It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku diam. Bingung dengan apa yang kurasakan saat ini. Perasaanku campur aduk. Antara marah, kesal, bingung. Dan bodohnya aku hanya bisa diam saja. Semua mata tertuju ke arahku dengan pandangan meremehkan.
“jadi saya minta tolong pak, lebih baik untuk personil mekanik itu ditukar saja untuk pemerataan skill. Karena beberapa personil itu tidak mampu melakukan perbaikan mesin, bahkan untuk melakukan perbaikan yang sederhana saja seperti mencari konektor. Karena hal itu akan sangat merepotkan rekan satu shiftnya” kata Azam sambil melirik ke arahku dengan wajah dingin.
“terutama untuk grup saya. Seperti kejadian tadi, masa seorang mekanik gak bisa bongkar drum untuk mengganti rotary seal. Dan saya minta ditukar secepatnya.” Lanjutnya lagi dengan pandangan tajam ke arahku.
Wajahku terasa panas sekali. Secara terang-terangan Azam menyindirku didepan forum.
Aku muak. Aku benar-benar udah muak. Apa yang dia lakukin udah melebihi ambang batas kesabaranku. Meski ibu selalu mengatakan bahwa sabar itu gak ada batasnya, tapi hal yang barusan dia lakukan sungguh membuat aku malu. Secara terang-terangan saat meeting seorang Azam yang congak itu bilang kalo aku sama sekali gak kompeten untuk mengerjakan perbaikan mesin, bahkan hal-hal kecilpun aku masih belum mampu. Tak tanggung-tanggung, di depan Pak Jamal, manager Engineering yang ikut meeting hanya untuk meninjau saja.
Aku coba menahan amarah, tapi yang terlihat sangat gusar waktu itu justru Eza. Ketika Azam sedang berbusa-busa membeberkan ketololanku, Eza langsung menarik tanganku dan menyeretku keluar kerangkeng dan meninggalkan meeting. Kulihat yang lain termasuk Azam hanya melongo, sedang pak Jamal hanya berpangku tangan tanpa berkomentar sedikitpun. Aku diseret dan tanpa ampun pintupun dibantingnya. Aku tergopoh-gopoh menyesuaikan diri. Entah kemana Eza akan membawaku. Dan ternyata dia membawaku ke kamar kecil.
Sesampainya di toilet, dia menutup pintu. Dia menatapku. Kutahan agar air mataku tak jatuh. Sendu, sendu sekali matanya. Mata yang tadinya penuh dengan kemarahan, kini berkaca-kaca menatapku. Lalu tiba-tiba dia memelukku dan berbisik,
“menangislah..” katanya lirih.
Aku diam saja, masih berusaha menahan air mata agar tak jatuh, apalagi sampai membasahi pundaknya. Aku tak mau dianggap cengeng olehnya. Tapi dia memelukku semakin erat dan kembali berkata dengan lebih lembut,
“menangislah..”.
Sekonyong-konyong air mataku tumpah dan aku terisak-isak. Pundaknya kini basah oleh air mataku. Aku bahkan tak terasa telah meremas-remas punggungnya. Dia memelukku semakin erat. Aku menumpahkan rasa sedih dan kesalku dipundaknya. Dan dia hanya mengelus pundakku. Setelah cukup lama dan hanya tersisa isakku saja, dia melepas pelukannya.
“Sudah lega?” tanya dia mencoba tersnyum ke arahku.
Aku tak menjawab.
Dia tersenyum simpul. Lalu membuka pintu kamar mandi dan menarikku lagi. Aku kaget, dan langsung tersadar mataku masih sembab, lalu menarik tanganku.
“Mau kemana lagi? Mata gua masih sembab tau.” Kataku sambil cemberut.
Dia terkekeh.
“lagian, salah sendiri, udah gede masih nangis..” katanya enteng.
Aku merengut lalu kembali ke kamar mandi dan mencuci mukaku. Tiba-tiba dia menarik tanganku sambil berkata,
“ah lama, ntar aja di rumah.”
Aku masih belepotan air dan malah membuat lantai jadi becek. Dan dia menyeretku kembali ke ruangan dan mengambil tasku lalu menyeretku pulang. Kulihat semua orang melongo. Pagi ini Eza shift satu, tapi dia malah mengambil tasnya dan hendak pulang. Apa Eza bolos hari ini gara-gara aku?
Dia lantas menarik tanganku dan aku hanya menunduk malu. Aku tak sanggup lagi menatap mata-mata yang mungkin sekarang sedang menatap rendah aku setelah Azam mencemoohku.
Sampai di parkiran aku masih bingung, bahkan ketika dia men-kick starter CBR-nya.
“Ayo..” katanya lebih seperti perintah.
Aku diam saja.
“Bukannya lo masuk pagi hari ini? Jangan bolos demi gua..” kataku.
Dia malah tertawa.
“hahahha, siapa yang bolos...?! Gua kan cuma mau nganterin lo balik. Ntar gua balik lagi kesini.” Katanya enteng.
Hah, dia Cuma mau nganterin aku balik? Berarti aku tadi kegeeran donk. Haduh...aku malu...
Aku jadi boncenger sekarang, boncenger yang tidak taat hukum karena aku tidak menggunakan helm. Tak apa-apa lah, sekali-kali ini. Dia pun melajukan motonya dan setelah melewati pos satpam, dia melajukan motornya dengan santainya. Dia tak bicara apa-apa. Akupun demikian. Aku hanya diam, bingung mau bicara apa. Kalau aku bahas apa yang dikatakan azam, itu hanya akan membuatku tambah sakit hati.
Dan beberapa puluh meter didepan kami ternyata belokan Lemah Abang. Tapi Eza dengan santainya melenggang santai hingga pertigaan, aku kaget karena melihat ada polisi. Polisi Lemah Abang memang sudah terkenal ke seantero kawasan Cikarang-Karawang karena tindakannya menilang para pengendara, bahkan untuk hal yang sepele dan bayar tilangnya itu loh yang edas. Katanya bahkan kalau gak bawa duit, bisa ‘dibayar’ dengan hape. ckckck. Bukti bahwa pengayom masyarakat masih memiliki citra yangburuk di negeri ini. Terutama pengendara berplat T yang berasal dari Karawang, harus triple ekstra ketika lewat sini.
“Za, polisi.” Kataku setengah teriak.
