It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ada saran dikit nie...Ceritanya udah bagus kok...cuma kmren di Part 40an ceritanya terkesan muter2 aja...setelah ada teman yg ngasih komentar ya skg udah kembali ke jalur nya...heheheh...menurut ak si penulis gak harus nulis cerita yg di paksa2kan cepat...tp alurnya tetap jalan...dan gak terkesan bertele2..trus buat Konflik yang baru..gak konflik antara Bayu ma Azam aja....itu yg membuat terkesan muter2...ini hanya saran aku lo...maaf...tp di balik itu semua cerita kamu bgs bangeeeet...terus dan tetap melanjutkan cerita kamu....kami semua tetap setia menunggu updetan terbaru...ok
@igoigo, @Boyorg, @halaah, @firmanE, @jaydodi, @blueguy86, @mahardhyka, @ajied84, @urth, @tobleron, @dewo_dawamah, @dityadrew2, @yoedi16, @adinu, @redbox, @joe_senja, @alfaharu, @kiki_h_n, @jockoni, @habibi, @pria_apa_adanya, @zimad, @adam08, @dhie_adram, @boljug, @4ndh0, @aDvanTage, @autoredoks, @dollysipelly, @sly_mawt, @trinity93, @pokemon, @fansnyaAdele, @05nov1991, @the_jack19, @co_ca_co, @iamyogi96 @chocolate010185 @adacerita @prahara_sweet @rainbow_bdg @admmx01.@justnewbie @excargotenak @nazruddin_oth@Daramdhan_3OH3@ularuskasurius@danielsastrawidjaya @rubysuryo
Besoknya ketika aku sampai di pabrik, aku langsung menuju ke kantornya Pak Jamal. Ku ketuk pintunya dan waktu kubuka, dia kaget dan langsung menutup buku yang sedang dia pegang.
“Masuk” katanya sedikit merapikan mejanya.
Kulihat matanya agak sembab.
“Pak, saya rasa niat saya sudah matang. Mungkin dengan tabungan saya sekarang, saya bisa mulai buka kecil-kecilan. Kalaupun gagal, saya masih muda, masih bisa lakukan banyak hal.” Kataku mantap.
Dia berdiri dan berjalan ke arahku. Dia memandang lekat mataku.
“Mata kamu...mirip sekali sama mata Rafi...” katanya lirih.
Oh? Mataku mirip mata Rafi? Pantesan Eza, Ibu, dan bahkan Pak Jamal pun sering lekat memandang mataku.
“Mata Rafi itu gak pernah bisa bohong. Dia kalau lagi marah, matanya pekat. Kalau lagi senang mata bulatnya berbinar. Tapi kalau lagi sedih, matanya berubah jadi coklat terang...dan mata kamu...cara kamu berkedip, gerakan bibir kamu waktu bicara...segalanya adalah Rafi.” Lanjutnya lagi.
Memang, orang selalu mengomentari perubahan warna mataku. Banyak yang beranggapan aku memakai contact lense, sebab kalau lagi sedih atau kecapean, mataku jadi coklat terang, sedang ketika kondisi biasa, mataku coklat pekat. Dan aku bingung harus menjawab apa.
“Pak, mengenai Rafi, hari ini..” kataku yang sudah tau bahwa hari ini tepat beberapa tahun setelah Rafi meninggal
Beliau mendesah pelan.
“Hari ini delapan taun kepergian Rafi. Saya akui saya bersalah karena sudah delapan tahun kepergiannya, saya belum pernah mengunjungi makamnya. Saya...takut, saya malu..saya merasa bersalah sama Rafi” katanya.
Kulihat matanya sudah berkaca-kaca. Dan dia membuka sebuah buku, lebih tepatnya album foto. Dia menyerahkan padaku. Ku buka lembaran-lembarannya. Foto keluarga yang bahagia. Pak Jamal belum berkumis, Bu Karima tampak sangat ceria dan tampak masih muda, Eza kecil yang kira-kira masih duduk di bangku SMP dengan rambut gimbalnya, dan seorang anak muda yang kira-kira masih berumur 17 tahunan sangat manis dan tertawa riang. Kuperhatikan lebih lama, betul sekali, mirip denganku waktu masih kecil dulu.
“Kamu mau buka resto apa?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Sementara sih masakan Sunda. Nasi goreng juga. Puding, minuman, ya..gitu lah.” Kataku masih agak malu-malu.
“Dulu Rafi juga ingin buka restoran. Umurnya baru 18 waktu itu.” Dia tersenyum mengenang. “dirumah juga paling suka dia kalau udah masak sama ibunya. Bikin puding, nasi goreng, kue-kue kering...” terangnya lagi, “Ngomong-ngomong, dananya masih kurang gak?” tanyanya.
Hah? Maksudnya?
“modal buat buka resto masih kurang gak?”
“Tabungan saya rasanya masih cukup.” Kataku mantap. “Pak, saya rasa, hari ini Bapak harus mengunjungi makamnya Rafi. Gak mungkin kan selamanya kayak gini..” kataku meyakinkan.
“Setidaknya, Bapak bisa tunjukkan bahwa Bapak sayang sama Rafi.” Lanjutku.
Pak Jamal hanya diam, lalu tersenyum ke arahku.
“Baiklah, memang sudah saatnya saya menebus rasa bersalah saya. Tapi kamu temani Bapak ya.”pintanya.
Aku mengangguk tanda setuju. Aku juga ingin tahu dimana Rafi dimakamkan. Dan aku akan mencari tau segalanya tentang Rafi, orang yang telah membuat Eza begitu terkenang oleh sosoknya.
******
Pak Jamal membawaku dengan Toyota Avanza miliknya. Sepanjang perjalanan, dia menceritakan tentang banyak hal, tentang pertemuannya dengan ibunya Eza, dan hal-hal romantis diantara mereka.
Katanya mereka berdua bertemu di Jepang saat Ibunya Eza sedang berkunjung ke Jepang, sedang Pak Jamal sedang mengikuti training di Jepang yang diselenggarakan oleh perusahaan beliau dulu. Dan dari situ mereka saling tukar kabar dan juga ini itu.
Dan kami juga membicarakan tentang Rafi. Mulai dari fisiknya, kesukaannya terhadap kuliner, hingga kematiannya yang tragis.
Dari kecil Rafi memang jarang keluar main dengan teman-temannya. Dua hal yang biasa dia lakukan di setiap harinya, membaca dan membantu Bu Karima memasak. Prestasi akademiknya pun tak mengecewakan. Setiap tahun dia menggondol gelar juara umum. Dan berbagai piala serta piagam penghargaan telah dia dapat. Tapi aku merasa heran, karena aku tak pernah melihat satupun piala atau piagam atas nama Rafi.
“tapi..aku gak pernah liat ada piala atau piagam di rumah Eza” tanyaku bingung.
“sejak kepergian Rafi, Karima lebih sering mengurung diri di kamar. Dan setiap melihat segala sesuatu yang berhubungan dengan Rafi, dia pasti langsung histeris. Lantas saya menyimpan semua barang Rafi, termasuk piala dan piagamnya. Mengetahui hal itu, Karima semakin marah, tapi saya tak tega melihat dia yang selalu histeris sampai akhirnya Karima lebih memilih pisah..dan barang-barang Rafi sekarang saya simpan di rumah saya” terang pak Jamal panjang lebar.
“Rafi itu istimewa. Kecerdasannya jauh diatas anak-anak seusianya. Beberapa kali dia ikut lomba cerdas cermat dan lawannya itu adalah kakak-kakak kelasnya semua. Apalagi ketika dia ikut lomba puisi. Dia begitu pandai merangkai kata-kata dengan bahasa yang tak biasa, seperti menyastrakan fisika, merangkai kata-kata yang tak terjangkaw. Kecintaan Rafi terhadap fisika dan dan seni origami atau seni lipat kertas jepang, sama seperti kesukaannya pada masak.”
