It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“iyaiya..ini juga udah cepet-cepet...hoh hoh hoh..”
“Yah..kita kalah lagi A..” kata bocah itu.
“hahaha. Kita menang lagi...give me five..” kata si item ke partnernya dan mereka sekarang melakuakn tost. (tos, tost apa toast sih yang bener??)”
Aku masih ngos-ngosan. Ya, kami barusan habis balap sambil menggendong bocah kecil dan aku kembali kalah. Si bocah CIA tersenyum meremehkanku. Dasar pengkhianat. Aku lantas duduk di pasir sambil ngos-ngosan.
“gua nyerah tem...cape mampus guah..hoh..hoh..hoh..” kataku
“hahah. Yadah, istirahat dulu. Gua mau foto-fotoin bocah-bocah dulu..woy, barudak..poto-poto heula..”
“siap A..”
Lalu mereka menghampiri si item dan mulai berpose dengan noraknya sampai aku tertawa terbahak-bahak melihatnya. Tapi melihat bocah-bocah kecil itu tertawa tanpa beban, tanpa memperdulikan pendapat orang, aku tersenyum-senyum. Andai aku bisa seperti itu, bisa tertawa lepas seperti tanpa beban dan tanpa masalah, tak apa-apa aku dibilang norak. Kutarik ucapanku, mereka buakan norak, tapi mereka ekspreif.
Si bocah CIA itu naik loncat dan yang lain bergulingan, lalu berpose seperti pahlawan bertopeng dan banyak pose-pose lain yang menunjukan ekspresi mereka. lalu mereka bertiga menggali pasir dengan tangan mereka seperti berlomba. Setelah cukup dalam dengan panjang hampir setinggi tubuh mereka, bocah CIA itu lalu berbaring dan dua bocah lainnya mulai menguburnya dengan pasir. Keduanya tampak bersemangat sekali. Si item hanya tertawa-tawa melihat mereka sambil mengambil poto mereka.
Aku hanya senyum-senyum. Si bocah CIA dengan nyamannya masih berbaring dan bocah yang jadi partnerku tadi iseng membentuk gundukan didepan dada kanan kiri si bocah CIA dan menambahkan sebuah baru kecil dipuncaknya. Terlihat persis seperti (maaf) buah dada perempuan. Kami semua tertawa terbahak-bahak. Lalu si bocah yang satu lagi membuat semacam menara kecil di bawah pusar bocah CIA itu menyerupai titit. Jadilah sebuah adikarya karya trio mesum itu, seorang shemale. Hadeh, ternyata mereka sudah tahu yang namanya shemale. Paraaahhh...hahaha.
Tak lupa si item mengabadikannya lagi sambil tertawa-tawa geli. Lalu dia melihat jam tanganya.
“wah, udah sore. Aa nyari motel dulu ya...” katanya lalu memakai lagi tas punggungnya. Dia tersenyum kearahku dan mengulurkan tangan. Aku meraihnya lalu berdiri.
“yuk..”ajakku lalu berjalan.
Si item lalu berjalan cepat dan sekarang mendahuluiku lalu berhenti dan berdiri membelakangiku.
“apa tem?”
“lo pasti capek tadi ya? Yuk, gua gendong”
Aku hanya diam.
“ayo...”
Lalu dengan ragu aku naik kepunggungnya. Setelah dia mengimbangi, dia lalu mengapit paha bawahku dan berlari. Aku tertawa-tawa. Kami terlihat seperti anak kecil memang, tapi masa bodo. Dan kulihat ada tiga orang anak kecil itu tertawa melihat kami. Aku lalu menyandarkan kepalaku ke pundaknya. Maaf sab, aku tak bisa mengendalikan perasaanku sekarang.
