It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Sebenarnya hubungan mereka seperti apa ya ? Koq malah Mario yg jd ngerasa bersalah..
BTW, tetep bagus koq. So di lanjut agan cakep @jockoni
Ditunggu lanjutannya! Jdi makin pnasaran eh bkalan dijelasin lgi gk hubungan mario sma rega dlu? Kok masih rada bngung nangkepnya. -_-
jangan2 nanti ada cinta segi tiga lagi antara mario, rega sama toni
Toni nyamperin gak yh
@trinity93 @yuriz_Rizky @kurokuro @cho_zhu960 @kevin_ok26 @herdi_daeng maaf gays lama bgt... lagi sibuk2nyaahh sayanyaahh
sorry kalo dikit updatenya,,, tolong di komen yah kalo ada yang salah atau kurang tepat..
Hentakan tangan Rega di tubuhku menyadarkanku dari keterdiaman yang memaku jiwa karena kejadian barusan. “Ton,, kejar Mario, ini ujan deres banget tar dia kenapa-kenapa” kata Rega yang sontak membuat ku sadar bahwa yang keluar dari rumahku pada saat hujan deras seperti ini barusan saja adalah Mario. Sahabatku. Rega mendahuluiku bergegas menuruni tangga dari kamarku menuju keluar rumah, sedang aku menyusul di belakangnya. Dengan bertelanjang kaki terburu-buru mengejar Mario yang sosoknya mulai mengekor hampir tak terlihat di ujung maksimal jarak pandang. Kami mulai tergopoh-gopoh mengejarnya, suara kami yang memanggil lantang namanya pun sepertinya tidak mampu menghentikan larinya.
Kaki kami berdua terasa kebal karena dingin. Padahal selama mengejar Mario, telapak kaki kami berkali-kali berseteru dengan kerikil-kerikil kecil yang tajam. Seharusnya Mario tidak perlu seperti itu, toh Rega sudah memaafkannya. Aku??? Aku sebenarnya tergantung Rega, karena dalam hal ini Regalah yang di sakiti. Dia saja yang di sakiti oleh aku dan Mario bisa dengan mudahnya memaafkan. Aku malu kalau harus tetap marah ke Mario atas pengkhianatan kepercayaanku. Ya.. Mario telah membiarkan aku bermain dengan kesimpulanku sendiri, tanpa penjelasan. Dulu ketika aku menkonfirmasi kesimpulanku, Mario hanya tersenyum. Aku kira itu adalah senyum pembenaran atas kesimpulanku. Ternyata aku salah!!! Itu adalah senyum misteri yang baru terpecahkan hari ini.
Mataku tak mampu lagi melihat sosok Mario di ujung sana. Hujan yang deras terlalu membatasi jarak pandangku. Rega dan Aku memutuskan untuk kembali dulu ke rumah, dan menemuinya nanti malam di rumahnya. Menjelaskan bahwa kami berdua sudah memahami dan memaafkan semuanya. Toh,, kejadian ini membawa aku ke cita-citaku dulu, yaitu Rega dan Mario dapat bersahabat kembali, dan kami akhirnya dapat berkumpul bersama. Suara petir bersahutan mengiringi aku dan Rega kembali ke rumah. Semoga Maario baik-baik saja, ada di dalam hujan di kondisi cuaca ekstrim seperti ini.
“Ton.., pinjem baju ama celana pendek lu yah, baju gw basah banget ini!!!” kata Rega saat menerima handuk pemebrianku untuk mengeringkan tubuhnya yang basah karena mengejar Mario saat hujan tadi.
“Yodah.. pake aja niih... asal lu jangan pinjem celana dalem gw aja..hahaha” canda ku sambil menyerahkan satu stel pakaian yang baru aku ambil dari lemari berikut celana dalam sekali pakai sisa stok pendakian kemarin. Kami berdua benar-benar dalam keadaan yang sama-sama bertelanjang dada. Jengah juga bertelanjang dada berdua dengan Rega di dalam satu kamar yang tertutup setelah tahu apa sex appeal-nya.
“Ga... ini pake bajunya, ngepain lu liatin gw?? Napsu yah?? Awas aja kalo ampe macem-macem” kataku saat melihat pandangan matanya yang tajam memandang ke arah tubuhku yang masih dalam keadaan telanjang dada.