Dan ternyata sang pengayom masyarakat itu juga tersenyum penuh kemenangan melihat kami. Tanpa diduga, Eza melajukan motornya dengan kecepatan penuh dan polisi itu pun meniup peluit saktinya dan langsung mengambil kunci motor gedenya dan mengejar kami. Kulirik sedikit speedo-nya menunjukkan 140 km/jam. Gila, bisa-bisa aku mati konyol. Aku lantas merapatkan pelukanku. Aku was-was sekali. Kalau kami berdua ketangkep, pasti akan dapat masalah besar, pelanggaran berganda. Satu karena gak pake helm, dan kedua karena Eza melaju dengan kecepatan diatas yang diizinkan. Dan ketiga, tergantung akal-akalan pengayom masyarakat itu. Tapi jujur, hati kecilku mengatakan aku rela mati demi dia. Aku sudah menyerahkan nyawaku padanya. Hhmmm, filmis sekali.
Aku memeluk erat tubuhnya. Eza mahir sekali membawa CBR-nya menyalipi semua pengendara lain. Dan ketika hampir melewati Pilar, dia belok kanan mengambil jalan ke arah Sukatani dan menyusuri kampung-kampung hingga tanpa kusadari kita sudah sampai di Babelan Bekasi. Aku baru tahu bahwa ada jalan pintas menuju Babelan lewat Pilar. Dan dia masih melajukan motornya dengan pelan karena banyak sekali polisi malas alias polisi tidur di sepanjang jalan. Dia memarkirkan motornya dan menyuruhku turun. Aku heran, sekarang kita mau ngapain.
“So, ngapain kita...disini, kesini?” tanyaku bingung ketika kami sudah sampai di MM.
Dia mengancingkan helmnya dan dengan santai menjawab, “nonton, kemarin gua lihat ada film bagus...tayang perdana lagi disini...” katanya setengan menggoda dan memperlihatkan dua potong ticket XXI.
Aku terlonjak. Amazing Spiderman? Gila,dia...dia..aku bingung mau ngomong apa. Darimana dia tau aku penggemar berat Spiderman? Ah, pusing kepalaku mencerna ini semua. Dari kejadian meeting tadi, nangis di pundaknya, dikejar polisi yang nyari duit, dan ... nonton Amazing Spiderman?
“Makasih ya Za..” kataku malu-malu.
Dia mendelik, “siapa bilang ini gratis...” katanya.
Aku kaget, “terus? Yadah deh, berapa duit?” kataku merengut manyun.
Dia tertawa.
“hahaha. Lo tuh ya. Lo yang bayarin makan ya...”katanya sambil mengulum senyum.
Eza Eza Eza...aku makin makin sama kamu... kamu tuh, gak bisa kutebak apa isi hati kamu. Kamu tuh sebenernya anggap aku apa? Atau aku yang terlalu geer menanggapi ini semua?
Selesai nonton aku masih saja berkicau membahas bagaimana kalau yang jadi spiderman itu Marry Jane, atau bagaimana kalau yang gigit itu laba-laba tarantula, pasti spidermannya berbulu kayak kingkong. Hahaha. Tapi dia menanggapiku dengan menguap malas. Huh, menyebalkan. Tapi setelah kupikir-pikir, ternyata dia memesan tiket Amazing Spiderman karna aku suka, bukan karna dia suka, dan memang sepanjang perjalanan film, tiga hal yang dia lakuin, fokus ke pop corn, lirik kanan-kiri, dan ...tidur. Lalu tiba-tiba di depan sebuah resto dia berhenti. Langsung kutarik tangannya.
“buka puasa disini aja yuk”
Dan dia hanya manut saja ketika kutarik lengannya ke dalam resto itu.
Waktu memasuki resto sunda Bumbu Desa itu, nuansanya sungguh nyaman, penuh dengan warna. Permaianan warna, lukisan, dekorasi sunda dan tektek bengeknya mantap sekali. Pas kulihat menunya, istimewa, bikin aku tambah lapar, makanan favoritku juga ada dan sederet makanan lain. Kupesan ayam bakar dan avocado juice alis jus alpukat.Sedang Eza memesan ayam bakar dan dia sop buntut dan OJ alias Orange Juice. Agak lama juga menunggu dan akhirnya datang juga. Kami makan dengan lahapnya.
Tiba-tiba dia berseloroh, “ napa lo gak buka resto aja?” katanya sambil tetap melahap ayamnya.
Aku menghentikan makanku.
“maksud lo?” tanyaku heran, kenapa dia berkata seperti itu.
“Napa lo gak buka resto Oon..masakan lo waktu itu gak asin-asin amat. Ya..meski gak terlalu enak, tapi ya daripada lo jadi mekanik” katanya santai.
Ambigu. Pernyataannya itu lebih mengindikasikan makananku enak atau karena aku memang mekanik payah.
“Jelasin kata-kata lo.” Kataku bersidekap.
Dia mendongak melihatku, lalu melap mulutnya dengan tissue.
“Bayu sayang..Bapak guru gua bilang, ‘kalo lo pengen hidup bahagia, hiduplah dengan menjalani apa yang lo sukai. Jangan menyiksa diri mengerjakan yang gak lo sukai demi hidup.’ Nah, lo kan suka masak, meski gak terlalu enak, tapi hidup pas-pasan dengan hati tenang, dari pada harta lebih tapi gak bahagia?” katanya sambil menciduk lagi sayur asemnya, tetap dengan sikap cueknya.
Aku mulai berpikir, dalam dan panjang. Pencapainku selama ini adalah hasil perjuangan panjangku. Mekanik adalah kebanggannku dan keluargaku serta jaminan masa depanku. Menjadi mekanik adalah bukti bahwa aku bisa melawan takdir, melawan dugaan semua orang bahwa aku akan berakhir di salon kecantikan, mengurusi masker, atau facial. Menjadi mekanik adalah satu-satu yang dibanggakan ayahku pada kawan-kawan kecilnya. Tapi, apa aku bahagia? Apakah aku harus selamanya hidup seperti ini? Akupun mulai memikirkan resiko yang akan kuterima bila aku bukan mekanik. Ah, malas sekali menyebutnya satu-satu. Aku diam memikirkan apa yang barusan dia katakan.
“Kok diem? Gak enak ayamnya? Sini gua habisin.” katanya santai sambil menarik piringku.
“Dasar gak punya table manner,” kataku sinis.
Dia hanya mencang-menceng sambil berkata,” tai kucing table manner, yang penting kenyaaang..” katanya sambil menarik piringku, padahal di piringnya ayam punya dia saja belum habis.
Aku segera menarik piringku. Dia memang selalu begitu, sepertinya selalu pengen makan apa yang kupesan, padahal dia juga pesan, dan bahkan belum dimakan olehnya.
