It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Lagian enggak semua cerita yg panjang kita akn bosan,,,yg penting ceritanya bisa membangkitkan emosi pembaca....,,,contohnya CSK,,,,,walaupun ceritanya amat panjang,,,tapi berapa banyak pembaca yg minta diteruskan ceritanya.....!!
Sorry....commentku terlalu panjang....!!
gpp kok, aku suka komen yg panjang n membangun ;-)
agak panjang soalnya... agak... hehehe....
masalah ending, aku kembalikan lagi ke judulnya.. ;-)
Tapi postingnya jngn kelamaan bro!!*#maksa.com.
Xixixixixixixi
malam sabtu, jumat malam. ;-)
malam ini aku mau ngelurusin punggung dulu... hooaaammmmh....
@ zalanonymouz. Trima kasih...!!!
Aslinya org kya w kn cma dijadiin mesin sex, seriusan byk yg mau knal sma w tpi rata" cma mau tau isi didalam underwear w aja. Padahal sma kya BOT w pun pengen ngerasain cinta...!!! Ya biarpun kadang sifat berpetualang w jg gg bsa di tolak. Tpi untk urusan hati w mau 1 org aja.
yang kangen ma jordan,, diempet dulu yaa...sabar.. hehehe..
part 24. end of game
Suara isak tangis membahana di SMA X. Tangis itu meledak setelah mendengar pengumuman dari pengeras suara, bahwa Ellyanara Caesaria telah meninggal dunia. Hampir semua siswa meratapi kepergiannya yang begitu mendadak. Tampak melani yang menangis histeris bahkan sempat beberapa kali pingsan. Bagaimana tidak sedih? Baru saja kemarin mereka bercanda dan makan siang bersama. Seolah mereka akan bertemu lagi keesokan hari, esok harinya lagi dan esoknya lagi. Namun nyatanya, nara pergi begitu tergesa. Bahkan tidak memberi kesempatan untuk sekedar berpamitan. Siapa juga yang tidak mengenal nara? nara sang bunga sekolah. Cantik, cerdas namun lembut. Semua suka padanya. Tapi itu semua tidak sebanding dengan apa yang rama rasakan.
Saat ini rama termenung sendiri di sudut ruangan. Setelah istirahat, kelas XI IPA2 memperoleh dispensasi untuk pergi mengunjungi dan menghadiri pemakaman nara. tampak siswa-siswa yang masih diliputi duka membereskan barang-barangnya untuk pergi ke kediaman nara. melani masih terisak dan lemas, dia harus dirangkul oleh cici untuk berjalan. sementara itu, esa menoleh ke arah rama. rama masih belum beranjak dari bangkunya. Ia masih menunduk dan termenung. esa pun menepuk pundaknya pelan.
“ram.. ayo..”
Rama masih diam. “aku.. ga kuat sa.. kamu saja pergi, aku disini saja..”ujarnya lirih.
Esa menatapnya iba. Ia menghela nafas dan beranjak dari kursinya. Saat ini mungkin rama ingin sendiri. Ia memahami perasaan rama kenapa dia tidak mau menghadiri pemakaman. Ini mungkin terlalu menyakitkan untuknya. Biarlah dia disana mengenang masa-masa indah yang sempat ia lalui bersama nara yang terasa begitu singkat. Esa pun menghilang dari pandangan. Ruangan kelas itu tampak sunyi. Hanya ada rama disana yang dipaku kesedihan.
Dengan berat, ia bangkit dari kursinya. Ia berjalan pelan menuju bangku nara. ia mengusap lembut meja itu. Meja yang sering nara pakai untuk alas menulis dan sesekali untuk merebahkan wajahnya yang lelah. Rama tersenyum lirih. Dia ragu apa yang akan ia pandang dari tempat ini begitu pemiliknya sudah tidak ada lagi. Kursi ini mungkin akan kosong hingga semester terakhirnya di kelas 11.
Setelah puas memandangi meja itu, rama memalingkan wajahnya dan beranjak dari kelas itu.
