It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Entah jam berapa aku terbangun, namun keadaan rumah sakit dudah lumayan ramai, para dokter, suster, bahkan pasien berlalu lalang di sepanjang koridor rumah sakit. Ku tengok jam tanganku, sudah menunjukkan pukul delapan pagi, sejak semalam aku tertidur di kursi tunggu. Teringat lio aku segera bergegas mendekati ruangan, terlihat tante rosi sedang menyuapinya sarapan, aku tak mau mengganggunya dulu. Aku kembali duduk ke kursi tunggu.
“kopi ?” suara di samping mengagetkanku.
“a..alvent? sejak kapan kamu di sini ?”
“jam dua pagi aku sampai, kamu sudah tertidur, hanya tante rosi yang masih stand by, eh nih kopinya, pegel tanganku lama-lama”
“oh..eh.. iya makasih” ku ambil mug melamin berisi kopi hangat dari tangannya, ku seruput perlahan.
Keadaan hening lagi, aku dan alvent sibuk dengan kopi kami masing-masing, juga pikiran kami masing-masing.
“lio pasti sayang banget sama kamu ya..” alvent menggumam, aku terhenyak.
“...” aku diam.
“sudah berbagai cara aku lakukan untuk menghapus kamu dari benaknya tapi semuanya sia-sia” kembali aku tersentak mendengar perkataannya.
“apa maksudmu ?”
“maafin aku yan, semuanya, rencana pengobatan lio ke singapur, aku yang ngatur semuanya, walau aku tahu hasilnya takkan seberapa dalam penyembuhan lio,itu semata-mata aku laukan supaya kalian jauh, maaf yan.. jujur sejak aku kenal dia dari smp dulu aku sangat menyukai dia, aku sangat menyayangi dia, aku merasa ada sedikit harapan untuk mendapatkannya saat tahu kalau dia kuliah di universitas yang sama denganku, namun aku begitu kecewa mendengar dia sudah sama kamu, aku lakuin berbagai cara buat dapetin hatinya, tapi sia-sia, semuanya sudah terisi penuh sama kamu, dia sangat mencintaimu yan” ujarnya panjang lebar dengan mata berkaca-kaca, sontak wajahku panas mendengar ujarannya.
“kamu ? jadi selama ini kamu...” aku hendak bangkit menghajarnya namun urung setelah tante rosi keluar menemui kami.
“eh nak lian, nak alvent udah bangun, ayo masuk sini, lio nyari-nyari kalian berdua dari tadi” ujar tante rosi sumringah.
“iya tante” jawab kami nyaris bersamaan, kami bergegas masuk ke ruangan lio, terlihat ia tersenyum memandangi kami berdua.
+++
“lian, alvent udah sarapan.. ini mama buatin bubur enak banget, kalian makan yah” ujar lio simpul.
“iya nak lian, nak alvent.. tante sengaja bikin lebih buat kalian juga, ayo nggak usah sungkan, nih..” tante rosi menyodorkan dua piring palstik ke kami berdua, tak ada alasan lagi untuk menolak.
“iya tan makasih..”kami mengambil piring masing-masing lalu dengan sungkan mengambil bubur dari rantang.
“makan yang banyak yan, vent.. lio nggak suka liat cowok kurus, hihi..” cetus lio, mamanya Cuma bisa tersipu melihatnya, sontak aku dan alvent jadi salah tingkah.
“iya nak, kalian makan yang banyak, jangan sampe sakit” ujar tante rosi perhatian.
Selesai makan tante rosi permisi sebentar mencuci peralatan makan, meninggalkan kami bertiga dalam ruangan ini.
“kalian lanjut ngobrol dulu yah, tante mau cuci rantang sama piringnya”
“iya tante”
“iya ma”
Hening lagi. . . . . . .
“kamu udah nggak apa-apa sayang” ku belai pelan kepalanya.
“udah, lio udah lumayan kok sekarang, eh kalian nggak pulang dari malem, pulang dulu lah, mama papa kalian pasti nyariin”
“nggak kok yo, mama udah tahu aku ke sini” ujar alvent.
“aku juga sayang, udah telepon mama tadi malem, katanya sore nanti mereka mau jenguk kamu” entah kenapa aku begitu ingin menunjukan kemesraan kami di depan alvent, sepertinya ia tak terganggu, tersenyum terus dari tadi.
“papa kamu mana yo, kok dari pagi nggak keliatan?”
“papa pasti lagi sibuk vent, lio bisa ngerti kok” ujar lio pelan, senyuman terus merekah di wajahnya.
Hening lagi. . . . . . .
“udah ah, kalian pada pulang dulu, istirahat yang cukup, ntar baru balik lagi kemari” ujar lio memecah keheningan.
“tapi sayang...”
“udah nggak apa-apa yan, kan ada mama yang jagain, lio udah baikan kok, nggak lucu lah, kalian jagain lio yang sakit jadi malah ikutan sakit, ayolah...” mohonnya.
“yaudah, aku pulang yah, baik-baik kamu sayang yah..” ku kecup pelan keningnya, tak ku pedulikan alvent di sampingku.
“aku juga pulang yah yo, baik-baik kamu di sini” sahut alvent.
“iya vent, pasti...”
“eh.. udah mau pulang yah” suara tante rosi mengagetkan kami.
“he..iya tan..”
“yasudah, kalian pulang dululah, istirahat yang cukup”
“yasudah makasih tan, kami permisi dulu” kami mencium tangan tante rosi lalu meninggalkan kamar ini.
+++
Sore menjelang, sejak tadi siang bergantian keluarga lio datang menjenguk, jam tiga ini katanya mama, papa, dan kak igo akan datang. Mendengar kak igo akan datang lio langsung bersemangat, ia sepertinya tak sabar bermanja-manja lagi dengan kak igo.
“bu rosi... ya ampun.. bagaimana keadaan lio bu” terdengar suara mama menghampiri tante rosi.
“lio sudah lumayan bu, semalam dia Cuma colapse karena kecapean kata dokter, penyakitnya jadi kambuh, tapi sudah tertangani kok, lio udah lumayan sekarang bu” ujar tante rosi yang lebih terdengar menghibur diri.
“hmm gitu yah, boleh saya masuk bu”
“oh.. silahkan bu, lio lagi sama lian di dalam”
Cklek.. pintu terbuka, mama dan papa masuk...
“tante, om...” sapa lio tersenyum.
“kamu sudah baikan nak ?” tanya mama seraya membelai rambut lio.
“udah lumayan tan, udah nggak sakit lagi”
“makanya kamu jangan sampe kecapean, jangan kerja yang berat-berat.. inget kondisi kamu”
“iya tan, lio akan lebih merhatiin itu lagi kok”
“hmm.. ini om dan tante bawa sedikit roti buat kamu, di makan ya nak”
“aduh jadi gerepotin nih tan..makasih yah”
“iya sama-sama nak, nggak ngerepotin kok”
“ohya, kak igo mana tan ?”
“virgo dia lagi ke supermarket tadi, katanya mau beliin kamu sesuatu, tante juga bingung”
+++
Kami mengobrol hangat sebentar lalu terdengar pintu terbuka , lio tersenyum lebar melihat kak igo masuk.
“kak igo !!!” sorak lio girang.
“udah baikan kamu dek ?” tanya kak igo seraya meletakan sebuah bungkusan di meja.
“udah mendingan kak” kak igo mengusap kepala lio pelan, agak jengah aku melihatnya.
“yasudah kalian mengobrolah sekarang, tante dan om keluar yah” sahut mama.
“iya tante”
Mama dan papa keluar, tinggallah aku, kak igo dan lio di dalam. Aku terdiam melihat kak igo yang begitu memanjakan lio. Ia sudah menganggap lio adiknya juga. Memanggilnya adek, juga mencurahkan perhatian yang sama dengan padaku. Selama ini ialah yang paling mensupport aku dan lio. Walau tak ia tunjukan aku tau, walau sedikit, terbersit rasa kecewa darinya padaku, siapa kakak yang tak kecewa mengetahui adiknya adalah pencinta sejenis. Aku sangat merasa beruntung memiliki kakak sepertinya.
“nih makan lagi apelnya” kak igo menyuapi lio dengan potongan apel-apel ke mulut lio, dengan senyuman lebar lio memakannya.
“...” aku diam, perasaanku campur aduk, jengah, senang, risih dan sedikit haru.
“pasti lian nih, jadi pacar nggak becus jagain kamu” cibir kak igo sambil melirikku.
“hah..eh.. enggaakkk kok kak, lian nggak gitu” sahut lio tersipu.
“ah..sialan lu !” sergahku.
“udah deh, lio jadi pacar kakak aja, biar kakak jagain baik-baik” semprot kak igo asal.
“woy sialan lu, gila aja..” cegatku risih.
“hahahaha...” sontak gelak tawa pecah di antara kami, tiba-tiba kak igo menggenggam tanganku, menjabatkannya ke tangan lio.
“jaga dia baik-baik yan, jangan sia-siakan cintanya ke kamu” ujar kak igo singkat, ia menatapku dan lio bergantian.
“pasti kak, pasti ku lakukan” di hadapan kak igo, ku kecup pelan kening lio, ia tersenyum simpul.
+++
Jam sembilan malam, aku dan kak igo pulang dari rumah sakit. Mama dan papa sudah pulang dari jam tujuh tadi, kini lio di jaga tante rosi di rumaah sakit. Tadinya aku masih berniat menginap di rumah sakit agar terus bisa memantau keadaan lio. Tapi lio dan tante rosi terus saja menyuruhku pulang, mereka tak tega melihatku kecapean menunggui lio, akhirnya aku menyerah. Aku pulang di bonceng kak igo dengan motornya.
Aku termenung, merenungi semuanya, meratapi semuanya. Semua terasa begitu cepat. Rasanya baru kemarin aku mereguk kenikmatan bersama lio, menikmati kemesraan bersamanya, menjalani hari-hari indah. Kini ia di ambang maut, menanti ajal menjemput. Dadaku sesak membayangkan hari-hariku tanpa dia. Wajahku memanas, sekali lagi airmata tak mampu kutahan keluar dari kedua sudut mataku. Ku peluk erat tubuh kak igo dari belakang. Ia melajukan motor dengan cepat, terasa terpaan angin malam yang dingin menusuk tulangku.
Motornya tak melaju menuju rumah, ia berhenti di taman kota, tempat yang rindang dan teduh.
“kok berhenti disini kak ?” tanyaku bingung.
“ikut kakak..” ia meraih tanganku, menggiringku ke salah satu sudut taman ini.
+++
Kami berhenti di samping sebuah kolam ikan yang cukup besar, tepat di tengah-tengahnya ada sebuah pondok berukuran sedang, di pangkal tiang penyangganya melingkar dipan bambu. Kak igo melangkah melewati setapak kecil yang memotong kolam itu, menuju pondok dan duduk di dipan bambunya.
“ayo.. kesini dek..” panggil kak igo, aku mendekatinya.