Lalu kulihat ada kawasan yang dipagar. Mungkin itu adalah kawasan cagar alamnya. Kami lantas tengok kanan kiri dan gak ada yang liat, kami manjat pagar, persis anak sekolah yang hendak mabal. Dan setelah sampai di dalam, aku melihat ada beberapa monyet. Mereka tampak berjalan-jalan. Lalu aku mengambil kameraku dan hendak memotretnya karena terlihat lucu sekali monyet itu. Tapi sial, monyet itu terlihat gusar dan memamerkan gigi mereka yang runcing dan berlari kearahku. Aku sontak teriak dan lari menghampiri si item. Si item lantas mengambil potongan kayu dan mengacung-ngacungkannya le arah monyet itu. monyet itu diam mengantisipasi dan mereka berdua saling tatap. Konyol memang. Lalu si itemmeraih pinggangku dan masih tetap mengawasi monyet itu. Kalau monyet itu bisa ngomong, mungkin dia akan bilang, dasar pasangan homo aneh, gua kan Cuma pengen eksis aja. biar keliatan keren di mata monyet-monyet jantan itu. hadeh..
Setelah cukup jauh berjalan, kami keluar dari gerbang Cagar Alam dan kembali berjalan ke pantai. Lalu tiba-tiba dia menghentikan langkahnya.
“sal, tuh liat, sunset..” katanya
Aku mendongakka kepalaku dan kulihat langit yang memayungi lautan luas itu menjingga. Indah sekali. Aku kemudian duduk. Diapun ikut duduk. Desau angin dan debur ombak yang sekarang kudengar. Kami masih terdiam menikmati suasana ini. Tak ada kata-kata romantis, tak ada kata-kata dramatis, tapi dengan mengajakku melihat ini semua, aku tak perlu lagi mendengar rayuan gombalnya. Cukup dengan desah nafasnya saja aku tahu perasaannya. Cukup dengan tatapan mata kamu itu aku tahu apa yang kamu rasakan. Aku lalu menyenderkan kepalaku di pundaknya. Dan dia lalu merangkul pundakku. Entah lah, apakah aku salah. Tapi yang pasti, rasa nyaman ini, rasa syahdu ini, kembali menghangatkan hatiku.
******
“tem, nyari makan apa?” Tanyaku ketika dia sedang mengunci pintu kamar motel.
“sedapetnya aja...lo suka siput kan?”
“sea food sih gua suka, kalo siput mah ogah..”
“hahaha. Maksud gua tuh sea food (dibaca sea fud, pake f)”
“jiah orang sunda emang paling susah ngomong F”
“hey, itu PITNAH..”
“hahah. Fitnah kali..”
“hahah”
Kami lantas turun karena kmar kami ada di lantai dua. Setelah berjalan melewati gang kami lalu melihat-lihat di sepanjang jalan, ada beberapa rumah makan, hotel, bungalow, warung-warung makan dan toko yang menjual cinderamata.
“makan dulu belanja dulu..?”
“belanja gak konsen kan kalo perut laper..”
“tumben lo pinter sal”
“hahah. Baru nyadar lo?”
Lalu kamipun memilih tempat makan. Standar sih, saung-saung gitu lah. Aku hanya mesen nasi goreng sea food, sedang dia memesang capcay dan ikan bakar.
“sal, pacar lo gimana?” katanya sambil buka-buka daftar menu
Aku gelagapan.
“gak gimana-gimana...”
“terus semalem?”
“gapapa. Cuman masalah kecil kok. Terus lo sama Sabrina gimana?” kataku balik nanya. Aku belum mau bilang apa-apa dulu ke dia tentang nabil.
“gua gak tau sal. Ternyata susah yah jalani hidup sama orang yang gak kita sayang. Padahal dulu guru ngaji gua bilang, mama sama ambu (Mama itu sebutan untuk guru ngaji dan sedang Ambu itu untuk istrinya) juga dijodohin. Mereka langsung lamaran dan gak lama langsung nikah. Tapi sampai sekarang masih rukun dan tambah harmonis. Tapi ternyata gak segampang itu sal. Ternyata menyamakan persepsi dan kebiasaan dua kepala yang berbeda itu gak semudah konteksnya. Terlebih gua kan sayangnya sama orang lain”
Aku hanya diam tak berkomentar.Aku juga bingung, tapi semua sudah terlanjur.
“Yang pasti tugas kamu sekarang lo mesti bahagian dia tem”
Sekarang giliran dia yang diam. Tapi untung si pelayannya keburu dateng membawa pesanan kami.