Suasana pemakaman terasa begitu pilu. Langit yang mendung menambah pilunya suasana. Dinginnya angin seakan mampu menembus dan membekukan hati. Begitu juga yang esa rasakan. Ia mengenakan jaket hitam. Ia tangkupkan hoodienya dan ia menunduk, sehingga sebagian wajahnya tidak terlihat. Namun masih tampak bibir tipis esa bergertar.
Jenazah nara sudah dimasukkan kedalam liang lahat. Tangisan para pelayat makin memilukan seiring dengan tanah yang menutupi dan menumpuk. Hingga akhirnya gundukan tanah itu dengan sempurna mengubur tubuh nara. esa mendongakkan wajahnya. Dilihatnya kedua orang tua nara masih menangis tersedu-sedu, tangan ibunya gemetar saat menaburkan bunga di atas kubur nara. wajahnya memerah, dia bahkan tidak mengenakan make up apapun. Rambutnya dibiarkan awut-awutan di dalam kerudung hitam yang ia selempangkan di kepalanya. Tampak ayah nara meski masih menangis mencoba menenangkan istrinya yang saat ini memeluk nisan dan tanah kubur nara.
Pemandangan itu menyayat hati esa. Ini seperti ironi yang kejam. Selama ini mereka hanya bersenang-senang dengan kesibukannya. Mereka seakan telah yakin oleh sebuah kalimat, bahwa ‘nara akan baik-baik saja’. Kini begitu putri mereka satu-satunya pergi mendahului mereka. Yang timbul hanya penyesalan. Penyesalan karena tidak sempat mendampingi nara didetik terakhirnya. Penyesalan karena mereka tidak punya waktu yang lebih untuk bersama dengan nara. mungkin jika diberi 1 kesempata lagi, jika waktu terulang dan nara masih hidup, mungkin mereka akan meninggalkan semua pekerjaannya dan terus merangkul tubuh nara erat. Mereka menyesali hal itu, bahwa waktu tak akan terulang kembali.
Waktu terus bergulir. Satu-per satu para pelayat meninggalkan pemakaman. Sandi menyenggol tubuh esa yang masih berdiri terpaku disana.
“ayo sa.. kamu ga pulang..?”tanyanya.
Esa menggeleng. “aku masih mau disini, kamu pulang aja dulu”
Sandi menghela nafas dan mengangguk pelan. Ia pun beranjak dari tempat itu. Meninggalkan esa disana berempat bersama kedua orang tua nara dan bi isa.
Ibu nara masih bersimpuh di nisan anaknya sambil menangis. Tangisnya tampak membasahi tanah kubur itu. Sementara ayah nara memijat-mijat pundak istrinya supaya tenang. Esa pun berjalan mendekati kubur nara. ia bersimpuh di sampingnya. Berhadap-hadapan dengan orang tua nara.
Tampak ibu nara tidak menyadari kedatangan esa. Matanya masih terpejam dan terus mengeluarkan air matanya. Dengan pelan bibir esa bergerak.
“disaat-saat terakhir, Cuma saya yang ada dan menemani nara..”
Tampak ibu nara sedikit membuka matanya menatap esa tapi tak ada kata yang keluar dari mulutnya.
“sebelum dia meninggal, dia ingin menyampaikan pesan pada ibu dan bapak...”
Ibu nara makin merunduk dan menangis, sementara ayah nara memandang esa. “pesan apa itu, nak..?”
Esa menunduk dan memandangi nisan nara. “dia bilang, dia tidak pernah menyesal hidup dengan keadaannya yang seperti ini. dia juga berpesan agar saat dia tidak ada, ibu dan bapak tidak menyalahkan diri sendiri..”
Mendengar ucapan esa, ibu nara makin merundukkan dan menutupi wajahnya. Ayah nara tampak menggigil dan memejamkan matanya hingga air mata yang ia coba tahan keluar lagi dengan bebasnya.
“dia bilang.. bahwa dia merasa bahagia dan beruntung bisa menjadi putri anda..”
Tangis kedua orang tua nara makin menjadi. Kata-kata anaknya justru membuat mereka makin merasa bersalah.