“napsu apanya?? Enak aja!! Gw gay juga pilih-pilih kali!!! Gak mungkin banget gw napsu liat badan lu yang kerempeng... yang lebih cocok di kasianin ketimbang di cobain... hahahahaa” candanya kepadaku sambil memakai kaos biru bergambar smile yang baru saja aku berikan. Memang sih, tubuh aku dan Rega, jauh lebih bagus Rega. Garis-garis pola otot bagian perut, lengan, dan dadanya sudah nyata terbentuk.
Hujan-hujanan mengejar Mario benar-benar membuat kami berdua kelaparan. Setelah berpakaian lengkap, kami bergegas menuju dapur yang letaknya berada di bawah. “Loh... kok kalian turun berdua aja, tadi Ibu lihat ada Mario?? kemana Marionya??” tanya Ibuku saat kami sudah berada di bawah hendak mengambil piring makan. Sebenarnya aku sangat bingung akan jawaban apa yang harus aku berikan. Gak mungkin aku bilang, kalo tadi Mario pulang hujan-hujanan dan kami berdua harus berhujan-hujan ria juga untuk mengejarnya!. “Mario ada di kamar kok tante, kepalanya pusing katanya” Kata Rega yang otomatis membuat aku sedikit tenang karena tidak perlu mendengar pertanyaan Ibu lebih lanjut lagi. Aku hanya menambahkan kata-kata agar kami berdua lebih cepat lepas dari Ibu, “iyah bu,, makanya aku mau makan di kamar aja, sekalian bawa makanan buat Mario, supaya dia bisa minum obatnya” kata ku seolah Mario memang benar sedang dan masih berada di kamarku.
Aku menyuruh Rega agar hanya mengambil setengah porsi makan, agar dia bisa menghabiskan porsi yang aku ambilkan untuk Mario. Di dalam kamar kami makan sambil mendiskusikan tentang langkah apa yang harus di ambil, agar Mario paham bahwa kejadian ini semua sudah kami maafkan berdua. “Jadi abis makan kita langsung ke rumahnya yah Ton” kata Rega memastikan maksud dari pembicaraan kami. Setelah makan kami akan segera ke rumah Mario untuk menenangkannya, bahwa hal ini bukan lagi masalah dan kesalahan dia yang perlu dia sesali.
Dengan menggunakan mobil milik Rega kami berdua bergegas ke rumah Mario. Sekitar jam 8 malam saat itu. Sehabis makan tadi kami harus menunggu Ibu lengah dulu, jadi kami dapat pergi tanpa ada pertanyaan dari beliau. Selama perjalanan ke rumah Mario, ada beberapa pohon tumbang yang menghalangi jalan kami. Ini adalah bukti bahwa hujan tadi sore cukup deras dan membuat beberapa kerusakan kecil karena bercampur dengan kencangnya angin yang bertiup bersamanya.
“Ga, kira-kira tadi Mario kemana yah?? Sepatu sendalnya juga masih di rumah, berarti kan tadi dia lari dari kita gak pake sendal??” kataku ke Rega yang sedang serius menyetir karena padatnya lalu lintas sehabis hujan, yang mungkin menyebabkan banyak jalan terkena dampak banjir dan membuat jalan yang kami lewati sekarang menjadi sedikit lebih macet dari biasanya.
“Yaa,, kita berdoa aja Ton,, semoga dia tadi langsung pulang ke rumahnya, dan sekarang baik-baik aja” kata Rega sambil tangan kirinya mengusap punggungku.
Jujur saja, saat ini aku ingin cepat sampai ke rumah Mario, ingin melihat dan memastikan kalau dia baik-baik saja. Sekarang aku jadi merasa aneh kepada diri sendiri. Ketakutan akan menjadi buruknya image yang aku miliki jika tetap berteman dengan Rega dulu, kini sirna tak bersisa. Sifatnya yang saat ini memaafkan semua orang yang menyakitinya, membuat aku malu pernah mencoba untuk menjauhinya, untuk hal yang mungkin sebenarnya tidak akan menjadi kenyataan. Yaah, bagaimana image ku rusak jika berteman dengan Rega, sedangkan yang mengetahui sex appeal Rega hanya aku dan Mario. Uhhh,,, I feel like a dumbass now!!!