Ku duduk di sampingnya seraya menatap kosong riak air dari kolam, bentuk utuh bulan sabit terbias sempurna di permukaan air kolam yang tenang.
“kak..”
“hmm...”
“waktu tahu kak lisa sakit, apa yang kakak lakukan ?” ku sandarkan kepalaku di bahunya, kak igo tak menjawab ia menengadah ke atas seolah mencari kata-kata paling tepat untuk menjawab pertanyaanku.
“lio sekarat kak,dia sakit.. sebentar lagi dia.. dia.. akan ninggalin aku kak, aku takut kak, aku nggak bisa buat apa-apa, aku nggak berguna” pecah kembali tangisku, untuk kesekian kalinya aku melanggar janjiku ke lio, untuk tak lagi menangis.
“waktu tau lisa sakit, kakak juga seperti kamu, kakak juga tak bisa berbuat banyak.. yang bisa kakak lakukan adalah.. terus mencintai dia, memberikan seutuhnya hidup kakak untuknya, membuat ia bahagia di saat saat terakhirnya, mewujudkan keinginan-keinginannya yang masih sempat kakak lakukan” ujar kak igo sembari mengusap rambutku, sesengukan aku menangis dalam dekapannya. Ia kemudian mengangkat tubuhku, memegang kedua pundakku, menatap lurus ke mataku.
“kakak juga takut waktu itu dek, sangat takut, dunia kakak serasa akan kiamat tiap memikirkan hari-hari tanpa dia nantinya, tapi kakak bisa apa dek... cintai dia dek.. sayangi dia dalam sehari dengan kasih sayangmu untuk setahun untuknya, buat dia bahagia, wujudkan keinginan-keinginannya yang masih bisa kau penuhi” ujar kak igo mantap, cukup memberiku semangat di tengah kegusaran yang menggila.
“makasih kak”
Untuk beberapa saat kami masih termenung berdua dalam keheningan. Pikiranku kembali menerawang ke saat-saat indah dulu, momen-momen indah yang sempat terjalin antara aku dan lio dulu. Aku tersenyum sendiri mengingat saat pertama kita bertemu dahulu, bagaimana wajahnya pucat pasi saat melihatku pertama kali. Saat kita pertama duduk semeja dalam satu kelas, saat pertama kali aku mendengar suara indahnya.. Saat pertama kali ia menyatakan cinta padaku. Semuanya begitu indah untukku. Saat pertama kali kami tampil berdua untuk acara ulang tahun sekolah, saat-saat di mana aku kerepotan meladeni kemanjaannya. Semua terasa begitu bahagia, aku ingin kembali ke masa-masa itu, mengulang semuanya.
“yasudah kita pulang sekarang” kami pun pulang kerumah, sepanjang perjalanan terus ku renungkan perkataan kak igo tadi.
***
“maafkan kami bu, tapi ini sudah di luar kemampuan kami, semua sudah kami lakukan, bahkan ibu sendiri sudah melakukan pengobatan ke luar negeri kan ? ibu sabar yah.. ini sudah kehendak yang di atas”
“nggak bisa dong dok ! pasti lio bisa di selamatkan ! pasti masih banyak yang bisa di lakukan, dia pasti selamat ! dia pasti kuat ! dia nggak mungkin ninggalin saya dok !” tangis tante rosita menghenyakkanku, tanpa sengaja aku mendengar percakapan itu, dadaku berubah sesak seketika, sesaat kemudian terdengar dencit handle pintu terbuka, segera aku menyingkir dari situ.
+++
Dengan gontai aku melangkah menuju ruangan lio, ia sudah tak di icu lagi, kemarin dipindahkan di ruangan lain bersama beberapa pasien lainnya. Ku masuki ruangan itu, mencari ranjang lio yang terletak paling ujung dari ruangan itu. aku bingung, lio sudah berpakaian rapi, kaos oblong warna hijau cerah dengan celana jeans pensil warna hitam, lengkap dengan kats yang sudah terpasang di kedua kakinya. Baju pasien sudah terlipat rapi di atas ranjangnya.
“hai lian, lio udah sehat nih, sekarang lio mau pulang.. kita pulang yuk, lio udah kangen rumah nih” ujarnya seraya mengenakan jaket jeans ketubuhnya.
“...” ku ambil sepasang baju pasien dari ranjangnya, ku sodorkan ke depannya.
“pake..” kataku pelan.
“lian apaan sih !”
“pake..” ku letakan baju itu ke tangannya.
“enggak !” di letakkan kembali baju itu di ranjang.
“PAKE LIO !” bentakku geram, ia menatapku datar.
“enggak, lio mau keluar..” ujarnya pelan.
Ia kemudian berlalu dari hadapanku, tergesa-gesa berjalan keluar ruangan ini, para pasien lainnya memandangi kami . dengan cepat ku kejar dia, ia berlari menuju pintu keluar rumah sakit. Sempat ku berpapasan dengan tante rosi, ia terlihat bingung melihat kami berdua. Akhirnya ku dapatkan dia, ku genggam tangannya erat, ia berhenti.
“kamu nggak lihat mama kamu yo...” ku lirik tante rosi yang terisak melihat kami berdua.
“aku mau pergi yan ! dokter nggak bisa apa-apa lagi.. nggak ada gunanya aku di sini..” ia kembali melangkah meninggalkanku, ku tarik keras tangannya, menghempaskan tubuhnya ke rengkuhanku.
“aku nggak kenal kamu sekarang yo ! aku nggak pernah kenal julio yang egois seperti ini ! kamu Cuma mikirin diri sendiri sekarang yo, kamu ngerti itu !” cecarku bertubi-tubi, airmata terlihat menetes dari kedua sudut matanya, tatapannya begitu tajam, dingin tanpa ekspresi.
“kamu tahu rasanya sekarat yan.. rasanya menunggu mati seperti apa kamu tahu...?” tanyanya pelan, sesak dadaku mendengarnya memanggilku ‘kamu’.
“aku disini lama-lama nggak akan membantu yan, semua dokter disini nggak berguna, nggak ada yang bisa bantu aku ! aku mau pergi ! tinggalkan aku yan..”
Airmataku tak tertahan lagi, kembali menetes mengiringi langkah gontainya menuju pintu keluar. Aku tertegun meratapi semuanya. Dia yang selalu berusaha menguatkanku, menyuruhku untuk jangan terus menangis, selalu tersenyum walau menahan sakit. Ternyata juga begitu rapuh, tak terpungkiri ia lemah, ia tak berdaya dengan kondisi ini. Aku semakin merasa kecil, tak berguna, tak berdaya dengan keadaan ini, aku benar-benar tak bisa ia andalkan. Tiba-tiba ia tersungkur, hidungnya berdarah....
“aku Cuma ingin hidup yan, aku nggak mau mati... aku ingin hidup.. hidup lebih lama lagi.. bersama kamu.. tapi aku sadar, itu semua nggak mungkin.. semuanya Cuma bisa menjadi impian untukku...” ujarnya terisak, airmata bercampur darah mengalir bercampur di wajahnya, aku hanya bisa terpaku menatapnya.
Tante rosi yang menatap kami tersungkur dalam tangis yang semakin menjadi. Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya, gempuran petir menerjang menimbulkan suara yang membuat bergidik. Langit seolah ikut menangis menyaksikan drama menyedihkan ini. Aku merasa begitu lemah, begitu kecil, tak mampu berkata apa-apa, tak mampu berbuat apa-apa, untuk dia yang ku cinta.
====================================================================================================
31 Desember 2009 23.55
“oke siap... kita sambut, penampilan spesial dari seorang penyanyi yang sudah melanglang buana ke manca negara... membawakan sebuah lagu spesial untuk kekasih hatinya, kita sambut.. FILLIAN !!!” lengkingan suara cempreng miranda membahana di seluruh balkon rumah lio, kami tengah bersiap untuk acara malam tahun baru.
###
There’s something ‘bout the way you look tonight...
there’s something ‘bout the way that i can’t take my eyes off you...
there’s something ‘bout the way your lips invite...
maybe it’s the way that i get nervous when you’re around...
And i want you to be mine, and if you need a reason why...
Its in the way that you move me, and the way that you tease me, the way that i want you tonight...
its in the way that you hold me, and the way that you know me, and when i cant find the rights words to say...
you feel it in the way, oh, feel it in the way...
Something ‘bout how you stay on my mind...
there’s something ‘bout the way that i wishper your name when i’m asleep, oh baby...
may be it’s the look you get in your eyes, oh baby, its the way that makes me feel to see you smile...
And the reasons they may change, but what i’m feelin’ stays the same...
In the way that you move me, and the way that you tease me, the way that i want you tonight, tonight...
it’s in the way that you hold me, and the way that you know me, and when i cant find the rights words to say...
you feel it in the way, oh, feel it in the way...
I cant put my fingers on just what it is that make me...
love you, you baby...
so dont ask me to describe, i get all choked up inside...
just thinking ‘bout the way...
In the way that you move me, and the way that you tease me, the way that i want you tonight, tonight...
it’s in the way that you hold me, and the way that you know me, and when i cant find the rights words to say...
you feel it in the way, oh, feel it in the way...
+++
“oke, siap-siap... hitung mundur sekarang..” komando rio.
“10...9...8...7...6...5...4...3...2...1..... SELAMAT TAHUN BARUUUU !!!” sorak kami semua bersamaan.
Bunyi tiupan terompet melengking memecah hening malam. Soraks-sorai orang-orang yang meneriakan selamat tahun baru menggema di segala sudut. Langit malam sontak berubah gemerlapan dengan ledakan-ledakan kembang api yang memenuhi, warna-warni indah dengan ragam bentuk pancarannya. Selesai sudah lembaran tahun 2009, kini kami memasuki tahun 2010 dengan sejuta rahasianya, dengan sejuta harapan, tahun ini akan jauh lebih baik dengan tahun-tahun sebelumnya.
“selamat tahun baru sayang” ku kecup pelan kening lio, ia tersenyum simpul.
“happy new year juga sayang, semoga tahun ini semua lebih baik lagi yah”
“amiiinnn...”
“cieeee.... mesra bener siihhh... hahahaha” cibir miranda memecah gelak tawa di antara kami.
Semua yang ada di balkon ini menatap kami dengan senyuman hangat. Mama, papa, tante rosi, om richard, kak igo, rio, miranda, alvent, bahkan para pembantu di rumahku dan rumah lio menatap kami dengan senyum bahagia. Tak ada rahasia lagi di antara kami, sebulan yang lalu, aku mengakui semuanya di depan papa dan mama, mengakui siap sebenaenya anak kesayangan mereka ini, mengakui semua rahasia yang kami pendam, mengakui hubunganku yang sebenarnya dengan lio seperti apa. Awalnya terjadi perang dingin di antara kami, papa dan mama hampir sebulan mendiamkanku, aku bagai orang asing di rumahku sendiri. Cuma kak igo yang selalu mensuporrtku. Namun perlahan mereka melunak, seiring berjalannya waktu, seiring mereka melihat ketulusanku pada lio, sejak mereka tau aku tak pernah menyembunyikan apapun lagi dari mereka. Perlahan namun pasti itu meluluhkan mereka.
