It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
mungkin lebih bagus klo rama sadar klo esa emang butuh perhatian, secara dia tinggal dirumah itu cuma sama pembantunya.. ya walaupun nggak skrg, tapi jangan tamat dulu laahh
utk skrg aku masi blm smpat update,, mngkin bsk
mungkin ntar malam aku uplod, maaf skali lagi
huuft.. dengan ini tinggal 1 part lagi.. makasih buat temen2 yang masih setia baca sampai part ini. stay tune buat part terakhir, oke?
part 25, -antiklimaks- sweet memories of him
***
Waktu masih berjalan tanpa ampun. Kini bulan bersinar malu-malu di balik awan. Malam itu terdengar sebuah suara rem yang berdecit lirih dari taksi yang berhenti di depan gerbang rumah esa. Seseorang keluar dari taksi itu dan membanting pintunya. Dikeluarkannya secarik kertas dari sakunya dan ia cocokkan alamat yang tertulis di kertas itu dengan alamat dan nomor di rumah megah itu. Hingga akhirnya dia yakin dan memencet bel.
Pak ujang tampak terkantuk kantuk di pos jaga. Ia tersentak saat mendengar bunyi bel yang berbunyi lantang. Ia segera bergegas melihat siapa yang ada dibalik gerbang.
“cari siapa?”tanya pak ujang singkat.
“saya nyari esa, apa benar ini rumahnya?”
Pak ujang tampak memandangi orang itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. “hmm.. iya ini rumahnya esa, putanya pak jaya. Mas ini temennya?”
“iya pak.”
“ooh.. ya mari, silakan masuk.”ujar pak ujang sambil membuka gerbang.
Orang itu berjalan menuju pintu utama. Menyusuri halaman rumah yang luas. Rumah itu tampak sangat sepi, seakan-akan berada di kastil drakula.
Untuk kedua kalinya dia memencet tombol bel, dan selang kemudian pintu itu pun terbuka. Tampak bi ida yang setengah kaget melihat orang itu.
“ya ampun.. den jordan?”tanyanya.
Orang itu tersenyum dan memperlihatkan gigi-giginya yang berjejer rapi dan putih.
“iya bi, saya jordan.”
Yup, orang itu adalah jordan. tubuhnya tegap dan tinggi. rambutnya lurus pendek dan bergaya mowhawk. Orang yang dari dulu mengejar-ngejar hati esa. Semenjak esa pindah ke malang, dia selalu gelisah karena tak mendapat satu kabar pun dari esa. Hingga akhirnya ia mendapatkan informasi dari setiap aktivitas esa di fb, bahwa dia memiliki cowok idaman. Hal ini sungguh mengganggu hatinya. Dia selalu penasaran, siapakah orang yang dapat merebut hati esa. Akhirnya kesempatan datang, saat kuliahnya sedang libur panjang, ia segera menemui kevin dan meminta alamat esa di malang. Ia sudah tak sabar menemui malaikat hatinya itu.
Bi ida menangkupkan kedua tangannya di wajahnya dengan wajah setengah tidak percaya.
“ya ampun den.. silakan masuk..”
Jordan mengangguk dan berjalan memasuki rumah esa.
“sejak kapan di malang den? Kok mendadak datangnya? Sini duduk dulu..” bi ida mempersilakan jordan duduk di sofa.
“iya bi.. saya baru maghrib tadi sampai. Agak lama cari alamat ini, karena alamat yang saya dapet dari kevin ga begitu lengkap. Ini mumpung saya ada libur panjang di kampus, jadi saya surprise aja datang kesini.. oh iya, esa mana bi?”
Jordan duduk di sofa sambil meletakkan ranselnya, sementara bi ida tampak terhenyak oleh pertanyaan jordan.
“loh, kenapa bi?” tanya jordan yang sedikit heran dengan perubahan raut muka bi ida.
Bi menatap jordan dan duduk di sofa di hadapan jordan. “den esa lagi mengurung diri di kamar, den..”
Alis jordan mengeryit heran,”mengurung diri? Memang kenapa bi? Esa ada masalah?”
Bi ida menghela nafas berat,”bibi juga ga tau den.. mungkin ini karena baru-baru ini ada temen den esa yang meninggal, tapi sebelumnya ga separah ini. Tadi den rama sempat kesini. Entah apa yang den rama dan den esa perbincangkan, tapi begitu den rama pulang, den esa langsung nangis. Nangisnya benar-benar nggak terkontrol. Sudah lama den esa nggak menangis sehebat itu.. bibi juga ga bisa nenangin den esa.. sekarang den esa mengunci diri di kamar, bi ida nggak berani buat ganggu..”