Setelah melewati 3 kali lampu merah, jalan yang sedikit menggenang oleh luapan air hujan yang tak tertampung, serta berebut jalan dengan kendaraan lain yang membuat jalan lebih macet dari biasanya, akhirnya kami sampai di rumah Mario. Dari luar pagar tempat kami berdiri, tidak terlihat sama sekali kehidupan di rumahnya. Biasanya saat jam 9 seperti saat ini, Ibunya Mario pasti sedang menikmati bakso di teras rumahnya, yang di beli dari tukang bakso langganannya yang saat ini sudah ada di depan rumahnya. Tiga kali aku memencet bel dari luar pagar rumahnya, tapi gak ada satu orang pun yang keluar untuk membukakan pagar dan mempersilahkan kami berdua masuk.
“Gak ada orangnya kali de, soalnya tadi saya lihat Ibu Sofia keluar pake mobilnya sama anaknya” kata tukang bakso langganan Ibunya Mario. Tapi dia gak tahu jelas kemana mereka akan pergi dan siapa saja yang ada di dalam mobil itu. Aku mencoba untuk yang kesekian kalinya mencoba menghubungi Mario lewat ponselnya. Tapi sia-sia, sms yang aku kirim tidak di balas, sedangkan panggilan handphone-nya di jawab oleh seorang wanita bernama “Veronica”. Sekarang aku benar-benar panik, aku gak tahu keberadaan Mario saat ini, bagaimana keadaannya?? Kakinya dapat aku pastikan terluka jika lari sekencang itu. Jalan dekat komplek rumah ku belum sepenuhnya baik dan rata. Masih banyak jalan berkerikil tajam, seperti aku dan Rega lewati tadi sore saat mengejar Mario.
“Ton... Gimana nih?? Kita harus cari dimana??” kata Rega berharap akan mendapatkan jawaban dari diriku atas keadaan ini.
“Gak tau Ga,, gw bingung,,, ini udah malem juga, Ibunya aja baru pergi tadi, pasti baliknya malem, mending kita temuin aja besok di sekolah” kataku.
Akhirnya malam itu aku dan Rega benar-benar di buat buta oleh Mario. Kami gak bisa melacak sama sekali keberadaannya. Nomor kontak yang aku ketahui hanya nomor hape dan rumahnya. Aku dan Rega gak tahu harus menghubungi siapa lagi untuk mencari tahu keadaan Mario. Pulang dengan tangan kosong dan gak membawa sedikit obat tenang bagi otak kami yang terus memikirkan keadaan Mario membuat kami berdua kecewa akan keterbatasan akses kami untuk mencari tahu keadaan sahabat kami. Malam ini aku meminta Rega untuk menemaniku tidur, tujuanku bukan ajang malam curhat untuk meminta pendapat sahabat atas permasalahanku dengan Lydia, tapi hanya butuh teman untuk mengalihkan fikiranku dari masalah pribadiku dengan Lydia. Tapi ternyata masalah pribadi akulah yang aku ceritakan ke Rega.
Pagi ini aku dan Rega sampai di sekolah bersamaan, kami berdua menaiki motor milikku. Sekolah kami memang tidak mengijinkan muridnya untuk membawa kendaraan roda empat, entah apa alasannya. 15 menit lagi bel masuk berbunyi, aku gunakan untuk mencari Mario ke kelasnya. Sebenarnya sedikit malas untuk mencari Mario ke kelasnya. Kelas Mario dan Lydia itu bersebelahan. Itu artinya aku harus melewati dulu kelas Lydia jika mau ke kelas Mario. Selintas terlihat sosok Lydia di kelasnya, dia terlihat begitu ceria, seperti kejadian kemarin tidak pernah ada!! Sekarang lagi-lagi aku merasa menjadi orang paling bodoh sedunia, karena telah bersedih kemarin untuk sesuatu hal dimana orang yang bersangkutan tidak menganggapnya hal itu adalah lara di antara kami. Pagi ini lagi-lagi usaha kami berdua tak membuahkan hasil. Mario belum juga datang ke sekolah hingga bel tanda masuk berbunyi dengan desibel yang tinggi, yang memaksa aku dan Rega keluar dari kelasnya Mario dan beranjak ke kelas kami.