“ayank..?” terlihat rio menatap melas ke miranda.
“kenapa ayank, mau ? mau di kecup ?”
“...” rio mengangguk manja.
“merem dong ?”
“...” dengan semangat rio melakukannya.
“muuaachh.. udah tuh yang, coba buka matanya..” ujar miranda.
“HWWAAAAAA..... ih ayang tega bener sih” ia terlonjak kaget begitu sadar yang menciumnya siapa, bik lastri ! sontak gelak tawa kembali pecah di antara kami.
+++
Walau berat, kini mereka sudah bisa menerimaku apa adanya, rasanya tak ada yang lebih bahagia dengan hari-hari seperti saat ini. Tuhan... biarlah kami bisa merasakan bahagia ini sedikit lebih lama lagi...
“lio?”
“iya sayang...”
“aku mau nanya, apa yang kamu paling ingin lakukan sekarang ?”
“... nggak ada yang lio pengen lakukan yan, lio cuman mau satu... bisa menikmati satu lagi malam tahun baru yang indah bersama lian, itu aja, asal bersama lian lio udah bahagia”
==========================================================================================================================================
Juli 2010
Tak lepas ku tatapi wajah lio di sampingku ini. Terus tersenyum memandangi indahnya pemandangai langit sore di tepi pantai. Sekali lagi, pantai menjadi saksi romansa kami berdua. Angin laut yang berhembus sepoi-sepoi terasa menyejukkan saat menerpa tubuh kami, berbalut dengan hangatnya pancaran sinar matahari sore. Entah apa kelebihannya aku dan lio sangat menyukai pemandangan pantai di sore hari. Pemandangan langit senja dan permukaan air laut rasanya suatu perpaduan sempurna untuk di nikmati. Lio menggenggam erat tanganku dengan kedua tangannya. Kepalanya ia sandarkan ke dadaku membuat tanganku yang lain bisa membelai rambutnya dengan mudah. Rambutnya kini di potong pendek, tak sampai tiga senti panjangnya. Itu Membuat seluruh garis wajahnya dapat terlihat dengan jelas, semakin terlihat menawan untukku. Tak pernah ku rasa damai sedamai mendekapnya. Sedikit terbersit penyesalan mengapa aku seakan terlambat untuk semuanya. Memberikan kebahagiaaan pada dia yang sangat mencintaiku. Ku eratkan dekapanku meresapi detil demi detil lekuk tubuhnya. Ia tersenyum memandangiku sejenak sejurus kemudian mendaratkan kecupan kecil ke pipiku. Aku sampai kaget melihatnya melakukan itu, melihat lumayan banyak orang yang lalu lalang di sekitar kami. aku hanya tersenyum seraya menyentil kecil hidungnya.
“heyyy !!! sini !!!” seru lio memanggil dua orang anak pengamen yang sedang asyik bermain di tepi pantai. Mereka yang kami temui dua tahun lalu.
Melihat lio, anak-anak itu dengan semangat berlari menuju kami, mereka terlihat jauh lebih ceria dari saat kami menemui mereka beberapa tahun lalu. Dandanan mereka masih sama, si anak perempuan dengan topi hitam yang di pakai terbalik, baju lengan buntung dan celana jeans tigaperempat yang agak lusuh, anak yang satunya lagi tak jauh beda, celana jeans selutut dengan kaos yang di gulung lengannya, masih setia dengan gitar usang mereka.
“hey, lama kita nggak ketemu !” ujar lio.
“hehe, kakak sih jarang main ke sini lagi, kak lio kok makin kurus yah” tanya anak lelaki yang sedang memegang gitar.
“hehe, ia kakak sering sakit makanya jadi kurus gini, gimana kabar kalian ?”
“baik kak, alhamdulillah aku baru lulus smp kak” ujar si anak perempuan dengan senyuman.
“waaahhh, hebat euy ! selamat yah, belum daftar sma dek ?”
“udah kak, untung di urusin beasiswa, alhamdullilah masih bisa lanjut sekolah kak”
“iya, selamat yah, belajar yang rajin kamu supaya bisa sukses nanti trus bantu-bantu mama-papa”
“iya kak”
“kalo kamu gimana dek ?” pandangan lio beralih pada anak laki-laki di sebelahnya.
“aku..aku baru lulus sd kak, udah daftar di smp nya kak wenny dulu”
“wah, hebat kalian yah, tetap semangat yah, kakak yakin kalian pasti jadi orang sukses nanti”
“iya kak”
“eh iya, kita udah ketemu sekian kali kok kakak-kakak belum tahu nama kalian sih ?” ujarku menyela percakapan mereka.
“eh, kak lian, iya yah, kenalin kak nama aku wenny, kalo dia adekku namanya julian kak, dipanggilnya sama kayak kakak, lian” ujar wenny memeperkenalkan adiknya yang sepertinya agak pemalu.
“wah, lian yah kebetulan banget, tapi kalo lian yang ini mah pendiem dek , kalo lian yang di sebelah ini boro-boro dek diem, berisiiiik”
“hahahaha, bisa aja nih kak lio”
“huu, nggak kok, kakak nggak gitu dek, kak lio nih lebay”
“haha, eh dek ikut kakak yuk.. yan anterin kita yah ?” lio melirik ke arahku, aku yang masih bingung hanya mengangguk.
“mau kemana kak ?” tanya wenny bingung.
“udah ikut aja, yuk yan”
“oke”
+++
“sini aja yan, itu tokonya” ujar lio mengomandoku untuk menghentikan mobil, tepat di samping sebuah toko alat musik. Wenny dan lian terlihat begitu takjub melihat toko alat musik semegah ini.
Setelah memarkir mobil kami berempat memasuki toko. Lio langsung dengan semangat menbil kami berempat memasuki toko. Lio langsung dengan semangat menuju tempat alat akustik. Terlihat sibuk memilih gitar-gitar akustik di sana.
“wen, kamu mau yang mana, yang ini ato yang ini ?” tanya lio pada wenny yang masih terlihat bingung, ia menunjuk dua gitar akustik berukuran sedang dari sekian banyak deretan gitar yang ada.
“aduh kak, nggak usah, ini...” wenny sepertinya masih enggan.
“udah pilih aja wen, kakak mau kasih hadiah buat kalian berdua” ujar lio dengan yakin.
“eh.. emm.. i-ini aja kak” dengan sungkan wenny memilih salah satu dari gitar pilihan lio. Sebuah gitar berwarna hitam metalik dengan bis putih berbentuk nyala api yang menyilang di badan gitar.
“hmm.. oke, kita bayar sekarang, pak.. tolong..” lio melirik petugas yang sejak tadi menemani kami memilih gitar, ia langsung mengambil gitar tersebut untuk di pak.
Dua anak tadi diam saja mengikuti lio membayar gitar yang di belinya. Aku paham perasaan mereka, mendapat gitar baru sepertinya hanya impian buat mereka sebelumnya. Aku semakin kagum dengan lio.
+++
“ini hadiah kakak buat kalian karena prestasi kalian tadi, kakak harap ini bisa jadi motivasi buat kalian untuk lebih baik lagi yah” ujar lio sembari mengusap pelan kepala kedua anak itu.
“i-iya kak, makasih kakak baik banget sama kita berdua, kami janji akan lebih semangat lagi kedepannya kak, kami akan buat ayah dan ibu bangga sama kami” ujar wenny penuh haru.
“sipp, rajin belajar yah, kakak mau kalian bisa lebih sukses dari kakak dan kak lian nantinya, tetap semangat”
“iya kak, sekali lagi makasih buat semuanya”
“iya sama-sama, kakak pulang dulu yah, salam buat ayah ibu kalian”
“iya kak !”
Anak-anak itu masuk ke rumah sempit mereka dengan wajah sumringah. Membawa sebuah gitar dan pakaian-pakaian serta seragam baru yang aku dan lio belikan barusan. Mereka langsung di sambut kedua orangtua mereka dengan bangga. Ibu mereka sempat melirik kami mengisyaratkan untuk mampir dulu tapi lio menolak karena harus cepat-cepat kembali ke rumah sakit. Si ibu berkali-kali mengucapkan terima kasih pada kami berdua. Ia begitu terharu. Lio hanya tesenyum memberikan semangat pada ibu itu juga wenny dan lian. Dengan haru kami pun meninggalkan kediaman mereka. Aku semakin takjub dengan sosok lio. Di saat kondisinya seperti ini masih bisa dia memikirkan orang lain. aku merasa semakin kecil saja di hadapannya.
“ngapain sih senyam-senyum sendiri ?” tanyaku membuyarkan lamunannya, ia terus tersenyum sejak mobilku meninggalkan area kediaman wenny dan lian tadi.
“nggak apa-apa, lio Cuma seneng aja sama wenny dan lian, mereka udah gede sekarang, bisa survive untuk pendidikan mereka, semangat mereka tuh yang patut kita contoh” ujarnya sembari tetap tersenyum, pandangannya lurus ke depan, kedua tangannya menggenggam tangan kiriku.
“aku makin kagum sama kamu sayang”
“lian harusnya kagum sama mereka, banyak hal yang kita harus teladani dari mereka”
***
“hoy ! bengong mulu dari tadi yan, mikirin apaan sih ?” suara lio membuyarkan lamunanku.
“eh..ee.. nggak kok, nggak mikirin apa-apa yo..” kataku serya mengelus pelan kepalanya.
“yan, nyanyi dong..”
“hah ?!”
“iya nyanyi, perasaan seumur-umur lio belum pernah lihat lian nyanyi khusus buat lio” ujarnya manja.
“hah, eh.. malu ay..”
“ih aneh deh, sama pacar sendiri juga malu, ayooo...”
“...” ku tatapi wajahnya yang tersenyum penuh harap. Ku balas senyumannya.
“oke deh, special for my prince...”
Ku ambil gitar yang sering di pakainya mengisi waktu suntuk di ranjang rumah sakit. Ku mulai mainkan melodi-melodi kecil memulai lagu yang akan kunyanyikan ini. Ku pandangi sekeliling ruangan ini. Saking seringnya berada di sini aku sampai hafal sama penghuni di sini. Hingga hari ini tersisa empat orang termasuk lio, beberapa sudah sembuh. Tepat di samping pintu masuk ada seorang pemuda seusia kak igo, namanya kak alex, saat ini sedang berjuang melawan leukimia yang di deritanya. Dia sangat mahir bermain saxophone, sering mengisi kesuntukan kami dengan permainan saxophonenya. Tepat berhadapan dengannya ada seorang kakek 70 tahun bernama sumardi, ia di rawat karena kanker paru-paru yang di deritanya. Kakek ini sangat kocak, tak pernah habis bahan guyonan dari mulutnya. Tepat di sampingnya, di antara lio dan kakek sumardi ada nenek wita, usianya sudah 82 tahun tapi masih terlihat begitu bersemangat menjalani hari-harinya, walau harus berjuang melawan penyakit diabetes yang sudah lama menggerogotinya, kakek sumardi sering menggoda nenek wita di berbagai kesempatan, kami sampai terpingkal-pingkal bila melihat tingkah pola mereka. Semua menatapku dengan senyuman. Ku mulai lagu dengan petikan-petikan pelan senar gitar yang mendayu. Ku pejamkan mata, berusaha meresapi makna lagu yang akan ku nyanyikan.