“Enak aja, gua masih laper tau..kebiasaan banget deh, punya lo aja belum abis, suka ngambil punya gua” .
Dia hanya bersungut-sungut. Dan setelah kami puas, kami lantas segera pulang karena.
Ketika akan berjalan menuju keluar mall, kami melintasi sebuah distro kecil dan mata shoppingku menangkap baju model terbaru dan langsung kutarik tangannya dan menyeretnya memasuki distro itu. Dia hanya garuk-garuk kepala. Kupilihkan dia baju-baju dengan warna cerah. Dia terlihat ogah-ogahan karna ku tahu dia suka warna-warna gelap.
Kubelikan sepatu cad, celana jeans panjang, baju dengan warna cerah lengkap dengan sweater, kaca mata dan topi. Aku sendiri hanya beli t-shirt, sweater dan kacamata. Setelah kubayar, aku menggiringnya menuju salon. Awalnya dia menolak keras, tapi luluh juga. Kubisiki pada petugas salonnya agar dia di make over. Rambut keritingnya dibikin manis. Kumisnya dipotong hingga klimis. Pokoknya harus bener-bener beda before dan afternya. Aku sendiri mau menghilangkan jambang, kumis dan merapikan rambutku. Pokoknya aku benar-benar ingin merubah penampilanku.
Kami di make over di ruang terpisah. Satu setenganh jam kemudian, aku selesai dan segera mematut-matut diri. Ternyata benar, jambang dan janggut menambah umurku. Kini aku terlihat seperti ABG kata mbak atau mas-masnya, bingung juga aku manggilnya. Dan waktu aku masih merapikan bajuku, tiba-tiba ada seorang laki-laki keluar dari kamar sebelah. Kulihat, mataku tak bisa berkedip, begitupun semua pegawai salonnya. Semua tampak terpesona. Matanya tetap sipit gelap, rambutnya yang kriting dipotong seperti mohawk, tapi karena kritingnya itu terlihat unik, dan wajahnya bercahaya, persis pangeran Charles, eh salah, pangeran Philips waktu remaja. Atau siapa lah pangeran-pangeran yang memesona.
“Eza..” tanpa terasa aku berucap.
“ya umsyong cyin...brondong yey cekepnya jawara seJABODETABEKCIKAKERKAR, Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi Cikarang Kerawang Purwakarta dan... sekitarnya. Aduh ini rambutnya, ikal-ikal kayak jembi dec, metongnya lo nek..gilingan.. berondong yey cucok dweh..haewr haewrl” katanya menirukan gerakan cakar makan sambil menjawil pipi Eza.
Yang lain juga ikut mengelilingi Eza sambil sesekali mencuri-curi kesempatan megang-megang badan Eza.
Aku pangling sekali melihatnya. Apalagi dia mengenakan baju yang kubelikan tadi. Dia terlihat agak malu-malu. Aku menghampirinya, mengelilinginya, mengacak-acak rambutnya dan...arggtt...sumpah, cakep banget. Tapi aku langsung menimpuk kepalanya.
“Labelnya dilepas donk Oon..” kataku.
Dia hanya tersipu lagi. Cute banget sumpah. Aku lupa sama Kim Bun, F4, dan semua artis Korea. Eza...Eza..Eza...makin-makin aku sama kamu...
Keluar salon dunia serasa berbeda. Angin berhembus pelan menerpa kami berdua, tepatnya Eza. Tak henti-hentinya dia mengulum senyum dan berjalan di depanku. Gerakannya didramatisir. Tiupan angin, gerakan slow motion, dan kalau ini pilm India, pasti akan langsung turun hujan dan kami berlari-lari mencari pohon, dan terdengarlah musik yang entah muncul dari mana, dan pindah lokasi dengan cepatnya, dari Lembang langsung pindah ke Monas, pindah lagi ke Gunung Bromo, pindah lagi ke Garut. Apadeh ..
Mungkin baru kali ini dia merasa ganteng. Kegantengan yang terpendam, terlalu dalam bahkan. Semua cewek bahkan cowok melirik ke arahnya. Beberapa cowok menatapnya dengan tatapan binal dengan gerakan tangan memainkan rambut dan bibir mereka. Dan jelas sekali dia menikmati tatapan kagum itu. Aku biarkan saja dia menikmati momen ini. Mungkin baru kali ini dia dikagumi. Tapi kemudian dia berhenti dan berbalik menatapku. Lalu tiba-tiba tangan kirinya disimpan di dada dan tangan kanannya mengapit dan hampir memegang pipinya,
“ekeu cucok gak sekarang nek?” katanya dengan nada di ngondek-ngondekkan sambil mata berkedip-kedip.
Aku terdiam sebentar, lalu aku tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya. Melihat orang yang benar-benar laki bertingkah seperti itu sungguh-sungguh sangat menggelikan. Dia yang biasanya kalau di depan orang pendiam sekali, tapi di depanku bisa menjadi sangat cerewet dan sekarang bertingkah ngondek.
“Ternyata lo bisa ganteng juga ya..” kataku sedikit memuji.
Dia menoleh,”baru tahu? Kemane aje sih lo..?” katanya sambil menjitak kepalaku.
Kami pun tertawa. Sampai parkiran pun orang-orang masih melirik-lirik Eza. Jujur, aku agak sedikit cemburu, apalagi waktu Eza agak overacting sama cewek-cewek. Tapi biarlah, toh aku bukan siapa-siapa dia, berharap dia suka pun rasanya terlalu berlebihan. Dan tiba-tiba dia menggandeng tanganku di depan cewek-cowok yang dari tadi memandang kagum ke arahnya. Aku menjadi kikuk dan salah tingkah.
Dan setelah sampai di depan motornya, dia melepaskan tanganku dengan gerakan gentle sambil tetap tersenyum.
Dia men-kick starter motornya. Tapi aneh, dia tak mengenakan helmnya, tapi malah menyerahkannya padaku. Takut rambutnya rusak katanya. Huhu dasar. Dan sepanjang perjalanan pulang pun dia terus mendendangkan lagu yang tak ku kenal dengan suara sumbangnya. Kecepatan konstan 30 km/jam. Aku bertanya-tanya dalam hati dan akhirnya memberanikan diri menanyakan langsung padanya.
” Za, lo keliatannya seneng banget. Kenapa sih? Pa karna bis dari salon lo diliatin cewek-cewek?”.
Dia tak menjawab, masih dengan nyanyian anehnya, bahkan sampai rumahpun dia masih begitu. Ibunya sampai heran melihatnya. Dan tentu saja terkesima melihat anaknya berubah.