Pantas saja Eza begitu mengenang kakanya yang begitu istimewa itu. Fisika, origami dan kuliner, seperti sebuah imposible triangle, segitiga yang saling tak terkait karena menempati posisi di otak yang jauh berbeda dan masing-masing memiliki daya tarik. Fisika yang rumit, origami yang indah dan kuliner yang menggugah selera. Bukankah itu perpaduan yang indah?
Di setiap waktu senggang, Rafi suka membuat origami-origami sederhana sampai yang rumit sekalipun. Beberapa bentuk origami bahkan suka dipajang di rumah. Dan ketika dia lulus SMP, Rafi ingin mengambil jurusan tata boga karena hobinya itu. Tapi Pak Jamal yang waktu itu sedang merintis usaha bengkel produksi tidak setuju Rafi masuk perhotelan mengambil Tata Boga. Dia menginginkan Rafi masuk STM. Dengan terpaksa Rafi masuk STM. Berkali-kali Rafi minta berhenti karena sering dikerjai oleh temannya. Tapi Pak Jamal bersikeras hal itu akan menjatuhkan martabatnya.
Sampai suatu malam yang sedang hujan besar, Pak Jamal dapat telepon dari pihak kepolisian, Rafi ditemukan tewas mengenaskan dengan tubuh penuh luka lebam dan memar. Ternyata dia dikeroyok beberapa preman yang katanya memalaknya hingga meninggal sepulang dari PKL dan ditangannya masih menggenggam buku resep masakan Jepang dan juga origami angsa dari kertas. Karena kejadian itu Bu Karima terus menyalahkan Pak Jamal dan memilih berpisah dan membawa Eza.
Ketika telah sampai di pemakaman, kulihat dari jendela, Eza dan mamanya sedang berdoa di makam Rafi. Awalnya Pak Jamal enggan keluar, tapi setelah kupaksa, dia mau keluar juga. Langkahnya ragu-ragu. Dan ketika sudah di depan makam, aku langsung bergabung dengan Eza dan ibunya mendoakan Rafi. Mereka melihat ke arahku dan kaget ketika tahu aku bersama Pak Jamal. Bu Karima histeris dan menyerang Pak Jamal sambil menangis.
”Ngapain kamu kesini..? Kamu sudah bunuh Rafi..kamu yang bunuh Rafi..kembalikan Rafi..” sambil memukul-mukul Pak Jamal.
Pak Jamal hanya diam tanpa melawan. Eza juga hanya diam. Bu Karima masih histeris dan masih memukul-mukul Pak Jamal, lalu Pak Jamal memeluknya sementara Bu Karima tak henti-hentinya meronta.
“Maafin Papa, Ma. Papa tau Papa salah. Papa menyesal Ma. Maafin Papa..” katanya sambil meneteskan air mata.
Bu karima semakin marah,”maaf katamu? Maaf? Kata maaf gak bisa balikin Rafi. Kalau waktu itu kamu izinkan dia lakukan apa yang dia mau, kejadiannya gak bakal kayak gini. Dia masuk ke STM walaupun dia gak mau karna kamu memaksanya. Kamu jahat Mal, jahat..” teriak Bu Karima masih histeris.
“maafin Papa Ma. Kalau tahu kejadiannya kayak gini, Papa gak bakal maksa dia. Papa bakal dukung dia buka restoran, Papa fasilitasi semuanya, Papa sekolahkan dia sampai jadi koki besar.”kata Pak Jamal setengah berbisik. “lagipula tuhan telah menggantinya lewat Bayu..” lanjutnya sambil memandangku.
Bu Karima berhenti menangis lalu menghambur dan memelukku erat.
*****
Kami berempat tiba di rumah Eza. Pak Jamal terlihat agak kaku. Bu Karima masih belum juga mau tersenyum. Bahkan dia tak menyuguhkan segelas air putihpun. Aku lalu bergegas ke dapur dan membuatkan teh manis hangat yang kucampurkan lemon. Katanya sih teh lemon bisa menghangatkan suasana.
Setelah aku sajikan di atas meja, aku lalu duduk di samping Eza. Tiba-tiba hapeku bergetar dan aku langsung mengambil jarak sedikit dan langsung menjawabnya.
“halo..ya..oh..semuanya buat empat orang. Iya...oke, thanks ya Sal..” kututup teleponku.
Semua orang menoleh ke arahku dengan tatapan bingung.
Aku tersenyum.
“Pak, Bu, kayaknya udah lama keluarga kita gak liburan. Saya dapet rekomendasi dari teman, katanya di daerah Bogor ada tempat menginap yang asik. Sejuk banget lah. Gimana? Mumpung lagi diskon katanya. Lumayan, tiga puluh persen.”
“tapi gua kan masuk besok Bay”
“hhmm..biar saya yang urus kalau masalah itu”
“tuh kan Za, lo tenang aja, nepotisme kali-kali gak pa pa lah, hehe. Tapi sekarang mending sholat maghrib dulu, terus kita siapin aja baju buat kesana.”
Lantas kami semua segera mengambil wudlu dan sholat maghrib berjamaah.
***
“Oke, semuanya siap?” tanyaku pasti. “Ayo berangkat..barang-barangnya udah Bayu siapin. cus cus cus” kataku lalu berdiri.
Semuanya pun berdiri.
“Tunggu..” kataku merengut.
“Apa..? katanya ayo berangkat..” tanya mereka serempak.
“aku dah capek-capek bikin minuman, masa gak ada yang nowel-nowel acan..” kataku merengut.
Semua saling pandang lalu tertawa kemudian duduk lagi dan meminum teh lemonku.
“wah, mantap. Kayaknya resto kamu nanti laris manis” goda Pak Jamal.
“Siapa dulu donk yang ngajarin...” kataku sambil memanyunkan bibir ke arah Bu Karima dan dibalas deheman oleh Pak Jamal.
Kami semua lalu tertawa melihat perubahan wajah dari ketus jadi tingkah malu-malu Bu Karima. Bu karima tersenyum ke arahku lalu melotot ke arah Pak Jamal.
****
Di dalam mobil suasananya mencekam sekali. Halah, bukan mencekam, tapi kikuk sekali. Pak Jamal terlihat kaku sambil menyetir. Sedang Bu Karima dan Eza tampak terdiam di kursi belakang. Hmm..aku harus mencairkan suasana nih.
Lalu aku ingat bahwa aku sering mendengar lagu Kokoro no Tomo yang dipopulerkan oleh Matsumi Atsuwa sering diputar oleh ibu di senggang waktunya. Lalu kucari di playlist hapeku di folder lagu-lagu Jepang karena Eza yang menyuruhku menyimpan lagu-lagu Jepang seperti lagu-lagu Utada Hikaru, dan beberapa artis Jepang lainnya.
Setelah kutemukan di playlistku, ku tekan play dan terdengarlah alunan musik Jepang klasik dengan suara berat Mayumi Atsuwa.