###
No one ever saw me like you do...
All the things that i could up to...
I never knew just what a smile was worth...
But your eyes say everything without a single word...
Cause there’s something in the way you look at me...
It’s as if my heart knows you’re the missing piece...
You make me believe that there’s nothing...
In this world i cant be, i never know what you see...
But there’s something in the way you look at me...
If i could freeze some moment in my mind...
Be the second that you touch your lips to mine...
I’d like to stop the clock, make time stand still...
Cause baby this is just the way i always wanna feel...
Cause there’s something in the way you look at me...
It’s as if my heart knows you’re the missing piece...
You make me believe that there’s nothing...
In this world i cant be i never know what you see...
But there’s something in the way you look at me...
I dont know how or why i feel different in your eyes...
All i know is it happend everytime...
+++
Dentang gitarku terhenti sejenak saat overtune. Perhatian seluruh kami di ruangan ini tertuju pada satu titik. Kak alex. Siulan indah suara saxophonenya mengisi bagian overtune lagu ini. Jari-jari lincahnya menari-nari menghasilkan melodi indah yang ,mengalun mendayu menghanyutkan. Tiba saatnya kembali ke reffrain, ku naikan satu nada dasar lagu ini, di ikuti tiupan saxophone kak alex yang mencapai nada tertinggi. Kami berlanjut dalam kolaborasi yang indah.........
Cause there’s something in the way you look at me...
It’s as if my heart knows you’re the missing piece...
You make me believe that there’s nothing...
In this world i cant be i never know what you see...
But there’s something in the way you look at me...
The way you look at me...
***
“yeeee... bagus banget yan ! kak alex juga jago !” sergah lio begitu kami selesai membawakan lagu itu.
Seisi ruangan pun bertepuk tangan atas penampilan kami. kami pun larut dalam keakraban yang saat itu tercipta. Kak alex bergabung dengan aku dan lio, para suster membantu mengangat tiang infusnya, saling bercengkrama, bercerita dan tak lupa juga saling menguatkan satu sama lain. aku melihat lio tersenyum dan tertawa begitu lepas saat itu. sekali lagi, tak ada yang lebih bahagia daripada melihatnya tersenyum. Malam harinya mama mengadakan pesta kecil-kecil di ruangan ini, seluruh isi ruangan ini, di tambah keluargaku dan lio juga teman-teman dekat kami datang menghadiri pesta kecil nan meriah ini. Kami larut dalam kebahagiaan mensyukuri umur setahun yang masih di karuniakan tuhan bagi lio. Tak di sangka teman-teman sekelas kami waktu sma memberi kejutan dengan kedatangan mereka. Lengkap ! bahkan bersama wali dan kepala sekolah kami. sontak malam itu kamar yang biasanya sepi dan suram ini berubah menjadi ramai oleh kegaduhan kami.
+++
kamar rumah sakit sudah kembali senyap. Jam setengah duabelas tadi pesta sudah berakhir takut mengganggu pasien di kamar lain yang sedang ingin beristirahat. Rio dan miranda yang terakhir pulang tadi. Pasien lain di kamar ini sudah terlelap, termasuk lio. Tinggallah aku dan tante rosi yang masih standby menjaga lio.
“tante titip lio sebentar yah nak, mau cuci gelas lio” ujar tante rosi seraya membetulkan selimut lio.
“iya tante..” jawabku singkat.
Tante rosita pun keluar dari ruangan, benar-benar sunyi sekarang, mataku juga sudah terasa berat. Perlahan kurebahkan kepalaku di samping lio. Aku mulai terlelap. . . . . . . . . . entah sudah berapa lama aku tertidur aku tiba-tiba terusik oleh suara erangan kesakitan yang tertahan. Pelan tapi cukup jelas. Sontak aku bangun dan melihat keadaan lio, dia baik-baik saja. Mataku pun menerawang mencari asal suara itu. keadaan ruangan yang gelap membuatku sulit melihat pasien-pasien lain di kamar ini. Aku sempat berpikir itu dari kamar sebelah namun ternyata tidak. Semakin aku melangkah ke dekat pintu, suaranya semakin jelas.
“kak alex !” pekikku tertahan saat menyadari sumber erangan itu adalah darinya. Mataku terbelalak melihat hidung kak alex yang sudah bersimbah darah. Tubuhnya menggeliat-geliat kesakitan memegangi dadanya.
“kak ? kenapa kak ! tt..tenang dulu kak, aduhhh..” segera aku menekan tombol alarm tepat di sisi kiri ranjang kak alex. Dia terus melenguh makin keras, pasien yang lain mulai terbangun, termasuk lio.
“hahhh sakit yan, sakitttt... ” ujarnya seraya meremas keras tangan kiriku, bergidik aku membayangkan rasa sakit itu.
“sabar kak, bentar lagi dokternya datang”
Tak lama kemudian seorang dokter dan seorang suster datang. Dengan sigap mereka langsung memastikan keadaan kak alex. Dia semakin menggila lenguhannya, ia berteriak menahan sakit. Pak dokter dan suster berusaha menenangkannya dan sebisa mungkin melakukan pertolongan pertama padanya. Tubuhnya tiba-tiba mengejang kuat. Kami semua kaget di buatnya. Dokter mulai gelagapan memasang segala macam alat di tubuhnya, tadinya ia akan di pindahkan ke ICCU tapi mereka urung karena reaksi kak alex yang semakin menjadi.
“kak alex kenapa yan ?” tanya lio gusar, aku yang duduk di sampingnya menggenggam tangannya erat, gurat ketakutan terlukis jelas di wajahnya.
“nggak tau yo, dia tadi tiba-tiba colapse gitu, udah kita tenang dulu, dokter pasti bisa nanganin dia”
Tubuh kak alex terus menggeliat menahan sakit. Kejangan-kejangan tanpa suara, sontak keadaan kamar yang tadi lengang berubah mencekam. Dokter terus berusaha menenangkan kak alex, cara terakhir adalah dengan mengikatkan tubuhnya dengan beberapa sabuk dengan erat, dia masih berusaha menggeliat. Terlihat suster-suster berusaha membersihkan hidungnya daru mimisan-mimisan darah. Mereka kemudian menyuntikan sesuatu ke tubuh kak alex, entah apa itu aku tak mengerti, yang jelas setelahnya kejangan kak alex sedikit terhenti walau ia masih sesekali menggeliat kecil menahan rasa sakit. Sesaat keadaan kembali sunyi, kak alex semakin tenang, sampai....
TIIIIIIIIIIIILTTTTTTTTTTTTTTTT. . . . . . . .
Bunyi lengkingan panjang dari alat ukur detak jantung kak alex mengagetkan kami !
“suster sekarang !” sergah si dokter, suster yang disuruh langsung dengan sigap mengambil DC shock, benda itu kemudian di olesi semacam gel dan...
“oke, 1..2.. HNGKKHH !!!” tubuh kak alex melenting ke atas mengikuti dua benda itu saat sengatan pertama di berikan, sekali lagi.. HNGKKHH !!! kembali tubuh kak alex melenting, sedetik, sepuluh detik, belum juga.
“oke, naikan sus ! siap.. 1..2.. HNGGKKHHH !!!” kembali hal yang sama di lakukan hingga beberapa kali, setelah di rasa sudah cukup mereka berhenti, sedetik...sepuluh detik...semenit...sepuluh menit... kak alex tak lagi bergerak, bunyi TILT panjang dari pengukur detak jantungnya tak kunjug berhenti.
Mereka mulai memeriksa keadaan kak alex, dokter mengecek mata kak alex dengan lampu sorot kecil. Memastikan denyut vena dan nadinya. Para suster lalu memperhatikan infusnya. Sesaat kemudian dokter geleng kepala kemudian menengok arlojinya.
“waktu kematian 01.25” ujar pak dokter seraya melepas kaos tangan lateksnya. Suster kemudian mencatatnya.
Kami semua tertegun saat itu. nenek wita bahkan sampai menangis melihat kak alex meninggal. Para suster mulai membereskan alat-alat yang tadi terpasang di tubuh kak alex, selang-selang yang bergelimpangan di singkirkan, jarum infus dan darah di cabut dari tubuhnya, kemudian alat ukur detak jantungnya di matikan. Sejurus kemudian mereka menutupi tubuh kak alex dengan selimut putih hingga menutup wajahnya. Kami hanya bisa memandang pasrah saat dokter dan para suster menggiring ranjang kak alex meninggalkan ruangan itu. seketika seisi ruangan kembali senyap, hanya terdengar suara isakan kecil dari nenek wita. Tante rosi yang sejak tadi rupanya sudah menunggu di depan pintu langsung masuk begitu mereka berlalu. Ia berlari menuju lio kemudian memeluknya.
“ma, lio takut ma..” desah lio perlahan, terlihat setitik airmata mengalir dari mata indahnya.
“tenang nak, nggak apa-apa, nggak apa-apa, itu udah kehendak yang di atas, nggak apa-apa nak” tante rosi berusaha menahan isakannya agar lio bisa sedikit tenang, walau airmata sudah menganak sungai di matanya.
“udah kamu tidur aja nak, udah malam..” ujar tante rosi seraya meringsutkan tubuh lio ke kasur, membetulkaan selimutnya.
“lio takut ma, lian..” ucapnya lirih. Aku pun beringsut kesampingnya, memberikan sebuah kecupan kecil ke keningnya, ku genggam erat tangannya berharap bisa sedikit menenangkannya.
“nggak apa-apa sayang, kamu harus tenang, itu semua udah takdir yang di atas, kamu tidur yah..” ujarku sembari mengusap dahinya.
“lio takut nutup mata yan, lio takut nggak bisa buka mata lagi”
“hushh !!! ngomong apa sih kamu, udah jangan ngomong yang enggak-enggak, itu nggak akan terjadi, nggak akan terjadi, kamu harus kuat yo, kamu pasti kuat” ujarnya menahan gejolak luar biasa di dadaku, mendengar kalimatnya barusan sungguh membuatku kalut. Tante rosi pun tak bisa menyembunyikan kepedihannya mendengar itu.
“kamu tidur ya sayang.. aku akan terus ada buat kamu, sekarang pejamin matanya, ayo.. genggam terus tangan aku biar aku nggak pergi, kamu tidur yah” ujarku terus meyakinkannya. Dengan ragu ia mulai mencoba mengatupkan kedua matanya, nafasnya masih tak teratur karena shock tadi. Aku terus membelai lembut rambutnya, sesuatu yang selalu aku lakukan untuk menidurkannya.