Sebelum sempat aku menjawab pertanyaan ibu, aku langsung digiringnya ke kamar. Aku disuruh duduk manis, lalu dia membuka laptopnya. Dan memandangku syahdu, ibarat pangeran memandang puteri di malam pertama. Dan lagi lagi mengulum senyum.. Aku jadi salah tingkah.
“Lo mau bales si Azam gak?” tanyanya to the point.
Aku kaget. Membalas si Azam?
“Maksud lo?” aku masih belum mencerna omongannya dan karena pikiranku masih terpesona oleh Eza yang baru.
Dia malah melontarkan pertanyaan yang tak ku mengerti.
“ Rencana kedepan lo gimana?”.
Bingung, sumpah aku bingung. Ke mana arah pembicaraan ini. Tadi dia nanya mau balas si Azam ato enggak, sekarang bertanya kedepan gimana.
“Udah lo pikirin kedepannya? lo masih mau di mekanik apa buka resto?” katanya tegas.
Oh, ternyata. Aku tergagap. Lalu dia melanjutkan khotbahnya.
“Bay, hidup itu cuma sekali. Dan lo mesti inget, yang jalanin hidup itu lo, bukan bokap lo, bukan sodara-sodara lo. Yang ngerasain bahagia atau menderita itu lo.”katanya panjang lebar.
Aku berkilah,”tapi Za, gua...”
Dia memotong,
”keluarga lo pasti gak setuju? Proses itu gak ada yang mudah Bay. Dan mungkin orang-orang terdekat lo bakal ninggalin lo. Tapi apa lo takut? Selagi lo yakin, tuhan pasti ngasih jalan. Udah nonton 3 Idiots kan? Farhan, dia lebih memilih hidup di belantara Amazon menjadi fotografer dengan hidup kekurangan materi tapi bahagia daripada jadi mekanik dan hidup mewah tapi sengsara. Lo juga bisa kayak gitu. “.
Tahu juga dia 3 Idiots, pikirku. Ternyata dia penggemar film india juga. Jangan-jangan dia dulu ikut nangis waktu nonton Kuch Kuch Hota Hai.
“ Tapi Za..” kataku ragu.
“..dan lo masih punya gua..”, katanya sambil megang pundakku.
Mata kami bertemu, deru nafasnya mulai terdengar, wajahnya semakin dekat, mendekat, dan... twew, dia malah ngjitak kepalaku.
Aku mengaduh, sialan, kirain dia mau nyium aku. Jadi malu nih.
“Tapi...” katanya menggantung. “Gua gak mau lo ambil keputusan pendek, lo pikir dulu mateng-mateng deh.” Katanya sambil menancapkan flash disk ke laptopnya.
“Lo dulu sempet belajar PLC kan? Nih pelajarin dulu program-programnya. Lo tau kan trouble di mesin Kobelco? Itu sebenernya cuman salah program doank. Ni program udah gua modif, lo pelajarin sendiri ya.” Katanya sambil menyerahkan laptopnya yang sudah terpampang program.
Aku memang sempat ikut training PLC AB (Alan Bradley), karena mekanik juga harus faham garis besar ilmu elektrik, begitupun electrik, mereka juga harus tahu dasar mekanik, biar ketika ada trouble, bisa langsung follow up sendiri.
Kupelajari sebentar, ku simulasikan dan ternyata benar, program yang terinstal di mesin itu masih kurang lengkap. Jadi kalau program yang sudah dimodif Eza memungkinkan mesin itu bisa lebih automatis sehingga dry cycle atau lama pengoperasian mesinnya menjadi lebih singkat. Selain itu juga program modif ini akan menghilangkan alarm yang sampai saat ini masih membuat pusing electrik.
Aku makin kagum sama dia. Ternyata Eza melebihi apa yang kupikirkan, dia tak hanya pintar dalam bidang mekanik, tapi elektriknya pun mantap. Tapi kekurangannya, malas, super malas. Lalu apa maksudnya dia ngasih ini sama aku?
“Za, napa lo kasih program ini ke gua? Napa gak lo aja. Terus yang gua heran, sebenernya lo tuh dah tau akar masalah ini, napa gak lo yang..” kataku tapi segera dia potong.
”Jadi pahlawan kesiangan? Gua? Hemm..gua gak tertarik ma hal-hal sepele kayak gitu.” katanya sok.
Huh dasar, hal kayak gini dia bilang sepele. Dasar. Lalu dia melanjutkan,
”lagian, lo yang sekarang butuh usaha buat balikin nama baik lo yang sempet terjun bebas gara-gara si Azam itu..” katanya santai sambil menggigit apel.
Jadi, dia...ah aku semakin memujanya. Terlalu banyak hal yang dia lakukin buatku.
“Terus masalah di mesin Tien Jin, yang olinya sering panas, mesin itu kan adanya di ujung line, jadi mesti sering ngecek strainer-nya. Karna diujung, jadi paling cepet kesumbat. Terus juga cooling waternya sering ketutup dan juga pipa kapilernya itu udah hampir mampet karena gepeng.” Katanya sambil mengupas jeruk seolah masalah itu bisa diselesaikan oleh anak SD.
Aku hanya melongo.
“Malah bengong, udah ngerti belum programnya?” dia membuyarkan pikiranku.
Aku tergagap,”e..e..udah lah, program gini doank.”
Selesai meeting, langsung ada trouble dari mesin Kobe. Kulihat semua terlihat malas, berita lama yang sudah sebulan belum juga ketemu akarnya. Aku bersorak dalam hati, aku pun iseng mengajak Cengge, elektrik grupku ke mesin Kobelco. Dengan ogah-ogahan dia menuju mesinnya untuk mem-follow up.
“Tit..tit...tit..” alarm mesin terus saja berbunyi dan bikin kesal.
Lalu tak diduga, manager produksi datang disusul manager engineering. Manager biasanya memang datang ke mesin yang trouble berlarut atau trouble besar. Dan trouble ini sudah berlangsung cukup lama.
“Pak Jamal, gimana ini? Masa mesin ini trouble terus? Apa perlu kita datangin ahlinya langsung dari Jepang?” kata Pak Burhan, manager produksi dengan nada menyindir.
Pak Jamal menyahut dengan tenang.
“Santai lah Pak. Minus produksi cuman 20 pieces per day. Kita pun masih berusaha, ya kan Mam?” sanggah Pak Jamal sembari meminta persetujuan Cengge.
Cengge gelagapan dan cuma bisa nyengir.
“Sebentar Pak, saya ambil flashdisk saya dulu.” katanya melengos pergi.
