It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Maaf Pak, jadi, yang kemarin itu..” kataku, tapi aku langsung diam saat Pak Unsur menatap tajam ke arahku lalu berlalu tanpa kata.
Bayu mengerutkan alisnya. Aku coba menjelaskan,
“ Anu, kemaren ada insiden kecil di sekolah. Ya...salah paham gitu deh..” kataku.
Ragiel menatapku.
“Yang kemaren itu? Oh..jadi..” katannya sambil menunjukku lalu menunjuk Bayu.
Aku menjawab dengan anggukan. Bayu menoleh ke arahku lalu ke arah Ragiel.
“Ada apa sih sebenernya..?” katanya penasaran.
“ Ini...kema..” langsung saja kupotong ucapan Ragiel dengan menutup mulutnya dengan tanganku.
“Enggak kok, Cuma salah paham kecil..” kataku sembari masih menutup mulut Ragiel.
Bayu manyun. Aku hanya nyengir kuda.
*********
“Pak, apa gak bisa dipertimbangkan lagi..?” tanya seorang perempuan setengah baya bertanya pada suaminya sambil memasukkan pakaian kedalam tas.
“Aku sudah buat keputusan Bu. Dan ini sudah final. Lagipula ini kulakukan juga untuk kebaikan Ragiel. Disana dia pasti bisa berubah menjadi seorang laki-laki sejati, “ katanya dengan tangan terlipat didada sambil melihat ke arah jendela, memperhatikan anak perempuannya yang sedang main bola sendirian.
Bapak paruh baya itu menarik nafas dalam-dalam.
“Tapi apa lebih baik kita tanya dulu sama Ragiel, dia mau apa enggak..lagipula asrama itu kondisinya juga kurang bagus..” kata si ibu mengharap pengertian.
“Tidak perlu. Justru dengan begitu dia tidak akan lembek lagi ”kata si bapa tegas.
”Mau tidak mau dia harus mau. Toh ini juga buat kebaikan dia..” katanya bersikukuh.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam.
“ Bukan kebaikan dia, tapi kebaikan bapak.” Kata si ibu sambil menarik resleting tas dan berlalu tanpa menghiraukan panggilan si bapa.
******
“Bob, ikut gua bentar”.
Aku seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Dia menggiringku ke loteng lalu dia duduk di dinding pembatas loteng. Gila ni cewek, pikirku. Dengan santainya dia duduk berlenggang kaki di dinding pembatas yang hanya setinggi kira-kira setengah meter. Aku ragu-ragu, aku memang agak kurang berani dengan ketinggian, bukan berarti aku takut lho. Dia melirikku dengan pandangan agak meremehkan. Merasa tengsin aku pun mengikutunya dan mencoba duduk disampingnya tanpa berani melihat ke bawah. Dia tersenyum simpul dan memandangku agak lama. Aku merasa risih,
“ Napa lo, kagum sama ketampanan gua?” kataku ngasal.
Dia malah mencibir,
“Hu...kepedean. Gua cuma gak habis pikir. Kok elo..”menggantung,
” Kenapa gua? Gua mah fine-fine aja” timpalku.
“Enggak maksud gua, gua gak nyangka aja kalo yang suka SMS-in gua itu elo. Lo yang sekarang beda banget ama yang dulu..” katanya.
Aku Cuma tersenyum simpul.
“Beda apanya?” tanyaku penasran.
“Ya..beda aja. Lo yang waktu SMP itu kan pendiem banget, teachers pet (anak kesayangan guru), homy (anak lugu dan anak mami)...ya..yang gitu-gitu deh..” katanya.
Aku menimpali,” membosankan maksud lo?” tanyaku menegaskan.
Aku memang waktu SMP agak pendiam. Tapi karena sekarang aku sudah STM yang jauh dari rumahku, aku tinggal sama tanteku. Mungkin karena lingkungan juga aku agak sedikit berubah.
“Ya..”katanya dan langsung kupotong,
“ Iya gitu, gitu aja susah ngomongnya. Mang sekarang gimana?” tanya penasaran.
“ Ya elo yang sekarang, kalo dari isi smsnya sih, gokil sangat lah. Trus penampilan lo juga berubah.”
Aku merasa agak geer.
“Berubah, dulu ingusan sekarang upilan?” kataku ngasal.