Perlahan namun pasti nafasnya mulai teratur. Raut wajah yang tadi masih sedikit mengkerut perlahan mulai kembali relaks. Ia mulai terlelap, genggaman tangannya pun kian merenggang dari lenganku, ku lepas perlahan lalu ku letakan di atas selimut yang menutupi tubuhnya, sesaat kemudian ku dengar dengkuran halus darinya. Huh.. akhirnya dia tertidur juga. Tante rosi yang duduk di sampingku terus membelai rambut anak satu-satunya ini dengan lembut, aku bisa bayangkan bagaimana mirisnya perasaannya kini melihat kondisi anaknya yang kian hari kian tak pasti. Wajahnya masih sembab akibat tangisan tadi. Aku tak tahan menahan gejolak menyesakkan ini.
“tante, lian keluar sebentar..” ujarku lirih dan pelan.
“iya nak” sahut tante rosi.
Aku pun beranjak dari kursi yang kududuki. Melangkah meninggalkan lio dan tante rosi. Aku melewati nenek wita yang masih saja terisak pelan, dan kakek sumardi yang terus saja menghibur nenek itu. aku menoleh kearah tempat kak alex yang kini telah kosong. Masih berserakan selang-selang, kabel-kabel, tiang infus, kateter, dan alat detak jantung yang sudah di matikan. Aku bergidik mengingat kembali kejadian sejam yang lalu. Terlihat saxophone kak alex masih tergeletak di atas meja pasien. Ah,, semakin membuatku kalutr memandanginya. Dengan cepat ku tinggalkan ruangan itu.
+++
Langkah gontaiku bergerak menyusuri sepinya koridor rumah sakit. Tangis kecil terus keluar dari mulutkku. Tak pernah kulihat lio setakut itu. melihat kak alex meninggal tak ayal menghasilkan ketakutan besar bagi kami semua. Seakan-akan menunggu giliran selanjutnya. Oh Tuhan, aku tak bisa membayangkannya lebih jauh lagi. Langkah kakiku membawaku keluar rumah sakit ini, aku menghirup udara subuh saat itu, masih sangat dingin. Aku melangkah menyusuri trotoar depan rumah sakit, aku berbelok di tikungan pertama yang ku dapat. Dinding rumah sakit yang tebal dan tinggi membatasi sisi kiri jalan sempit ini. Mataku tertuju pada sebuah bangunan besar, dengan atap runcing tinggi menjulang dan sebuah salib besi di puncaknya. Arsitekturnya khas roma, pagarnya terbuka, sebuah gereja. Entah apa yang menggerakanku untuk memasuki tempat suci ini. Langkah kecil ini perlahan membawaku memasuki pekarangannya, cukup luas dengan berbagai jenis bunga di tata sedemikian indahnya memenuhi pekarangan tersebut. Ada sebuah kolam kecil tepat di tengahnya, berbentuk segienam dengan airmancur di tengahnya, seluruh dinding kolam itu di pahat begitu indah dan artistik. Aku melangkah menaiki satu demi satu tangga tegel menuju pelataran gereja. Memasuki pelataran jejeran kursi kursi panjang yang entah berapa jumlahnya menyambutku, kursi-kursi kayu berwarna kecoklatan itu seluruhnya kosong tak berpenghuni. Tepat di belakang mimbar gembala ada sebuah patung Yesus yang begitu besar kira-kira enam meter tingginya, memakai jubah kecoklatan dengan posisi tangan yang seolah ingin merangkul, menjamah dan memberkati siapapun yang di kehendakinya. Di kedua telapak tangannya terdapat masing-masing satu lubang bekas tancapan paku, saksi pengorbanannya untuk menebus dosa umat manusia.
Aku terus melangkah menyusuri pelataran gereja. Sampai akhirnya aku berhenti tepat di depan mimbar gereja, tepat di depan patung yang megah itu. aku tersungkur, berlutut merendhkan diri di depan yang kuasa.
“bapa, aku ini umatmu yang paling berdosa, paling hina, dan paling nista di antara umatmu lainnya Tuhan, sesungguhnya aku tak pantas memasuki tempatmu yang mahakudus ini. Ampuni aku Tuhan, walau sekali ini saja, ijinkanku menghadap hadiratmu. Aku tak berdaya tuhan, tak berdaya dengan semua godaan dan nafsu duniawi yang menggila. Aku terpuruk tuhan, tersudut pada satu situasi yang tak bisa kuhindari. Aku yakin Kau tahu apa yang ku maksud bapa, aku terlalu yakin Kau bahkan lebih tau itu dari diriku sendiri. Aku mohon selamatkan dia Tuhan, tidak demiku ya Tuhan, demi keluarganya, demi ibunya, demi semua orang yang mencintainya Tuhan, dia harapan satu-satunya keluarga mereka Tuhan !!!”
Aku tertunduk, airmata menganak sungai membasahi wajahku. Aku sadar aku tak punya hak untuk memohon ini pada Tuhan, aku tak punya hak untuk meminta apapun pada-Nya, aku terlalu nista, tak pantas untuk itu. tapi apa yang bisa ku buat, apa yang bisa ku lakukan, bahkan doapun serasa tak pantas ku berikan. Apa gunanya aku di sampingnya jika tak dapat memberinya harapan ak dapat membantunya walau sedikit saja.
Dalam tangisan aku kembali memohon “Tuhan, aku tahu aku tak pantas memohon apapu pada-Mu, aku sadar aku terlalu kotor untuk itu, tapi dari jurang terdalam aku memandang keagungan dan kebesaran-Mu Tuhan, tolong ampuni dia, tolong beri dia kesempatan merubah semuanya ” hanya itu yang bisa ku ucapkan, airmata mengiringi doaku yang entah akan di jawab oleh Dia atau tidak.
Aku menegakkan tubuhku, berbalik dan melangkah gontai meninggalkan altar gereja. Ku lihat seorang berpakaian hitam-hitam menghampiriku di kerah kemeja hitamnya melingkah sebuah kain kecil berwarna putih, seorang pendeta.
“dunia hanya sementara nak, lakukan yang terbaik sebelum ajal menjemput” ujarnya seraya menepuk pelan bahuku aku tersenyum dan mengucap terima kasih padanya. Dengan sejuta gundah mengisi benakku aku meninggalkan tempat suci itu.
September 2010
Pantai Kuta, Bali
Sebuah dilema. . . . . . . . . . . .
+++
Ku rengkuh tubuh rentahnya itu begitu erat, sangat erat hingga aku bisa merasakan seluruh lekuk tubuhnya yang semakin kurus saja. Berdua kami duduk di atas sebuah batu karang. Memandang semburat jingga dari ufuk barat yang begitu indah. Ternyata pemandangan senja di pantai kuta luar biasa indahnya. Ekor mata lio tak putus menikmati inci demi inci keindahannya. Senyum tirusnya itu, aku kian terenyuh tiap memandanginya. Detik-detik serasa berlalu begitu cepat, berbulan-bulan sudah berlalu dan lio masih bersamaku. Tak ada yang lebih ku syukuri lagi di dunia ini selain kehadirannya. Walau kian hari dadaku makin sesak karena cemas memikirkannya. Kian hari pula tidurku kian tak nyenyak, aku terlalu takut untuk terlelap.
Ku lihat tangannya merogoh saku sweater tebalnya. Aku tau pasti benda apa yang akan ia keluarkan. Notes itu lagi. Hingga saat ini pun aku tak pernah tau apa-apa saja yang ia tulis di situ. Dan agaknya sekarang, aku tak ingin tau apa isinya. Mendengar ia mengucapkan ‘sebentar lagi kamu akan tau kok’ rasanya begitu menyesak di dada. Aku takut membayangkan apa maksud perkataannya itu.
“hmm.. makin mesra kamu sama dia yah” sindirku sembari memeluknya dari belakang, menyandarkan kepalaku di pundaknya.
“heh.. jangan ngintip ! merem nggak ! jahil banget sih.. ” sergahnya sembari mencubit pelan pinggangku.
“aw..aw..aw.. iya-iya sayang, galak banget sih”
Kami bercanda-canda dan tertawa saat saling bercerita tentang kisah masa kecil kita masing-masing. Aku sangat senang melihatnya tetawa lepas seperti ini. Rasanya beban yang kami pikul tak lagi berarti. Sedang asyik asyiknya bercanda tangan teledorku menyingkap kupluk yang ia pakai hingga terjatuh. Aku ingin mengambil kupluk itu tapi teranjur basah terkena air pantai. Dengan masih sedikit terengah karena tertawa aku menengadah menatapnya. Sontak air mukaku berubah muram melihat ekspresi wajahnya yang sendu, matanya memerah dan berkaca-kaca,. Aku sadar kembali sudah melakukan kesalahan padanya.
“lian.. lio sudah jelek sekarang, botak, kurus, hampir seperti mayat hidup di samping lian, lian pasti suatu saat akan jengah juga kan, pasti akan ninggalin lio” ucapnya lirih, rasanya begitu menyayat telinga.
“lio ! hey.. kamu bicara apa sih ? apa yang jadi alasan kamu mengatakan itu hah !” ujarku pelan tapi berat.
“...” ia tak menjawab, malah sesengukan menangis di sampingku.
“aku nggak percaya di saat seperti ini kamu meragukan aku lio.. kamu harus tau, aku mencintai kamu bukan dari fisik kamu, aku nggak pernah mempermasalahkan itu, aku mencintaimu apa adanya dirimu, lio.. lihat aku yo, bagiku kamu itu lebih tampan dari siapapun” kurengkuh tubuhnya hingga menempel ke tubuhku sejurus kemudian ku daratkan satu ciuman mesra ke bibirnya, ku harap bisa meyakinkannya.
“...” ia menatapku lirih begitu kupelas ciuman itu.
“aku akan mencintai kamu, sampai kapanpun, dan aku mohon jangan pernah ragukan itu” ucapku seraya kembali memeluk tubuhnya begitu erat.
Sesaat kemudian keadaan kembali hening, matahari kian merangkak ke ufuk barat hingga tenggelam bagai di telan lautan.
“yan, lian tau nggak kenapa lio sangat menyukai pantai ?”
“hmm.. karena pantai itu memang indah kan..”
“ada satu yang lebih tepat yan.. lio menyukai pantai karena hanya di sini lah langit dan laut bisa bertemu, tanpa ada yang menghalangi, walau hanya seakan bertemu tapi itu sudah cukup, itu sudah cukup untuk membuat yang melihatnya bisa tau kalo langit dan laut pasti bisa bertemu. seperti itulah kita yan, pantai adalah orang-orang yang sudah mengerti, memahami, dan mau menerima kita yan, walau hanya di depan mereka kita dapat bersatu itu sudah cukup bagiku” ujarnya kembali dengan senyum simpul menghias wajah tirusnya.
+++
Aku sedang duduk di sofa, di depan setumpuk perbekalan dan hadiah-hadiah dari sanak saudara dan teman –teman yang terus saja di kirimkan. Aku tersenyum sendiri, rasanya kami seperti berbulan madu saja. Aku dan lio cekikikan membuka apa-apa saja yang mereka berikan, ada segudang makanan, pakaian, bahkan ada yang sampai mengirim gitar dan keyboard segala. Padahal kami berlibur di sini tak lebih dari dua minggu, sangat berlebihan memang. Namun dari semua itu terbersit pula sedikit haru, sudah sejauh ini, mereka mensupport kami sudah sejauh ini. Tak ada lagi atmosfir penentangan mereka, yang ada di kepala mereka sekarang adalah kebahagiaan aku dan lio, terutama lio.
