ke kursi pesawat. Pikirannya menerawang dan membuat dia tersenyum sendiri.
"Ah... mungkin perjalanan ke Sulawesi ini tidak akan terlalu buruk." ujarnya dalam hati.
****
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat duapuluh menit. Dewo memutar-mutar arlojinya untuk menyesuaikan dengan waktu Palu yang satu jam lebih awal daripada waktu Jakarta. Putra dan Dewo sedang menunggu kopor mereka muncul di tempat klaim bagasi pesawat. Putra mencari-cari sosok Nemanja, tapi sepertinya dia tidak membawa barang yang di simpan dalam bagasi sehingga dia dapat langsung pergi keluar dari Bandara Mutiara. Tadinya sempat terpikir oleh Putra bahwa dia bisa sedikit saja memanfaatkan Nemanja untuk membuat Dewo cemburu. Hah! tapi kau sendiri tidak tahu kan Put kalau dia gay? kecam Putra pada diri sendiri.
"Dijemput?" tanya sebuah suara dengan logat asing yang sudah dikenal Putra. Suara Nemanja. Tanpa disadari Putra, rupanya orang itu sudah berdiri dibelakangnya
"Hah? Oh-eh.. iya. Kita dijemput." Jawab Putra gugup tak menyangka kalau orang yang dicarinya mendadak sudah ada di sebelahnya.
"Good. OK. have a nice holiday. both of you!" katanya sambil melihat ke arah Dewo yang sedang mencoba menghubungi seseorang dengan ponselnya. Dewo tersenyum pada Nemanja dan melambaikan tangan. "I'll call you." lanjutnya pada Putra.
Putra memberikan senyuman termanisnya melepas Nemanja Pergi.
Rupanya Putra dan Dewo harus menunggu sekitar limabelas menit lagi untuk menunggu James dan mobilnya datang. Begitu James bertemu kedua tamunya (padahal James sendiri bukan dari Palu), dia langsung menyambut dengan senyuman ramah. Jeans belel dengan sobekan di bagian lutut dan t-shirt putih bersih dan sandal gunung tidak membuat ketampanan James yang berwajah oriental dan berkulit putih bersih itu berkurang. Malahan kesan bad-boy keren dan cuek makin terlihat. Benar kata Dewo, badan James lebih keren dibandingkan dengan yang Putra lihat di foto. Dan Putra kini setengah mati menahan ekspresi wajahnya agar ketidaksukaannya pada cowok itu tidak terlampau terlihat.
"Hi bro! gimana penerbangannya? lancar?" tanya James sambil menghampiri Dewo, menyalaminya dan memeluknya.
"Lancar..lancar.." Dewo menjawab dan merangkul pundak James seperti kawan lama yang sudah lama tidak berjumpa. "Oh iya.. James, kenalin temen gue.. Putra."
"Wow... halo bro! teman Dewo? wah..wah..wah.. elo kok gak ngenalin ke aku sih waktu ketemu di Jakarta? gak rela ya? takut aku embat?" tanya James melihat Putra seksama dengan senyuman nakal.
Ingin rasanya Putra menonjok wajah James karena sebal, tapi dia menahan diri dan bersusah payah untuk tersenyum dan terlihat tulus. sangat tulus!
"Hey.. iya. Dewo bilang dia enggak mau kesaing sama gue. Putra" kata Putra sambil menyalami James dan mencoba mengimbangi candaannya.
"Well brothers... selamat datang di Palu. Kita akan bersenang-senang di sini,oke?" sahut James mengambil posisi di antara Dewo dan Putra dan masing-masing lengannya merangkul keduanya. James menoleh ke arah Putra dan tersenyum sengingga membuat Putra salah tingkah, kemudian menoleh ke arah Dewo dan membisikkan sesuatu di telinganya. Pelan, tapi cukup keras untuk didengar Putra "Wo.. I smell a virgin here..."
Dewo terbahak sedangkan Putra membelalakkan matanya kesal dan melepaskan rangkulan James.
****
Perlu waktu sekitar duapuluh menit untuk mencapai hotel. James membawa Toyota Rush putih untuk menjemput Dewo dan Putra. "Milik keluarga," katanya. James bilang dia telah memesan kamar di salah satu hotel waralaba yang cukup bagus di kota Palu. Letak gedung utamanya bersebelahan langsung dengan Teluk Talise, teluk utama di kota Palu. Sayang, Putra tidak bisa menikmati pemandangan di luar kendaraan karena sudah malam dan langit juga mendung.