Aku menyendok nasi gorengku sambil sesekali melihat kearahnya. Dia juga tampak sama, terlihat kikuk. Perasaan kami mungkin memang campur aduk sekarang.
“gua nyobain capcaynya” kataku sambil menyendok capcaynya. Dia hanya senyum. Kamipun makan tanpa banyak bicara.
*****
21.15 wib
“tem, gua pilih yang mana nih...”
“hadeh, gitu aja kok rempong sih. Yang ijo aja lah..”
“masa yang ijo...yang oranye ya..”
“haduh. Ya seterah deh”
Lalu akupun memilih yang warna cokelat yang ada gambar monyetnya.
“lo, katanya mau yang orange, tapi kok jadinya yang coklat?”
“heheh. Abis gambar monyetnya lucu..kaya lo tem. Hahah”
“sialan lo”
Lalu setelah membayar dua buah kaos yang warnanya beda tapi gambarnya sama, aku warna coklat, dia warna putih. kami pun berjalan lagi. Tiba-tiba dia menarik tanganku.
“sal, ada Pattrick”
“hah?”
“pattricknya Spongesbob” kata item dengan wajah berbinar.
Dia memang penggemar acara Spongesbob square pants. Terdengar aneh memang. Tapi katanya imajinasinya yang dia suka. Ketidaklogisan setting tempat dan kejadiaan-kejadian seperti ada pantai di dalam laut, membuat dia tak pernah absen nonton acara itu sebelum berangkat kerja.
“hahah. Iya, bintang laut. Keren tem..beli tem..”
“iya, gua beli satu. Ini bagus gak?” tanya dia meminta pendapatku sambil menunjuk ke arah hiasan jam dinding dari pasir warna hitam yang didalamnya ditempeli beberapa buah hewan laut, seperti kerang berbagai spesies, bintang laut kecil dan beberapa spesies lain. Terlihat unik sekali.
“bagus tem. Beli beli beli..” katanya.
“lo mah emang tiap yang diliat pasti bilang bagus terus beli. Tapi emang bagus sih. Beli ah..”
Lalu dia membayar setelah menggondol kerang laut ukuran besar, jam dinding dari pasir yang ada tempelan kerangnya dan jam pasir ala timur tengah yang bisa dibalik-balik.
“kok beli jam pasir juga?”
Dia tersenyum simpul tanpa menjawabnya. Dan kami segera kembali ke motel karena besok akan segera menuju ke Green Canyon.
Aku menatap langit-langi kamar ini. Acara tv cukup membosankan sehingga pikiranku menerawang. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa sampai saat ini nabil belum juga menghubungiku? Apa ini artinya dia lebih memilih gadis bernama Tania dan akan segera mencampakanku?
Kudengar suara kecipak air di kamar mandi. Si item memang baru mandi. Aku baru sadar, bahkan setelah semua yang terjadi, aku akhirnya kembali lagi bersama dia. Apakah kami memang digariskan untuk bersama? Aku tak tahu karena yang menentukan takdir itu adalah tuhan. Ya, tuhan yang maha kuasalah yang menentukan semua ini.
Lalu kudengar pintu kamar mandi dibuka dan terciumlah wangi sabun floral yang segar. Dia keluar dengan hanya mengenakan handuk saja. Aku sontak kaget karena ini pertama kalinya dia keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk saja. Biasanya dia masuk sambil membawa baju ganti dan keluar sudah berganti baju.
Aku melongo menatapnya. Aku baru sadar bahwa dia memiliki tubuh yang indah. Kulitnya gelap, tapi terkesan cowok sekali. Ada bulu halus menjalar dari dada sampai ke bawah pusar dan berujung di pusatnya. Dia memang tak berotot. Tapi kekekaran tubuh masa lalunya hasil penggemblengan Paskibraka masih jelas terlihat. Darahku berdesir melihatnya. Kemudian dia menatapku dan melepas handuknya. Mataku membesar dan untuk pertama kalinya aku melihatnya menggunakan celana boxer. Ya, dia berdiri didepanku hanya dengan celana boxer dan tonjolan besar itu mengesankan sesuatu yang liar.