Kabar aku putus dengan Lydia menyebar begitu cepat di sekolah ini. Sepertinya di sekolah ini setiap ruasnya memiliki kemampuan untuk merambatkan suara sampai kepada telinga para penghuninya. Dari waktu istirahat hingga pulang sekolah aku tetap tidak bisa menemukan di mana Mario, teman sekelasnya hanya menjawab tidak masuk! Tadinya hal itu aku fikir hanya alasan Mario untuk menghindari aku hari ini. Hingga aku memprentasikan laporan pertanggungjawaban ku setelah pulang sekolah di mana Mario juga seharusnya hadir, tapi kenyataanya dia mangkir dari tanggung jawabnya kali ini untuk memprentasikan laporannya atas peliputan bersama Repelam. Di Ralat!!! Mario bukan mangkir, tapi dia benar-benar berhalangan. Kabar yang di dapat pihak sekolah Mario mengalami kecelakaan kemarin, sehingga tidak bisa masuk. Entah apa jenis kecelakaan yang di maksud. Fikiranku menggiring ingatan semalam, saat tukang bakso bilang Tante Sofia keluar menggunakan mobil malam hari, ponsel Mario yang mati, hingga dia tidak biasanya melalaikan tanggung jawabnya seperti ini. Hasil akhirnya membawa bayangan mengerikan di kepalaku tentang keadaan Mario. Hari ini aku harus mendapatkan kabar dari Mario, dengan ataupun tanpa Rega.
Keluar dari ruang pembina ekskul, Rega langsung menghampiriku, ternyata dia menunggu aku hingga selesai presentasi. “Ton... kita harus ke rumah Mario sekarang! Tadi gw dapet kabar dia kemarin kecelakaan, kita harus tau ada di mana dia sekarang” katanya sambil menarikku cepat untuk menuju parkiran mengambil motorku. Dengan berboncengan aku dan Rega pergi ke rumah Mario yang jaraknya hanya 15 menit dari sekolah dengan mengendarai motor. Di rumah Mario masih seperti kemarin, tidak ada yang menghampiri kami untuk mempersilahkan masuk, walaupun kali ini lebih dari tiga kali aku menekan bell. Handphone ku berdering ketika kami mulai beranjak untuk meninggalkan rumah Mario. Panggilan dari nomor yang gak aku kenal. Suaranya yang lembut menjawab salam di telingaku, sepertinya aku tahu siapa yang berbicara. Dia tante Sofie, dari nada berbicaranya dia terdengar cemas. “Dek Toni?? Ini Tante Sofie, Ibunya Mario, kamu bisa sekarang datang ke RS Mitra Keluarga Kelapa Gading sekarang?? Mario kena musibah!” kata Tante Sofie, dengan nada bicara yang bergetar, tidak seperti biasa yang Tante Sofie lakukan dengan bicara tegas namun anggun.
Dengan cekatan aku menghidupkan motor dan menarik gas agak keras, berharap kami berdua sampai lebih cepat. VIP Class nomor 305 lantai tiga, adalah alamat kamar di mana Mario di rawat di RS Mitra Keluarga, begitu yang aku baca dari sms yang masuk sesaat setelah telepon dari Tante Sofie aku akhiri. “MOTOR PARKIR DI BASEMENT” tanda yang aku baca ketika sampai di rumah sakit itu. Itu artinya aku harus ke bagian belakang dari rumah sakit ini dulu untuk mencapai basement, sama dengan membuang waktu ku lebih lama. Aku ingin segera mengetahui keadaan sahabatku. Sebenarnya ada apa dengan Mario?? Kenapa Tante Sofie terdengar begitu cemas di telepon. Ah!!! Entah siapa yang harus di salahkan jika sesuatu yang benar-benar buruk terjadi pada Mario.
Begitu Lift terbuka di lantai tiga, aku dan Rega di kejutkan dengan para suster yang sedang mendorong kasur pasien yang biasa di gunakan untuk pasien yang telah meninggal dunia, tidak jauh dari kerumunan suster itu terlihat tante sofie dengan wajah frustasi sekaligus bersedih. Aku dan Rega segera berlari melewati sekilas kerumunan para suster itu, lalu menghampiri Tante Sofie yang sedang terduduk frustasi di bangkunya.
“Tante... Gimana keadaan Mario??” tanya Aku dan Rega bersamaan.