“Ah elo” katanya sambil tertawa.
Aku menatap wajahnya saat dia senyum. Hmm ni anak, dari dulu sampe sekarang gak luntur-luntur cakepnya. Dia memang tomboy, berambut gak nyampe sebahu, tak suka berbedak-bedak, (tapi hari ini dia berbedak seadanya dan terkesan ngasal). Aku memperhatikan penampilannya yang sederhana dan terkesan maskulin. Bercelana tiga perempat dan hanya mengenakan kaos Eiger. Tak ada kesan feminim sama sekali.
“Tapi yang gua suka dari lo, lo tuh tetep jadi lo yang dulu. Lo tetep apa adanya. Cuplas-ceplos, mandiri...” kataku.
Dia tersenyum,
”hmm...merayu..” katanya sambil menunduk memandang dan memainkan boneka yang kuhadiahkan.
Aku melambung, baru pertama kali aku melihat dia menunduk malu seperti ini, dia terlihat...susah kujelaskan. Aku rasanya tak menapak bumi. Dan aku merasa ini saat yang tepat untuk mengatakan apa yang sudah bertahun-tahun kupendam.
“Bay..” kataku sambil melihat ke lantai.
Dia melihatku,
”Ya..?” katanya penasaran.
“Mmmm..ga jadi deh” kataku tersipu.
Dia memicingkan mata,
” ih aneh. Kalo mau ngomong mah ngomong aja..” katanya sambil mendekap boneka yang kuhadiahkan.
“ Mmm..sebenernya...aku...gak ah, takut kamu ngambek” kataku menggodanya.
“ih..elo..buruan...” katanya memanja.
Aku semakin melambung, kalo gak salah orang akan menjadi sangat berbeda dari biasanya saat jatuh cinta. Seorang Bayu yang tomboy menjadi sangat pemalu, apakah ini berarti dia mempunyai perasaan yang sama denganku?. Hmmm...kalo saja itu benar. Kucoba kumpulkan semua keberanian didadaku dan ku mulai membuka mulutku,
“ Bay...gua tahu lo gak suka sama yang namanya basa-basi. Tapi gua kenal lo dah cukup lama, dan entah lo sadar ato enggak, sebenernya gua...”
Baru saja aku hendak melanjutkan ucapanku aku mendengar ada ssuara orang yang mengetuk pintu yang sebenarnya tidak kami tutup,
“Tok tok tok..ehmm..kalian ini, dicariin kemana-mana..eh Bay, temen lo pada nyriin tuh..elo malah asik-asikan berduan disini..”
sabar atuh kang..ni sambil posting cerita juga...sok atuh dikripik dulu...heuheuy..
Ragielll.....Gagal, baru saja aku mau nembak Bayu, ah..melihatku cemberut, Bayu hanya tersenyum geli.
“Oh iya, lupa. Elo sih Bob..” katanya sambil meninju lenganku.
“ Yadah Bang, aku temuin mereka dulu. Kalo mau ngobrol, ngobrol aja dulu..” katanya sambil lalu dan menatapku dengan senyuman yang berbeda.
Aku hanya melihat punggungnya yang terus meninggalkanku.
Aku senyum-senyum sendri dan Ragiel juga ikut tersenyum melihat tingkahku
“Ckckck..kayaknya seneng banget..bagi-bagi donk..” katanya menggodaku.
Aku menjadi kikuk.
“Boleh..” kataku,” ntar kukirim deh ke email kamu..” candaku.
Dia hany tersenyum, tapi tidak seperti pas tadi ketika aku baru datang, senyumnya berbeda sekali.
“ Mas dulu SMP-nya dimana?” tanyaku mencoba memecah keheningan.
“Di luar kota.” Katanya singkat.
“Ya dimana? Luar kota kan bisa di Bandung, Medan, Gorontalo..” kataku penasaran.
Dia menanggapinyaa dengan ogah-ogahan dan cenderung enggan membahasnya.
“Ada deh..” katanya singkat.
“Oh..” kataku.
“Kamu dulu sekelas sama Bayu?” katanya mengalihkan obyek obrolan.
“enggak. Dulu kita tetanggan. Gua 1A, dia 1B” kataku menjelaskan.
“Mas perasaan jarang keliatan di sekolah.” Tanyaku.