Jujur, aku hampir tak bisa mengontrol diri, aku lantas menutupi wajahku dengan selimut. Lalu kudengar ranjang yang kutiduri berderit halus. Dadaku deg-degan. Pikiran aneh mulai melayang-layang di otakku. Gak mungkin, gak mungkin dia akan melakukannya padaku. Nafasku mulai memburu dan dedeku tak bisa kompromi, dia melesak dan menyempitkan celanaku. Aku lalu memiringkan tubuhku dan aku merasa dia masuk ke dalam selimutku. Aku pura-pura memejamkan mata. Dan dia ikut memiringkan badannya dan menghadap punggungku. Nafasnya yang teratur terasa sekali menghembusi leherku. Aku bergidig dan seluruh bulu-bulu halus di tubuhku rasanya berdiri.
“sal..” ucapnya lirih.
Aku hanya diam tak menjawab dan pura-pura tertidur.
“gua tau lo belum tidur..”
“hhmm” gumamku tak jelas.
“gua mau ngasih satu pilihan buat lo. Gua tau lo dulu sering curi-curi kesempatan waktu tidur sama gua..”
Aku masih diam. Jadi dari dulu dia memang tau. Tapi kenapa gak pernah protes?
“sekarang lo balik badan lo.”
Aku masih diam, dan ternyata dia membalikan tubuhku. Aku masih pura-pura terpejam. Tapi langsung kaget karena dia mencium kelopak mataku. Sontak aku membuka mataku dan menatap matanya. Dia tersenyum.
“sekarang gua terlentang disini...dan gua gak bakal ngelawan. Lo boleh ngapa-ngapain gua sekarang. Dan apa yang akan terjadi antara kita malam ini akan nentuin apa yang bakal gua ambil kedepannya. Sekarang gua bakal tutup mata gua. Dan lo...terserah lo mau ngelakuin apa sama gua.” Katanya lalu menutup matanya.
Badanku gemetar. Raga yang selama ini aku rindukan, aku khayalkan dalam imajinasi terliarku, sekarang terlentang dihadapanku dengan pasrahnya. Mungkin sikap pasrahnya adalah representasi dari dari sayangnya padaku, rasa sayang yang gila. Ya, sekarang dia sudah gila. Tapi aku sayang dia. Aku sempat gila karena dia.
“masihkah kita anut benar dan salah? Bahkan dengan memiliki rasa inipun kita salah. Gua capek sal terus bersikap munafik. Gua sayang elo. Gua butuh elo. Gua...mau elo..” katanya masih memejamkan matanya dan kulihat ada air mata menitik di ujung matanya.
Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang? apa aku akan terus mengikuti nafsuku atau aku akan menjadi mahluk paling naif dan munafik dengan menolak ini semua?
******
Kubuka mataku dan kulihat dia masih mendengkur halus. Kutatap wajahnya, tampak tenang sekali. Aku yakin dengan apa yang kulakukan semalam. Ya, aku yakin dengan keputusanku. Karena penyesalan itu tak mungkin di awal, tapi pasti akan terjadi di masa yang akan datang.
*****
Badan kami masih melenggok kanan-kiri mengikuti jalannya angkutan pedesaan yang menuju ke green Canyon. Kulihat Isal, dia tampak mengulum senyum dari tadi. Aku bahagia sekarang. Bahagia karena melihat senyumnya lagi, bahagia karena bisa berdua dengannya lagi meski aku tahu ini salah. Tapi lupakan benar dan salah. Aku sedang menikmati keegoisanku.
Kudengar penumpang masih asik mengobrol satu sama lain. Satu hal yang kunikmati disini. Aku mendapati dialek bahasa yang unik. Campuran bahasa sunda dan jawa cilacap. Kadang ada kata-kata yang kumengerti dan lebih banyak lagi yang aku gak ngerti. Bahasa sunda dengan logak jawa ataupun logat jawa berlagam sunda. Aku senyum-senyum mendengarnya.
Perjalanan cukup jauh. Dan setelah membayar lebih, si sopirpun mau mengantarkan kami sampai ke depan gerbang Green canyon. Kami celingukan kerena ternyata disini perahu disewakan untuk lima orang, sedang kami hanya berdua. Cukup sulit juga untuk mencari teman yang ngeteng atau perseorangan. Lalu tiba-tiba ada yang menepuk pundakku.