ANATA KARA KURUSHIMI O UBAETA SONO TOKI
WATASHI NIMO IKITEYUKU YUUKI NGA WAITE KURU
ANATA TO DEAU MADE WA KODOKU NA SASURAI-BITO
SONO TE NO NUKUMORI O KANJI SASETE
AI WA ITSUMO RARABAI
TABI NI TSUKARETA TOKI
TADA KOKORO NO TOMO TO
WATASHI O YONDE
SHINJIAU KOTO SAE DOKOKA NI WASURETE
HITO WA NAZE SU’NGITA HI NO SHIAWASE OIKAKERU
SHISUKA NI MABUTA TOJITE KOKORO NO DOA O HIRAKI
WATASHI O TSUKANDARA NAMIDA HUITE
Kulihat Pak Jamal melirik ke arahku dan dari kaca spion depan, kulihat Bu Karima juga tampak salah tingkah dan sesekali melirik ke arah Pak Jamal. Mungkin mereka sedang bermain-main dengan masa lalu mereka yang romantis. Dan sepertinya pikiran mereka kembali ke masa-masa mereka di Jepang.
”ini lagu zaman kapan ya? Tapi masih enak aja di denger. Tapi ngomong-ngomong, ini lagu nyeritain apa sih Za?”
“tentang hati. judulnya Kokoko no tomo. Ya intinya dia mau jadi teman hati, karena senyuman pasangannya itu adalah bahagianya, tangisan itu lukanya, dan rasa yang dia simpan itu takkan mati”
“hmm..dalem abanget ya..lagunya juga enak banget ya. Kalau aku punya orang seperti itu pasti bahagia banget. Jalan-jalan sore liat bunga sakura..main lempar salju..ah..romantis banget pastinya.”
AI WA ITSUMO RARABAI
ANATA NGA YOWAI TOKI
TADA KOKORO NO TOMO TO
WATASHI O YONDE
AI WA ITSUMO RARABAI
TABI NI TSUKARETA TOKI
TADA KOKORO NO TOMO TO
WATASHI O YONDE
Kulihat Pak Jamal dan ibu makin salah tingkah dan sesekali mereka saling curi pandang dan tersenyum tipis. Suasana mulai mencair, dan aku masih berusaha mengatur posri ngobrolku dengan pak Jamal, ibu dan juga Eza.
“Pak, kita buka puasa dulu ya Pak, kasian kan belum pada makan. Di depan balik arah aja Pak” kataku dan Pak Jamal tak berkomentar dan membelokkan mobilnya.
Setelah masuk ke deretan ruko di Movieland, Pak Jamal pun memarkirkan mobilnya.
“yuk turun” kataku.
“Saung Air, Bay?” tanya ibu.
“iya Bu, Bayu dari dulu pengen banget makan disini. Waktu kemarin kan Eza ngajak makan di Bakmie Grand kelinci, pas liat ke sini, jadi pengen nyobain..katanya sih harganya murah-murah Bu. Dan dekorasinya itu loh Bu yang bikin bayu pengen banget kesini“ sergahku antusias.
Lantas aku dengan antusias segera memilih tempat. Dan untungnya saung paling pinggir belum ditempatin. Untung aku booking tadi sebelum berangkat kesini, kalau jam segini kesininya, pasti udah penuh. Lantas datang seorang waiter menghampiri kami dengan senyum ramahnya.
“Selamat datang. Akang yang booking saung nomer 19 ya?”
“iya. Pesenannya masih kami masak karena kami ingin menyajikan sesuatu yang fresh. Mohon berkenan menunggu sepuluh menit lagi” kata waiter yang lumayan manis tadi.
(bener loh, ada satu waiter yang manis banget, amat sangat gud luking sekali, umur 20 orang Brebes, inisialnya AN, dan ngomongnya yang agak ngebas dan aksentuatif bikin dia keliatan makin ehm ehm. haha. Cekidot aja ke tkp)
Lantas kami berempat duduk di saung lesehan itu, dan tentu saja ibu masih mengambil jarak dengan Pak Jamal.
Kuedarkan mataku ke sekeliling bangunan ini. Di depan saung, tampak bangunan bertingkat tiga yang katanya dijadikan gedung pertemuan atau tempat resepsi pernikahan. Suasananya tampak asri sekali dan memadukan restoran bergaya Sunda yang kental dengan nuansa bamboo dan pancuran air serta gaya oriental. Dan suara gelontoran air makin mengesankan romantisme tempat ini. Di bawah saung ada kolam yang didalamnya banyak sekali ikan-ikan yang berenang dengan anggunnya. Dan lampu-lampu taman yang temaram serta lampion-lampion yang tergantung dengan dengan eksotisnya.
Lalu dua orang waiter datang dan membawa pesanan kami. Setelah menyajikan piring-piring itu dengan tertata rapi, mereka meninggalkan kami berempat.
“wah..gurame saus mangga nih” kata Pak Jamal.
“iya. Ibu kan suka banget sama yang namanya gurame saus mangga. Kalau Bayu mau nyoba bebek Lexis-nya…Za, lo mau nambah apa? Cumi? Ato nambah kangkung?”
“gak ah. Lagi males makan” jawab Eza.
“yaudah. Dakidakimasu..” pekikku senang.
“hahaha. Kebiasaan..bukan daki daki mas..tapi itadakimasu..” kata Eza.
Mereka bertiga akhirnya tersenyum dan aku sedikit lega karena sekarang suasananya sedikit mencair.
Aku mulai sibuk mengalasi piring dengan nasi dan kubagikan satu-satu. Aku memang senang mengalasi nasi untuk orang yang makan. Padahal kan mestinya itu tugas ibu. Tapi karena ada pak Jamal, pasti ibu gak bakalan mau. Aku lantas mengambil bebek Lexisnya serta capcay kesukaanku.
Aku lantas mencicipi daging bebeknya.
“wah..bebeknya mantap..kalau yang lain kan bebeknya digoreng kering, kalo yang ini agak basah, dan rasanya kenyal-kenyal gitu..”
Mereka bertiga masih saja diam tak berkomentar. Sementara Eza hanya melirik-lirik ke arahku. Aku masih menikmati capcayku dan tiba-tiba Eza mengambil potongan bebekku.
“hey, kok bebek gua diambil?” protesku.
“pelit amat sih jadi orang. Si Amat aja gak pelit.”
“idih, kan gua yang mesen, lagian juga tadi gua udah nawarin lo mau nambah pesenan apa enggak lo bilang gak mau. Sini, balikin bebeknya”
“gak mau”
Aksi selanjutnya aku dan Eza masih tarik-menarik daging bebek itu, suasana mulai gaduh dan beberapa pengunjung lain mulai melirik ke arah kami. Menyadari bahwa kami jadi pusat perhatian, akhirnya aku mengalah dan hanya bisa manyun, sedang dia dengan senyum penuh kemenangan menikmati potongan bebekku. Padahal aku lagi pengen makan bebek..T_T
Kami masih makan dengan lahap dan tak disangka, di musim kemarau saat ini, hujan mulai turun. Semua pengunjung mendongak ke luar dan beberapa diantara mereka mengamankan sandal-sepatu mereka biar gak basah.
Pencahayaan lampu yang temaram dengan butir-butir air yang jatuh menambah indah pendaran-lampu-lampu taman yang warna-warni itu. aku sedikit merengut, karena kami baru aja sampai sini, tapi malah keburu hujan, kuperhatikan Eza, dia malah tersenyum.
“kenapa senyum-senyum Za?” tanyaku penasaran.
Dia hanya diam tak menjawab. Aneh, pikirku. Lalu kamipun melanjutkan makannya. Dan setelah makanan habis, kami semua duduk sebentar sambil menunggu hujan reda. Tapi hujannya juga tak mau reda, dan yang paling membuatku bingung adalah Eza malah semakin lebar tersenyumnya.
“yok, kita lanjutin perjalanan” kata Eza.
“lanjutin? Masih hujan Za..”sergah ibu.
Lantas dua orang waiter datang membawa dua buah payung dan menyerahkannya ke Eza. Lalu Eza menaruh satu di atas meja dan membentangkan payungnya diluar.