“yan ! yan ! sini deh, miranda nge-skype nih !” lio dengan girang menyeretku ke depan laptopnya.
di layar monitor terpampang 3 orang yang dengan serunya bergantian berebut menampakkan muka mereka di depan cam.
“hai ganteeeeengggg !!! duh makin mesra aja lu bedua yaa..” pekikan suara miranda membuatku dan lio tersenyum geli, tiba-tiba tubuhnya di dorong, rio.
“hoy mas-mas bro ! gimana nih, jadi bikin anak kan , hahaha”
“hallah setres lu yo” sergahku.
“hehe, kiraiinn.. hwaaaa..” tubuh rio terpental ke kasur akibat di dorong alvent.
“hey lian, lio.. tega banget lu bedua yah liburan nggak ngasih tau gue, gue kangen kalian bedua” kali ini lio begitu antusias melihat alvent.
“alvent!!! Lio juga kangen sama alvent, maaf nggak ngabarin yah, soalnya alvent kan lagi sibuk banget kuliah prakteknya” ujar lio dengan nada menyesal.
“hehe, becanda kok yo, i never mind it, gimana keadaan kalian berdua di sana, baik-baik aja kan”
“iya vent, lio di sini berasa nyaman banget, banyak tempat-tempat bagus, lain kali kita harus bareng-bareng ke sini yah”
“iya yo pasti, lian kamu gimana ? kayaknya makin kurus aja”
“hehe, tau aja lu vent, agak turun dikit sih badannya tapi aman-aman aja kok”
“bagus lah, hwaaaaaa...” tiba-tiba miranda menggeser alvent.
“lioooo !!! miranda kangeeeenn, hehe, kamu baik-baik yah di sana, makan sama minum obatnya tepat waktu yah” ujar miranda sedikit haru.
“iyaa mir, itu pasti, lio sayang kalian semua”
Aku dan lio termenung sejenak seusai percakapan skype itu. ada gurat senyum haru terukir jelas di wajah lio. Aku tarik tubuhnya ke dekapanku, rasanya tak akan puas diriku merasakan hangat tubuhnya saat ini. Sesaat ia menatapku sendu.
“lian merem dong..”
“apa ?”
“udah merem aja dulu”
“ada apaan sih ?”
“merem aja bawel.. nah.. jangan ngintip!” lalu terdengar dia mengeluarkan sesuatu.
“sekarang buka mata lian”
Perlahan ku buka mataku, nampaklah di tangan lio sebuah kotak berukuran sedang. Lio tersenyum lalu menyodorkannya padaku.
“selamat ulang tahun yan”
“selamat ulang tahun?” tanyaku bingung.
“... ” ia diam, aku membuka kotak itu, nampaklah tiga buah kaos denga tiga warna berbeda.
“ini hadiah lio buat lian, yang merah.. buat ulang tahun lian yang ke 21, yang hijau untuk yang ke 22, dan yang terakhir.. yang kuning untuk yang ke 23” airmata mengalir perlahan di sudut-sudut matanya.
“mm..maksud kamu ?” tanyaku bodoh, aku tahu maksudnya tapi masih berusaha mengingkari itu.
“mungkin di ulang tahun ulang tahun lian itu, lio nggak akan lagi bisa hadir, lio nggak akan lagi bisa ngucapin selamat dan memberikan lian hadiah-hadiah ini secara langsung, lio ingin mengucapkannya sekarang, selamat ulang tahun lian, lio selalu mendoakan yang terbaik buat lian” ia mulai hanyut dalam tangisan.
“lalu.. setelah usiaku 23 apa selanjutnya? Kenapa hanya sampai ultah 23?”
“setelah itu lian harus betul-betul mengikhlaskan lio, lian harus menggapai kebahagiaan lian sendiri, lian... lian harus mencari kekasih lian yang baru, yang bisa membahagiakan lian... entah itu lelaki atau wanita lianlah yang bisa menentukan, mana yang benar-benar bisa memberikan kebahagiaan untuk lian, maafin lio yah, kalau nanti nggak bisa terus menemani hari-hari lian selanjutnya, lio Cuma berharap lian nggak pernah melupakan lio” hatiku bagai di sayat-sayat mendengar ujaran panjang lebarnya itu, tak ku sangka ia bisa berpikir sejauh itu, di titik ini aku kembali merasa diriku sungguh lemah, tak berdaya oeh situasi menyiksa ini.
Kembali ku eratkan pelukanku padanya, ku sandarkan kepalanya di pundakku. Ku belai pelan kepalanya. Airmata menetes membasahi sekujur wajahku, namun kali ini aku tak bersuara, tangis yang menyesakkan, namun aku harus kuat, harus.
. . . . . . . . Last New Year. . . . . . . .
“udah siap semuanya mir ?” tanyaku yang sedang membawa segala macam perlengkapan untuk merayakan tahun baru.
“sip lah yan, yaudah kita berangkat sekarang ?”
“oke !” dari rumah miranda kami langsung meluncur ke rumah sakit menggunakan mobil rio.
Sekarang tepat jam sebelas malam, kami sudah hampir tiba di rumah sakit. Begitu selesai memarkir mobil dengan semangat kami bergegas menuju ruangan lio. Rencananya malam ini kami akan merayakan malam tahun baru di sana. Semuanya sudah kami siapkan. Dengan penuh semangat kami menyusuri koridor demi koridor menuju ruangan itu. keadaan sudah ramai di dalam, wah sepertinya kami sudah ketinggalan banyak. Tempat itu ramai, begitu ramai, banyak orang berkumpul di sana. Sedikit kesulitan kami menyisip menembus kerumunan itu. dan tersadarlah diriku kalau itu bukanlah keramaian pesta seperti yang ku bayangkan semuanya, ini sebuah kekacauan lebih tepatnya kepanikan. Ku lihat di sudut ruangan tante rosita sedang sesengukan menangis di ranjang lio yang kosong ! sontak ia berlari memelukku begitu melihatku datang.
“tt..tante ada apa ini ?” tanyaku panik.
“lio kabur yan, tadi ibu sedang mencuci piring.. lalu..lalu ibu kemari dan.. kata.. pasien lain dia..kabur yan.. tante bingung harus gimana” susah payah ia menyusun kata-kata itu di sela tangisannya.
“kabur tante !!! kok bisa !” aku tersentak kaget mendengar ujarannya.
Mataku langsung menjelajah ke ranjangnya, mataku membelalak melihat beberapa ceceran darah di atasnya. Ia pasti mencabut paksa infusnya. Apa yang ada di pikirannya ? kenapa dia pergi ? kemana dia pergi ? aku tak bisa memikirkan apapun. Tangisan tante rosi membuatku semakin kalut. Kemana ia pergi ? ya ! kesitu seharusnya pikiranku berkutat ! kemana dia pergi ! dengan laju cepat pikiranku terus berputar dan berputar hingga aku teringat sesuatu ! yah benar ! semoga saja aku tak salah.
“rio ! kunci mobilmu !”
“hah !? kamu ? kemana !”
“kemarikan saja kunci itu !”
“iya..iya..!”
Tanpa banyak bicara lagi kusambar kunci itu dari tangan rio. Dengan segenap tenaga aku berlari menuju tempat parkir. Dari situ ku pacu mobil secepat yang ku bisa. Tak ku pedulikan cecaran dari orang-orang yang hampir ku tabrak, mobil-mobil yang ku lambungi, aku ingin secepat mungkin ke sana. Aku takut membayangkan kemungkinan terburuk jika aku terlambat, aku tak mau membayangkan itu. jantungku seakan berdegup secepat aku melajukan mobil ini. Tak sampai sepuluh menit aku tiba di tempat itu, rumah lio. Tanpa permisi aku memasuki ruang tengah rumah itu, berlari menuju kamar lio dan menuju tempat yang sejak tadi terlintas di benakku, balkon.
Benar saja, tubuh lemas lio terkulai di sana, ia duduk bersandar di tiang besi balkon ini. Entah dengan apa ia bisa sampai ke tempat ini. Kenapa aku begitu bodoh tak menyadari ini, ia selalu bilang ingin merayakan tahun baru di sini, ia tak bosan-bosannya menyatakan kalau di sini adalah tempat paling indah merayakan tahun baru, ia bisa melihat semuanya dengan jelas.
Wajah itu tersenyum memandangiku. Aku tersungkur di hadapannya. Wajahnya pucat pasi mengeluarkan keringat dingin di sekujur wajahnya. Bekas luka cabutan jarum infus di tangan kirinya masih agak basah.
“lama sekali sih yan..” ujarnya parau.
“kamu ngapain sih di sini..” tangannya begitu dingin dalam genggamanku. Ia beringsut dalam dekapanku, seketika itu aku menjadi kikuk, sekujur tubuhku kaku tak mampu menggerakan apapun, tubuhnya serasa begitu dingin dalam dekapanku.
“sebentar lagi yan, sepuluh menit lagi..” ujarnya sembari memandangi arlojiku.
“kenapa harus disini sayang, kita..kita bisa merayakan ini di rumah sakit.. tanganmu..”
“di sini lebih indah yan, kita bisa lihat bayangan kembang api di air danau sebentar yan, lio mau liat itu, walau untuk yang terakhir kalinya, lio pengen banget liat itu yan”
“kamu tuh ngomong apa sih” aku semakin kalut, tubuh lio bergetar kedinginan, ia hanya mengenakan baju pasien yang tipis melapisi tubuhnya.
“lio, kita kedalam dulu yah.. di sini dingin”
“nggak yan.. tinggal beberapa menit lagi, peluk lio aja yang erat.. lio pengen betul-betul menikmati saat ini, lio mohon, kita di sini aja yah..”
“hmmphh... lio...”
“sini tangan lian..” ia kemudian meraih tanganku.
“tutup mata lian.. i..ini alisku, ini mataku.., pipiku.. hidungku.., bibirku.., daguku.. lian.. jangan lupa semua itu yah.. jangan lupain lio !” dengan mata terpejam aku merasakan tanganku di sentuhkan ke bagian-bagian wajahnya yang ia sebutkan, airmataku mengalir mendengar ia mengatakan itu.
“aku nggak mungkin lupain itu yo, kamu jangan ngomong seperti itu” ku eratkan dekapanku ke tubuhnya.
“sekarang lio udah punya cukup keberanian buat ngomong langsung ke lian, lio menyukai lian.. lio menyukai lian sejak pertama lio bertemu dengan lian, lian nggak bisa hilang dari benak lio sejak saat itu, mm.maafin lio.. lio nggak bisa temanin lian lebih lama lagi.. hngggkhhh..” ia tiba-tiba mengejang, darah segar keluar dari sudut bibirnya.