“kang Aga ya?” aku lantas menoleh ke arahnya.
Aku lamt-lamat mengingat wajahnya.
“kang Egi? Aduh si akang..awis tepang euy..”
(kang egi? Aduh, lama gak ketemu ya?)
“gimana sehat kang?”
“alhamdulillah. Sama siapa ini teh?” tanyaku sambil melihat ke arah gadis yang ada disampingnya.
“sama istri kang. Ai akang kesini sama siapah?”
“sama temen.” jawabku
“kok kayak yang lagi bingung ini teh?” tanya dia lagi.
“iya nih. Mau naek perahu tapi kami Cuma berdua..”
“oh, barengan atuh. Da saya ge cuman berdua” ajak kang egi.
“akhirnya..sal, yuk, kita dapet temen nih,” kataku ke isal yang masih berdiri sambil membaca selebaran.
Lalu isal menghampiri kami dan dia langsung mengulurkan tangan
“isal..” katanya sambil tersenyum.
“Egi. Ini istri saya, Erna..” dan mereka pu bersalaman.
Kami berempat lalu naik ke perahu dan mengambil posisi berbanjar karena hanya muat satu orang, tak bisa duduk berdampingan.
“kang, waktu itu teh yah, saya lagi maen ke sekre. Ketemu sama teh Novie.” Kata kang egi.
Deg. Novie? Kulihat isal, dia tampak terkejut juga lalu pura-pura mengalihkan pandangan.
“dia nanyain kamu tau gak kang.”
Aku hanya senyum-senyum.
“tapi denger-denger akang teh udah nikah ya?”
“iya” jawabku singkat.
“sama PPI juga kang?”
“bukan”
“kirain teh yah, akang nikahnya sama teh novie. Padahal mah kalian teh cocok pisan. Serasi lah. Tapi kayaknya dia juga suka sama kang aga dulu teh. Cuman karena dalam satu oraganisasi gak boleh pacaran aja kali dia jadi malu-malu...“
Kulihat isal, sekarang mukanya terlihat merah. Pasti dia sedang cemburu.
“teh Erna PPI juga?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Bisa-bisa isal nyebur ke sungi ini lagi.
“iya kang”
“dia tuh junior kita Kang. Akang sih gak ikut pengasramaan junior..”
“waktu itu teh kan saya lagi PKL kang..” kilahku.
“oiya ya. Halah, ngeliat teh novie ngelatih pembawa baki teh asa merinding siah kang. Apalagi waktu dia naik tangga, haduh, gerakannya teh bener-benar..”
“ehm..” erna berdehem sambil melirik ke arah kang egi.
“tuh teh, ati ati teh...” kataku menggodanya.
Aku lantas mendekati isal dan menawarinya minum. Tapi dia hanya diam saja. Aku tahu dia cemburu sama yang namanya teh Novie seperti waktu aku ajak dia ke makan di kafe itu. Dia melihat novie dengan pandangan tak biasa.
“sal liat. Keren yah?” kataku sambil menunjuk ke arah tebing-tebing batu, mencoba mencairkan hatinya, tapi dia hanya diam saja.
“sal, karang-kanrangnya gila..eh..ini kok netes, darimana? Buset sal, batu-batunya netesin air” kataku lagi
“....” dia masih merengut.
“sal, ada buaya” kataku bohong dan ternyata dia masih tak terpancing.
“....”
“sal, liat, ada putri duyung..”
“....”
“sal liat..”
“udah ah. Mau ada genderewo juga gua gak peduli.” Katanya ketus.
Haduh, cemberut lagi. Kulihat kang egi malah lagi pelukan ala titanik di ujung perahu. Dasar, tidak memiliki jiwa corsa. Temen sedang berantem malah bermesra-mesra ria.
Kuambil handycamku lalu menshoot wajahnya. Dia masih cemberut, lalu kuarahkan ke wajahku.
“halow garuterz semua, sekarang gua lagi ada di green Canyon. Tapi ternyata temen gua si manja isal dari tadi manyun mulu...dia kan senyum aja jelek, apalagi kalo manyun.”
kulihat dia melotot kearahku dan langsung ku shoot.