Jordan mendengar semua keterangan dari bi ida dengan seksama. Matanya menyala bergerak-gerak. Untuk sesaat dia tidak bisa berkomentar apa-apa. Bi ida menghela nafas lagi lalu bangkit dari tempat duduknya,”ya sudah.. lebih baik sekarang aden istirahat dulu. Atau mungkin aden mau mandi? Bibi siapkan kamarnya dulu.”
Jordan tersadar dari lamunnya dan tersenyum menatap bi ida.”iya bi, saya mandi dulu..”
Sementara itu, kamar esa tampak sepi. Ranjangnya dibiarkan berantakan. Begitu juga meja belajarnya. Tirai-tirai bergoyang lembut diterpa angin malam yang masuk melewati celah pintu geser yang terbuka lebar. Tampak di beranda esa meringkuk dan bersandar di dinding. Ia peluk lututnya dan wajahnya mendongak ke langit.
Matanya yang sembab dan sayu, memandang mengiba pada bulan yang bersinar dengan anggunnya. Sejenak mata esa bergerak lebih turun, ke arah pagar beranda. Sekonyong-konyong bayangan rama yang sedang duduk disana muncul. Bibir esa bergetar. Dia masih ingat saat rama terakhir kali menginap di rumahnya. Malam itu dia duduk di pagar itu, mendongak menatap langit yang tak berbulan. Kini bayangan rama hilang. Esa hanya bisa menatap kosong langit yang hitam dengan ribuan bintang dan sebuah bulan sebagai ratunya.
‘oh rama.. sedang apa kamu sekarang? Apa kamu juga sedang menatap langit seperti yang kamu lakukan saat itu? Apa kamu juga melihat, bulan yang sedang aku pandangi saat ini? Aku disini meratap menangisimu ram.. Mungkinkah kamu juga merasakan hal yang sama denganku? Sebenci itukah kamu denganku? Aku tidak menyangka semua akan berakhir setragis ini. Sudah cukup pedih hatiku dengan balasan yang Tuhan beri padaku karena kehilangan sahabatku. Itu adalah hukuman yang sangat pedih, lalu kamu datang padaku dan memukulku. Itu adalah hukuman yang lebih pedih dari yang terpedih. Namun kamu berpaling dariku dan bilang kalau kamu ga mau bertemu denganku lagi. Tidak bisakah lebih pedih lagi? Adakah yang lebih menyakitkan dari ini?
Rama.. aku rela kalau kamu memukuliku sampai kamu puas. Bahkan sampai tubuhku remuk sekalipun, aku rela, asal membuat itu kamu puas. Asalkan setelah itu kamu mau memaafkanku dan mau kembali padaku. Aku rela. Tapi kenapa? Kenapa kamu Cuma memukulku sekali dan meninggalkanku? Ini membuatku semakin menderita ram.. perihnya wajah ini sama sekali ga sebanding dengan luka yang kamu sayat di hatiku ram.. rasanya seperti dikuliti hidup-hidup dengan pisau yang berpijar. Sakit ram.. sakit... “
Mata esa bergerak-gerak dan bayangan air mulai tampak d matanya. Ia pun membenamkan wajahnya di kedua tangannya.
“esa..”
Mata esa terbuka. Suara siapa itu? Bukan rama, tapi suara itu terdengar familiar. Suara itu..
Perlahan esa mendongakkan wajahnya dan ia lihat jordan berdiri di ambang pintu geser.
“ehm.. maaf.. aku kira pintunya dikunci, ternyata pas aku buka, ga terkunci. Jadi aku masuk dan..”
Jordan tidak sangup melanjutkan kata-katanya sat melihat ekspresi esa yang memilukan.
Esa memandanginya dalam-dalam lalu perlahan mata itu berkaca-kaca. Jordan makin sedih melihatnya, “sa,,”
Sejurus kemudian, wajah esa berubah menjadi merengek, bibirnya bergetar dan dia mulai menangis. Jordan segera memeluknya pelan dan esa membalas pelukan itu erat. Tampak jordan mencoba menenangkan esa.
“tenang sa.. tenang.. bilang sama kakak.. apa yang bikin kamu sedih kayak gini sa..”
Esa masih terus menangis dan tubuhnya bergetar hebat.