Hah, demam panggung dia. Mungkin ke WC kali. Bekerja sambil diliatin, apalagi oleh manager akan membuat kita tak tenang.seperti bekerja dibawah tekanan. Aku tersenyum dan mengeluarkan flash disk.
“Pak boleh saya coba, mungkin program saya bisa dicoba.” kataku menawarkan diri.
Mereka tak terlalu menanggapi. Ya udah, langsung kupasng di laptop dan kubuka programku, lebih tepatnya program yang telah dimodif oleh Eza. Ku upload ke PLC dan... alarm pun berhenti berbunyi. Kulirik dari sudut mataku mereka mulai menaruh perhatian dan mulai memerhatikanku.
“ Pak, boleh coba run (jalankan mesin) sekali?” tawarku.
“ya, boleh boleh” jawabnya singkat.
Ku coba jalankan mesin, step 1 lancar, step 2, step 3, lancar dan detik-detik terakhir menuju step 4. Alarm muncul biasanya di step 4. Step 4 mulai, semua diam memerhatikan ke HMI (Human Manual Interface atau lebih familiar dengan nama Monitor). 30 second remaining, sisa waktu step 4 masih 30 detik. Waktu berjalan mundur sampai akhir step, aku menahan nafas dan alarm yang bikin semua lini pusing itu tak muncul. Huh...programku, tepatnya program modif Eza berhasil memukau penonton. Step 5 sampai step 8 berjalan dengan lancar dan mesin bisa auto ke counter (penghitung berapa kali mesin run) selajutnya. Biasanya untuk lanjut ke counter selanjutnya harus mereset alarm dan mengubah selektor dulu ke posisi manula baru dirubah lagi ke posisi auto, merepotkan operator produksi.
Kulihat mereka sedikit terpesona, Pak Jamal tersenyum penuh kemenangan, Pak Burhan bernafas lega. 3 kali mesin berjalan tanpa hambatan, dan bisa dikatakan program ini berhasil. Mereka berdua pun tertawa lepas dan menyalamiku.
Ada sedikit rasa bangga, dan kusematkan terima kasih buat tuhan, juga Eza. Aku janji akan kasih dia hadiah spesial buat Eza kalo ketemu. Cengge kembali membawa flashdisk dengan muka agak pucat dan kaget melihat mesin telan run sebanyak 4 kali. Dia bingung dan aku jelaskan semuanya. Sedang Pak Burhan dan Pak Jamal hanya tertawa. Cengge pun tersipu.
Kamipun kembali ke ruangan. Di ruangan Cengge menceritakan kejadian tersebut dan hampir semua tidak percaya, seorang Bayu yang tidak kompeten itu telah menyelesaikan masalah yang telah lama nan akut ibarat migrain yang tak kunjung sembuh. Aku masih berpura-pura sibuk dengan komputerku. Berjarak 3 meter, Azam hanya diam tanpa ekspresi, tapi dapat kupastikan dia juga dengar.
Selang 5 menit, ada axapta lagi masuk, Mesin Tien Jin, oil hydraulic temperature high. Huft, target ke dua. Yang lain mulai ngedumel sendiri. Ada beberapa orang yang melihat ke arahku, mungkin berharap aku punya jurus jitu seperti tadi. Aku cuma balas dengan senyum simpul. Aku dan lagi-lagi Cengge, karena kami sama-sama junior langsung meluncur ke TKP alias mesin yang trouble. Dan benar sekali, lagi-lagi Pak Burhan sudah berkacak pinggang di depan mesin dan kulihat operator mesin sedang menunduk. Pasti sedang diomeli, pikirku. Kutengok Cengge, dia juga sudah pucat pasi, karena dulu dia pernah ditegor, lebih tepatnya diomeli Pak Burhan.
“mampus kita Bay..Pak Burhan lagi Pak Burhan lagi”
“nyantai aja Ge. Kita coba aja.”
“lo mesti bae-bae ma dia Bay. Dulu aja kita pernah diomeli, iya, Pak Burhan itu kalo ngemeng pedes amat. Udah kayak mercon lempar. Iya.”
Kami berdua sampai di depan mesin dan langsung menyiapkan alat.
Aku berusaha tenang. Sekarang Pak Pak Burhan tampak sedang menelpon seseorang, dan ternyata dia sedang menelpon Pak Jamal, managerku. Atasan memang pasti akan mengambil akses cepat dengan langsung menelpon atasan depatemen yang bersangkutan. Dan atasan yang bersangkutan akan langsung menindaklanjuti dengan menyuruh anak buahnya.
“Pak Jamal, gimana ini, mesin saya trouble terus nih. Rugi saya.” Kata pak Burhan sengak.
Kuambil pressure gauge, kuminta Cengge meng-operate mesin dan kulihat di pembacaan, pressurenya normal. Kuambil kunci inggris lalu ku buka strainernya, tepat sekali, mampet. Kubersihkan dengan air lalu kukeringkan, kupasang lagi. Setelah kuganti pipa kapilernya, kudinginkan tangki oli dengan angin. Sambil menunggu temperature normal, kucoba jelaskan pada Pak Burhan bahwa mesin ini adanya di ujung line, jadi paling cepat mampet. Dan solusinya adalah pengecekan berkala pada strainer atau saringannya. Dia manggut-manggut saja, mungkin dia gak ngerti, tapi yang pasti mesinnya jalan.
“Jadi Pak, mungkin nanti saya minta pada atasan saya, khusus untuk mesin ini diadakan check sheet mingguan khusus strainer.” Kataku pasti, lagi-lagi dia manggut-manggut dan mengangkat hapenya.
“Ya, Pak. Hahaha, sudah beres Pak. Sama anak buah Pak Jamal yang tadi di mesin Kobe. Baru tahu saya Pak. Maaf tadi sedikit meremehkan. Maklum yang namanya bawahan. Tahu sendiri si Jepang gak mau tahu. Oke-oke. Iya iya. Hahaha” diapun menutup teleponnya.
“trima kasih, oke saya tinggal dulu, saya buat laporan buat meeting dengan BCI tentang SGA (Small Group Activity).” Diapun melengos pergi.
Lagi-lagi Cengge melongo.
“Emang itu masalahnya?” tanyanya polos.
Aku jawab dengan anggukan dan sedikit berbisik,”tenang aja, orang kayak begitu mah gampang banget dioonin.hihihi” kataku.
Dia mencang-mencong dan kamipun tertawa.