“tuh kan...tambah jelek. Padahal pemandangan disini romantis banget. Liat noh, temen gua lagi berpose ala titasik” sambil mengarahkan ke mereka berdua lalu kembali menshoot wajahku.
“kang, udah sampe nih, sekarang tinggal terserah akang. Mau lanjut renang atau balik lagi..” tawar si mamang.
“tapi dijamin nyesel kang kalo Cuma sampai sini mah.” Rayunya lagi.
Memang, ngeliat pemandangan seindah dan sekeren ini sangat sayang kalo dilewatkan. Aku meminta persetujuan kang egi. Kang egi sih mau, tapi istrinya yang gak mau. Kulihat isal, dia masih cemberut.
“oke garuterz, ternyata si isal itu orangnya cemen. Dia gak berani renang, cemen ah..” kataku memanas-manasinya.
“hey...iya iya..kita renang” katanya sambil cemberut.
Lalu setelah nego harga, si mamangnya menyerahkan tiga buah jaket pelampung dan kami langsung memakainya. Kamera digitalku kuserahkan padanya untuk mengabadikan momen-momennya. Kami lantas naik ke bebatuan dengan hati-hati. Kupegangi tangan isal dan aku disuguhi pemandangan yang spektakuler. Isal sekarang tersenyum dan aku lantas loncat dan langsung berenang. Isal dan kang egi tampak mengikuti kami. Kami berenang mengikuti pinggiran tebing karena arusnya cukup deras.
“kang, poto dulu” kata si mamang.
Lalu kami bertiga berpoto lagi beberapa pose. Kadang aku sama isal, kadang sama kang egi. “kang, saya udahan ya. Kasian istri sendiri.” Kata kang Egi dengan raut kecewa. Dari tadi memang istrinya terlihat gak tenang.
“yaudah atuh kita juga”
“gak usah. Nyantai aja. kita mau foto-foto disana aja. lanjutin aja, gapapa kok”
Lalu dia berenang kembali menuju istrinya dan kami melanjutkan perjalaan. Si mamangnya masih berenang mengikuti kami. Kulihat dia membungkus kameraku dengan platik. Kadang dia mendahului kami dan memoto kami dari depan. Aku lalu naik dan isal juga ikut naik. Lalu aku memamerkan otatku dan isal tampak tertawa melihatnya, tentu saja karena aktivitasku yang tak terlalu berhubungan dengan otot membuat massa ototnya tak terlalu besar. Tapi bekas pengasramaan paskibraka dulu masih tampak.
“kang, berani gak loncat dari atas batu itu?” tantang si mamang.
Aku lalu melihat ke arah batu besar yang tingginya sekitar 20 meter. sedikit ngeri memang tapi aku penasaran dengan sensasinya. Kulihat ada anak kecil yang lompat sambil tertawa. Anak kecil aja berani, masa aku enggak?
“oke. Sal?” tanyaku ke arah isal
Kulihat dia agak takut-takut.
“ayo...”
“gua..”
“tenang..ada gua..”
“tapi tem..”
“lo liat mata gua. Gua pasti jagain lo. Tenang aja” kataku sambil menatapnya dan dia dengan ragu mengangguk.
kami lantas merangkak sambil memegangi dinding karang itu untuk mencapai ke atas. Sebenarnya cukup ngeri juga. tapi aku malu sama isal. Masa gini aja gak berani? Aku harus terlihat keren di mata dia. Peacocking dikit lah didepan dia.
“Ayo kang. Nanti pas waktu loncat, saya poto” teriak si mamang.
Kulihat isal tampak ketakutan.
“ayo sal, lo mau barengan apa sendiri-sendiri?”
“barengan aja ya?”
“yaudah..yo”
Aku lalu memegang tangannya. Dia erat sekali memegang tanganku dan beberapa kali melihat ke arahku. Aku tersenyum untuk meyakinkanya. Kami sedikit demi sedikit bergerak maju dan sesekali isal melihat kearahku dan melongok ke bawah. Memeng cukup ngeri.
Lalu setelah jaraknya cukup pas, aku melihat ke arahnya sambil mengangguk.