“naarra... maafin bundaa nara.... maafin bundaaa.... jangan tinggalin bunda nar... naraaa....”isak ibu nara.
tangannya dengan gemetar dan liar memeluk dan menggenggam tanah kubur nara. wajahnya sudah tinggal beberapa inci lagi dengan tanah kubur. Air matanya menetes dan membuat basah tanah kubur itu. Entah apakah tetesa air mata penyesalan itu bisa sampai pada pipi nara. yang jelas, penyesalan hanya menyisakan duka. Dan duka itu akan terus menggema di hati hingga mati. Sama yang seperti esa rasakan saat ini. Penyesalannya sama besar dengan penyesalan kedua orang tua nara. bahkan mungkin lebih besar. Ini semua terjadi karena keegoisannya. Ini semua terjadi karena kekonyolannya.
Esa menggenggam tanah kubur nara dan menciumnya sambil meneteskan air mata. “pliss.. maafin aku nara..”
Sementara itu rama duduk bersandar di batang pohon favoritnya. Matanya terpejam menikmati angin sepoi yang membasuh wajahnya. Begitu damai dan nyaman. Apakah ini yang nara rasakan saat terlelap disini?
Mata rama terbuka. Dia ingat betul momen saat ia dan nara duduk berdua di bawah pohon ini. Momen saat keduanya hanya tertunduk malu dan tersipu. Saat rama berbagi cake cokelat dengan nara. saat rama membersihkan sisa krim di bibir nara. saat rama memandangi mata nara.
Semua momen itu seakan terpatri dalam hati rama. tampak penyesalan juga merundung hati rama.
‘kenapa..? kenapa aku ga segera minta maaf padanya? Kenapa aku begitu lemah? Kenapa aku ga bisa menegaskan perasaanku padanya? Kenapa kamu pergi nar? Kenapa kamu pergi sebelum aku bisa mengungkapkan semuanya? Tentang rasa bersalahku.. tentang perasaanku padamu.. kenapa..??’
Rama kembali memejamkan matanya. Membiarkan penyesalan itu berputar-putar dalam kegelapan matanya. Hingga akhirnya sebuah suara memaksa rama untuk membuka matanya.
“rama...! huuft.. ternyata emang bener kamu disini..”
Rama menoleh. Tampak dika terengah-engah dan tangannya bersandar di batang pohon.
“ada apa?”tanya rama singkat.
Mendengar itu, dika mengatur nafasnya. Lalu menyodorkan sebuah buku pada rama. rama mengerutkan alisnya melihat buku berwarna biru muda di tangan dika. tapi matanya melebar ketika melihat nama ‘ellyanara caesaria’ terukir halus di sampulnya.
“ini diari nara, ram.. dia pasti berharap kamu nyimpen ini ram..” ujar dika.
Mata rama bergerak-gerak. Dengan ragu ia menyambut buku itu. Ia usap lembut sampulnya.
“aku harap kamu mau baca itu ram.. kamu harus tahu, kalau nara sayang banget ma kamu.”
Setelah mengucapkan itu, dika berbalik dan beranjak dari tempat itu.
Rama tidak percaya jika selama ini nara menyimpan semua pengalamannya dalam buku diari. Dia masih penasaran dengan maksud ucapan dika. apakah di buku itu juga tertulis namanya?
Dengan pelan dia membuka diari itu. Dibacanya tulisan-tulisan nara di tiap halamannya. Rama tersenyum lirih membaca ungkapan hati nara. hatinya terasa sesak. Karena hampir semua yang tertulis disana adalah tentang dirinya. Dia baru menyadari jika nara sudah memendam perasaan padanya sejak pertama kali bertemu di kelas x. Dia harus memendam sakit melihat sahabatnya menyukai orang yang sama. Lalu tertulis juga saat nara dan rama berdua di pohon tempat rama bersandar saat ini.
‘perasaanku bercampur-campur saat duduk disampingnya. Antara malu dan bahagia.. aku ga tau mau ngomong apa.. aku Cuma bisa diam dan menikmati saat-saat itu. Hingga akhirnya dia menawarkan aku sepotong cake cokelat.
Aku setengah ga percaya, hatiku serasa terbang ke angkasa. Saat dia mengusap sisa krim di bibirku dan mata kami saling bertemu. Rasanya aku hanyut dalam samudra di matanya yang hitam.. kini aku benar-benar yakin.. kalo aku cinta mati padanya... entah apakah dia juga perasaan yang sama denganku.. aku Cuma bisa menunggu..’