“ Ya iyalah, kita kan gak sekelas. Lagian kamu kelas satu, aku kelas tiga. tapi kalo inget kamu waktu ospek dulu, kamu tuh, uh...” katanya bersungut-sungut.
Aku hanya nyengir kambing mengingat saat ospek dulu. Aku emang agak parah waktu ospek dulu. Tiap hari pasti telat, gara-gara si Bengbeng, motor bututku sering ngambek pas pagi. Tiap hari aku pasti kena hukum gara-gara telat. Akupun dicap sebagai siswa bandel dan ngeyel karena aku sering menolak instruksi senior yang kurasa gak logis. Setiap break saat sesi kosong atau menunggu pemateri, aku seringkali disuruh kedepan karena banyak kakak kelas yang gak suka. Tapi setiap aku mendapat hukuman, aku tak pernah liat Ragiel menunjukkan batang hidungnya.
“Ya..namanya juga masih anak-anak labil..” kataku sambil garuk-garuk kepala.
“Emang sekarang udah bapak-bapak?” kata Ragiel dan kami berdua pun tertawa.
“tapi, kok Pak Unsur juga ada? Emang dia siapanya Bayu?” kataku penasaran.
Dia diam sejenak. Seperti berpikir.
“Emang napa? Gak boleh?” dia balik nanya.
“ya gak gitu. Kali aja dia omnya..” kataku.
Dia hanya mengangguk pelan. Oh...ternyata mahluk killer buruk rupa itu punya ponakan secaem bayu. ckckck
Lalu Bayu datang dan langsung duduk.
“ Udah pada pulang semua.” Katanya, “eh tadi mau ngomong apa? Sekarang aja. “ katanya.
Gila, masa aku mesti nembak dia di depan kakaknya? Aku gelagapan. Mereka berdua menatapku penasaran.
“ Ada aku ya? Yadah, aku cabut dulu deh..” kata Ragiel.
Tapi Bayu langsung memegang tangannya.
“Apaan sih Bang? Udah duduk sini. “kata Bayu cemberut.
Ssial, kataku. Tiba-tiba hapeku berdering, panggilan masuk.
“Sori.” Kataku sambil berjalan ke belakang.
“Ya halo? ...apa? ..okeh, aku kesana sekarang.” Mereka menatapku.
“ Ada apa?” tanya mereka serempak.
“Sorry, gua mesti balik sekarang. Byasa...”kataku.
Sial, lagi asik-asiknya indehoy, Tante Ida nyuruh balik. Hmmm...gini nih nasib orang yang hidupnya numpang. Aku memang tinggal dengan Tanteku yang pelit dan cerewetnya minta maaf.
“Sorry ya..” kataku sambil melambaikan tangan.
“ Perlu dianter? “ tawar Bayu.
“Gak usah..” kataku.
” Yadah, thanks ya” katanya.
Aku lalu turun ke bawah dan langsung menaiki motorku dan chaw...
******
“ Bang, jangan Bang..jangan..” kata seorang bocah memelas meminta ampun pada dua orang lelaki yang tubuhnya tambun.
“ Gak usah takut de, sini. Gapapa kok, gak sakit..” katanya merayu.
Bocah itu mulai mengalirkan air mata dan sangat ketakutan.
“Ayo sini, atau gesper ini akan mendarat lagi di tubuh kamu. Atau, kamu mau diikat dulu? “ katanya menyeringai dengan muka menahan nafsu.
Lalu tiba-tiba salah seorang bocah yang tambun dan berkullit gelap meloncat dan mendekap bocah itu dan memiting serta menutup mulut bocah itu sedangkan bocah tambun itu segera melucuti pakaian bocah itu. Dan peristiwa biadab itu terulang kembali, untuk kesekian kali.
********
Hari ini aku berbunga-bunga sekali. Kejadian kemarin cukup memberi warna hari ini. Kelas sangat riuh. Biasa lah, guru-guru lebih memilih memberi tugas daripada ceramah berbusa-busa di depan kelas, lagipula cuacanya lumayan panas. Aku masih saja membayangkan hari kemarin. Dan sekarang mungkin saja dia sedang memeluk bonekanya.
Apakah aku harus menelponnya? Jam segini dia pasti sedang belajar di kelas dan aku tentu saja tak mau berada dalam masalah bila ketahuan sedang menggunakan pirantinya.