James cukup ramah dan pandai memancing topik pembicaraan (walau Putra menghitung, sekitar dua pertiga obrolannya seputar daerah selangkangan pria). Putra memerhatikan Dewo yang duduk di sebelah James yang sedang menyetir terlihat sangat bahagia. Mau tak mau Putra tak bisa terlalu membenci James. Orang ini sangat supel dan ramah. Mungkin itu kelebihan yang dia miliki: orang susah menemukan alasan untuk tidak menyukainya.
Hotel yang James pilihkan ternyata bukan di gedung utamanya, melainkan beberapa deret villa yang manajemennya telah diambilalih oleh hotel tersebut. Villa itu seperti miniatur perwakilan kota Palu: terletak di antara bukit, lembah, dan laut. Bagian belakang villa terdapat pemandangan bukit hijau dengan awan-awan yang bergelayutan, sedangkan di bagian depannya langsung terlihat hamparan air laut teluk Talise dengan ombaknya yang tenang. (Putra baru menyadari keindahan lokasi hotel ini keesokan paginya)
James mengantar Dewo dan Putra sampai ke depan pintu kamar salah satu villa. Setelah yakin tak ada orang, dia mengecup bibir Dewo sekilas, (Putra memalingkan wajahnya ke arah lain) tetapi bukan untuk berpamitan.
"Nanti aku jemput satu setengah jam lagi ya?" kata James.
"Eh, kenapa ga nunggu di sini aja?" tanya Dewo. Putra yang sedang mengeluarkan isi kopornya mendadak menghentikan kegiatannya itu dan menunggu jawaban James.
"Hmm... tawaran yang menggoda. Tapi aku gak melakukan threesome di malam pertama aku ketemu orang baru." Jawab James sambil tersenyum. James mengedipkan mata pada Putra yang kedapatan diam-diam melirik ke arahnya. Buru-buru Putra melanjutkan kesibukannya.
"Aku ada urusan lain sebentar, oke? istirahat aja dulu. Nanti kita pergi sama-sama. Ada klub yang harus kalian berdua datengin." lanjut James lagi sambil berlalu.
***
Tubuhnya yang letih sebenarnya membuat Putra sangat tergoda untuk langsung menikmati ranjang dan bantal yang empuk di kamar hotel ini. Hal itu sudah diutarakan Putra kepada Dewo kalau dia tidak mau ikut dan mengganggu 'kencan'nya dengan James. Tetapi Dewo tetap memaksa Putra untuk ikut.
"Gue perlu pendapat elo Put. Sebagai sahabat." Kata Dewo menaik-naikkan alisnya. "Eh! menurut elo gimana tadi? lucu kan orangnya?" Dewo bertanya sambil membanting tubuhnya sendiri ke ranjang. Tangannya sibuk memencet-mencet tombol remote mencari channel televisi yang menarik.
"Lucu sih. Cakep. Keren. Supel. Gue bisa lihat kenapa elo tertarik sama dia." Putra tak percaya pada dirinya sendiri bisa mengatakan kalimat seperti itu. Sedetik kemudian Putra sedang berkutat susah payah mengeluarkan notebooknya dari dalam tas.
"Heh? bawa laptop? ngapain? kerja?" tanya Dewo tak percaya.
"Iya! gue gak mau pusing nyari komputer kalau ada kerjaan mendadak." jelas Putra.
Dewo tak berkomentar dan hanya menggeleng heran melihat kelakuan Putra.
"Mandi duluan gih!" perintah Dewo."gue mau nonton film ini dulu. Atau... kita mandi berdua yuk?" ajak Dewo genit.
UCapan Dewo dibalas dengan timpukkan bantal oleh Putra. Namun tak urung Putra berniat menuruti perintah Dewo karena dia sendiri memang sudah membutuhkan siraman air hangat untuk menyegarkan tubuhnya. Sebelum masuk ke kamar mandi, Putra bertanya pada Dewo.
"Elo bener-bener serius ya Wo? udah usaha ngejar sejauh ini... berarti elo suka banget sama dia kan?"