Tangan rama bergetar. Matanya berkaca-kaca membaca tulisan itu. Sebenarnya ia merasa tidak kuasa untuk membaca lebih jauh, tapi ia kuatkan hatinya dan membalik halaman berikutnya.
“wwaaaa...... pliss... yakinkan aku! Cubit aku! Apakah ini mimpi...?? ini malam paling indah yang pernah aku alami.. rama memberikan aku hadiah! Isinya pin, bentuknya penguin lagi ngedipin mata, lucu bangett....! aku suka ngeliat pin itu. Kedipan penguin itu seolah menggambarkan wajah rama yang lagi ngedipin matanya dengan nakal, hihi... pasti lucu..
Lebih dari itu, entah kenapa aku ngeliat harapan.. apakah dia juga suka padaku? Aku ga berani berharap terlalu jauh sebelumnya, tapi justru kado ini membuatku merasa terlalu senang dan yakin.
Ooh rama... seandainya aku bisa jadi wanita yang kamu cintai, mungkin aku akan menjadi wanita paling beruntung di muka bumi..
i’ll wait 4 you ram.. n i’ll always love u.. 4ever...’
Tangis rama sudah tak tertahankan lagi. Satu persatu bulir embun meluncur dari mata rama, jatuh ke atas kertas buku diari itu. Dia membuka lagi halaman berikutnya.
‘aku ga tau mau nulis apa.. hatiku sakit... saat dia memalingkan wajah dari aku.. kenapa rama? apa aku melakukan kesalahan? Apa aku membuatmu marah..?
Andai aku punya keberanian untuk memandang matamu dan bertanya, ‘apa kamu marah sama aku?’ mungkin kesedihan ini akan terjawab. Tapi.. aku ga sanggup.. aku pengecut..
Kenapa dia berubah total sejak malam itu..? harapan yang dulu aku gantung tinggi-tinggi kini jatuh dan hancur berserakan di lantai pualam yang dingin. Aku ga tau apa yang membuat dia sebegitu dingin padaku.’
Rama tidak mampu melanjutkan bacaannya, matanya terlalu perih karena air mata. Ia usap air matanya dan menguatkan hati untuk meneruskan membaca.
‘Aku mencoba yakin dan percaya pada kata-kata esa.. bahwa mungkin dia punya alasan tertentu dan dia tidak membenciku.. meski aku tidak tahu alasan apa itu. Aku mencoba untuk tetap menggantung harapanku lagi.
Aku hanya bisa berharap sikap rama akan berubah ketika esa menyampaikan pin itu dan pesanku.. aku beruntung punya sahabat seperti esa. Hanya dia jembatan yang menghubungkanku dengan rama. Cuma ia yang kupercaya..
Kini semua tergantung padamu, rama..”
Mata rama sejenak berhenti menitikkan air mata. Esa? Kenapa dengan esa? Pin apa? Esa tidak pernah menyampaikan pesan apapun padanya dan pin itu tak pernah ia terima darinya.
‘ada apa ini..?’
Hati rama kian kalut, dengan tergesa ia membuka halaman berikutnya.
‘untuk kedua kalinya hatiku remuk. Harapanku jatuh dan hancur lagi, ketika melihatnya di pagi itu. Seragamnya tampak polos. Tidak ada pin penguin menggantung disitu. Apakah itu artinya memang rama marah padaku?
Untuk sesaat aku ragu, apakah esa sudah menyampaikan pesan dan pin ku pada rama. tapi disaat aku membutuhkannya, esa tidak hadir di sekolah. Hatiku kalut.. aku tau harusnya aku tidak perlu sedih berlebihan seperti ini. Tapi nyatanya, ini cukup menyakitkan. Rama memandangiku dengan tatapan aneh, apakah maksudnya? Aku tidak berani menatapnya..
Oh esa.. dimana dirimu..? aku mungkin masih berharap kalau kamu lupa menyampaikannya, sehingga wajar jika rama tidak tahu.