“yuk bay, kita ke mobil” ajak Eza.
Aku melongo. Oh..aku baru sadar kenapa dia tersenyum. Aku dan dia kan berjalan dibawah satu payung, di tempat yang romantis ini, meniti batu-batu yang ditaruh di tengah-tengah taman ini. Hwaaa..ternyata eza romantis juga…
Aku lalu menghampirinya dengan tersenyum juga. Lalu aku memegangi pinggangnya karena payungnya terlalu kecildan juga pijakan kaki kami terlalu sempit. Lalu kami berlari ke mobil sambil tertawa kecil. Dan dia malah berlari meninggalkanku sambil tertawa. Waduh, aku kehujanan.
“eza..tungguin..” pekikku sambil memayungi kepalaku dengan kerah bajuku dan berlari ke mobil.
Sampai disamping mobil pak Jamal, aku masih tersenyum. Dia juga tersenyum ke arahku.
“tuh kan..untung turun hujan..”
Hwaaa…tralala, trilili, aku senang sekali…ternyata Eza orangnya romantis juga, dibalik sikap jaimnya dia ternyata…argghht..aku makin makin sama Eza..
Lantas kulihat Pak Jamal dan ibu saling pegangan payung dan sesekali mereka berdua tampak rebut sambil berlari kecil kea rah mobil.
“coba kalau gak hujan, ibu sama papa mana ada gandengan sambil pegang payung berdua, ya meskipun sambil misuh-misuh ibunya.”
Apa? Jadi dia senang turun hujan tuh karena ibu sama papa satu payung? Bukan karena aku dan dia berjalan di bawah sebuah payung sambil pegangan tangan di tempat romantis ini? Ternyata aku aja yang kegeeran.. T_T
******
“masih jauh gak bay tempatnya?” tanya eza.
“katanya sih deket. Bentar, gua telpon dulu Isal”
Aku lantas menelpon Isal untuk memastikan. Dan ternyata kata Isal tempatnya tinggal dikit lagi, setelah tanjakan, hanya berjarak beberapa ratus meter lagi. dan tibalah kami di tempat yang ada plang SELAMAT DATANG DI CAMPING GROUND DAN OUTBOND CANSEBU.
“taram taram..kita sampai...” kataku sambil membuka pintu.
Dengan antusias sekali aku langsung membuka pintu. Dan ketika keluar, aku baru sadar bahwa ini di Bogor. Haduh..dingin...dan ketika aku hendak mengambil sweeterku di mobil, ternyata Eza sudah membawakannya. Dia tersenyum manis sambil menyerahkannya padaku dan aku hanya melongo saja.
“ini sweeter lo udah gua bawain. Apa mau gua pakein juga?”
“hhh? Gak gak usah, hehe” kataku seraya mengambil dan langsung memakainya karena udara pegunungan di malam hari itu dinginnya tak tertahankan.
“kalian tunggu disini dulu ya, biar aku konfirm dulu ke resepsionis” kataku langsung berjalan menuju resepsionis.
Dan setelah mendapat penjelasan dari resepsionis dan juga dikasih kunci kamar, aku kembali ke mereka yang masih tampak kikuk.
“cie cie cie..kok malah pada diem-dieman sih..”
--”
Mereka bertiga saling pandang dari sudut mata mereka. Eza masih mengapit tangan ibunya sedang pak Jamal terlihat memasukkan tangannya ke saku celananya karena dingin sekali.
“barusan Bayu habis confirm, tadinya kita nginep di Pelepah Pirang, tapi dipindah ke Cansebu. Tapi gapapa kok, ada kolam renangnya juga kok.”
“Pelepah Pirang? Cansebu? Apaan tuh?”
“itu nama unit cottagenya. Udah ah, gua juga bingung. Katanya sih ada empat unit, maksudnya empat grup, eh, empat lokasi, eh..tau ah bingung nyebutnya apa. Yuk,capcus ah”
Dan sekarang kami berjalan masuk dan segera menuju ke kamar karena hawanya menusuk sekali.
“ibu..kamar 304 ini buat aku sama Eza aja. kalau ibu di kamar sebelah..”
“loh, kok?” pekik ibu dan pak Jamal serentak.
“ya mau gimana lagi. Kita kebagiannya kamar ini. Lagian juga extra bed-nya kepake semua. Jadi ya Bayu pesen dua kamar..”
“lha, terus ibu sekamar sama siapa?”
“ya sama pak menejer donk..” godaku sambil mengerling kea rah pak Jamal yang masih bingung.
“nggak nggak nggak. Kamu saja yang sama ibu.”
“masa aku sama ibu...kan bukan muhrim bu..”
“yaudah, Eza, kamu sama ibu tidurnya. Gak boleh bantah”
“tapi..”
“jepp ah”
Waduh, gagal deh rencanaku. Kulihat Pak Jamal hanya garuk-garuk kepala saja. Sementara ibu masih berkacak pinggang lalu menarik tangan Eza dan mengapitnya erat.
“yaudah deh..aku saja yang sama ibu..’ kataku akhirnya mengalah, takutnya Eza agak kikuk kalau sekamar sama pak Jamal.
*****
06.30 wib
Setelah sholat shubuh, aku langsung mandi biar badanku terasa segar, walaupun sebenarnya dinginnya gak ketrulungan. Tapi rasanya sayang sekali kalau udara segar pegunungan tak dimanfaatkan. Aku pengen ngajak Eza jalan-jalan pagi ini. Ah, kalau kusms, dan ternyata dia masih tidur, sia-sia saja. Mending telpon dia aja ah.
“tut..tut..tut..” cukup lama tak diangkat juga.
Pasti masih tidur tuh anak. Orang dingin-dingin gini pasti dia masih berselimut.
“mau kemana Bay?” tanya ibu sambil melepas mukenanya.
“mau jalan-jalan sebentar Bu. Kayaknya sayang banget kalau udara paginya gak diisep. Kan jarang-jarang Bu kita ke tempat sejuk begini”
“oh, iya, tapi masih dingin begini Bay. Kamu mau jalan-jalan sendiri?”
“paling ngajak Eza Bu. Mau ikut bu?”
“ibu di kamar aja kayaknya. Dingin banget”
“yaudah, aku bangunin Eza dulu ya bu”
Aku lantas keluar kamar lalu kuketuk pintu kamarnya Eza, tapi tak ada sahutan dari dalam. Huh, dasar lelaki pemalas. Jam segini malah masih pada tidur. Mau jadi apa bangsa ini kalau pemudanya pemalas kayak dia? Aku coba buka handle pintu, ternyata gak dikunci. Ckckck, udah pemalas, ceroboh lagi.
Dan ketika masuk, kulihat Pak Jamal masih berselimut dengan rapatnya, begitupun Eza, dia terlihat pulas sekali tidurnya. Aku suka sekali kalau liat dia sedang tidur, wajahnya terlihat imut sekali. Lantas kudekati Eza dan mengguncang-guncang tubuhnya.
“Za, bangun..kita jalan-jalan yuk..”
“mmm..”
“Eza..bangun..” kataku teriak tertahan.
Coba kalau gak ada Pak Jamal, langusng kutarik selimutnya dan teriak di kupingnya sekencang-kencangnya.
Matanya terbuka sedikit dan kugoncang-goncangkan lagi.
“bangun Za, kita jalan-jalan yuk, keliling daerah sini, temenin gua poto-poto.”
Eza tampak kembali menarik selimutnya. Uhh..dasar pemalas..
“Za..bangun..”
“apa sih Bay...? gua masih ngantuk..baru juga jam segini..” kata Eza dan nadanya malas sekali lalu kembali menarik selimutnya.
