It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@pokemon: hehehe, iya nih..tunggu aja ya siapa yg akhirnya mendapatkan hati ikhsan #eaaa XD
Kok aldonya ilang?????.
Ngomong2 kmua sibuk pemotretan apa sich???.....,pemotretan iklan sabun mandi ya.......
lanjut yaaaaaaaa
@Lu_chu: hehehe
@fansnyaAdele: hehe, makasih udh baca ceritanya Spica ^^ salam kenal!
@MybiSide: hehe ya begitulah~ ini mau lanjut kok wah..makasih banget udh mau baca ya ^^ Salam kenal~
@The_jack19: Sip deh, ini mau lanjut kok ^^
Chapter VIII: Me, and my family
~Ikhsan's POV~
Terdengar sebuah alaram yang berasal dari jam weker tua milikku. Dengan perlahan, kugerakkan tanganku menuju meja disamping tempat tidurku dan kuraih sebuah jam weker tua. Wah, udah jam setengah 7 pagi nih.
Dengan sedikit malas, aku berdiri dari tempat tidurku lalu kubuka jendela dan kuhirup udara segar dari luar. Mataku yang masih sipit memandang luas ke langit biru. Kenapa ya? Padahal langit-langit itu terlihat indah... Tapi kenapa aku malah tersenyum miris? Ah... Mungkin nasibku sama seperti awan itu. Melayang-layang tak tentu dengan arah, berganti-ganti pula warnanya. Kadang putih, kadang abu-abu, dan bahkan terlihat hitam pekat atau orange.
Ah! Aku baru ingat, setengah jam lagi kan aku ada janji pergi sama Aldo! Waduh, mesti gerak cepet nih. Dalam hitungan detik aku sudah mengambil handukku dan langsung mengambil langkah kaki seribu ke kamar mandi.
Selesai aku mengganti baju pergi, terdengar suara klakson mobil dari depan rumahku. Setelah kulihat dari jendela, ternyata itu mobilnya Aldo! Segera aku mengambil tasku dan mengunci pintu rumahku.
"Hei, Chan! Maaf ya aku datangnya lama..." aku tersenyum dan menggeleng kecil mendengar permintaan maaf Aldo. Lagipula waktunya pas banget sih, jadinya gak ada acara tunggu-tungguan.
Hari ini adalah hari minggu, dan untuk pertama kalinya... Aldo mau menemaniku menjenguk mama di rumah sakit jiwa. Aku jadi ingat masa kecilku dulu, kalau tidak salah sih... Dulu Aldo deket banget sama Mama. Mama juga sering wanti-wanti ke Aldo buat ngejagain aku disekolah, huh, mama ada-ada aja deh... Dikiranya aku anak perempuan kali ya?
Ingin rasanya aku balik ke masa-masa indah itu. Tapi pada kenyataannya hal itu gak mungkin terjadi. Rasanya susah banget untuk terus maju kedepan tanpa harus menengok kebelakang.
"Ichan, kamu mau lagu apa?" tanya Aldo tiba-tiba yang menghancurkan lamunanku.
"Hmm... Apa aja deh, Do. Yang penting asik! Hehehe," Aldo tersenyum mendengar balasanku. Lalu dia mengambil kaset Maroon 5 nya dan menyetel lagu Pure Imagination.
Dalam perjalanan, kami tak begitu banyak bicara. Hingga akhirnya setengah jam sudah kami lalui, kami sampai disebuah gedung tua yang semenjak jaman belanda sudah menjadi Rumah Sakit Khusus. Gedung itu mempunyai arsitektur ard deco, yang tak lain adalah bentuk bangunan yang sempat populer di jaman dulu. Pintunya besar-besar, sepertinya terbuat dari kayu jati tua, sebagaimana jendela-jendelanya yang berbentuk krepyak dan memiliki jendela pelapis didalamnya yang berkaca tebal. Cat pada dinding-dindingnya yang berwarna kelam. Sungguh sebuah rumah sakit yang apik dan asri.
Setelah kami melapor pada seorang penjaga di meja resepsionis, kami langsung menuju ke ruangan Mama dengan diantarkan seorang perawat wanita yang cantik. Perawat itu melaporkan kesehatan mama yang semakin hari semakin baik. Aldo dan aku pun merasa lega mendengar kabar itu. Aku berhutang banyak pada rumah sakit ini, mereka tahu kondisiku yang hanya sebatang kara. Maka dari itu, mereka memberikan kebijakan padaku untuk merawat mama sampai sembuh tanpa dipungut biaya sepeser pun.