“aku sakit kak... sakitt.. pliss bunuh esa aja kak.. esa ga tahan.. bunuh aja esa biar sakit ini hilang...”raung esa.
jordan mengelus punggung esa,”hushh... jangan bilang gitu sa.. kalau kamu mati, kakak nggak akan maafin diri kakak sendiri.. kamu harus kuat sa.. tenangin diri kamu dan ceritakan semua ke kakak...”
esa terus menangis dan menggigil di tubuh jordan. Jordan hanya bisa mengelus punggung esa dan menunggu hingga malaikat hatinya itu kembali tenang. Hatinya sungguh pilu. Dia sama sekali tidak menyangka kondisi esa seperti ini. Yang ia bayangkan sebelumnya, wajah esa yang bersinar ceria. Ia tahu dari fb kalau dia sudah berpacaran dengan pujaan hatinya. Dia sudah mencoba untuk tabah menahan sakit dan ikut berbahagia melihat kebahagiaan esa. Ia sudah lama ingin menemui esa. Dia tidak bisa lagi menunggu esa yang tak kunjung menghubunginya. ia sudah menunggu waktu libur kuliahnya. Dan setelah ia dieri kesempatan untuk menemui esa, yang ia lihat justru penderitaan.
‘esa.. kenapa kamu begini..? siapa yang bisa membuat kamu sesedih ini..? apakah dia..?’
bulan berdiri semakin tinggi. Esa kembali meringkuk dan memeluk lututnya. Disampingnya jordan duduk dengan sabar, merangkul pundak esa. Esa masih termenung pada bulan dan membisu. Hingga beberapa saat bibirnya bergetar. Dengan getir, ia menceritakan semuanya. Tentang saat pertamanya bertemu dengan rama. Tentang bagaimana esa menjadi begitu tergila-gila padanya. Esa menceritakan berbagai upayanya dalam menarik hati rama. Bagaimana dia menjebak rama dengan perangkapnya yang halus. Bagaimana rama yang bersedia menjadi pacar ilusinya. Bagaimana hari-harinya yang sangat indah bersama rama. Bagaimana dia meminta rama menjauhi nara. Bagaimana rama untuk pertama kali marah padanya. Bagaimana esa memanfaatkan pin dan pesan nara. hingga akhirnya berujung pada kematian nara, penderitaan rama.
Tubuh esa mengigil lagi. Dengan suaranya yang bergetar ia bertanya pada jordan. “apakah, aku sudah kelewatan kak?”
Jordan masih terdiam. Hatinya bergetar mendengar apa yang esa lakukan di masa lalu. Dia sama sekali tidak menyangka kalau esa akan bertindak sejauh itu. Kenapa esa bisa begitu gilanya?
Jordan memijat lembut pundak esa. “mungkin perbuatan kamu kelewatan sa.. tapi sudah baik kamu menyadari kesalahan kamu sa..”
Esa tidak menjawab dan menggigil.
“lalu, luka memar ini...?”tanya jordan sambil meraba pelan memar di pipi esa.
Esa menahan tangan jordan dan menjauhkannya dari pipinya.
“rama.. dia tahu tentang pin itu.. dia tahu kebohonganku kak.. dia marah..” setetes air mengalir lagi di pipinya, “aku rela dia mukul aku.. pukulan ini sama sekali ga sakit.. tapi dia bilang dia ga mau lihat aku lagi kak.. itu yang bikin aku sakit.. apa yang harus aku lakuin kak..??”
Jordan terhenyak. Tangannya mengepal dan bergetar. Tapi gemetar di tangannya kembali hilang. Dia memandang lembut wajah esa.
“sudah sa.. lebih baik kamu lupain rama. Mungkin itu juga yang rama harapkan. Jika kamu terus dekat dengan dia, yang ada hanya kepedihan sa..”
Tubuh esa makin hebat mengigil dan tangisnya makin deras, “tapi esa ga sanggup kak.. aku ga bisa bayangin hidup tanpa dia kak... “
Jordan menggenggam erat tangan esa. “kamu harus kuat dan yakin sa. Kamu ga ingin kan luka itu terus menganga di hati kamu? Dekat dengannya hanya akan bikin luka kamu terus terbuka. Selamanya kamu ga akan sembuh dari luka itu. Ayo pergi sama kakak sa... tinggallah sama kakak di bandung. Kamu sekolah disana. Dengan jauh dari dia, kakak yakin sedikit demi sedikit kamu bisa lupain dia..”
Getaran di tubuh esa berangsur mereda, dia menatap jordan.
“plis sa.. awalnya mungkin sulit untuk jauh dari dia, tapi kalau tidak dipaksa kamu selamanya tidak akan bisa jauh darinya, dan itu akan menyakiti kamu terus sa.. kakak janji, kakak akan merawat dan jagain kamu. Kakak akan sembuhin luka kamu..”
Esa masih membisu dan ia palingkan wajahnya kembali menatap bulan.
‘bisakah aku? Bisakah aku jauh dari kamu ram..?’