Aku merengut. Benar saja, masih jam enam pagi. Aku lantas berdiri dan segera meninggalkan kamar Eza dengan sedikit perasaan kecewa. Sebenarnya kan aku pengen jalan-jalan dan nikmatin tempat indah dan romantis ini sama Eza..walaupun kayaknya sunrisenya bakal ketutup halimun..tapi gapapalah, kasian juga dia masih pengen tidur. Kutengok lagi dia, ahh..yaudahlah, aku jalan-jalan sendiri aja.
Aku lantas menuruni anak tangga yang berbelok ke arah taman dan terdapat sebuah gazebo dengan dua buah kursi kayu dan di depannya terdapat beberapa rumpun bunga yang aku tak tahu namanya dan juga pohon palem yang tak terlalu tinggi dan dipadupadankan dengan beberapa buah batu yang disusun artistik, serta beberapa buah lampu taman yang terlihat nyeni sekali. Aishh..coba kalo nanti malem aku duduk disini sama Eza sambil nikmatin malem, hmm...romantis banget..ah, daripada mikir yang enggak mungkin, mending aku lanjutin lagi jalan-jalannya.
Kuambil hapeku, ternyata ada notif masuk. Wah, ada notif baru.
“cikarang digoyang...eeeaaa..”
Aku tersenyum. Ternyata gadis itu sedang on line. Sebulan ini aku memang sedikit keranjingan jejaring sosial yang menjangkiti anak-anak pabrik. Dan yang cukup intens denganku adalah seorang gadis yang mengaku bernama Mita. Ah, daripada bengong dan bete, mending aku ol aja sama dia.
“lagi gak di cikarang kalee..w lagi di Bgor..”
“cie...liburan nih..?”
“yap. Lagi jalan2 pagi, swegerrrr...”
Cukup lama tak ada balasan. Kulanjutkan lagi langkahku dan kulihat ada tali tambang yang kedua ujungnya terikat diatas sebuah tiang yang dihubungkan oleh anak tangga dan di bawahnya itu kolam dan setiap satu setengah meter ada tali yang menjuntai buat pegangan.
Aku lantas iseng menaiki tali itu dan tali itu mulai bergoyang ke kanan ke kiri dan aku mulai oleng, secara refleks aku mencari pegangan tali dan mencoba menggeser kakiku tapi ternyata agak susah juga. Kakiku malah gemetaran dan aku urungkan niatku untuk mencoba berjalan di atas tali itu.
“yah..payah..masa balik lagi?”
Aku mendongak. Kulihat Eza menatapku malas sambil menguap.
“lho kok, bukannya lo tidur tadi?”
“iya, gua masih ngantuk, tapi takutnya lo nyasar lagi. Minggir, gua mau nyooba” kata Eza.
Aku lantas mundur dan dia mulai meniti tali itu dan dengan lihainya dia menjawil tali-tali yang menjuntai itu dan berjalan seperti seekor kera, gak ding, masa Eza disamain sama kera? Seperti Tarzan aja deh. Kok Tarzan? Eza kan gak telanjang pake kancut doank? Hmm..pokoknya lincah banget.
Huah..Eza aja bisa, masa aku gak bisa?
Aku lantas kembali mencoba berjalan lagi. Gampang ah, tinggal jalan aja sambil pegangan ke tali, pikirku. Dan aku lantas menjejak kaki di tambang itu dan mulai menjawil tali yang menjuntai dan mulai berjalan. Karena di ujung tali Eza masih meniti, otomatis tali oleng dan Eza melirik ke arahku dengan tatapan jail.
Lalu aku merasa tali yang kutiti semakin oleng dan terdengar tawa jahil dari ujung tali.
“hahaha”
“Eza..jangan digoyang-goyangin..entar gua jatoh..”
“hahaha. Hayo..hayo... “ katanya tak mengindahkanku dan dia malah semakin mengguncang-guncang tali itu dan keseimbanganku hilang dan...
“brett..” aku terjatuh, tapi untungnya kakiku duku yang masuk ke kolam yang airnya butek itu, bukan air, lebih tepatnya lumpur encer. Untung saja aku tak jatuh tertelungkup badan, jadi yang kotor Cuma celanaku aja.
“HWAAA...EZAAAA...”
Dia tampak kaget dan hanya nyengir. Aku hanya diam sambil merengut melihatnya. Aku lantas berusaha bangun berjalan ke pinggir kolam lalu menggulung celanaku. Padahal aku baru mandi..T_T
Aku lantas mencari air untuk mencuci kaki dan celanaku. Aku kesal sekali, tadi dia gak mau bangun, eh dia bangun malah bikin aku jatuh ke lumpur. Eza lalu mendekatiku tanpa bicara sedikitpun. Dan aku berusaha tak memeperdulikannya karena masih merasa kesal. Aku lantas mencuci kakiku dengan raut cemberut. Dan setelah kurasa cukup bersih aku lantas berjalan lagi tanpa mengindahkannya.
Eza masih mengikutiku.
“Bay, ini bunganya bagus banget” katanya tapi aku masih pura-pura gak dengar dan masih berjalan.
“apa nih, lucu banget” kata dia lagi tapi aku malah asik memotret pemandangan sekitar.
“lho, ini buku resep maskan punya siapa?”
Buku resep? Mataku langsung berbinar dan segera menuju ke arah Eza.
“mana-mana-mana?” tanyaku antusias.
Dia hanya terkekeh dan aku baru menyadari bahwa dia telah membohongiku. Agak malu bercampur kesal juga aku. Aku lantas berjalan meninggalkannya. Lalu dia berusaha mengejarku.
“Bay, tunggu”
Aku masih tak mengindahkannya.
“Bay..maaf..”
Langkahku terhenti. Untuk pertama kalianya kata maaf terucap dari mulut kokinya. Aku lantas membalikkan badanku menghadapnya. Dia tampak merasa bersalah sekali.
“coba ulangi lagi Za”
“ulangi apa?”
“itu kata-kata lo barusan”
“yang mana?”
“yang terakhir itu..”
“iya yang terakhir yang mana?”
“au ah” kataku sambil berlalu meninggalkannya.
“Bay, maaf..”
Aku masih terus berjalan dan masih tak mengindahkannya.
“Bay..maafin gua Bay..”
“...”
Lalu dia menjawil tanganku dan menatapku dengan tatapan memelasnya.
“maafin gua Bay..”
“udah gak berlaku. Awas ah, gua mau moto lagi” kataku kesal.
Dia lantas merebut kameraku.
“hey, apa-apaan? Balikin kamera gua”
Dia hanya diam saja. Lalu dia memposisikan kamera itu di depan wajahnya dan memasang wajah so imut, gaya khas remaja ibu kota masa kini, bibir mayun, pipi dikembungin dan mata sedikit merengut sok imut dan..jepret, dia memoto dirinya sendiri. Hah? Sejak kapan Ez jadi narsis?
Eza lantas memotoku yang sedang bengong memerhatikannya dari berbagai sudut. Dia lantas jongkok lalu kembali memotoku.
“senyumnya tiga jarinya mana Bay? Okey, satu dua..tig..ga..bagus..ganti posisi..”
Aku hanya diam saja sambil menatapnya dengan tatapan aneh. Dia kejedot apa sih? Apa jangan-jangan dia salah minum obat lagi?
“itu wignya dirapiin Bay. Mmm..tank topnya juga agak diangkat dikit. Iya, iya, roknya agak disingkapin dikit biar g-stringnya keliatan..”
Aku masih mencoba menahan tawa tapi akhirnya gak kuat juga.
“hahaha. Parah..lo tuh, uuuhh..” kataku gereget melihat tingkahnya.