“lio ! kk..kamu nggak apa-apa kan, kita ke rumah sakit sekarang, ayo.. kita ke rumah sakit sekarang !”
“nggak lian !!! lio mohon jangan ! lio.. hhhh.. lio mau di sini.. lio mau nikmatin detik-detik berharga ini di sini sama lian, lio takut nggak bisa menikmati ini lagi yan, lio mohon... hngghhh...” darah itu semakin deras mengalir.
“lio... aku mohon yo... kamu... aku nggak mau kehilangan kamu..” tangisku semakin menjadi, tak dapat kubendung lagi.
“lian.. lio sayang sama lian, lio nggak akan ninggalin lian, lio akan selalu ada di sini.. di hati lian” tangannya melepaskan kalung di lehernya, meletakkan kalung itu ke tanganku.
“seperti jalinan kalung ini yan, begitulah hati lio untuk lian, kita nggak akan pernah jauh, lian harus percaya itu”
Beberapa saat kemudian sebuah mobil memasuki halaman, tante rosi dan yang lainnya turun lalu segera bergegas kemari. Saat tiba di sini, tak ada yang berani berucap kata apapun, semua membisu menahan tangis. Lio semakin lemas, aku tak bisa katakan bagaimana kalutnya perasaanku saat itu. tangan lio begitu dingin menggenggam tanganku.
“sebentar lagi yan... sebentar lagi... ” suaranya semakin melemah.
Seketika itu juga terdengar terdengarlah dentingan suara lonceng diiringi suara letusan kembang api memenuhi langit malam itu. mata sayu lio berbinar, tersenyum memandanginya.
“hhh... indah yan.. sangat indah..” susah payah tangannya merogoh sesuatu dari saku bajunya, notes itu.
“lio...”
“lio sayang sama lian..” bisiknya lirih di telingaku, tangannya meletakan notes itu di tanganku.
Aku terus menangis tertahan sembari mendekapnya. Tubuhnya semakin dingin. Genggaman tangannya semakin melemah. Aku terus mendekap tubuhnya, berusaha memberikan kehangatan padanya. Ia masih sempat menatapku dan memberikan senyuman indahnya padaku. Ku kecup pelan keningnya.
“maafin aku sayang, aku nggak bisa berbuat apa-apa buat kamu, aku nggak bisa bantu kamu sedikit pun melewati semua ini”
“huss... jangan ngomong gitu yan... lian udah terlalu banyak berbuat untuk lio... lian udah melakukan semua untuk lio, memberi lio kasih sayang dan kebahagiaan untuk lio, lio nggak pernah merasakan bahagia sebahagia bersama lian seumur hidup lio... makasih buat semuanya yan, aku sayang kamu ” ia menatap lirih wajahku, senyum terus terukir di wajahnya, tanganku terus menahan tangannya yang tengah mengusap airmataku.
Perlahan tangan itu mulai melemas, hingga jatuh terkulai di kakiku. Matanya terpejam. Perlahan deru nafas dari hidungnya tak lagi terasa. Dadaku tiba-tiba sesak, aku berteriak sekuat yang ku bisa, tanpa sadar mengguncang tubuh lio yang sudah tak bernyawa. Tangisku pecah luar biasa mengiringi kepergiannya. Ku peluk tubuhnya begitu erat. Dingin.. tubuhnya semakin dingin, semakin tak karuan. Aku membuka jaket yang ku pakai, lalu menyelimuti tubuhnya dengan jaket tebal itu, berharap bisa menghangatkan tubuhnya kembali. Aku masih belum bisa percaya kalau dia sudah tiada. Aku terus berteriak tak karuan memanggil namanya, berusaha membangunkannya. walau ku tahu semuanya sia-sia.
+++
“sudahlah nak lian, lio sudah pergi, dia sudah tenang di sana, ikhlaskan dia nak”
“lian nggak bisa bu, lian nggak bisa kehilangan dia.. lian sayang sama lio bu” tante rosi merangkul tubuhku, berusaha menenangkanku.
“ikhlaskan dia nak, ibu yakin dia sudah tenang di sana, kamu harus ingat yang selalu ia pesankan ke kamu, jangan pernah menangis, jangan pernah tangisi dia, kamu harus kuat” tante rosi terus berusaha menghiburku meski aku tau luka hati yang ia rasakan jauh lebih menyakitkan dari yang ku rasa.
+++
Kini dia sudah pergi, untuk selamanya. Meninggalkanku sendiri dengan sejuta kenangan indah yang kita sempat lewati. Hari-hari terus ku coba jalani tanpanya. Walau berat terus ku coba menatap ke depan. Menata hidupku perlahan, mengisi lembaran-lembaran baru hidupku. Ku coba untuk terus tersenyum walau sesekali hati ini masih saja bisa menitikan airmata.
====================================================================================================================================================================================
31 Desember 2011 23.55
Foto ini masih namapk seperti baru, foto yang kita ambil hampir empat tahun yang lalu. Aku tersenyum haru melihat foto ini, kau dan aku masih lengkap dengan seragam putih abu-abu dan dasi yang sudah belepotan dengan tanda tangan teman-teman, coretan-coretan, hingga semprotan pilox dan hairpsray dimana-mana. Difoto ini aku merangkulmu tanpa malu. Aku rindu kembali ke masa itu. saat-saat awal dimana kita memadu cinta terlarang ini. Aku merindukanmu sayang. Genap setahun sudah kau pergi, meninggalkanku dengan sejuta kenangan yang sempat tercipta. Luka hatiku karena kehilanganmu hingga kini masih terasa basah dan tak kunjung kering juga. Namun aku terus berusaha mengecilkan luka itu, walau perlahan aku ingin benar-benar mengikhlaskanmu di sana, agar kau tenang di alam sana. Tak terhitung lagi kata-kata maaf yang keluar dari mulutku ini. Walau sedikit masih tersisa penyesalan akan diriku sendiri yang tak mampu berbuat banyak untukmu.
Perlahan ku tinggalkan bingkai foto penuh kenangan itu. aku melangkah menuju pintu kecil di samping kasurmu. Ku buka pintu kecil itu, lalu melangkah menuju balkon di sana. Angin malam yang dingin langsung menyambutku. Aku berhenti tepat di depan pagar besi yang membatasi sisi-sisi balkon kecil ini. Ku pejamkan mata menggenggam besi ini. Merasakan detil demi detil suasana di tempat ini, aku merindukan saat-saat bersamamu di sini.
Tiba-tiba bunyi lonceng terdengar mendenting merdu. Di susul suara gegap gempita kembang api memenuhi langit malam ini. Satu lagi tahun terlewati, namun kali ini tanpamu. Aku serasa kembali ke suasana tahun lalu, tahun baru terakhir untukmu, detik detik kami melepasmu. Kembali airmataku menetes mengingat semuanya. Semua berlalu begitu cepat. Aku harus menjalani semua sendiri sekarang. Selamat tahun baru lio, aku merindukanmu.
+++
Terdengar suara langkah kaki mendekatiku, sejurus kemudian terasa sentuhan tangan di pundakku. Alam khayalku berharap itu julio, sebuah impian sia-sia yang takkan mungkin lagi tercapai. Tangan itu tak menyentuhku lagi. Ia maju, tubuhnya ikut bersandar pada besi ini. Memandang gemerlap langit malam yang di penuhi kembang api.
“dia udah tenang di sana yan, aku yakin itu.” ku tatapi wajah alvent di sampingku, ia tersenyum memandangi langit malam. Ku coba menarik nafas dalam, ku pejamkan mataku meresapi sejuknya udara di sini.
“iya vent, dia pasti sudah tenang di sana” ujarku tanpa menatapnya.
Aku tak akan menangis lagi yo, aku akan kuat menjalani semuanya. Kamu sudah menempati tempat terindah di singgasana hatiku. Dan selamanya akan tetap di sana. Aku mencintainya akan tetap mencintainya.
Tiba-tiba kurasakan genggaman hangat di tanganku, genggaman kokoh yang begitu terasa nyaman di tanganku. Perlahan ku buka mataku. Alvent menatapku dengan tatapan yang begitu teduh. Perlahan ia mendekatiku, melingkarkan lengannya di pundakku. Tanpa suara ia kembali menatapi langit malam sembari terus mengeratkan rangkulannya di pundakku. Sebentuk rasa nyaman dan hangat menelusup ke hatiku. Aku belum berani menyimpulkan arti rasa ini. Biarlah waktu nantinya yang akan bicara. Karena rasa itu datang karena telah terbiasa. Tanpa di paksa, biarlah waktu yang menjawab semuanya. Entah ia akan memupuk atau memudarkan rasa itu aku pun tak tahu.
====================================================================================================================================================================================
23 Juli 2008
Nama itu terus terngiang dalam benakku, Fillian Marcell Rahadi. Nama itu kini tak bisa lepas dari mimpiku. Baru beberapa hari yang lalu aku melihatnya, di tepi danau, menatapku dengan tatapan penuh arti. Ah.. dia pasti mengiraku orang aneh. Kenapa sih, aku tak bisa bersikap biasa saja padanya waktu itu. dasar payah kamu lio. Aku tak bisa melupakannya. Senyumnya, tatapannya, bibirnya. Semuanya indah di mataku. Hari ini tanpa ku sangka ia ternyata satu sekolahan denganku, bahkan kami sebangku. Jantung berdegup begitu cepat saat melihatnya mendekatiku, duduk di sampingku. Ekor mataku tak lepas memandanginya walau sembunyi-sembunyi, menyusahkan >.< hari ini aku juga mendengarnya bernyanyi, demi Tuhan suaranya indah sekali. Ya ampun, aku bingung bagaimana bisa lebih dekat dengannya.
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=
19 September 2008
Hari ini tak akan pernah ku lupa seumur hidupku. Akan selalu ku ingat hingga nafas ini terhenti nantinya. Sore tadi kami jalan-jalan kepantai, saat berangkat aku yang menyetir. Sebentuk rasa nyaman menelusup ke relung hatiku saat ia melingkarkan kedua tangan kokohnya melingkar di pinggangku, sesekali ku lirik ke spion motor ini, terlihat jelas kegugupan lian dari airmukanya, ‘bikin ge-er’, entah apa yang ada di benaknya, aku masih tak berani mengartikan itu. di pantai kami bermain dengan serunya menikmati keindahan sunset di pantai berbatu ini. Ada dua orang anak pengamen yang menggugah hatiku, kami sempat bercengkrama sebentar dengan mereka, sungguh aku selalu kagum dengan orang-orang seperti mereka.