Apa aku perlu menemui Ragiel dan menanyakan apa yang terjadi setelah aku meninggalkan rumahnya? Apakah Bayu bercerita bahwa dia seperti melayang di angkasa, hatinya berbunga atau tersenyum sepanjang malam tak tak bisa tidur? Atau dia bersikap biasa?
“Ah..aku harus menyakan pada Ragiel” pikirku.
Lalu aku melangkahkan kakiku menuju kelas Ragiel. Tapi ketika melewati lapangan basket, aku melihat orang yang sepertinya itu adalah Ragiel. Tapi ada apa dengan dia? Kulihat dia sedang dikelilingi oleh beberapa siswa kelas tiga. lalu aku berjalan mendekat dan memanggilnya untuk memastika bahwa itu adalah benar-benar Ragiel.
“ Kak Ragiel?” kataku.
Tiba-tiba siswa yang mengelilingi Ragiel dan Ragiel sendiri menoleh ke arahku. Ragiel kelihatan sedang memeluk sesuatu dan dengan raut muka cemas ketakutan.
“ Boby?” katanya pelan seperti memohon pertolongan. Lalu salah seorang siswa yang cukup tambun dengan baju tak berkancing melihatku dengan mata memicing dengan salah satu ujung mulut ditarik ke atas.
“Oh..jadi kamu pacar baru homo ini?” Katanya sinis.
Aku kaget. Apa maksudnya, pikirku. Lalu dia berjalan menghampiriku. Waduh, kacaw.
“Apa maksudnya?” kataku tak kalah sengit.
Merasa diremehkan dia langsung menarik kerah bajuku. Aku tersinggung dan langsung memegang tangannya berusaha melepas tanganya dari kerahku. Tangannya terlepas. Dia menatapku tajam.
“Woy, bocah. Berani lo ama gua?” katanya sambil menjentikkan jarinya memberi isyarat agar semua temannya menghampirinya.
Mataku kuedarkan kesemua temannya. Tentu saja aku kalah jumlah dan posturnya pun aku kalah jauh. Walaupun ini masih dilingkungan sekolah, aku merasa agak ngeri juga, karena ketika ego seseorang disinggung, dia akan lupa tanah yang dipijak. Memang untuk anak seumuran kami msih belum bisa menggunakan logika, kapanpun dimanapun, hajar, masalah belakangan. Aku mulai mencari celah untuk melarikan diri. Kulihat Ragiel terlihat semakin cemas dan oh, tuhan, ternyata dia sedang memeluk boneka monyet. Tapi aku sepertinya tahu. Jangan-jangan itu adalah boneka monyet yang aku hadiahkan untuk Bayu kemarin?
“Dengar bocah, gua cuman minta boneka itu dari si homo itu. “ katanya sambil melirik Ragiel.
Dan Ragiel semakin erat memeluk boneka itu. Aku menatapnya tajam. Kalau itu memang boneka yang aku hadiahkan, aku akan mempertahankanya sampai titik keringat penghabisan.
“Boneka itu? Jadi kakak masih suka maen boneka?” kataku mengejek.
Dia terlihat gusar sekali dan langsung meninjuku. Secara spontan aku mengelak dan langsung menerobos ke celah antara dua temannya langsung menarik lengan Ragiel dan kami langsung berlari. Aku terus saja memegang pergelangan tangannya ketika berlari menghindari kejaran mereka.
Aku sesekali melihat ke belakang, takut mereka masih mengejar dan aku melihat Ragiel yang kelelahan tapi dengan wajah yang sumringah. Dan ketika kami berlari di koridor aku melihat Pak Unsur yang berdiri di seberang koridor dengan raut muka yang sulit kuartikan. Apakah itu roman marah, kaget, senang atau apa. Dan dia hanya memandangi kami yang terus berlari. Lalu kami berbelok ke arah gudang dan bersembunyi dicelah antara gudang dan toilet. Dengan terengah-engah aku menutup mulutku agar deru nafasku tak terdengar. Aku melihat wajah Ragiel yang sama terengah-engahnya. Dia tampak ceria walau berkeringat. Dan tangan karinya masih memaegang erat boneka monyet itu.