Agak lama Dewo menatap Putra. Rupanya dia agak terkesima tak menyangka ditanya seserius itu oleh Putra. Kemudian Dewo mengangguk mantap.
"Iya Put. Gue suka sama James. Dan gue berharap setelah pertemuan ini gue bisa bilang sama dia kalau gue suka dan dia mau jadi pacar gue."
Putra menghela nafas dan mengangguk. Niat Dewo sepertinya sudah bulat. Kemudian dengan rasa sakit yang mendadak terasa di dadanya, Putra masuk ke kamar mandi menghindari pandangan Dewo agar tidak melihat matanya yang mulai terasa panas.
Untunglah, guyuran air panas di shower membatalkan keinginan Putra untuk menangis. Setelah merasa cukup, Putra mengambil handuk dan melilitkannya di pinggang. Oh tidak. Rupanya dia lupa membawa baju ganti ke kamar mandi. Selama ini, Putra yang pemalu memang jarang sekali membiarkan tubuhnya yang setengah telanjang terlihat oleh Dewo. Tidak seperti Dewo yang percaya diri (dan diam-diam Putra menikmati) dan nyaman-nyaman saja apabila harus tidak berpakaian atau keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk.
Putra melihat ke arah cermin. Dirinya sudah lebih berubah sekarang. Wajah tampannya tak lagi dia tutupi. Badannya pun kini sudah terbentuk dan lebih atletis akibat latihan rutin di pusat kebugaran. Tak sedikit yang memuji perubahan Putra sekarang, dan dia banyak didekati oleh banyak Pria ketika sisi kerennya tersingkap. Tapi di depan Dewo, Putra tetaplah Putra yang dulu: Si kurus pemalu, tidak percaya diri apabila berhadapan dengan Dewo. Itulah sebabnya dia sengaja memakai sweater longgar diatas kaus bertumpuk sehingga Dewo tidak menyadari perubahan pada tubuhnya. Atau memang sebenarnya Dewo memang tidak pernah memerhatikan Putra? Tidak pernah memandang Putra dengan cara yang lain dan hanya memandangnya sebagai pria pemalu yang juga temannya.
Putra kemudian memberanikan diri keluar kamar mandi. Dengan canggung dia berjalan menuju lemari. Melewati Dewo yang sedang asyik menonton televisi. Dewo yang sedang asyik melihat sebuah video klip musik mau tak mau teralihkan perhatiannya ketika Putra melintas menghalangi pandangannya sesaat. Semula Dewo kaget dan bingung. Siapa gerangan pria keren dengan torso sempurna dan lekukan otot yang sangat pas melekat ditubuhnya serta mengilap oleh titik-titik air dan rambut basah yang menutupi seraut wajah tampan? Apa ada orang lain di kamar mereka selain dirinya dan Putra? Mulut Dewo ternganga sementara matanya mengikuti tubuh Putra yang berjalan ke arah lemari.
"Pu.. Putra?" tanya Dewo tak yakin.
"Iya Wo? ada apa?" Putra balik bertanya.
Dewo tak menjawab. Mendadak jantungnya berdebar.
Putra kebingungan. "Kenapa Wo? kok ngeliatin gue kayak begitu?"
"Heh! sejak kapan lo ngelatih badan elo sampe kayak gitu?" tanya Dewo takjub.
"Udah hampir setahun. Kan gue homo, Wo! olahraga homo ya ke tempat fitness... selain shopping." jelas Putra asal-asalan.
"Udah sana mandi! masa mau kencan sama si Pria idaman bau keringet?" Ujar Putra sambil melempar Dewo dengan sebuah kaus.
Dewo terkesiap dari rasa takjubnya akan perubahan Putra yang baru dia sadari sekarang. Dan tanpa banyak protes, dia langsung menuju kamar mandi. Kejadian itu tak urung membuat Putra tersenyum senang. Setelah berpakaian dan hendak menunggu Dewo yang selesai mandi, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ada pesan teks masuk. Dari bossnya.
"Putra, saya harap tidak mengganggu. Kalau kamu sempat, tolong buka email yang saya kirim. Kasih pandangan buat saya, kirim balik dan saya minta jawaban secepatnya. Tq"
Agak heran dengan pesan teks mendadak yang dikirim selarut itu, Putra kemudian membuka notebooknya. Syukurlah, Putra yang kelupaan membawa modem mendapati bahwa jaringan internet nirkabel di hotel ini cukup baik. Beberapa saat kemudian, Putra mengikuti perintah atasannya. Ketika selesai membaca email yang ditujukan padanya, Putra hanya bisa menunduk pasrah.