“Mario belum sadar dek dari kemarin, Tante memanggil kamu tadi karena Mario mengigau nama kamu terus, jadi Tante cari nama kamu di hapenya.” Kata Tante Sofie menjelaskan
Tante Sofie lalu berdiri dari bangkunya untuk mengantarkan Aku dan Rega untuk melihat keadaan Mario. Terlihat ada sebuah meja kecil lengkap dengan seorang suster di dalam ruangan Mario di rawat. Rupanya Mario benar-benar sedang membutuhkan perawatan intensif untuk keadaannya dengan wajah pucat, dan kedua telapak kaki di perban. Terlihat selang yang menghubungkan tabung oksigen dengan alat inhalasi di hidungnya. Keadaan yang membuat Aku nyaris saja meneteskan air mata, jika Rega tidak merangkul bahuku.
“Tante, emang gimana kejadiannya?? Kenapa Mario bisa sampai di rawat kaya gini” tanya Rega menyelidik
“Tante belum tahu jelas gimana awalnya Ga. Jumat malam sekitar jam 8, Tante dapat telepon dari pengurus makam yang biasa urus makam alm Ibu kandung dan Adiknya Mario, dia bilang nemuin Mario pingsan meluk makam Ibunya” kata Tante Sofie yang lalu mengeluarkan air matanya, dengan menghela dalam-dalam nafasnya, Tante Sofie berusaha melanjutkan ceritanya “terus dia bawa ke rumahnya yang gak jauh dari makam, pas tante nyampe rumah orang itu, Mario udah biru semua, badannya panas. Jadi Tante langsung bawa Mario ke Rumah Sakit, sampe sekarang kondisinya belum stabil, ampe manggil-manggil nama Toni”
“Terus Arya ama Kiki dimana Tante??” kataku menanyakan keberadaan adik tiri Mario yang dari tadi aku gak melihatnya.
“Arya ma Kiki, Tante titipin ke neneknya tadi pagi di cilandak”
“Yodah, Tante nanti malam pulang saja dulu buat jaga anak Tante, biar nanti malam Aku dan Toni yang jaga Mario” kata Rega menyatakan kesediaannya membantu untuk menjaga Mario nanti malam.
“Kamu yakin mau nginap di sini nanti malam”
“Udah, tante tenang aja, tante istirahat aja, nanti malam biar kami yang menunggu” kataku meyakinkan. Setelah berbincang-bincang seputar Mario, baik itu keadaan Mario saat ini, hingga sikap Mario di sekolah. Aku dan Rega pamit pulang dulu ke rumah untuk mempersiapkan diri dan perlengkapan menginap di Rumah Sakit nanti malam.
MARIO dan KENANGAN
Saat ini aku sedang melangkah pada sebuah jalan. Jalan tanpa nama, tanpa keramaian, dan tanpa suara lain kecuali panggilan nama ku di setiap sudut jalan yang aku lewati. Di mana ujung jalan ini akupun gak tahu, aku hanya terus berjalan menggunakan kedua kaki ku yang semakin lelah. Ingin rasanya beristirahat di salah satu rumah yang ada di setiap pinggir jalan ini. Semua rumah itu mempunyai pintu yang terbuka lebar. Di mana di tiap rumah mempunyai keindahannya masing-masing. Pada sebuah sudut aku terpaku pada sebuah rumah, bercat putih. Rumah itu mempunyai dua buah ayunan di depannya, serasa lengkap dengan dua orang anak kecil yang sepertinya tidak berbeda jauh umurnya.
Langkahku terhenti pada rumah itu. Memandang dua orang anak kecil itu berayun membuat perasaanku tenang dan damai. Mereka berdua membalas pandangan mataku dengan senyuman tanpa dosa dan kepalsuan, khas anak kecil yang terbebas dari drama kehidupan. Mereka berdua menghampiri aku, dan mengajak aku untuk masuk serta beristirahat di dalam rumah mereka. Dari dalam rumah aku mendengar suara seorang wanita yang memanggil nama “Abang” dan “Adik”. Wanita anggun berbaju merah yang mempunyai rambut tergerai panjang kini ada di depan diriku dan kini menatap diriku. Tatapan matanya entah mengapa membuat detak jantungku melambat, tapi itu tidak membuatku sesak. Rasanya seluruh darah yang mengalir di dalam tubuhku ini adalah baru tanpa susupan virus mematikan. Seperti mendapatkan darah baru tanpa jantungku lelah memompa dan menyaringnya dalam pembuluhnya.