Jantungku terasa berhenti berdetak dan aku menahan nafas saat aku mendengar suara mereka.
“Kemana larinya mereka? Sialan. Awas kalo ketemu, gak bakal gua kasih ampun mereka.” Kata salah seorang dengan kesal.
Lalu mereka semuapun meninggalkan tempat persembunyian kami. Setelah beberapa saat, aku memastikan kondisi aman akupun langsung duduk di tumpukan kayu dan tanpa sadar kami berdua tertawa. Aku menatapnya dan dia menjadi gelagapan an tampak merasa bersalah.
“Maaf,” katanya pelan sambil menunduk. ”Aku jadi ngerepotin kamu.” Katanya dengan nada menyesal.
Aku tertawa mendengarnya.
“Nyantai aja lagi, dah biasa kali” kataku untuk mengurangi rasa bersalahnya.
“itu..boneka yang aku kasih ke Bayu kemaren kan?” tanyaku sambil mnunjuk boneka yang dia pegang.
Lalu ia memandang sebentar bonekanya dan terlihat semakin kikuk.
“e..e..iya. aku...Cuma minjem sebentar..” katanya dengan muka memerah “ tapi ntar sore juga aku balikin..” katanya meyakinkan.
Akupun tersenyum. Tiba-tiba aku ingat bahwa sekarang adalah pelajaran Pak Nandang, matematika.
“Maaf kak, aku mesti balik ke kelas. Sekarang pelajaran Pak Nandang. Tapi ada yang mau aku tanyain. “ kataku.
“Apa?” katanya pelan.
Aku sebenarnya malu, tapi aku harus memastikan bagaimana perasaan Bayu padaku sebenarnya.
“Aku mau nanya, ekspresi Bayu tadi malam gimana Kak?” tanyaku penasaran.
Dan kuperhatikan raut mukany tiba-tiba berubah.
“Maksud kamu?” tanya dia.
“Ya...dia ga ngomong apa-apa ma Kakak? Jujur kak, aku suka dia itu dari dulu. Dan aku berencana buat nembak dia. Menurut kakak dia bakal nerima ato enggak ya?” Tanyaku penasaran aku berharap dia akan mengiyakannya.
” Mmm..jujur aku gak tau. Malam juga kami gak banyak ngobrol. Mungkin kecapekan kali dia, makanya langsung tidur...” katanya menjelaskan.
“ Ya udah, aku duluan ya” katanya sambil meninggalkan aku.
Aneh, pikirku. Lalu aku berlari ke kelas.
*******
“ Pak Unsur..” lirihku pelan.
“Maaf Pak, saya..” kataku hendak menjelaskan dan langsung dipotongnya.
“Kamu ini... Pak Nandang sakit, dan beliau menyuruh saya menggantikannya mengajar. Darimana kamu?” selidiknya.
“Anu Pak, saya..” kataku gelagapan.
Lalu pandangan matanya menyapu ruangan dan berkata lantang,
“Baik anak-anak, kalian kerjakan soal latihan hal. 13. “ katanya.
Suasana riuh,
“Tapi Pak, bab ini belum diajarkan pak Nandang..” protes Didit.
Lalu Pak Unsur memandang tajam ke arahnya.
“Kerjakan dan sekembali saya tugas itu harus sudah selesai.” Katanya sadia.
Kelaspuin kembali riuh tapi tak ada yang prots.
“okeh, Virus, kamu ikut saya ke kantor.” Katanya sambil lalu.
Mampus gua, entah apa yang membuat orang ini begitu membenciku
Aku seperti kerbau dicocok hidungnya, mengekornya menuju ruang guru. Tak ada dialog, perjalanan menuju ruang guru membuatku semakin deg-degan. Aku bahkan tak mau membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Di koridor menuju ruang guru aku mendapati gerombolan tadi tekekeh-kekeh melihatku mengekor Pak Unsur. Lalu seorang diantaranya menarik tangannya melintasi lehernya. Aku balik menatap tajam mereka. Dan ketika aku memasuki ruang guru aku melihat roman heran. Mata mereka mengikuti langkahku yang masih membuntuti langkah Pak Unsur lalu memasuki ruangannya.