****
James benar-benar datang menjemput satu setengah jam dari waktu yang dia janjikan. Dewo kelihatan sekali sangat bersemangat.
"Mau ke mana kita?" Tanya Dewo antusias ketika mereka bertiga naik ke dalam mobil.
"Lihat aja nanti. Bakal ada pertunjukan seru." Kata James nyengir.
"Gay bar?" tanya Putra.
"Hmm... sebenarnya bukan. Cuma memang hari-hari tertentu, orang kayak kita yang datang jauh lebih banyak. Lama-lama yang lain tersingkir dengan sendirinya." Jelas James sambil terkekeh.
Dewo tak menyangka bahwa komunitas gay sudah tersebar cukup luas di seluruh Indonesia. Tak terkecuali di kota Palu ini. Kemudian James memarkir mobilnya di dekat salah satu bangunan dengan hiasan lampu neon warna-warni. Dari papan namanya, tempat ini adalah sebuah gabungan antara tempat bilyar di lantai dasar, dan tempat hiburan berupa bar sekaligus restoran (Putra yakin, tak ada yang benar-benar berniat untuk makan malam di tempat ini). Walaupun tempat hiburan ini jauh dari kesan desain interior yang modern, tetapi hal ini malah membuatnya terlihat klasik dan elegan. Ornamen dan perabot dari kayu-kayu eboni klasik khas daerah Sulawesi berpadu manis dengan lampu-lampu hiasan. Dewo terkesima dengan suasana bar yang sudah ramai itu. Mereka bertiga mengikuti James menuju sebuah sofa panjang yang masih kosong kemudian memesan minuman sambil menikmati musik menghentak.
Dunia Dewo kini hanya terkonsentrasi pada James. Dan itu membuat Putra merasa terasing. Dia mencoba menyibukkan diri dengan mengirim sms atau sekadar chatting menggunakan ponselnya, sementara Dewo dan James seperti sudah direkatkan oleh lem sagu lengket (begtupun otak mereka) sehingga tidak lagi memedulikan Putra. Berada bertiga dengan mereka tentu saja membuat Putra terlihat seperti seekor kelinci yang tersesat dan siap untuk dimangsa oleh para serigala jahat. Beberapa pria mulai mendekatinya dengan cara duduk disebelahnya dan tangannya mulai nakal menyentuh-nyentuh bagian tubuh Putra.
"Belum ada yang nemenin nih? boleh dong aku temenin?" ujar seorang cowok tiga puluhan hitam manis dengan gigi super-putih yang dia pamerkan pada Putra.
"Euh, enggak perlu.. enggak perlu..." kata Putra sambil bergeser menjauh dari cowok itu.
"Masa kamu tak ngiri sama mereka?" cowok itu mendekati Putra kembali sambil matanya menunjuk pada kemesraan Dewo dan James.
Sebelum Putra sempat menjawab, dua orang cowok lagi malah datang dan mengisi tempat kosong di sofa.
"Hey... kayaknya asik nih? boleh gabung? siapa dia Syah?" Kata salah seorang cowok yang jangkung bertanya pada si hitam manis. Rahangnya yang tirus dan wajahnya yang pucat dan terkena sinar lampu kuning membuatnya terlihat seperti vampir.
"Orang baru. Kayaknya dari Jakarta." Kata si cowok hitam-manis sok tahu.
"Oya? ganteng juga. kenalan dong? nama gue Hendri." kata si cowok yang lebih pendek mendahului si cowok vampir mengajak Putra berkenalan.
Putra semakin salah tingkah. Mendadak musik berganti dengan lagu bertempo cepat yang tampaknya sedang populer dan disukai banyak orang. Saat intro terdengar, banyak cowok berteriak riuh sambil bertepuk tangan dan bersiap untuk berdansa. Tak terkecuali James. Dia berseru huu.. sambil berdiri dan mengangkat tangan. Kelakuannya membuat perhatian ketiga orang yang tadinya mendekati Putra menjadi teralihkan. James berdiri dan mulai menggerakkan badannya. Tanpa diduga James melompat ke atas meja di depan sofa dan mulai menari. Pinggulnya dia liuk-liukkan dan, ya Tuhan! dia mulai membuka kancing kemejanya satu persatu sambil terus menari. Sontak saja kumpulan pria yang ada di dekat Putra menjadi histeris dan berteriak menyemangati James. Sedangkan Dewo, walau tak berteriak, tetapi dia tetap duduk di sofa menatap James tanpa berkedip. sangat terpesona. Meja dimana James mengadakan 'pertunjukan' dadakan mulai ramai didatangi pria-pria lain. Diam-diam Putra menyelinap pergi. Dia tak tahan lagi ingin mencari udara segar.