Sepanjang lorong menuju kamar Mama, kulihat beberapa orang pasien rumah sakit itu berkeliaran. Mungkin mereka pasien yang tidak berbahaya. Ada yang duduk mematung sambil menatap langit, seperti tengah menunggu seseorang. Ada yang tersenyum-senyum sendiri sambil merangkai mahkota bunga. Dan ada yang berbicara sendiri. Mungkinkah mereka menjadi seperti itu karena telah ditinggal oleh orang-orang yang disayangi oleh mereka? Apakah mereka sama seperti Mama? Ditinggalkan oleh seseorang yang dicintainya, sehingga Mama menjadi tak berdaya seperti sekarang.
Tak terasa, kami sudah sampai di depan kamar Mama. Perawat itu mempersilahkanku dan Aldo untuk masuk. Kamar Mama tak pernah dikunci karena Mama tak pernah mengamuk dan keluar dari ruangan. Kata perawat, sepanjang hari kerjaannya hanya melamun dan menatap keluar jendela. Apabila disuruh minum obatpun, mama selalu menurut.
Kulihat Mama yang kini tengah duduk di tempat tidurnya, matanya lurus memandang keluar jendela. Dengan perlahan, aku melangkah mendekati Mama. Kurendahkan tubuhku dan berlutut didepannya, lalu kucium tangan kanannya. Hal ini selalu kulakukan setiap kali aku menjenguknya pada hari minggu.
"Ma... Ini Ikhsan, Ma. Mama gimana keadannya?" tanyaku dengan pelan. Lama Mama membisu, akhirnya Mama mengulurkan tangannya dan menempel di kedua pipiku. Sudah lama aku tak merasakan kelembutan Mama. Setelah tiga tahun lamanya, baru kali ini Mama menanggapiku. Tanpa sadar, butiran-butiran kristal jatuh dari kedua kelopak mataku. Kusentuh tangan Mama yang lembut lalu kugenggam tangannya.
"Ik...Ikh...san...?" sapa Mama dengan susah payah.
"Iya ma, ini Ikhsan. Anaknya Mama..." ujarku dengan nada lirih. Walaupun Mama menatapku, tapi wajahnya masih terlihat datar, kedua matanya masih kosong. Lalu dia menolehkan wajahnya dan menatap Aldo yang tengah berdiri disampingku.
"Kau.... Al..." Mamanya tak mampu untuk menyelesaikan kalimatnya. Aldo yang merasa disapa, ia langsung berlutut di depan Mama sepertiku. Dan ia mengatakan sesuatu.
"Benar tante, aku Aldo! Tante ingat?" Mama masih menatap Aldo tanpa berkedip, lalu ia kembali menatapku. Sepertinya Mama mau berbicara sesuatu, tetapi kami diberitahu suster untuk segera keluar dari ruangan karena jam besuk sudah habis. Aldo membujuk perawat wanita itu untuk diberikan bonus waktu beberapa menit lagi, tapi tidak bisa. Dengan perasaan terpaksa, akupun langsung beranjak berdiri dan mencium kening Mama sebelum pergi meninggalkan Mama.
"Sekarang kita kemana?" tanya Aldo sambil menyalakan mobilnya.
"Menengok Ayah dan Kakak..." jawabku sembari mengenakan sabuk pengaman. Sebelum Aldo melajukan mobilnya, entah kenapa dia menatapku dengan lekat. "A-apa?" tanyaku yang sedikit grogi karena ditatap seperti itu.
Aldo tersenyum sesaat, "Nggak, aku cuman heran aja sama kamu. Kamu masih saja sabar menjalani hidupmu. Kamu benar-benar lelaki yang tegar ya, aku bangga punya sahabat kayak kamu!" ujarnya sambil mengelus kepalaku. Entah aku harus malu mendengar kalimatnya atau harus kesal karena dia mengelus-ngelus kepalaku! Dikiranya aku ini masih anak kecil apa, huh!