Apapun yang terjadi, aku akan terus menunggu dan tidak akan pernah kapok menggantung harapan padamu rama..’
Jantung rama kian terpacu. Rasa curiga mulai menjalar di kepalanya.
‘ada apa sebenarnya? Kenapa esa tidak pernah mengatakan apapun padaku? Sebenarnya pesan apa yang nara titipkan padanya? Kenapa dia tidak memberitahuku..?!!’
Dengan kalut dia membuka halaman berikutnya.
Di halaman itu tampak bekas tetes-tetes air mata yang masih baru meski sudah kering. Hanya ada beberapa baris kalimat saja disana.
‘pin itu.. kenapa..? kenapa bisa ditangan putri..?? apakah rama menyukainya?
Ooh.. rama.. apa sebenarnya yang kamu pikirkan? Aku sama sekali ga paham jalan pikiranmu.. kenapa kamu berikan pin itu ke aku..? lalu kamu berikan ke gadis lain..?
Nggak! Aku ga boleh begini. Aku masih harus percaya. Mungkin aku salah lihat. Sepulang sekolah aku akan tanyakan semuanya pada esa. Dia lah kunci dari misteri ini. Dia yang paling tahu tentang rama. semoga aku bisa mendapat kepastian darinya. ‘
Belum selesai ia membaca tulisan itu sampai akhir, mata rama sudah berpaling. Ia tutup buku itu dan memasukkannya kedalam tas pinggangnya. Sejurus kemudian ia beranjak dari tempat itu dan berlari menuju kantin.
‘apa-apaan ini? Apa mungkin pin itu benar-benar ada pada putri? Bagaimana bisa?’batin rama.
dilihatnya ibu kantin sedang membereskan tokonya dan putri disana. Rama segera menarik tubuh putri dan menghadapkannya pada wajahnya. Tampak putri salah tingkah saat rama memandangnya.
“a..ada apa mas..?”tanya putri setengah tergagap.
Rama tidak menjawab. Matanya terpaku tajam pada pin yang putri kenakan di bajunya. Pin berbentuk penguin yang berkedip nakal. Tak salah lagi, itu pin yang ia berikan pada nara.
“dari siapa...?” tanya rama lirih.
Tampak putri mengerutkan alisnya. “hmm? Maksud mas?”
Tangan rama menunjuk ke arah pin itu. Tangannya bergetar. “pin itu.. siapa yang ngasi ke kamu..?”
Sontak putri jadi bingung, karena ia pikir rama yang memberikan pin itu padanya.”loh.. mas esa yang ngasi.. katanya dari mas rama..”ujar putri setengah merengek.
Mata rama menyala. Hatinya terasa panas dan siap untuk meledak.
“put.. maaf.. tapi bisa kamu kembalikan pin itu ke aku”ujarnya dingin.
Bibir putri bergetar, tampak genangan air d kelopak matanya. Dengan kalut ia melepas pin itu dan menyodorkannya pada rama. rama segera mengambilnya dan beranjak dari tempat itu. Meninggalkan putri berdiri disana menahan tangis.
Sementara itu, rama berlari dengan hati membara. Matanya terkunci kedepan, ke arah rumah esa.
Misteri semakin terkuak. Kekecewaan berubah menjadi kemarahan. Kekecewaannya pada esa. Esa yang telah kedua kalinya mengkhianatinya.
‘esa... ternyata kamu belum berubah’.
Esa membanting pintu kamarnya. Ia meringkuk di ranjangnya. Ia memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya disitu. Ia merenungi kesalahannya.
‘nara.. kenapa kamu harus pergi..? aku ga ingin akhir seperti ini... aku ingin kamu ada sebagai sahabatku nar.. meskipun kini aku sadar kalau aku ga pantes jadi sahabatmu nar.. maafin aku.. maafin aku yang khianatin kamu.. aku Cuma kamu menjauhi rama... tapi tidak sejauh ini.. aku menyesal nar.. aku selalu berharap dan meminta lebih.. sekarang apa yang harus aku lakuin nar..? apa yang harus aku perbuat pada rama..? rama pasti akan terus sedih tanpamu nar.. aku ga tega..’