“nah gitu donk. Udah kan marah-marahnya. Yuk jalan-jalan lagi”
Lantas kami berdua melanjutkan lagi perjalanan kami, meski akhirnya dia harus mengalah dengan menenteng sendalku karena sendalnya aku pakai. Huhuhu.
****
Setelah puas jalan-jalan, aku meminta Eza untuk istirahat dan duduk-duduk sebentar sambil menikmati pemandangan hijau yang terhampar di depan kami. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengabadikannya lewat kameraku.
“Za, Kak Rafi itu orangnya kayak apa?” tanyaku membuka obrolan sambil membuka-buka hasil jepretanku.
Dia hanya tersenyum mengenang.
“dia itu..istimewa” katanya tak jelas.
“istimewanya?”
“hmmm..”
“mulai deh ...lo jangan bikin jadi bingung. Seenggaknya gua tau siapa dan bagaimana Kak Rafi itu. Dan seberapa istimewa dia. Dan yang sama dari gua sama dia tuh apa? Eh bentar, Kak Rafi itu yang ngajarin origami itu?”
Eza menoleh ke arahku dan mengangguk.
“terus, dia itu yang ceritain kisah pelangi itu? Tapi dari cerita lo kayaknya orangnya pendiem. Eh katanya mirip gua, berarti gua itu pendiem juga kayak Kak Rafi..”
“wew. Orang kayak lo pendiem, gimana rempongnya? Yang mirip tuh cuman mata lo aja..dan kalian sama-sama suka masak. Dia itu orangnya filosofis dan suka banget sama yang namanya fisika. Beda sama lo yang oon”
“huhuhu. Gua gak oon-oon banget kali Za. Dulu tuh nilai ulangan fisika gua tuh sembilan tau”
“masa?”
“iya, tapi soalnya dua puluh. Haha.”
“wew ah. Terus dia itu kalau bikin masakan tuh..uh..belum mateng aja wanginya udah bikin ngiler. Kalau gua makan masakan dia, gua nyampe nambah berkali-kali. Dan ..ah..pokoknya dia itu benar-bener the best lah”
“Yaudah, ntar gua mau jadi kayak Kak Rafi ah.”
“kayak Kak Rafi gimana?”
“jadi pendiem, cool gitu deh. Terus gua mau belajar fisika, jadi pas waktu masak kan gua bisa ngitung gaya aksi dan reaksinya”
“wew, masukin ke kulkas aja palalo biar cool”
“idih, gak mutu banget. Udah ah, kita lanjutin. Cus cus cus”
“cuss..” timpal Eza.
Dan kami melanjutkan jalan-jalan pagi ini mengitari Cansebu. Eza mengajakku menjajal memanjati jalinan tambang, berjalan meniti jembatan yang pijakannya dari balok kayu kecil dan tangan kita berpegangan sama tali tambang yang tergantung. Lalu foto-foto di air terjun kecil, melintasi jembatan kayu yang tergantung diatas kolam renang dan banyak-banyak lagi spot yang membuatku betah sekali kesini. Sebenarnya tempat apapun kalau kita bersama orang yang kita sayangi, pasti akan terlihat indah berbunga-bunga. Dan pagi itu matahari bersinar menghangatkan udara di Cansebu Camping Ground yang dari tadi tampak berkabut. Dan hangatnya hatiku terasa lebih hangat dari sinar matahari pagi.
*****
14.00 wib
Setelah dapat kabar dari Isal bahwa peserta games saat ini kurang beberapa orang, aku coba confirm ke salah satu EO dan setelah dapat izin dari consultingnya, kami diikutsertakan dalam games itu.
Dan entahlah, mungkin tuhan merestui niat baikku untuk menyatukan Ibu dan juga pak Jamal. Aku dan Eza masuk ke tim A, artinya tim anak muda, sedang Ibu dan Pak Jamal masuk ke tim B, untuk orang tua. Jadi tujuannya untuk melihat seberapa synergy-nya anggota team itu.
“oke, sekarang kita masuk ke games, games pertama yaitu Balok Kekompakan. Fasilitator kami telah menyediakan sebuah rangka balok yang disusun sepuluh tingkat. Jadi peraturannya, regu yang mampu melepaskan sepuluh balok dalam waktu sepuluh menit, tanpa merobohkan susunan balok itu, itulah regu yang menang. Aturan mainnya, balok yang telah disentuh harus dikeluarkan, tidah boleh mengganti balok yang akan diambil”
Lantas kedua team saling berempug untuk menentukan strategi. Eza tampak diam mengamati susunan balok yang berukuran panjang lima senti dengan masing-masing sisi hanya satu senti setengah.
Kudengar team sebelah juga masih ribut soal strategi. Mereka rebut soal strategi yang harus dipakai, dan kebanyakan bersikukuh bahwa strategi yang dia ajukan adalah strategi terbaik. Padahal udah pada tua, masih aja ribut kayak anggota DPR. Hadeh..
“oke, jadi nanti ngambil baloknya berurutan ya dari yang paling atas, soalnya kalo dari yang paling bawah, bakal ganggu keseimbangan” terang seseorang berambut gimbal.
Aku hanya diam tak berkomentar karena posisiku dan Eza hanya sebagai pelengkap saja. Lantas permainan pun dimulai. Seorang fasilitator berdiri di depan meja masing-masing team dan mulai memegang stopwatch yang tergantung di lehernya.
“okey siap, satu dua tiga, go”
Suasana mulai gaduh karena masing-masing team saling meledek, dan juga memberi semangat pada anggota teamnya. Sebenarnya bukan memberi semangat, tapi membuat rusuh dan mengganggu konsentrasi saja. Dua buah balok telah berhasil diloloskan. Kami makin bersemangat dan setelah berganti orang, sekarang sudah empat balok berhasil di loloskan. Setelah itu orang kelima mengambil ancang-ancang untuk mengambil balok itu dan ternayata rangka batang itu tampak oleng. Karena peraturannya, balok yang sudah disentuh, harus dikeluarkan tanpa boleh berganti balok, dan posisi balok sekarang ternyata mengganggu keseimbangan susunan balok itu, maka semua anggota team menjadi ragu dan gak berani maju.
Kami saling pandang, dan ternyata Eza yang maju. Haduh, kebayang kalau misalnya balok yang diambil Eza itu bikin susuanan balok itu ambruk, pasti semaua bakal natap kami dengan pandangan sinis.
“Za, lo yakin bisa?” tanyaku ragu.
Dia hanya tersenyum tipis ke arahku mulai konsentrasi ke susunan balok itu. Mata sipitnya terlihat semakin tajam. Mulut kokinya tampak mengecil dan alisnya mengerut tanda dia berkonsentrasi. Lalu jari telunjuk dan jempolnya mulai menyentuh balok itu dan nafasku, mungkin juga nafas semua peserta Team kami tertahan. Semua mata tertuju ke tangan Eza dan..dengan perlahan tapi pasti balok itu mulai bergeser ke luar dan..hap..akhirnya lolos juga. Semua membuang nafas lega. Dan adegan selanjutnya, Eza meloloskan dengan sukses sampai balok kesepuluh dan mencatatkan waktu tujuh menit lewat dikit.
Huray..team kami menang dan Ezalah pahlawannya…Eza..say E say Z say A, say I loph U Eza..hahah. (centil banget gue)
*****
“baik, games untuk menguji kekompakan lewat Balok Kekompakan telah selesai dan permaianan barusan dimenangkan oleh team A. Kita lanjutkan ke games selanjutnya, yaitu Sambung Bola. Jadi permainan ini sangat membutuhkan kerja sama. Masing-masing dari rekan-rekan semua akan diberikan sebuah bilah bambu yang telah dipotong melintang. Dan juga satu buah bola pingpong. Pelaturannya bola yang digelindingkan dari orang harus masuk ke dalam gelas kecil yang ada di orang ke sepuluh, dan team yang paling cepat memasukkan bola itu yang dinyatakan menang. Okey, bisa dipahami?”