Seperti biasa, ditengah perjalanan kami tak terlalu banyak bicara, karena saking asiknya melihat pemandangan kota. Sesampainya di pemakaman, aku dan Aldo menyusuri beberapa batu nisan untuk mencapai kuburan Ayahku dan Kakakku. Alm. Seno dan alm. Ziko. Kuburan mereka bersebelahan, dan aku segera menundukkan kepalaku untuk mencium nisan Ayah dan Kakak.
Tapi, ada yang aneh... Kenapa ada rangkaian bunga disini? Siapa ya yang menaruh bunga-bunga ini dipemakaman Ayah dan Kakak? Selama ini hanya ada aku saja yang menengok mereka. Karena penasaran, aku menanyakan ke penjaga makam yang telah menaruh bunga di makam Ayah dan Kakak. Penjaga itu tampak berpikir sesaat dengan wajah yang cemas.
"Ah, maaf den Ikhsan. Mas kurang tau siapa yang menjenguknya. Tak bersihin bunganya dulu yo," aku langsung mencegat si penjaga makam itu yang ingin membersihkan makam mereka.
"Nggak usah, Mas. Biar kayak gini aja, gak apa-apa kok," lalu si penjaga makam itu segera pamit dari hadapanku dan Aldo.
Hmm... Aku jadi penasaran. Siapa ya kira-kira yang habis menengok Ayah dan Kakak? Ibu? Nggak mungkin. Teman-temanku? Nggak ada yang tahu tempat makam Ayahku dan Kak Ziko. Saudara? Hah, gak mungkin. Mereka gak peduli dengan keluargaku hanya karena ayah dan ibu kawin lari. Lalu siapa yang mengantar bunga ini?
"Apa jangan-jangan Zaki yang habis mampir kesini?" tanya Aldo dengan nada curiga. Mataku langsung terbuka lebar mendengar kalimatnya. Kak Zaki? Tapi dia kan... Dia menghilang dan belum pernah ditemukan oleh siapapun. Apa dia sudah kembali? Tapi dari mana dia tahu makam Ayah dan Kak Ziko? Kenapa dia nggak kerumah? Nggak, nggak mungkin Kak Zaki. Mungkin tebakan Aldo salah.
Selesai membacakan doa agar arwah kakak dan Ayah tenang, kami segera meninggalkan tempat pemakaman itu. Dan pergi menuju cafe karena kak Raisha menelpon Aldo untuk segera datang ke Cafe karena Pak Arya ingin menyampaikan sesuatu.
Dalam perjalanan menuju cafe aku hanya memikirkan satu hal. Aku sangat penasaran, kira-kira siapa yang menengok Ayah dan Kak Ziko ya?
To be continued
All Most!!
@RamandhanTaufik: ok, ini Spica mau lanjutin lagi ^^
Chapter IX: Me, and my holiday
~Ikhsan's POV~
"Aduh, aduh... Ini kenapa matanya harus ditutup seperti ini sih?" protesku dengan sedikit kesal.
"Kan namanya juga surprise! Hehehe," balas kak Reisha dengan suara lembutnya. Kedua tangan kak Reisha masih menutupi mataku. Sedangkan kedua mata Aldo ditutupi oleh pelayan cafe lainnya. Aih, ada apa sih sebenarnya?
"Yak! Sekarang buka mata kalian!" kali ini terdengar suara Pak Arya yang keras. Dan dalam hitungan ketiga, Kak Raisha segera melepaskan tangannya dari mataku.
"TA-DA! PAKET LIBURAN KE PANTAI PANGANDARAN UNTUK IKHSAN DAN ALDO!" ucap mereka bertiga dengan serentak. Aku dan Aldo dibuat terpatung oleh teriakan mereka.
Mereka bilang apa? Liburan? Ke Pantai? K-kok bisa!?
Pak Arya dengan bangganya menjelaskan. Bahwa selama aku dan Aldo bekerja di cafe ini, pengunjung cafe ini menambah menjadi 60%! Dan para pengunjung cafe sangat menantikan performance AI. Ups, kalian belum tau ya apa itu AI? Dalam bahasa jepang, AI adalah cinta. Tapi AI yang aku maksud disini adalah singkatan dari Aldo dan Ikhsan, nama unit untuk duo kami! Ternyata pihak cafe ingin memberikan kami hadiah sebagai tanda terima kasih mereka ke aku dan Aldo. Maka dari itu, Pak Arya menyisihkan penghasilannya untuk memberikan kami surprise. Dia sengaja mengasih tiketnya sekarang karena Pak Arya sengaja mencari hari libur akhir semester.