Aku memasuki ruangan Pak Unsur, dan kemudian beliau duduk di kursinya. Aku berinisiatif mengambil kursi dan langsung duduk. Beliau yang sedang menulis entah apa langsung melirik sebentar padaku tajam, aku merasa kikuk lalu berdiri lagi. Ruangan ini memang tidak bera-AC tapi aku merasa tubuhku dingin. Dan kalau aku bercermin mungkin aku akan melihat wajahku pucat seperti tak berdarah.
“Ada hubungan apa kamu sama Ragiel?” tanya beliau.
Aku kikuk, tak tahu harus menjawab apa.
“Saya?” kataku gelagapan.
“Iya kamu, masa Mang Ihin?” katanya datar.
“Maksud Bapak?” aku merasa bingung.
Lalu beliau menarik nafas dalam.
“Kamu sama Ragiel...” katanya menggantung.
Kini aku paham apa yang dimaksudkan Pak Unsur.
“Maksud Bapak saya dan Ragiel itu...jeruk makan jeruk?” kataku.
Aku ikut menarik nafas dalam-dalam.
“Sebenarnya saya bingung Pak. Apakah kejadian kemarin, Bapak percaya? Maksud saya Bapak percaya kalau saya emang...jeruk? Saya bingung harus bagaimana meyakinkan Bapak juga anak-anak yang lain.” kataku coba menjelaskan.
Tapi tak ada reaksi apa-apa yang kulihat darinya. Dia hanya berjalan menuju jendela lalu memandang ke arah lapangan sambil mengepalkan tangannya di belakang.
“Bisa kamu jelaskan kejadian tadi?” katanya tanpa melihat ke arahku.
Aku tersentak. Apa mungkin beliau menyangka aku dan Ragiel ada affair karena kejadian tadi?
“ Kalau kejadian tadi, saya hanya coba membelanya saja ketika dia diganggu anak-anak basket itu.” belaku.
“Saya tak meminta Bapak percaya dengan penjelasan saya, tapi setidaknya saya ....” lanjutku yang kemudian beliau potong.
“Ya, saya tahu. Dan ada satu hal yang ingin saya tanyakan, bagaimana perasaan kamu terhadap Ragiel?” kata beliau sambil berbalik arah dan matanya serasa masuk kedalam hatiku mencari-cari jawaban.
Aku merasa kaget dengan pertanyaannya.
“Maksud Bapak?” aku balik bertanya karena merasa heran dan belum memahami situasi yang rumit ini.
“Maksud saya, apakah kamu...menyukainya?” katanya.
Kulihat raut mukanya tak dapat kujelaskan. Ekspresinya begitu rumit. Ada roman kesedihan, cemas, senang, entahlah.
“Saya tak tahu harus jawa apa Pak. Saya tak begitu kenal dia. Tapi kalau Bayu, adiknya, dia adalah teman SMP saya.” Kataku masih bingung.
Beliau menunduk lalu menatapku penuh hrap.
“Lalu bagaimana kalau dia ..menyukaimu?” tanya beliau dengan mata merah.
*******
hmm, awalnya aw gak terlalu suka bikin yang pake POV, cz menurut w sih kalo pake pov kita bisa tau perasann tiap-tiap karakter. kalo satu sudut pandang doank, kita dibikin penasaran sama perasaan tokoh laen. tapi makasih, ntar w coba pake sudut pandang lain. tapi sudut pandang siapa ya?
“Jangan ambil bonekaku Yah, kumohon...” mohon seorang anak SMP sambil menangis dan berusaha melepaskan pelukan ibunya.
“Kamu ini anak laki-laki. Ayah sudah sekolahkan kamu disana agar kamu mandiri. Tapi apa hasilnya? Kamu masih saja menyimpan boneka ini. “katanya sambil mengacung-acungkan sebuah boneka monyet.
Sementara itu sang ibu hanya bisa terisak sambil menahan anaknya yang berusaha merebut bonekanya. Lalu ayahnya berjalan ke halaman dan melemparkan boneka itu ke dalam tong.
“Lihat, ayah akan bakar boneka ini, ingat, kalau kamu ketahuan lagi menyimpan boneka, kamu tau sendiri akibatnya.” Ancam ayahnya.