Dia mengajakku untuk masuk lebih dalam ke dalam rumahnya. Di dalam rumah yang sangat nyaman itu aku melihat banyak pajangan dan foto-foto penuh senyum kebahagiaan. Di ambilnya salah satu foto dan di tunjukkannya kepadaku. Di foto itu terpajang empat wajah yang menyiratkan kebahagiaan di pinggir sebuah pantai. Sungguh pemandangan foto yang sangat membuatku iri karena telah lama tidak memilikinya lagi.
Seorang anaknya tiba-tiba berlari. Anak yang di panggil oleh wanita itu “Adek” berlari ke ruangan yang lebih dalam yang berada di rumahnya. Lalu kembali arahku dengan membawa sebuah botol beling berisi sesuatu di dalamnya. Anak kecil satunya lagi mempunyai panggilan “Abang” menghampiri wanita anggun yang sekarang aku pahami adalah ibu mereka. Sayup aku dengar dia berkata “Mah, apa yang harus aku lakukan jika aku sudah merasa gak sanggup lagi belajar??”. Lalu dengan lembut Ibu itu berkata “Rio, kalo kamu sudah merasa gak sanggup belajar hari ini, kamu coba tahan sampai seminggu lagi, kalo masih merasa gak sanggup, kamu coba beberapa bulan lagi, kalau masih merasa gak sanggup, kamu beberapa tahun lagi, maka kamu akan pintar menghadapi kesulitannya”. Merasa tak terima dengan nasihat Ibunya si “Abang” masih memberondongnya dengan pertanyaan “kenapa harus begitu mah, itu kan artinya aku harus menerima semuanya”. Dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya, Ibu itu berkata “itu bukan menerima Rio, itu artinya berjuang, anak lelaki mamah gak boleh menyerah!!”.
Di saat yang sama anak kecil yang satunya perlahan menghampiriku, memberikan botol kaca itu padaku. “Kak, coba kakak ambil satu saja kertas yang di dalamnya” katanya sambil menyerahkan botol kaca kecil itu padaku. Aku mengambil gulungan kertas yang ada di dalam botol itu. Pelan-pelan aku buka gulungannya. Pelan-pelan aku baca tulisan tangan yang tidak rapih itu. Pelan-pelan aku pahami dari tulisan yang tidak rapih itu. “Aku bangga punya Bang Mario” dengan jelas aku masih membaca tulisan itu. Aku membaca ulang tulisan itu, kali ini dengan nada berdesibel agak besar sehingga orang di sekitarku dapat mendengarnya “Aku bangga punya Bang Mario”. Seketika itu anak kecil bernama Rio menengok ke arah ku. “Itu untukku, tapi sekarang untuk kamu, supaya kamu selalu ingat sudah berjanji untuk selalu berjuang”.
Sekarang aku ingat semuanya. Anak kecil yang memberiku gulungan kertas bernama Putra, adikku dan anak kecil satunya lagi adalah diriku, Mario, sedangkan wanita anggun itu adalah Ibuku!!!. Botol beling itu adalah pemberian terakhir Putra, saat aku ulang tahun ke 12, tepat sebulan sebelum kecelakaan itu merenggut nyawa mereka. Kenapa aku disini!!! Perlahan senyuman mereka menghilang dari hadapanku, telapak tanganku menghangat.
Seberkas sinar tiba-tiba datang menyorot tepat di mataku, membuat aku terpejam. Aneh ketika aku membuka kembali pejaman mataku barusan. Bayangan mereka yang menghilang segera berganti dengan tembok dan langit-langit berwarna putih.
Kini aku melihat dua sosok yang terpejam di samping kanan ku. Aku sangat kenal dengan mereka. Dan dua hal yang berani aku yakini saat ini. Hal pertama, aku berada di Rumah Sakit dan Hal yang kedua adalah dua orang yang berada di samping kananku adalah Toni dan Rega. Sahabatku.
Bersambung...
Menurutq part kenangannya terlalu bertele en detail.. Menurutq lebih bagus sekilas2 kayak mimpi gitu biar ada kesannya..
Yuukk lanjooottt lageee...