Hiks, aku jadi terharu. Harusnya aku yang berterimakasih pada mereka karena mereka mau menerimaku dan selalu memberikan bonus gaji ke aku.
Dan malam itupun AI kembali tampil untuk meramaikan suasana cafe itu. Syukurlah banyak dari mereka yang selalu menanti-nantikan performance AI. Bahkan tak jarang para gadis menemui kami dibelakang panggung hanya sekedar meminta fotoku dan Aldo. Dan ada yang minta nomor handphone segala, sayangnya... Aku gak punya HP, eh, mereka gak percaya. Yasudahlah, hehehe. Aldo bilang kalau HP nya lagi rusak, padahal aku tau kalau HP nya baik-baik saja. Mungkin dia gak mau memberikan nomornya kesembarang orang, padahal gadis-gadis itu berparas cantik semua lho. Ah, sudahlah lupakan masalah itu. Yang penting aku seneng banget akhirnya bisa pergi ke pantai!!
Keesokan harinya, Aldo menjemputku dengan Honda Jazz nya yang berwarna biru tua. Aku menaruh travelling bag ku dibangku belakang, ternyata disana ada tas ransel milik Aldo, dan ada sebuah gitar juga. Tepat jam tiga sore, kami langsung cabut ke Pantai Pangandaran! Dalam perjalanan yang membutuhlan jarak kira-kira 200 kilometer itu, aku dan Aldo terus-terusan bicara dengan topik yang tak menentu.
Di daerah Kalipucang, kami sempat terhanyut dengan pemandangan indah yang ada pada daerah tersebut. Karena dikanan-kirinya masih ditumbuhi dengan pepohonan yang rindang, pokoknya alami banget deh, tidak seperti dikotaku tadi. Kami sempat beristirahat di daerah ciawi, hanya untuk sekedar makan saja. Aku jadi gak enak pas Aldo mentraktir makananku, thanks banget ya, Do!
Dan akhirnya kami sampai ke Pangandaran pada jam delapan malam! Harusnya sih bisa sampai dalam waktu kurang dari jam delapan malam, tapi mau gimana lagi? Aldo sering berhenti dibeberapa tempat hanya untuk meluruskan otot-ototnya. Lalu kami mencari alamat penginapan yang sudah diberi tahu oleh Pak Arya. Kamarnya memang nggak terlalu luas sih, tapi aku suka banget! Karena jendelanya mengarah kesebuah pantai... Dan kalau dibuka jendelanya, wuih, seger banget anginnya!
"Jangan dibuka, Chan. Nanti kamu masuk angin lho," aku hanya memajukan bibirku dan menutup kembali jendelanya.
Pak Arya gak salah pilih kamar, ya! Aku suka banget sama pemandangan kamar ini yang langsung menuju laut! Dari kecil aku suka banget sama pantai, laut, dan apapun itu.
Setelah kami sudah mandi, kami segera membereskan barang-barang kami. Tempat Aldo disebelah kiri, sedangkan aku disebelah kanannya. Setelah semuanya beres, aku dan Aldo turun kebawah penginapan dan mencari jajanan. Aldo membeli sebuah kopi panas, dan aku hanya jagung bakar saja. Kami duduk disebuah taman ditemani oleh iringan para jangkrik.
Entah kenapa, untuk beberapa menit kami dicekam oleh kesunyian. Mungkin pikirannya tengah dibawa oleh lamunan yang terbang mengawang ke segela arah. Sedangkan aku hanya memandang laut. Aku sangat menyukai laut, karena laut mampu memberiku kedamaian serta keteduhan jiwa.
"Udah jam sepuluh nih, Chan. Kita balik ke kamar yuk..." eh!? Balik ke kamar? Aku kan belum mau tidur T.T
Tapi mau gak mau, aku harus mengikuti Aldo. Sesampainya dikamar, aku terus menatap keluar jendela. Kayaknya kalau malam-malam dipantai enak kali ya? Bisa merasakan dinginnya angin malam, dan merdunya ombak di pantai.
"Ayo, Chan! Kita turun lagi!" ujarnya yang sambil menarik tangan kananku.