“siap sal, satu... dua..tiga..”
Kami berdua loncat dan kurasa dia memejamkan matanya. Rasanya jantung mau copot waktu loncat. Cuma beberapa detik untuk sampai ke bawah tapi rasanya lama sekali. Dan aku menikmati sensasi baru, lebih mengasikkandari naik Hysteria di Dufan. Dan saat kakiku menyentuh air, dan badanku terpelesak ke dalam, aku masih menutup mataku dan refleks aku meluncur ke atas untuk menghirup oksigen. Sepersekian detik aku baru sadar, isal. Aku gelagapan mencarinya dan aku menyelam lagi sambil tanganku menggapai-gapai.
“isal..” lalu tanganku menangkap tubuhnya. Dia terbatuk-batuk dan matanya merah sekali. Hidungnya juga mengeluarkan air.
“lo gapapa sal..?”
“uhuk-uhuk..”
Aku lalu menyeretnya ke pinggir dan mendudukannya. Aku menatapnya khawatir tapi kudengar si mamang malah tertawa terbahak-bahak.
“gimana?” tanya si mamang.
Gimana apanya?
“lo gapapa sal?”
Dia masih terbatuk-batuk lalu melihat ke arahku. Tiba-tiba dia memelukku.
“makasih tem...”
Aku hanya diam. Maksih buat apa? Kamu adalah segalanya buat aku sal. Apapun aku lakuin buat kamu, karena aku...sayang sama kamu.
****
****
Kostan isal
“makasih ya tem..” kataku sambil menatap wajahnya yang dari tadi tersennyum ke arahku.
“buat apa?”
“buat semuanya..”
Dia hanya tersenyum. Lalu dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Lalu mengulurkannya padaku.
“apa ini?” tanyaku sambil mengambil kresek yang dia ulurkan.
“ini jam pasir sal. Kalo lo sedih, ambil aja jam pasir ini, lo balik. Secepat pasir itu habis, secepat itu kesedihan lo juga bakal ilang. Dan ini jamnya juga buat lo. Kalo lo lagi di kostan, lo pasti sering liatin jam ini. Makanya gua pengen tiap lo liat jam, lo ingat gua. walaupun kita gak mungkin bareng, tapi seenggaknya kita punya kenangan manis sal..” katanya lirih.
Aku lalu memeluknya. Terasa sekali air mataku meleleh dari sudut mataku. Dia belum pergi tapi aku sudah dilanda rasa rindu yang sangat. Aku gak mau pisah sama dia. Aku gak mau kita jauh...
Dia lalu melepas pelukanku dan tersenyum sambil menghapus air mataku.
“jangan nangis mulu ah..”
“kenapa?”
“karena tiap liat lo nangis, gua bingung.gua mesti ngapain, gua jadi gak bisa mikir..dan...dada gua sesak. Jangan sedih lagi ya, please..”
Mendengarnya mengatakan itu aku rasanya ingin menangis sekencang-kencangnya. Gimana bisa aku jauh dari kamu tem..?
“gua pamit ya”
Aku tak mengangguk atau mempersilahkan karena sebenarnya aku gak mau pisah. Dia lalu pergi dan aku terus memandangi punggungnya sampai tak terlihat.
Aku lantas masuk dan mengunci pintu. Kurebahkan badanku dan kulihat jam pasir itu. Ya, aku pasti ingat pesan kamu tem. Tiap kali sedih aku pasti akan ambil jam pasir ini lalu kubalik. Kesedihanku akan hilang. Aku tersenyum mengingatnya. Lalu kutaruh jam pasir itu di meja.
Aku lantas mengambil kursi dan mengganti jam lamaku dengan jam dari pasir yang ada hiasan kerangnya. Aku tersenyum lagi. Kamu akan jadi orang yang paling kukenang tem...
“tok tok tok..”
Aku dikagetkan oleh suara pintu kamarku yang diketuk seseorang. Ada yang datang. Aku lantas turun dan segera menuju pintu. Kubuka pintu dan aku kaget melihat orang yang sedang berdiri kuyu di depanku.
“maboy...”
“....”
******
ditunggu kiriman kripiknya..