Kemudian ponsel Putra bergetar. Ada pesan teks dari nomor ponsel yang baru dia masukkan. Nomor Nemanja.
"Help. ASAP. Lima watt"
Putra kebingungan membaca SMS dari Nemanja. "Apa maksudnya?" tanyanya dalam hati.
"Why? kamu kenapa?" balas Putra.
Tapi Nemanja tak juga membalas setelah hampir dua menit. Dan ketika Putra meneleponnya, ponsel Nemanja tak kunjung diangkat. Putra merasa khawatir dan segera keluar dari bar menuju beberapa orang di dekat jalanan dengan deretan motor. Sepertinya mereka sekumpulan tukang ojek.
"Eng.. Pak? tahu lima watt?" tanya Putra ragu. Dia bertanya pada seorang pengojek muda yang memakai jaket biru menggelembung.
"Ayo naik." si pengojek bangkit menuju motornya dan menyerahkan helm cadangan kepada Putra.
"Hah?" tanya Putra tak mengerti. Dia tak menyangka malah akan diajak naik ojek motornya.
"Ke lima watt kan? ayo saya antar." ujar si tukang ojek sambil bersiap membawa motornya. Walaupun masih ragu dan tak menyangka ada tempat bernama lima watt, akhirnya Putra bersedia mematuhi tukang ojek itu dan naik ke motor.
Selama perjalanan mengendarai motor, Putra masih memikirkan apa yang terjadi pada Nemanja. Lamunannya diganggu oleh pertanyaan si tukang ojek.
"Kok ke lima watt bang? emangnya tadi salah tempat ya?"
"Apa? apa maksudnya?"
Si tukang ojek bukannya menjawab malahan terkekeh, dia kemudian berkata dengan nada ejekan. "Rangkul pinggang juga gak apa-apa pak.. saya gak keberatan."
Putra mendadak kesal. Dia menahan marah atas ejekan 'homo' si tukang ojek walaupun dia masih belum mengerti tentang ucapannya mengenai lima watt. Tapi Putra hanya bisa diam saja karena dia membutuhkan orang menyebalkan ini dalam satu-satunya kesempatan untuk menemukan Nemanja.
Sepuluh menit kemudian Putra mengenali jalan yang dia lalui. Ini adalah jalanan sepanjang pinggir teluk Talise menuju ke arah hotel tempat dia menginap. Ternyata di malam hari, sepanjang pantai pinggiran teluk sangat ramai. Banyak tenda-tenda menjajakan makanan dan minuman khas daerah setempat maupun Makassar dengan bentuk rumah makan sederhana maupun cafe-cafe. Suara hingar bingar musik dari pemutar DVD yang disambungkan ke pengeras suara terdengar sahut-sahutan. Banyak orang makan di cafe tersebut, namun banyak juga yang duduk-duduk di tembok pembatas pantai dengan teman maupun pasangannya sambil menikmati angin laut. Kemudian si tukang ojek memperlambat motornya dan menurunkan Putra di sisi jalanan pinggir pantai.
"Ini lima watt bang?" tanya Putra.
"Bukan. Lima watt di sana lagi. sepanjang jalur itu sampai sana namanya lima watt. Saya tidak mau mengantar sampai sana." Jelas si tukang Ojek tak sabaran. Sepertinya dia ingin cepat-cepat dibayar.
Cepat-cepat Putra mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan selembaran uang untuk si tukang ojek. Jumlahnya ternyata lumayan besar bagi si tukang ojek sehingga mendadak dia menjadi sangat ramah dan melunak."Hey, pak! mau ditunggu?" tawarnya. Tapi Putra menggeleng dan mulai berjalan.