Setelah masing-masing team menentukan strategi masing-masing, bola ping pong orange itu mulai digelindingkan dan orang-orang mulai riuh mengatur posisi. Setelah melewati orang ketiga, karena sangat antusiasnya dia segera melepas bilah bambunya dan memberi semangat, lebih tepatnya menghebohkan suasana dengan teriakkan, tepuk tangan sambil berjingkrak-jingkrak gemas dan ekspresi-ekspresi lain. Begitupun dengan anggota team lain. Dan suasana semakin menegangkan ketika bola sudah mencapai orang ke tujuh. Suasana semakin gaduh, dan aku mulai nervous.
Aku mulai mengatur nafas dan mengatur kuda-kuda dan juga posisi bilah bambuku, dan ketika bola pingpong kecil itu melewati bambuku, aku terkesiap karena bola itu macet. Hwaaa...kok macet, ternyata ukuran bilah bambu itu lebih kecil dari bola pingpongnya. Hadududuh, gimana ini? Jantungku mulai dag dig dug dan perasaanku mulai gak enak.
“ayo mas, dikit lagi”
“hadududh, macet bolanya, jalurnya kesempitan”
“coba digoyang-goyang Bay” saran Eza.
Aku lantas mulai menggoyang-goyangkan bambunya tapi masih enggan bergerak juga bolanya. Sedang team yang sebelah juga tampak heboh dan saling menyemangati. Aku semakin greget dan sedikit menambah tenaga ketika mengguncang bilah bambu itu dan..tuing..bola pingpong itu terlempar dan..traakkk..bola pingpong itu jatuh ke lantai, terpantul beberapa kali dan menggelinding ke arah tim tetangga dan..
“horeee...”
Dan disaat yang bersamaan, team tetangga tampak bersorak kegirangan karena bola pingpong mereka masuk ke dalam gelas.
Team kami hening. Dan semua mata menatap ke arahku dengan tatapan - -“, dan rasanya aku mau masuk ke dalam lubang cacing.
****
Aku masih rebahan di atas kasur bersama Eza. Kami berdua masih tertawa-tawa mengingat games-games seru tadi. Sesekali Eza dengan antusias menceritakan apa yang terjadi ketika Ibu dan Pak Jamal segrup tadi. Dan tentu saja dia terus terusan meledekku yang menyebabkan team kami kalah di games kedua.
“lagian dodol banget si lo, pake diguncang-guncang segala, kan jadinya loncat tuh bola pingpong”
“hey, itu kan tadi lubangnya seret, makanya gua guncang-guncang bambunya, eh bola ping pongnya malah loncat”
“haha. Padahal lo keluarin jurus andalan lo, beri pelumasan”
“hahah. Parah, lo kira cylinder seret, mesti kasih oli”
Lantas kami berdua masih saling menyalahkan penyebab kekalahan team kami tadi. Lalu tawa Eza terhenti ketika hapeku bergetar karena ada panggilan masuk. Setelah kuambil, dan ketika kulihat, ternyata Isal yang menelponku dan segera mengangkat panggilan dari Isal.
“Isaaallll..”
“iya iya...gak usah pake TOA kali Bay..gua denger kok”
“hahah. Lo lagi dimana Sal? Eh tau gak, Cansebu tuh beneran keren Sal..uh..lo pasti masuk surga Sal karena ngasih tau ni tempat..”
“amin..tapi gua ragu doa dari lo dikabulin tuhan..”
“hahah. Gitu amat sih Sal sama gua..doa orang baik hati kayak gua pasti mustajab tau...”
“iya iya..gimana, misi berhasil gak?”
“hhmm..gak tau juga deh. Tadi sih masih berantem gitu. Padahal gua udah dengan sekuat tenaga dan pikiran ngatur strategi biar mereka satu team, satu kamar, eh..masih aja berantem. Payah juga ah mereka”
“terus sekarang lagi ngapain?”
“lagi di kamar sama Eza. nih orangnya lagi ngupil”
“hey hey hey, siapa juga yang ngupil?” protes Eza nyolot dengan bibir mencang-mencong.
Aku hanya cekikikan.
“itu mah elonya aja yang keasikan berdua sama Eza sampe lupa misinya”
“hahah. Gak juga ah, tapi iya juga ding. Tapi enggak kok, cuman jalan-jalan doank keliling Cansebu. Abis tempatnya keren mampus tau gak Sal. Tau gak kita tadi kemana dan ngapain aja? Gua sama Eza tadi foto-foto di jembatan gantung, jalan di tambang yang goyang-goyang itu, gua sampe ampir jatoh tau gak..terus..”
“udah ngomongnya?” tanya Isal, dan aku kaget karena suara itu nyatater suaranya terdengar langsung. Ketika kutoleh ke belakang, ternyata Isal sedang berdiri di samping pintu.
“ISAAALLL..sialan, gua cape-cape ngomong dari tadi, taunya lo ada disini. Sia-sia deh gua ngemeng nyampe berbusa-busa kayak detergent. Heh, lo kok gak bilang-bilang kalo mau kesini, tau gitu mah gua siapin red carpet buat”
“Isal udah dari tadi dsini, lagian lo tuh rempong banget si, kalo ngomong gak bisa direm”
“sudah sudah..kalian ini gak di pabrik gak disini, hobinya berantem mulu”
“habis, Eza tuh ngeselin tau”
“hey, kok gua yang disalahin?”
“tuh kan...malah berantem lagi. Lo gak nanya gua dateng sama siapa?”
“hah? Emang penting gitu Sal?”
“Hwaaa..basa basi aja kali Bay...” kata Isal kesal.
“huhuhu. Iya iya. Lo dianter sama Kopasus pak SBY Sal?”
“lebay deh becandanya. Sebenernya sih amam sama apap ke Bogor, ngambil titipan, kebetulan aja, kan tempat tante gua gak terlalu jauh dari sini. Ya gua ajak kesini sekalian.”
“lho, besok kan lo masih masuk Sal?”
“emang gua bilang mau nginep disini? Gua kan Cuma bilang gua ikut kesini, sekalian mau jemput kalian sekarang”
“jemput kita?”
“emang Eza mau bolos lagi? tapi lo masih bisa bolos ya Za,secara bapak lo manager”
“gak lah Sal. Gak enak juga kali sama yang lain. Besok gua mau masuk aja.”
“tapi tapi tapi, baliknya gimana naik apa kapan kemana?”
“hadeh... Ya gua tuh mau jemput kalian, karena ini kan bagian dari misi”
“bagian dari misi?” tanya Eza bingung.
“iya, Bayu kan minta bantuan ke gua buat nyatuin ayah sama ibu kamu Za. Makanya gua nyuruh Bayu bawa kalian kesini, karena kebetulan consulting tante gua lagi ada acara disini ”
“iya gitu Bay?”
“hhe. Iya Za..terus apa hubungannya sama misi lo Sal?”
“haduh..masa gua mesti jelasin juga ke elo sih Bay..”
“onyon..jadi Isal kesini tuh buat jemput kita”
“terus hubungannya apa?”
“hwaa..bunuh aja bunuh...”
“BIAR AYAH SAMA IBU PULANGNYA BEDUA AJA ONYON..”
“oh...huhuhu, baru mudeng gua”
“WEW ah”
Lalu aku dan Eza segera mengepak barang tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya Eza. dan kami akan memberitahu bahwa kami pulang duluan kalau sudah sampai di rumah. Hahaha.