"Ki-kita mau kemana, Do?" tanyaku dengan bingung. Aldo membalikkan badannya dan memberikan senyuman lebarnya.
"Tentu saja ke laut, bodoh!" ujarnya yang sambil mengacak-ngacakin rambutku. Mendengar jawabannya, mulutku langsung terbuka lebar dan langsung memberikan pelukan ke sahabatku ini. Haha, walaupun suka jahil, tapi dia memang benar-benar sahabatku yang paling baik!
Ternyata tadi Aldo balik ke kamar hanya ingin mengambil gitarnya. Lalu setelah kita sampai ke pantai, hanya ada beberapa orang dan pedagang-pedagang kecil yang stay disana.
Kami tak banyak bicara. Aku dan Aldo duduk diatas pasir pantai, lalu Aldo mengambil salah satu pecahan kerang dan dilemparkannya dengan bersemangat ke tengah laut yang menggelora.
Tiba-tiba ada angin lewat yang sangat dingin! Aku segera merapatkan kedua tanganku, hiiii... Dingin banget >.<
"Dingin, Chan?" tanya Aldo singkat. Aku hanya menggeleng kecil dan memberikannya senyuman agar dia yakin. Tapi... Dia malah melepaskan jaketnya dan dipakaikan kepunggungku. "Kalau kamu lagi bohong, mukamu jelek lho!" sindirnya dengan cengiran khasnya. Hah! Mulai lagi deh ngeledeknya, pengennya sih aku gantian ngata-ngatain dia, tapi karena lagi capek jadinya aku diem aja deh.
"Do, kamu suka laut gak?" tanyaku tanpa menatapnya. Aldo tampak berpikir sejenak, lalu ia tersenyum.
"Suka dong! Banget malah!" mataku langsung berbinar-binar mendengar kalimatnya. "Kamu ingat gak, Chan? Dulu kan kita sering banget main ke Pantai? Saat itu aku sudah mulai menyukai laut. Aku juga ingat, kamu pernah bilang kan kalau dulu kamu sering membayangkan kalau ditengah-tengah lautan terdapat sebuah istana yang indah. Dan didalamnya berseliweran makhluk-makhluk kecil yang lucu-lucu seperti ikan, kuda laut, bintang laut, dan batu karang. Wow, imajinasi kamu bagus banget ya, Chan!"
Apa!!? Kok dia bisa inget sih!? Aku aja gak inget! Dasar Aldo....! Bisanya ngejekin orang lain!! T.T
"Ngeselin! Kamu menghinaku, ya!?" seruku yang tersinggung. Sedangkan Aldo hanya tertawa dengan lepas. Kalau udah gini, aku cuman bisa memonyongkan bibirku.
"Jangan ngambek dong Ichan-ku sayang...! Nanti keriput kamu nambah lho," goda Aldo yang semakin membuat wajahku memerah. "Masih mau berdiskusi? Tapi tanpa emosi lho," tawar Aldo lucu.
Beberapa saat belum ada yang mampu mulai berbicara lagi. Angin pantai meniup semakin kencang. Suara ombakpun merdu terdengar ditelinga. Sebenarnya, aku tak pernah marah dengan celotehan sahabatku yang satu ini. Aku tahu kalau sebenarnya dia hanya bercanda saja.
"Uhm, jadinya nih, Do. Kamu suka laut gara-gara dulu kita sering jalan ke Pantai ya?" tanyaku yang memulai lagi pembicaraan kami yang sempat terputus tadi. Kulihat Aldo yang tengah tersenyum memandangiku. Seperti biasa, tatapannya itu sungguh terlihat jujur dan menyejukkan.
"Bisa juga sih. Tapi alasan utama kenapa aku menyukai lautan, karena orang yang aku sukai juga menyukai lautan. Makanya, aku selalu berusaha menyukai apa yang dia sukai. Walaupun aku tahu kalau dia hanya menganggapku tak lebih dari sahabat, tapi dengan caraku tadi, hal itu mampu membuatku merasa kalau hubunganku dengannya melebihi dari seorang sahabat." aku melebarkan kedua bola mataku. Aldo sudah mempunyai orang yang disukainya? Wow.
"Kamu suka sama seseorang!? Siapa!? Siapa!? Temanmu yang di Surabaya?" tanyaku dengan antusias. Tetapi Aldo hanya menatapku dengan senyuman khasnya.