Rupanya semakin jauh Putra melangkah, cafe-cafe tenda yang tadinya rapat dan ramai semakin jarang. Putra melihat pemandangan malam di Teluk Talise. Indah, namun menakutkan. Lampu-lampu sepanjang jalan sangat kontras berlatar belakang laut yang sebenarnya dangkal dan berombak tenang, namun karena gelap jadi terlihat dalam dan menakutkan. Siluet barisan gunung yang berjajar seperti benteng terlihat kokoh dan dingin melindungi kota. Angin berhembus cukup kencang, namun udara tetap terasa panas. Melihat permukaan laut yang gelap, Putra bergidik ngeri. Tanpa sadar dia membiarkan dirinya berjalan agak jauh dari pantai. Akhirnya deretan cafe tenda itu benar-benar berakhir dan digantikan oleh bangunan baru. Pondok-pondok bambu kecil dengan penerangan temaram berjejer sampai kira-kira dua ratus meter ke depan. Pondok-pondok bambu seperti rumah panggung kecil itu berdinding anyaman bambu yang membuatnya tidak benar-benar tertutup alias orang yang lewat bisa melihat dalamnya. Lampu-lampu biru dan merah redup dipasang di beberapa sudut sehingga manusia-manusia yang ada disekitarnya hanya tampak sebagai siluet. Di ujung salah satu atapnya digantung sebuah benda serupa lampion, diisi dengan lampu temaram juga. Putra bisa melihat kalau di dalamnya hanya terdapat satu layar televisi yang tampak menampilkan video klip lengkap dengan liriknya. Karaoke set pasti. Setiap pondok memutar lagu yang berbeda sehingga suaranya saling menggangu. Beberapa orang yang sedang duduk di pojokan yang lebih gelap disebelah motor yang terparkir tak terlihat wajahnya. Tapi Putra sadar kalau mereka sedang mengawasinya. Putra mempercepat langkahnya.
Ketika melewati sebuah pondok, seorang wanita berbadan sintal menegur Putra. "Bang, mampir dulu bang. Minum-minum dulu." tawarnya. Putra tidak menjawab dan terus berjalan. Perhatiannya teralihkan pada sebuah suara dari sebuah pondok. Ada orang bernyanyi dengan logat aneh dan tak biasa. Putra penasaran dan melongok ke dalam. Orang itu duduk bersila sambil bernyanyi sementara dua orang wanita menemaninya di samping kanan dan kiri. Tak salah lagi. Itu Nemanja! dan dia berusaha keras bernyanyi lagu dangdut!
"Permisi." Ucap Putra kepada seorang wanita yang berdiri di teras sambil hendak masuk. Si wanita mengangguk dan tersenyum membiarkan Putra masuk. Dandanan wanita itu terlalu tebal dan menor seperti topeng. Bedaknya memantulkan cahaya biru dari lampu satu lampu redup dan membuatnya terlihat seperti kulit boneka pajangan.
"Nemanja?" tanya Putra sambil menyentuh bahu si cowok bule yang sedang berkaraoke. Nemanja menghentikan nyanyiannya dan menoleh pada Putra. Ekspresinya kelihatan lega.
"Ah, baby.. akhirnya datang juga. Maaf Nona-nona, pacar saya sudah datang. Saya tertangkap basah." kata Nemanja tiba-tiba sambil berdiri. Dia berkata kepada dua orang gadis yang sedari tadi menemaninya sambil merangkul Putra dan tersenyum. Putra tak mengerti tapi dia tetap diam dan membiarkan Nemanja.
"Sorry babe, aku nakal malam ini, pergi enggak bilang sama kamu." Setelah mengakhiri kalimatnya, Nemanja mengecup pipi Putra. Putra membelalak kaget dan tak percaya.
"Yuk, pergi?" ajak Nemanja pada Putra sambil tetap merangkulnya. Kemudian dia mengangsurkan selembar uang seratusribuan kepada kedua gadis itu.
Dua gadis itu terlihat sebal. Salah satunya berbisik kesal. "Pantes dari tadi dirayu buat transaksi gak mau. ternyata homo..."
Setelah mereka berada di luar, Nemanja terbahak-bahak. Putra akhirnya bertanya juga,
"Ada apa sih? SMS kamu bikin khawatir aja."
"Masa? ooh.. aku jadi terharu." ujar Nemanja sambil tersenyum.