******
Sesampainya di pabrik, aku langsung menuju kantor Pak Jamal dan syukurlah, proses pengunduran diriku berjalan lancar. Aku digiring Pak Jamal menuju ruang meeting engineering. Saat kami datang, meeting koordinaasi masih berlangsung. Seperti biasa, sebagai basa-basi foreman yang sedang memimpin meeting akan memberikan Pak manager untuk memberi sedikit wejangan atau informasi.
“Selamat pagi. Bagaimana kabarnya hari ini? Baik, melihat perkembangan produksi yang sekarang makin meningkat, kita selaku production support, diharapkan untuk lebih memprioritaskan mesin-mesin di lini depan, karena bila lini depan tersendat, efeknya ke belakang akan mengganggu produksi. Dan untuk saat ini, kita masih saja membuka lowongan untuk engineering dikarenakan man power kita yang sangat terbatas, sehingga kita dituntut untuk membantu shift selanjutnya bila ada trouble lanjutan. Dan informasi dari BOD (Board of Director, jajaran direksi), untuk THR kali ini masih dibicarakan dengan SPSI. Mudah-mudahan kita mendapatkan hasil yang win win solution, sama-sama enak lah. Oke, mungkin itu saja informasinya. Silahkan lanjutkan”
Kulihat suasana jadi gaduh. Mereka masih membicarakan tentang THR. Tapi aku merasa bingung. Harusnya Pak Jamal membicarakan pengunduran diriku di meeting ini. Aku lantas mendekati Pak jamal.
“Pak maaf. Bukankah harusnya saya hari ini pamitan?”
“kamu cuti saja dulu dua hari. Kamu pikirkan lagi masak-masak. Saya gak mau kamu lepas sesuatu yang telah pasti, baru kalau usaha kamu telah mapan, kamu boleh resign”
Aku sedikit merengut.
Bukankah tadi beliau bilang proses pengunduran diriku ke HRD telah diurus oleh beliau? Tapi benar juga, aku tak boleh melepas sesuatu yang sudah pasti, setidaknya sampai usahaku jalan.
Kuedarkan mataku dan kulihat Azam begitu gelisah dan hanya memandang ke arah lantai. Dia hanya berjarak beberapa meter dariku. Pasti dia mendengar berita pengunduran diriku barusan. Ketika aku menangkap matanya melihat ke arahku, dia kembali memandang lantai.
“okey, kamu boleh pulang hari ini. Nanti saya call out yang sedang libur” Kata Pak Jamal seraya meninggalkanku.
Aku masih memandang punggungnya yang berlalu. Lalu Azam menghampiriku.
“kamu..mau resign?” tanya Azam dengan muka yang rumit.
Aku mengangguk pelan.
“hidup itu pilihan. Terlepas dari apa yang akan kita dapat dari apa pilihan yang kita ambil. Tapi bagiku, hanya orang bodoh yang memikirkan masalah besarnya materi saja yang menjadikan tolak ukur suatu pilihan.” Kataku diplomatis.
“kamu gak betah disini? Kamu gak nyaman disini? Kamu..kamu..”
Kulihat sekarang Azam bicara dengan nada gelagapan dan tatapan matanya begitu menusuk. Bukan tatapan amarah seperti kemarin-kemarin, tapi seperti ada penyesalan. Yang lain memandang ke arahnya.
Aku tersenyum kecut.
“aku tak takut disebut pengecut, atau ada orang yang menganggap aku lari. Ya, aku memang lari, lari untuk mengejar kebahagiaan sendiri. Mungkin selepas dari sini hidup aku akan kekurangan secara materi. Tapi, ketika aku masih bisa tersenyum dari hati, itu sudah lebih dari cukup.” Kataku pasti.
Dia seperti orang bingung, hanya diam mematung. Aku pun bergegas meninggalkan ruangan dan segera menuju ke parkiran depan.
Sesampainya di parkiran depan, aku melihat ke arah jam tanganku. Taksiku belum juga datang. Aku memang memesan taksi tadi karena motorku masih di bengkel.
“Bay, jangan pergi, please..jangan pergi..”.
Aku menoleh untuk mencari sumber suara itu dan kaget setengah mati. Sumber suara itu adalah Azam. Mukanya kusut, matanya merah, suaranya serak. Aku bingung. Ada apa ini? Beberapa orang yang ada di parkiran diam memandang kami. Dia berlari ke arahku dan secepat kilat tiba-tiba aku dipeluknya, erat, erat sekali.
“Maafin aku Bay. Aku....kamu berniat resign gara-gara aku kan?” katanya memelas.
Apakah ini mimpi? Bukankah seharusnya dia senang aku keluar? Kulepas pelukannya dan aku mencoba tersenyum.
“Bukan Zam. Bukan karena kamu”
Tapi sampai kata itu saja, aku bingung melanjutkan apa, karena memang dialah salah satu alasan aku keluar. Dia lalu menatap mataku dengan sendu. Mata yang penuh kebencian tidak kulihat di matanya. Yang kulihat adalah penyesalan.
“Please Bay, jangan pergi..” katanya lebih seperti berbisik.
Air matanya meleleh. Jangan-jangan ini hanya akal bulusnya? Dia melarangku resign karena belum puas buat aku menderita?
“Kenapa aku gak boleh pergi?” tanyaku.
Dia gelagapan.
“Karena..karena..” dia menggenggam tanganku, “karena aku sayang sama kamu” katanya dengan wajah menunduk.
Sayang? Maksudnya apa?
“Maksud kamu?” tanyaku heran.
Dia melepas tanganku, tapi masih menunduk.
“aku..aku..aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu..” katanya gemetar.
DEGG!!!
Aku seperti tersambar geledek. Otakku serasa berputar-putar. Ini pasti mimpi. Ya, ini mimpi, mimpi paling aneh dalam hidupku. Tapi...suaranya bergetar dan kulihat air matanya jatuh. Aku memegang dagunya lalu mengangkat wajahnya. Air mata masih meleleh, aku meminta penjelasan.
“Maksud kamu apa Zam?”.
Dia hanya diam.
“aku sayang sama kamu. Aku gak mau kehilangan kamu.” Katanya berusaha meyakinkan, dengan suara yang masih bergetar.
Ah gila, pikirku. Aku melepas tanganku lalu berlalu meninggalkan dia. Dia terus memanggil namaku tapi tak kuhiraukan. Apa lagi ini? Setelah perlakuannya selama ini padaku, dia bilang dia sayang aku? Bagaimana mungkin, kalaupun dia memang sayang, kenapa dia selalu saja membuat aku menderita? Aku masih belum mampu menemukan logikanya. Meskipun dia sempat berubah kemarin, tapi ini terlalu aneh. Dan kata-kata sayang itu masih terus terngiang di kepalaku. “Aku sayang sama kamu..”.
No other comment wkwkwkw
“masa aku sama ibu...kan bukan muhrim bu..”
“yaudah, Eza, kamu sama ibu tidurnya. Gak boleh bantah”
“tapi..”
“jepp ah”
Waduh, gagal deh rencanaku. Kulihat Pak Jamal hanya garuk-garuk kepala saja. Sementara ibu masih berkacak pinggang lalu menarik tangan Eza dan mengapitnya erat.
“yaudah deh..aku saja yang sama ibu..’ kataku akhirnya mengalah, takutnya Eza agak kikuk kalau sekamar sama pak Jamal.[
gk ngerti ma kalimat ini. Tp endingny eza ma p. Jamal tdurny kan? Tp k0k bayu yg kn muhrim ma karima. What hell.
nice part, lanjut!