Sesampainya di ruangan, Cengge langsung berapi-api menceritakan lagi kehebatanku. Aku hanya tersenyum simpul dan langsung mengambil kertas dari tasku. Tapi ketika akan berlalu, Cengge memanggil,”mau kemana?” tanyanya.
“Ke atas bentar”, jawabku simpel.
Dan lagi-lagi, Azam dingin tanpa ekspresi.
Akupun bergegas menuju kantor Pak Jamal. Sesampainya di ruangan pak jamal, kuketuk pintu dan masuk. Beliau mendongak dan tersenyum simpul, tidak seperti kemarin yang tanpa ekspresi.
“Duduk”, katanya.
Aku belum berani duduk, dan langsung menyerahkan Surat Pengunduran diriku.
Beliau meraihnya,”apa ini?” tanyanya lalu membuka dan membaca isinya. “Apa karena kemarin?” dia langsung menebak.
Aku agak nervous,”bukan Pak” kataku agak risih kalau ingat kejadian kemarin.
“Lalu? Saya lihat kinerja kamu tidak seperti yang diceritakan Azam kemarin. Buktinya hari ini saja kamu sudah buat saya kagum. Dua kali.” Dia lekat memandang wajahku.
Tapi tiba-tiba memalingkan mukanya.
“Maaf, nama kamu?” tanya dia agak gelagapan.
“Bayu Pak.” Jawabku masih dengan senyum terbaikku.
Kulihat dia agak kaget. Tapi aku tak mau disangka pintar olehnya. Percuma saja, karena itu lama-lama pasti akan jadi bumerang buatku. Dan akhirnya kuputuskan untuk mengaku.
“Lagipula sebenarnya hal tadi itu...Eza yang ngasih tahu saya Pak.” Kataku jujur.
Tapi dia tidak terlihat kaget, apalagi marah. Dia tetap tenang dan terus memerhatikanku.
“Seberapa dekat kamu dengan Eza?” tanya beliau tiba-tiba.
Aku kaget, maksudnya apa? Kenapa Pak Jamal nanya seberapa dekat aku sama Eza?
”Maksud Bapak?” tanyaku bingung kemana arah percakapan ini.
“Kamu siapanya Eza? Saya perhatikan dia berubah setelah kenal kamu.”
Aku bingung harus jawab apa. Eza berubah? Apa beliau begitu memerhatikan anak buahnya, sampai perubahan sikap Eza pun beliau tahu? Entahlah, tapi aku tahu beliau memang seorang atasan yang baik. Dan lagi-lagi Pak Jamal lekat memandang mataku. Sepertinya Pak Jamal sedang membaca diriku lewat mataku. Aku langsung menunduk.
“Apa kamu...”kalimat menggantungnya buat aku bingung.
“Maksud Bapak? Saya temannya Pak. Tapi kebetulan saya sering main ke rumahnya.” Jawabku gelagapan.
Dan dia seperti bergumam,”Karima..”.
Karima? Bukannya Karima itu nama ibunya Eza?
“Maksud Bapak Bu Karima ibunya Eza? Bapak kenal?” tanyaku penasaran, tapi dia tak menjawab, malah mengalihkan pembicaraan.
Dia berdehem sebentar. Lalu membuka lagi surat pengunduran diriku.
“Kamu sudah pikirkan matang-matang? Terus rencana ke depan kamu gimana? Jangan sampai kamu terlunta-lunta selepas dari sini. Sudah diterima di perusahaan lain?” berondongnya.
Aku tersenyum mendengarnya,
”satu-satu Pak. Sebenarnya saya malu bilangnya, tapi saya mau coba buka restoran..” kataku sambil tersipu.
Dia langsung berdiri, aku kaget. Dan sepertinya dia mau mengatakan sesuatu tapi dia berhasil menguasai dirinya.
“Res..restoran?” katanya gelagapan.
Aku bingung dengan reaksinya. Mungkin memang terdengar aneh. Aku banting setir dari seorang mekanik menjadi seorang koki. Seperti barat dan timur. Tapi toh hal itu sah-sah saja kan?
”Iya Pak. Sepertinya dunia saya bukan di engineering. Saya sangat tertarik pada kuliner. Saya tahu banyak yang akan mencemooh saya. Tapi lebih baik saya hidup pas-pasan tapi bahagia, daripada hidup berlebih tapi tak kunjung menemukan kedamaian jiwa.” Jawabku dilematis, mengulang kata-kata Eza.
Kulihat raut mukanya berubah, rumit sekali, gelisah, galau, sedih atau apa.
“Ya sudah, besok kesini lagi. Saya mau buat laporan” katanya lalu duduk sambil menaruh tangannya di kepala. Aneh, pikirku.
“tapi, sekali lagi, mohon pertimbangkan lagi, karena perusahaan kita ini kekurangan man power, terlebih untuk engineering.”
Aku tak menjawab, hanya tersenyum simpul saja. Dan setelah pamit, aku pun keluar dan kaget karena ternyata Eza berdiri di depan pintu.
“Anjrit. Kaget gua. Lo, ngapain? Bukannya lo lagi off?” aku bingung.
“Lo resign?” kata Eza tak percaya.
Aku nanya apa dia malah balik nanya.
“Baru ngajuin..”kataku sambil melengos pergi.
“Terus lo bilang apa alesannya?” katanya agak gelisah.
Aku menyipitkan mata. Ni anak kenapa? Bukankah dia yang menyuruhku lebih memilih apa yang aku suka? Dan aku lebih suka dunia kuliner daripada dunia engineering.
”Lo abis makan apa si, aneh banget. Gua bilang aja sesuai kata-kata lo. Gua mau buka resto...”kataku santai.
Dia berhenti didepanku. Lama dia memandang mataku.
“Terus papa bilang apa?” tanyanya.
Papa? Papa siapa? Hah, jadi Pak Jamal itu...papanya Eza? Pantesan gelagat keduanya aneh. Kok dia gak pernah cerita dia anak Pak Jamal. Tapi, tiap main ke rumahnya aku belum pernah ketemu Pak Jamal.
“Pak Jamal papa lo?” selidikku.
Dia makin gelagapan. “dia gak bilang...aku...kak Rafi...sudahlah.” katanya sambil melengos pergi.
Aku berlari mengejarnya meminta penjelasan. Kupegang pundaknya dan menatapnya lekat.
“Eza, tunggu. Lo gak pernah bilang dia itu papah lo. Tapi kalau soal Rafi...”kugantung kata-kataku.
Sebenarnya aku tak tahu-menahu tentang siapa Rafi itu, aku hanya ingin memancingnya, dan dia ternyata terpancing.