Saat esa sedang larut dalam kemurungannya, di ruang tamu, terdengar suara bel. Bi ida pun bergegas membukakan pintu, dilihatnya rama dengan wajah yang tidak seramah biasanya.
“eh.. den rama.. mau nyari den esa..?”tanya bi ida.
“iya bi, esa dimana?”tanya rama dengan nada kurang bersahabat.
Bi ida hanya memasang raut wajah heran sambil menunjuk kamar esa. “di kamarnya..”
Mendengar itu, rama tanpa sungkan bergegas menuju kamar esa. Diketuknya pintu itu dengan tegas.
“esa..”
Wajah esa mendongak. Matanya melebar. ‘rama.. kenapa dia tiba-tiba datang kesini?’
“esa..” panggil rama untuk kedua kali.
Esa pun meloncat dari ranjangnya dan bergegas membuka pintu. Esa sedikit terhenyak memandang ekspresi wajah rama yang datar tanpa ekspresi. Ekspresi yang menyiratkan kemarahan.
“aa..ada apa ram..?”tanya esa sedikit tergagap.
Rama maju mendekati esa dan menutup pintu dibelakangnya. Matanya terus menatap sendu wajah esa. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu darisana.
Mata esa melebar, ketika melihat sebuah pin mengkilat di tangan rama.
“tolong sa.. jelasin, apa maksudnya semua ini..”tanya rama dengan nada tertahan.
Esa melangkahkan kakinya mundur beberapa langkah. Wajahnya getir dan keringat dingin meluncur di wajahnya.
“maksud apa ram.. aku nggak ngerti..”kilah esa, ia mencoba untuk tersenyum berlagak bodoh.
Rama menatap tajam esa dan mendekatinya. “plis sa.. jangan ada kebohongan lagi! Aku sudah tahu semuanya dari diari nara..! pesan apa yang nara titipin ke kamu sa?”
Esa terhenyak. Sekujur tubuhnya dingin. Jantungnya berdegub kencang seolah melihat malaikat Izrail.
‘diari apa? Apakah nara menuliskan semuanya di diarinya? Bagaimana rama bisa mendapatkan diari itu? ‘
Rama makin dekat ke wajah esa. “jawab sa..! Apa yang kamu sembunyiin ke aku..?!”
Esa membisu. Ia memandang mata rama yang tajam tanpa belas kasih. Gemetar di tangan esa sudah berhenti. Wajah esa menunduk.
‘mungkin.. ini lah akhirnya.. permainan sudah berakhir..’
dengan tatapan kosong, bibir esa mulai bergerak lirih,“pada hari yang sama, setelah kamu memalingkan wajah ke nara dan meninggalkan kami, nara menangis padaku.. dia sedih karena kamu dingin padanya. Aku yakinkan dia kalo kamu ga benci dia.. lau dia nyerahin pin itu ke aku..”
Esa menelan ludahnya sebelum berhasil menyelesaikan kata-katanya. Ini sungguh berat baginya. Sedangkan rama menanti kata-kata selanjutnya dengan wajah dingin.
“dia nyuruh aku untuk nyampein pesannya ke kamu, kalo dia akan tetep sayang ma kamu. Dia harap kamu mau memakai pin itu sebagai tanda kalau kamu memaafkan kesalahannya. Atau kamu boleh ngasih pin itu ke orang lain yang lebih kamu sayang..”
Bibir rama bergetar. Tubuhnya seketika lemas. Ia jatuhkan dirinya di sofa kamar esa. Dia mencengkram rambutnya dengan kedua tangannya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ternyata itu sebabnya, kenapa nara terlihat begitu sedih.. ternyata semua ini... karena esa...
Esa mendekati rama. “maafin aku ram.. akuu..”
“kenapa sa?” sela rama. esa kembali terdiam.
“kenapa kamu lakuin ini sa? Kenapa kamu ga nyampein pesan sepenting itu ke aku sa..? apa salah aku dan nara ke kamu..? kenapa kamu bisa setega itu..”
Esa menelan ludah lagi. Hatinya bagai dicekik dengan kawat berduri.
“maaf ram.. aku sadar.. aku salah.. aku khilaf saat itu... aku terlalu egois.. aku Cuma ingin kamu ga terlalu dekat dengan nara..”