"Bisa jelasin. Kamu lagi ngapain di sini? lagian, tempat apa ini? terus, kenapa pake cium pipi segala?!" Putra bertanya tidak sabar seperti seorang yang terkena amnesia dan mendadak berada di tempat yang tidak diingatnya sama sekali.
"Ini namanya daerah lima watt. Prostitusi terselubung ada di sini. lampunya redup dan ada lampionnya. Sebenarnya ini hanya tempat buat transaksi." Nemanja menjelaskan dengan lancar seperti penyuluh kesehatan menerangkan bahaya Penyakit Seksual Menular kepada supir-supir truk Pantura.
"Mungkin seperti red-light-district? I dunno.. tapi yang pasti, waktu saya bilang hanya ingin berkaraoke, mereka tidak percaya. Dan waktu saya bilang that I'm gay, mereka juga tidak percaya. Makanya saya perlu bantuan kamu. Banyak pelindung mereka, you know? preman-preman penjaga keamanan gadis-gadis itu? mereka pasti akan memukuli saya kalau dianggapnya mempermainkan mereka." lanjut Nemanja.
Putra teringat pria-pria yang mengawasinya dari kegelapan tadi di daerah lima watt. Dia baru ngeh kata-kata yang Nemanja ucapkan soal orientasi seksualnya.
"Nemanja. Are you gay?" tanya Putra.
"Uh-huh, dan aku juga tahu kalau kamu gay. Kukira kamu sudah tahu dari awal." kata Nemanja.
"Euh, saya tidak punya gay-dar sehebat itu. Or atau memang saya kelihatan ya?" tanya Putra.
Nemanja tertawa. "Kalian itu di Indonesia terlalu meributkan kelihatan atau tidaknya ya? aku tahu karena aku tahu. Itu saja."
"Ayo! mumpung kita ke sini, kita jalan ke jembatan. Mobil saya diparkir di sana, nanti aku antar kamu back to your hotel setelah ke jembatan."
"Jembatan?" tanya Putra bingung.
"Iya. Jembatan. Jembatan lengkung di Palu? oh Tuhan! aku kira kamu setidaknya sudah googling dulu apa saja yang ada di Palu sebelum ke mari."
Putra tersipu malu. Rupanya yang disebut jembatan oleh Nemanja adalah jembatan lengkung kuning yang menghubungkan dua kecamatan yang terpisah oleh Teluk Talise. Ini adalah konstruksi jembatan lengkung ketiga di dunia setelah Amerika dan Jepang. Kalau malam terlihat sangat indah dan menjadi kebanggaan kota Palu karena terlihat terang oleh lampu-lampunya. Bahkan di bawah puncak lengkungannya disediakan tempat semacam balkon untuk melihat keindahan alam gabungan gunung-lembah-laut daerah perkotaan atau melihat langsung pemandangan laut lepas. Dan setelah berjalan beberapa lama, Putra dan Nemanja berada di salah satu balkonnya. Angin terasa makin kuat di atas sini. Nemanja menopang tubuhnya dengan kedua lengannya yang berpegangan pada besi pembatas. Wajahnya berseri-seri melihat pemandangan indah dan ujung-ujung rambutnya bergerak-gerak diterpa angin.
"Kamu sadar gak? kalau kita ada tepat di bawah puncak lengkung jembatan yang seperti busur?" Tanya Nemanja.
"Memang kenapa?"
"we're like... two arrows.. you know? anak panah yang siap dilontarkan.... dengan sasaran yang sama... " kata Nemanja lagi. Dia tidak meneruskan kalimatnya.
"Oya? Apa itu?" Tanya Putra bingung.
"Asmara." Jawab Nemanja. Senyumnya mengembang sangat indah dan matanya menatap mesra Putra.
Putra tertawa mendengar rayuan Nemanja. Kepalanya menggeleng-geleng dan matanya menerawang ke arah laut lepas.
"I like you Put..." kata Nemanja. Wajahnya mendadak serius dan matanya menjadi sayu.
Mendengar pernyataan mendadak seperti itu, jantung Putra berdetak semakin cepat.
*****
Semangat Bang!
bang Remy, minta alamat pesbuk nya dunk..
yes! I'm back...
Iya... sayang, postingnya ga bisa pake t******* udah di banned. jadi agak lambat
Search aja Abang Remy Linguini