“Rafi..papa bilang apa aja?” tanyanya dengan raut muka sedih.
Aku kembali bingung. “kata papah, itu rahasia.” Kataku melengos.
Dia memegang tanganku.”Bilang apa? Apa dia bilang besok mau ke makamnya?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
Datang ke makam? Jadi, Rafi itu sudah meninggal? Lalu sebenarnya Rafi itu siapa? Ada apa sih sebenarnya, aku jadi penasaran.
“Dia belum bisa mastiin sih, tapi..” kataku berhati-hati mengeluarkan kata-kata. Aku bingung karena memang tak tau apa-apa soal Rafi.
“dia memang brengsek. Sebenci itukah dia sama anaknya sendiri, hanya karena Rafi ingin menjalani hidup tidak sesuai yang papa pengen?” katanya sambil meninju dinding.
Aku lihat tangannya berdarah.
“Apa-apaan sih Za, kayak anak kecil aja..” kataku sambil mengambil sapu tangan yang selalu kuselipkan di saku belakang celanaku lalu kubungkus tangannya dengan sapu tanganku.
Tiba-tiba bel berbunyi dan langsung kuhubungi yang lain aku gak bisa ikut meeting. Aku ingin segera pulang ke rumah Eza.
****
Sesampainya di rumah, kudapati Ibunya Eza sedang merengut di dipan. Aku dan Eza mendekatinya. Aku mencoba duduk disamping beliau tapi belum berani menyapanya. Ibu tersadar dan langsung menyeka air matanya.
”Eh udah pulang, kok gak kedengeran..” katanya bergegas ke dapur mengambil air.
Kuperhtikan beliau, aku jadi ingat ibuku di kampung.
“Bu, hari ini ibu duduk aja. Bayu baru dapet resep baru.” kataku lalu bergegas ke dapur menyiapkan bahan-bahan.
Dan untuk menu buka puasa kali ini, aku akan memasak nasi ulam, nasi campur khas Betawi. Aku siapkan beberapa sendok kacang tanah sangrai dan kacang kedelai goreng, sekitar sepuluh sendok kelapa parut, dan dua sendok makan ebi, dua batang serai dan dua sentian lengkuas.
Setelah kutumbuk serai dan lengkuas sampai halus, lantas kucampurkan dengan parutan kelapa dan langsung kusangrai sampai kering. Setelah itu kutumbuk kacang tanah, kacang kedelai dan ebi serta sangrai kelapa tadi sampai halus. Lalu kucampurkan dengan nasi.
Ibu dan Eza hanya diam memerhatikanku. Setelah selesai, langsung kuhidangkan nasi ulam itu. Tapi entah kenapa, ibu masih murung. Dan ketika menyuapkan sendoknya, ibu malah menangis sesenggukan. Eza berusaha menenangkan ibu. Aku bingung harus apa. Tiba-tiba Eza menghampiriku dan menyuruhku pulang. Akupun pulang dengan penuh rasa bingung.
Sampai malampun aku masih belum bisa tidur. Rumit sekali kejadian akhir-akhir ini. Tapi aku bertekad harus tahu ada apa sebenarnya.
*****
Kamar Kost Hijau Muda, 19.40 wib
Aku masing berguling-guling sambil memeluk bantal gulingku yang terguling. Hmm..surat pengunduran diriku telah selesai ku print, sekarang aku harus berpikir, gimana caranya biar ibu sama Pak Jamal kembali bersatu dan hidup bahagia bersama-sama, memadu cinta asmara di usia senja. Hahaha.
Dan tiba-tiba aku teringat ketika aku main ke Dufan. Disana aku melihat keluarga-keluarga yang tampak tertawa lepas ketika menaiki wahana-wahana. Tapi kan wahana di Dufan buat anak muda atau pasangan muda. Kalau buat ibu-ibu sama bapak-bapak mah kurang cocok. Apalagi kalau misalnya Ibu sama Pak Jamal punya penyakit jantungan. Bisa berabe.
Hmm..aku tanya Isal aja ah, kali aja dia punya solusi.
Kucari dan akhirnya kutemukan hapeku tertindih bantal dan langsung kutelpon Isal.
“Hallo Sal. Lo lagi dimana?”
“gua di rumah aja Bay. Kenapa?”
“hhmmm..eh, lo lagi sedih ya?”
“mm..enggak juga Bay. Kok mikir gua lagi sedih sih?” tanya isal.
“tuh kan...lo kok gak pernah mau cerita sih Sal. Walaupun lo ketawa termehek-mehek juga gua tau lo lagi sedih. Udah deh sal, kalo ada apa-apa tuh cerita. Kali aja gua bisa bantu. Ya seenggaknya lo bisa sedikit lebih tenang kalo udah cerita. Ada masalah sama PACAR lo?”
Dia terdiam.
“ya..gua juga bingung jelasinnya kayak gimana.” Kata Isal
“yaudah, intinya aja. Yang bikin lo gak masuk hari ini, karena lo putus sama pacar lo?”
“gua..”
“Sal..”
“iya. Pacar gua lebih milih pacarnya daripad gua” kata Isal lagi, dan nadanya sendu sekali.
“hah? Lo diselingkuhin?” tanyaku sambil langsung terduduk.
“iya”
“dan lo mau diselingkuhin? idih”
“Bayu..”
“iya iya, maaf. Yaudah, ntar gua ke rumah lo ya. Gua mau lo cerita semuanya ke gua, dan gua juga bakal cerita ke elo.”
“yaudah, buruan, gapake lama”
“iya iya, tapi ada tapinya loh”
“ada tapinya?”
“yaiyalah, masa iya iya donk, duda aja keren, apalagi berondong”
“hahaha. Ada ada aja siloh. Yadah, apa tuh tapinya itu?”
“hmm..sediain yang dingin-dingin ya buat gua”
“sip, es batu di kulkas masih banyak”
“wew. Yadah, 86 86”
(86 adalah kode untuk merapat, atau segera menuju ke TKP)
“haha. Berasa di pabrik gua. Buruan. Klik” kata isal lalu menutup telponnya.
Sip, aku langsung mengambil sweeterku dan segera kupanaskan matikku. Dan setelah kukunci pintu, aku langsung meluncur ke rumah isal.
*****
Kamar isal, 20.30 wib
“apa? Gila. Dia selingkuh sama adiknya sendiri?” tanyaku dengan mata yang hampir keluar.
“ssstt..jangan kenceng-kenceng...” kata Isal sambil melirik ke arah pintu kamar.
“sory sory. Tapi gila aja Sal,dia selingkuh sama adik pacarnya sendiri. Ya ampun..dan elo...”