Malamnya aku begitu gelisah, rasa ini sudah sekian lama bergejolak di hatiku. Sedikit banyak aku cukup yakin mengatakannya pada lian, karena dari kedekatan kita selama ini ia tak menunjukkan tanda-tanda penolakan. Pergolakan ini akhirnya membawaku pada satu keputusan yang gila, aku membulatkan tekad untuk mengungkapkannya. Sekali lagi perbuatan bodoh aku lakukan, berbekal sambungan telepon aku mengungkapkan semuanya pada lian, dapat ku klaim sebagai kalimat tersulit yang pernah ku ucapkan seumur hidup, 12 kata sederhana, ‘lio cuman mau bilang, lio suka sama lian, lio sayang sama lian’, terdengar bodoh memang, tapi tak kusangka berhasil. Lian sampai berteriak-teriak seperti orang gila saat mengetahui itu. Hatiku pun meloncat kegirangan begitu mengetahui ia juga mencintaiku. Semua di luar dugaanku dan aku mensyukurinya. Hari ini hari terindah dalam hidupku.
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=
13 Januari 2009
Hari ini aku di larikan ke rumah sakit. Penyakit sialan ini kembali menyerangku. Ah.. bodohnya aku tadi lupa meminum obat. Untungnya lian sedang pulang kampung ke Makassar selama seminggu. Jadi dia tak akan tau aku begini. Huhh... aku tak boleh kalah dengan penyakit sialan ini!
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=
16 Juli 2009
Ternyata semua tak semudah pikiranku. Penyakit jahanam ini semakin gila dan semakin gila saja. Aku semakin tak kuasa melawannya. Dokter-dokter gila itu bahkan sudah memvonis umurku ! dasar gila ! seenaknya saja menentukan limit umur seseorang, mereka pikir mereka tuhan apa ? Lian tetap setia menemaniku, dia selalu ada di sisiku di saat-saat susahku seperti ini. Demi apapun aku tak tega kalau membuatnya semakin hancur. Aku takut menyakiti hatinya lebih jauh lagi. Walau aku sendiri tersiksa, namun perlahan ku coba menjauhinya.
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=
7 September 2009
Ini ternyata jauh lebih menyiksa dari bayanganku. Berbulan-bulan tanpanya hidupku serasa kehilangan pijakan. Tak ada semangat untuk melakukan apapun. Bahkan semangat untuk melawan penyakit jahanam ini pun tidak. Aku semakin merasa tak enak dengan alvent, dia sampai mau repot-repot mengurus pengobatanku ke singapura, rasanya bisa gila kalau aku lama-lama jauh darinya. Rasanya pengobatan disini pun tak terlalu banyak membantuku. Aku pesimis dengan semua ini.
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=
15 November 2009
Benar saja, setelah tiga bulan berobat di sana, aku tak kunjung merasakan perubahan yang siknifikan. Aku pun memutuskan kembali ke indonesia. Seminggu kembali ke rumah, aku masih tak berani menemui lian. Tiap sore aku hanya berani memandanginya duduk termenung di pinggir danau. Wajahnya terlihat suram memandangi danau. Aku terlalu takut menemuinya. Aku tak bisa menahan lagi, aku turun menemuinya. Dapat ku duga apa reaksinya. Ia marah, mencecarku dengan luapan amarahnya, bahkan yang paling menyakitkan ia mengatakan ingin melupakanku, menghapusku dan kenangan kami dari hidupnya. Hingga akhirnya aku harus mengungkapkan semuanya. Aku mengatakan yang sebenarnya padanya. Aku sudah pasrah dengan semuanya, ia memang berhak mendapatkan yang jauh lebih baik dariku, bukan mengharapkan cinta dari orang sekarat sepertiku. Tapi saat itu ia memelukku, menangis sesengukan di dekapanku. Tak kusangka, cinta itu ternyata masih milikku. Aku menyesal sempat mengecewakannya.
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=
28 November 2009
Aku semakin lemah. Kemarin harus colaps di depan mereka. Tuhan, tak adakah kesempatan bagiku untuk merasakan kebahagiaan lebih lama lagi ? untuk memberikan orang-orang yang aku kasihi kebahagiaan yang lebih berkesan lagi. Aku tak mau menyakiti mereka, orang-orang yang mencintaiku, orang-orang yang sudah berharap banyak padaku. Lian,Alvent, kak Igo, semuanya. Mereka sangat menyayangiku. Aku ingin hidup Tuhan, sedikit lebih lama lagi bersama mereka. Mama, aku sangat menyayanginya Tuhan, aku anaknya satu-satunya. Aku sangat ingin membahagiakannya.
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=
1 Januari 2010
Satu lagi tahun baru bersama semua orang yang ku kasihi. Rasanya kemarin adalah malam tahun baru terindah dalam hidupku. Semua berkumpul, berbaur dalam keakraban. Berakhir sudah tahun 2009 yang berat kini kami memasuki tahun baru yang masih penuh dengan tanda tanya. Sejuta doa dan harapan terpanjat dari hati. Satu yang sangat ku syukuri saat ini adalah. Hubunganku dan lian sudah di ketahui semuanya, tak ada rahasia lagi di antara kami sekarang. Walau awalnya ada penolakan yang cukup keras dari mereka, namun seiring waktu mereka pun luluh juga. Rasanya tak ada yang lebih bahagia dari itu. satu saja harapku di hari yang spesial ini, bisa menikmati satu lagi, tahun baru yang indah bersama orang-orang yang ku kasihi.
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=
26 Maret 2010
Hari-hari berlalu serasa begitu cepat. Rasanya kian hari kian bahagia saja semuanya. Satu yang paling membuatku bahagia adalah lian dan alvent. Mereka tak lagi berseteru seperti dulu, kini mereka begitu akrab, walau sudah pasti akan terjadi kegaduhan jika mereka bertemu. Mereka berdua sangat cocok, seperti kakak beradik saja. Atau... lebih dari itu. ah entah kenapa aku jadi terbersit menjodohkan mereka. Benar, rasanya alvent adalah orang yang cocok untuk lian, untuk menggantikanku. Aku menyayangi mereka, aku ingin mereka berdua bahagia.
18 Juli 2010
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=
Aku bersyukur. Satu lagi hari indah masih bisa ku nikmati di dunia ini. Senja, senja tadi begitu indah, memang selalu terlihat indah. Mataku tak bosan-bosan memandanginya tadi. Aku betul-betul ingin menghafalkan detil demi detil keindahan di sana. Tak ku sangka tadi kami bertemu dengan dua pengamen yang kami temui tiga tahun yang lalu. Wenny dan Julian. Mereka sudah besar sekarang, aku semakin kagum mereka bisa bertahan sampai sekarang, keduanya sudah malanjutkan ke sekolah jenjang yang lebih tinggi. Betul-betul semangat yang patut ku teladani. Semoga hadiah yang ku berikan tadi bisa terus memotivasi mereka untuk maju. Aku bersyukur, begitu mensyukuri semuanya.
26 Juli 2010
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=
Aku takut, sangat takut. Baru kali ini aku berada dalam ketakutan yang separah ini. Yang terjadi kemarin betul-betul membuatku kalut. baru saja aku merasakan kebahagiaan yang begitu besar, hari ulang tahunku. Kami merayakannya dengan begitu meriah walau hanya dalam ruangan pasien seperti ini. Tiba-tiba aku harus di suguhi pemandangan yang membuatku bergidik. Melihat kak alex meregang nyawa sungguh membuatku tak bisa tenang. Berada di ruangan ini serasa seperti menunggu giliran kita untuk di eksekusi.
11 September 2010
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=
Pantai Kuta ternyata memang sangat indah. Aku langsung jatuh cinta begitu pertama melihatnya. Keindahannya semakin menambah kecintaanku pada pantai. Aku betul-betul ingin menikmati momen liburan ini bersama lian. Aku tahu umurku tak panjang lagi. Aku memberikannya kado ulang tahun untuk tiga tahun ke depan. Semoga kaos-kaos itu cukup untuk membuatnya mengingatku selama batas waktu itu. tiga tahun rasanya cukup adil untuknya, setelahnya ia berhak mencari kebahagiaannya sendiri. Maafkan aku yan.
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=
9 November 2010
Aku menatap cermin. Ada wajah tirus berkepala pelontos di sana. Obat-obat itu agaknya hanya menyusahkanku saja, tak memberikanku perkembangan yang berarti. Menghabiskan rambutku saja. Ku sentuh kasar cukuran rambutku yang tak sampai sesenti lagi. Aku coba tersenyum, ah. Aku masih cukup tampan kok, masih ada lesung pipit kebanggaanku di wajah ini, lebih besar malah. Ah.. aku betul-betul kalah dengan penyakit sial ini. Sebentar lagi, sebentar lagi semuanya akan berakhir. Kalung ini, buku ini, sebentar lagi semuanya akan berada di tangan yang tepat.
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=
15 Desember 2010
Tangan ini semakin sulit merangkai huruf-huruf untuk ku kalimatkan. Jari-jariku rasanya begitu letih untuk menggenggam pena ini. Airmata kini selalu menemaniku dalam menulis kata demi kata dalam buku ini. Oh Tuhan, sampai di sini kah aku.
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=
22 Desember 2010
Hmm.. alvent dan lian semakin mesra saja. Aku sudah mengutarakan maksudku tadi pada Alvent, awalnya dia menolak dengan sejumlah alasan, tapi aku terus memohon hingga akhirnya dia mau juga. Semoga alvent betul-betul orang yang tepat untuk lian. Aku sayang kalian semua.
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=
31 Desember 2010
Mereka lama sekali, aku tak tahan lagi lama-lama di sini. Lupakah mereka dengan keinginanku untuk merayakan tahun baru ini di rumahku saja. Ini mungkin tahun baru terakhirku, kenapa mereka masih saja memikirkan saran-saran dokter sialan itu. aku tak bisa begini terus. tangan ini masih terasa pedih akibat jarum infus yang ku cabut serampangan tadi, teriakan nenek wita dan kakek sumardi tadi tak ku pedulikan. Berbekal taksi akhirnya aku sampai ke rumah ini. Walau harus merangkak menaiki anak tangga menuju kamarku.
Ma, pa.. maafin lio. Anakmu yang tak berguna ini. Lio belum sempat membuat kalian bahagia, belum sempat membuat kalian bangga. Andai kalian baca catatan ini, lio mohon kalian jangan bertengkar lagi. Jangan sekali-kali ada kata cerai dari mulut kalian berdua. Hati lio sakit mendengar semua itu, lio merindukan keluarga kita seperti dulu pa, lio kangen liatin mama dan papa bermesraan. Lio mohon, lio nggak bisa temanin kalian lebih lama lagi. Lio mohon berubahlah untuk lio.
Tanganku tak kuat lagi menulis, cepatlah lian....
====================================================================================================================================================================================
THE END
==Manado , pertengahan Januari 2012==
==Dalam kamar jelek di Gubuk Deritaku==
==With Love==
==penulis yang payah menciptakan ending bagus==
==Ry Rainbow II==
salam
cocok kan ???
ceritanya mengharukan.
thanks^^ udah baca... iya, aq yg nulis aja kadang mewek bacanya. . . .
bru baca ampe page 2 n sukses ngaduk2 perasaan ak yg baca
At first ak suka bngt ma lio n gmna manjaanya dia ke lian tpi ak jdi kesel ma dia,knpa dia rela tinggalin org yg mencintai dia demi org yg dia sukaa huhu~tegaaaa
Suka bngt dah ma cerita km ~