"Suatu saat kamu bakal tau kok, Chan. Kamu sendiri? Apa ada seseorang yang special dihatimu?" tanya Aldo dengan tatapan lekatnya. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku.
"Heran kan, kamu? Padahal umurku sudah mau meranjak 17 tahun. Tapi aku belum pernah jatuh cinta pada siapapun! Entah itu perempuan, maupun laki-laki, hahaha," ujarku dengan apa adanya. Aldo mengalihkan pandangannya dariku, dan ia bermain dengan kerikil-kerikil yang ada di dekat kakinya. Ini hanya perasaanku atau gimana ya? Kenapa wajahnya Aldo kelihatan sedih? Ah, mungkin cuman perasaanku aja kali ya.
"Eh, kita nyanyi yuk, Chan!" ajaknya yang kini tengah mengambil gitarnya.
"Kamu duluan deh, Do!" ujarku. Lalu terdengar sebuah alunan lagu yang berjudul Anugerah Terindah karangan Sheila on 7.
Melihat tawamu
Mendengar senandungmu
Terlihat jelas dimataku
Warna-warna indahmu
Menatap langkahmu
Meratapi kisah hidupmu
Terlihat jelas bahwa hatimu
Anugerah terindah yang pernah kumiliki
Sifatmu nan selalu
Redakan ambisiku
Tepikan khilafku
Dari bunga yang layu
Saat kau disisiku
Kembali dunia ceria
Tegaskan bahwa kamu
Anugrah terindah yang pernah kumiliki
Ooooh whoaaaa whoaaaa
Belai lembut jarimu
Sejuk tatap wajahmu
Hangat peluk janjimu
Anugrah terindah yang pernah kumiliki
Suara bariton milik Aldo mengalun dengan merdunya. Kupandangi wajahnya yang tersenyum menatapku. Ya tuhan... Dia terlihat tampan sekali. Aku yakin, pasti seseorang yang disukainya juga tertarik pada Aldo. Bagaimana tidak? Aldo kan tampan, bentuk tubuhnya tinggi dan atletis, dia juga baik, apalgi dia multitalenta. Cewek mana yang gak tertarik sama dia? Disekolah aja sampai ada fans club khusus Aldo. Dalam pertengahan lagu, akhirnya aku ikut menyanyi mengiringi Aldo dan gitarnya.
Hampir satu jam sudah kami menghabiskan waktu bersama di Pantai. Hingga akhirnya waktu telah menunjukkan jam sebelas malam. Bulan purnama yang indah menyinari lautan dengan sempurna. Aku dan Aldo segera beranjak dari atas pasir dan segera kembali ke kamar kami di penginapan.
"Tau gak, Do? Semenjak kamu belum datang kesini. Aku selalu merasa sendirian lho, aku bersyukur banget karena kamu udah mau datang kembali dalam hidupku. Tapi... Kalau kamu pergi.... Aku...." aku tak mampu meneruskan kalimatku. Mungkin karena aku kedingingan, jadinya aku sedikit menggigil.
Aldo menghentikan langkahnya, membuatku ikut-ikutan berhenti. Aldo membalikkan badannya dan sekarang kami berdiri saling berhadapan. Karena tak sanggup menatap wajahnya, aku hanya bisa tertunduk menatap pasir dibawah kakiku.
Lho? Kok? Ke-kenapa aku menangis? Apa karena aku takut sendirian lagi? Takut kalau misalkan Aldo pergi lagi? Nggak... Aku gak boleh egois! Tapi aku gak bisa menahan perasaan ini. Entah kenapa aku dilanda rasa takut yang begitu mencekam.
Melihat keadaanku yang seperti itu, Aldo segera mendekap tubuhku. Aldo memelukku sambil mengusap air mata yang terus mengalir dari kedua kelopak mataku. Terkadang dia juga mengelus kepalaku. Aku gak tau kenapa aku mendadak cengeng seperti ini. Padahal aku selalu berjanji pada diriku sendiri untuk tidak pernah menangis lagi, tapi... Aku manusia kan? Wajar kan jika aku menangis?
"Aku nggak bakalan ninggalin kamu lagi, Chan. Nggak akan pernah." bisiknya ditengah sinar rembulan Pangandaran.
To be continued~