“gua gak bisa nyalahin dia kok Bay. Dia ada di posisi yang sulit. Dan..”
“itulah elo. Lo pasti selalu bisa maafin orang yang lo sayang. Lo itu..uuhh..” kataku yang terbawa kesal.
“ya..ya..gua juga gak tau. Terus lo gimana sama Eza?” tanya isal mengalihkan pembicaraan.
“gua sama Eza? Hmmm..”
“lo udah bilang ke dia kalo lo suka?” tanya Isal sambil menciduk es krim dan menyuapkan ke mulutnya.
“mmm..belum berani..” jawabku merengut.
“lha, kayaknya dia juga suka sama elo Bay”
“iya, mending kalo dia juga suka. Kalo enggak, gua kan bakal jadi serba salah sama dia kalo ternyata dia gak suka sama gua” sergahku sambil merebut mangkok berisi es krim di tangan isal dan langsung menyendoknya ke mulutku.
“iya sih, kadang kita suka dilema kalo dihadepin sama hal kayak gitu. Kita takut kehilangan sahabat kita kalau dia tau kita suka sama dia.”
“itu gak penting sih Sal. Dengan gua bisa deket sama diapun, itu udah lebih dari cukup buat gua. Tapi gua lagi bingung nih” kataku sambil menyuapkan lagi es krim itu.
“bingung sih bingung, tapi jangan diabisin donk es krim gua. Sini.” Kata Isal merebut es krimnya.”terus lo bingung kenapa Bay?”
“tapi lo jangan bilang siapa-siapa ya?” kataku sambil mendekap bantal.
“hey, yang ember kan elo”
“iya gitu? Haha. Gak ah, gua gak ember.”
“iya iya, lo gak ember, tapi baskom”
“parah..tapi lo mesti janji dulu, jangan bilang siapa-siapa. Karena ini rahasia negara. TOP SECRET.”
“iya iya. Gimana?”
“orang tuanya eza kan udah lama pisah, dan gua mau nyatuin mereka lagi. Dan lo tau ayahnya Eza tuh siapa?” kataku sambil mendekat ke arahnya dan memainkan ekspresi wajahku.
“siapa?”
“pak jamal sal, pak jamal” kataku sambil mengerutkan mataku dan mengekspresikan lewat gerakan tanganku, biar terkesan lebih dramatis.
“biasa aja kali Bay mukanya. Beneran Pak Jamal?”
“iya. Gua juga belum tau masalahnya kayak apa dan gimana. Tapi katanya muka gua tuh mirip anaknya”
“hadeh, berasa sinetron banget. Sekalian aja lo tuh anaknya yang ditukar, di pisahin dan lo ditinggalin di dalam kardus terus ditemuin orang lain”
“haha. Gak segitunya kali sal. Lo tuh kebanyakan nonton sinetron tau gak.”
“iya iya, terus caranya gimana lo mau nyatuin mereka?”
“itu dia yang bikin gua bingung. Gua tuh pengennya ngajakin mereka ke tempat yang adem, kayak gunung-gunung gitu deh. Katanya tempat yang dingin, karena keindahannya itu bisa menghangatkan hati yang beku”
“hmm..di Cansebu aja gimana?”
“Cansebu? Dimana tuh?”
“di Bogor. Kebetulan gua kan dulu sempet ikut consulting gitu. Dulu sempet jadi EO waktu ada acara di Golf outbond Cikarang Baru situ. Dan gua ada contact personnya. Lo tentuin aja mau berapa hari, berapa orang, sama mau ngadain games apa”
“wah..gak usah pake games deh. Kan Cuma berempat aja. Tapi kalo masalah harga?”
“ya...harga sahabat lah. Ntar gua confirm dulu kesana. Berarti empat orang doank kan?”
“iya lah, masa sama Pak RT dan Bu RT.”
“apadeh..yadah, empat orang, dua hari satu malam. Tapi ntar gua tanyain, kali aja pas ada acara gitu. Jadi buat gamesnya lo nebeng gitu “
“sip. Makasih ya sal. Lo emang emang emang deh. Gua do’ain biar lo masuk surga. Sini gua peluk dulu”
“ngga ngga. Apa-apaan siloh. “
“hahaha. Lupa kalao lo gay. Lo ntar horny lagi kalau gua peluk”
“idih, gua emang gay yah, tapi gua pilih-pilih orang kalo horny. Wew”
“huhu. Iya iya, jangan marah-marah atuh.”
“iya. Ya daripada gua sedih mulu. Seenggaknya gua ada temen curhat sekarang. Tapi awas lo kalo lo ember”
“iya. Lo mesti sering-sering curhat sama gua Sal. Gua tuh takutnya lo nyampe bunuh diri gitu, kan itu tuh dosa besar banget tau gak”
“hahaha. Gak segitunya kali. Tapi apa iya gua mesti curhat ke elo? Baru juga gua bilang dikit, lo udah nyerocos aja kapan gua curhatnya?”
“hahaha. Maklum lah Sal, kata Eza aja gua tuh kepo”
“kepo? Apaan tuh?”
“cyape deh..kepo itu kepompong. Hahah. Suka pengen tau gitu, ah masa gitu aja yey gak tau”
“hahaha. Rumpik deh yey”
Dan akhirnya kami berdua saling cerita tentang apa saja yang dia lakuin dan dia udah ngapain aja sama pacarnya. Beberapa kali Isal menutup mulutku ketika aku histeris mendengar ceritanya. Hmm..aku jadi ngiri..pacarnya romantis banget...muda-mudahan aja Eza bisa romantis kayak pacarnya Isal. Tapi diliat dari wajahnya, kayaknya dia gak ada bakat romantis. Yang ada malah aku dijitakin mulu sama dia. hmmm..
******
kak @alabatan haddduuhh jadi binguung,, benarkan ada incest si eza??.,,, si bayu jangan resign dong,,, aku suka setting cerita di pabrik soalnya huhuhuu
tp pas nyiduk makanan kenapa malah sayur asem???
aku yg salah baca or gimana nih.
gk d edit lagi ya???
emm waktu di saung cibitung sih kek gitu dulu ohohohoo
badan pacarmu ngingetin aku waktu masih sekolah di sekolah semi militer dulu,, gak nahan kalo liat taruna" pada push up kringetan di tengah lapngan aiisshh,,,,
Konflik barunya keluarga Eza seru nih
Gακ ταυ ? Klo Enak Di Peluk. Ni aja q Pluk Pacar. qqq Enak Bngt hehehehe