Lalu dia menyalakan korek dan melemparkannya ke dalam tong. Anak itu menjerik-jerit sementara boneka itu terbakar. Dia menangis sejadi-jadinya dan berusaha menyelamatkan boneka itu, tapi ayahnya yang memiliki badan dan juga tenaga lebih besar mendekapnya. Dan ketika seluruh boneka itu hangus terbakar, anak itu masih berusaha melepaskan diri dari dekapan ayahnya dan memukul-mukul sebisanya ke arah ayahnya.
“Ayah jahat. Ayah gak pernah bisa mahamin Agil. Ayah egois. Ayah gak tahu apa yang Agil rasain, ayah gak tahu apa yang Agil alamin sekarang ini. Sampai kapanpun Agil gak bakalan pernah maafin ayah.” Katanya sambil terisak lalu berlari sekencang-kencangnya meninggalkan rumah itu tanpa memperdulikan panggilan ibunya yang berusaha mengejar dan memanggilnya.
********
“Maksud Bapak apa?” tanyaku semakin kebingungan.
Pertanyaan itu saja sudah membuatku sangat bingung, ditambah lagi ekspresi Pak Unsur yang sangat aneh, mata beliau berkaca-kaca.
“Tadinya saya hendak menemuinya untuk menanyakan Bayu, tapi waktu di lapangan basket saya liat dia sedang diganggu anak-anak basket. Sya cuma berusaha bantu dia yang tadi diganggu karena anak-anak basket berusaha mengambil boneka monyet yang dibawa Kak Ragiel dan sebenarnya boneka itu adalah boneka yang saya hadiahkan untuk Bayu dan...” kataku terputus.
“sebenarnya ada apa ini Pak?” tanyaku minta penjelasan.
Beliau menghela nafas panjang lagi,
“ Dia adalah anak saya...” katanya dengan nada berat.
Aku kaget setelah mendengar penjelasannya. Bukankah kata Ragiel pak Unsur itu omnya?
“..dan saya mohon kamu jangan pernah sakitin dia.” Katanya sambil membalikan badan.
Kulihat dia mengusap matanya dengan ujung lengan bajunya.
“Dan mengenai boneka monyet itu, bapak harap kamu mengikhlaskannya untuk dia.” katanya tanpa melihatku.
Aku semakin tak mengerti. Kenapa aku harus merelakannya? Walaupun itu telah kuberikan pada Bayu tapi ...ah, aku bingung. Rasanya untuk sebuah boneka, tak sulit buat dia beli, tapi kenapa harus boneka monyet yang kuberikan ke Bayu?
“Ini, hape kamu, saya kembalikan” katanya sambil menaruh hape kesayangku yang di atas meja.
Aku raagu-ragu mengambilnya.
“mm..pak..” kataku ragu. Apa beliau sudah baca semua SMS-ku?
Dia tersenyum.
“Bapak sudah baca semua. Jadi intinya, kamu itu...” katanya sengaja tidak dilanjutkan.
Aku Cuma hahahehe.
“Boleh pak?” tanyaku dengan mata merajuk.
“Apanya yang boleh..?”
“itu pak...sama...Bayu...”
“kalau semester ini nilai kimia kamu sembilan, saya kasih kesempatan. Tapi dengan satu syarat, kamu tidak boleh mengecewakan Ragiel.”
Aku bingung, aku diberi kesempatan sama Bayu, tapi tidak boleh mengecewakan Ragiel? Nah lho, apa maksudnya?
“kembali ke kelas” katanya setelah kembali duduk.
Akupun keluar dengan gontai (halah, gontai, apaan tah?)
******
Dengan langkah gontai dan ribuan pertanyaan memenuhi isi kepalaku aku meninggalkan ruangan Pak Unsur. Aku meninggalkan ruang guru menuju kelas dan ketika aku masuk kelas suasana menjadi hening. Semua murid melihat kearahku. Aku langsung duduk di kursiku tanpa memperdulikan teman-temanku yang memberondongku dengan banyak pertanyaan.
Aku hanya diam hingga bel berbunyi. Semua anak mulai mengumpulkan tugas dan semua bergegas pulang. Akupun mulai merapikan tasku.
“Ada apa Bob? Lo dikasih sanksi berat?” tanya Didit penasaran.
Aku cuma geleng kepala. Dia semakin heran.
“Kok? Terus tadi diapain di kantor Pak Unsur?”
Aku memandangnya lama dan kembali menggelengkan kepalaku.
********