Rama tidak menjawab. Tatapannya masih kosong. “lalu.. kamu yang ngasi pin itu ke putri..?”
Mata esa menerawang kosong. Dia tidak punya kesempatan lagi untuk lari. Ia pun dengan pilu menganggukan kepalanya.
Rama melihat anggukan kepala esa. Seketika itu pula api kemarahan menyebar di hatinya. Ia bangkit dari sofa dan dengan tiba-tiba...
‘bugg..’
Esa termenung. Tubuhnya terpelanting ke lantai dan seketika pipinya terasa perih. Dengan perlahan ia meraba pipinya dan memandang rama dengan tidak percaya. Mata esa berkaca-kaca, melihat mata rama yang basah oleh air mata.
“kenapa kamu bisa sekejam ini sa!?”
Esa tidak berkutik. Dia hanya bisa termenung menatap rama dengan kelopak matanya yang menyipit menahan tangis yang akhirnya menetes juga.
Belum puas meninju pipi esa, rama mencengkram krah seragam esa dan membuatnya berdiri lagi.
“kenapa kamu ga bisa berubah sa?! Kenapa kamu bisa begitu egois? Ga cukupkah badanku ini buat kamu?? Ga cukupkah kamu liat nara dan aku menderita? Kapan kamu akan puas sa?! Sekarang nara sudah bener-bener jauh dari aku?! Apa kamu dah puas?!!”
Rama terisak di hadapan wajah esa. Begitu juga esa yang mulai deras air matanya.
“maaf ram... “
Mendengar itu, cengkraman di krah seragam esa mulai mengendur, hingga akhirnya rama melepaskannya dan berpaling.
Untuk beberapa saat mereka membisu. Esa terisak di belakang punggung rama sambil memegangi pipinya yang kini memerah.
“aku kecewa sama kamu sa.. aku pikir kamu sudah berubah.. aku ga tau apa yang nara akan katakan jika tau, kalo kamu ternyata ga bisa dipercaya.”
Kata-kata rama melesat bagai busur panah dari es yang menusuk hati esa. Gemetar di tubuh esa kian menjadi-jadi, tangisnya makin deras, tapi rama seolah tidak peduli dan masih memunggunginya.
“aku harap.. aku ga ngeliat wajah kamu lagi sa..”
Esa terdiam. Tangisnya seolah terbendung oleh kenyataan pahit. Ia dongakkan wajahnya pada rama dengan pandangan tidak percaya. rama sudah berjalan meninggalkan kamarnya dan menghilang dari pandangan.
Kaki esa terasa tak bertulang lagi. Ia jatuh bersimpuh di lantai dan menangis sejadi-jadinya. Dia meraung-raung seperti binatang yang dikulit hidup-hidup. Tampak bi ida tergopoh-gopoh mendatanginya dan merangkulnya.
“kenapa den...?? jangan nangis gitu denn...”bi ida seakan tak kuasa melihat kesedihan tuannya yang menjadi-jadi. Ia akhirnya turut menangis dan memeluk tubuh esa. Ia mencoba menahan tubuh esa yang menggigil hebat karena isak tangis.
Sementara itu rama sedang berjalan melewati halaman rumah esa. Ia bisa mendengar jelas raungan tangis esa. Hatinya teriris karenanya. Ia menengok ke kamar esa.
‘maaf sa... tapi ini sudah di luar batas kesabaranku sa... aku dah ga kuat ngelihat wajah kamu lagi.. aku harap ini yang terbaik.. terbaik buat kita berdua’
Dan rama pun menghilang dari tempat itu, dan seterusnya ia tidak akan menginjakkan kaki ke tempat itu lagi.
the end......................................................... ........................of this part
The end di sini aja gak papa2 kok. Kayaknya kalo dipaksakan ketemu lagi juga emang tidak ada rasa. Cinta kan tidak bisa dipaksa. kalo dasarnya str8 biar dipaksa tetap aja bakal balik ke str8.
sebenernya emg salah esa juga sih,,, tapi kan, apa esa salah karena mencintai Rama? cepet lanjut ya!!!!!!!!!!