Dua hari sudah berlalu. Siswa-siwa di kelas XI IA 2 tampak riuh. Kesedihan atas kematian nara tampaknya sudah mulai memudar. Bangku rama dan esa tampak kosong tak berpenghuni. Sudah 2 hari ini esa tidak masuk sekolah. Di meja nara dan melani sendiri, tampak melani, cici, dika dan dewi bercengkrama. Melani tampak lebih pendiam sejak kematian sahabatnya, dan ketiga sahabtanya itu terus berusaha untuk mencerahkan suasana.
“mel, lihat deh ini katalog tas keluaran terbaru dan terupdate loh..” seru dika sambil menyodorkan sebuah katalog ke arah wajah melani, tapi melani hanya tersenyum lirih dan memalingkan wajahnya.
Dika menghembus nafas berat melihat respon tidak memuaskan dari temannya itu. Saat ia palingkan wajahnya ke arah jendela, matanya terbelalak dan ia bangkit dari kursinya. “esa?”
Sontak semua siswa menoleh ke fokus yang dika pandang. Tampak esa dengan pak jaya berjalan melewati ruang kelas. Esa melirik ke arah kelasnya dan ia berbicara tentang suatu hal yang tak terdengar dengan ayahnya. Tampak ayahnya menimbang-nimbang cukup lama hingga akhirnya ia setuju. Esa pun meninggalkannya dan berjalan menuju kelasnya.
“eh, sa.. kemana aja kamu? Dah dua hari ga masuk! Eh, kenapa pipi kamu? Kamu ikut tawuran, terus diskors ma kepsek?”celetuk dika asal.
Esa nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya. “enak aja! Aku jatuh kemarin soalnya aku kurang enak badan 2 hari terakhir ini.. jadi ya.. susah aja gitu buat nyeimbangan badan, haha..”
“ah.. bisa aja kamu sa.. paling sakit perut aja pake acara ga masuk segala. Nih., peernya pak Sis numpuk nih! Agih, kerjain, ntar kalo ketahuan belum ngerjain bakal dihujani air muncratan mulutnya beliau, kamu!” tukas sandy sambil merogoh isi tasnya. Esa menahan tangan sandy.
“nggak perlu san.. aku dah ga perlu ngerjain tugas lagi..”
Tampak sandi, dika dan beberapa teman yang lain mengeryit heran.
“mang kenapa sa? Sombong banget kata-katamu” tanya cici sambil memonyongkan bibirnya.
Esa terdiam untuk sesaat lalu memandangi teman-temannya satu persatu.
“aku.. bakal pindah lagi ke bandung... aku disini Cuma mengurus surat-surat kepindahanku dan sekalian pamit ke kalian.”
Keheningan menyelimuti sesaat. esa memandangi mata teman-temannya yang menatapnya heran.
“hah? Serius kamu sa?”tanya sandi.
Esa memejamkan mata sambil tersenyum tipis. Ia menganggukkan kepalanya. Sontak mata teman-temannya terbelalak. Melani yang daritadi diam langsung membalikkan wajahnya dan berdiri menghadap esa.
“kenapa sa..??!”tanya melani lantang.
Esa memandang wajah melani dengan sendu. “aku ga bisa di sini..” ujarnya lirih.
“maksudmu apa, ga bisa di sini?”sergah dika.
“apa kamu ga kerasan disini? Apa kamu ga suka dengan salah satu dari kita?”sambung cici.
Esa buru-buru menggelengkan kepalanya. “nggak..! aku betah disini dan aku sayang kalian semua.. tapi..”
“tapi apa?”sela melani.
Esa menundukkan wajahnya sejenak sementara teman-temannya termenung menunggu jawaban.
“ayahku pindah kerja lagi.. sekarang dia harus mengurus usahanya di bandung.. jadi, aku harus ikut..”
Ya, esa terpaksa harus berbohong. Dia sendiri tak punya alasan lain yang mungkin bisa meyakinkan temannya. Mungkin hanya alasan ini. Yang bisa menutupi alasan esa yang sebenarnya.
Satu persatu teman-temannya mulai menangis, melani yang pertama menangis tersedu. “kenapa kamu juga pergi si sa..? kamu juga baru pindah kesini.. kenapa harus balik lagi.?”rengeknya.
Esa memegang pundaknya pelan,”maaf mel.. maaf semuanya.. aku juga ga pingin ninggalin kalian.. tapi keadaan memaksaku buat ngelakuin ini.. “
Mereka pun saling berangkulan dan menangis bersama, bahkan sandy turut menitikkan air mata meski malu-malu. Kepergian esa sangat berat bagi teman-temannya. Esa sangat menyenangkan dan bersahabat. Meskipun terkadang mereka menjadi korban keusialan esa, namun itu semua terasa seperti pengalaman yang menyenangkan dan gila. Kelas akan terasa sepi tanpa kehadirannya.
Saat temannya masih sibuk dengan air matanya, sepintas esa melirik bangku rama. Bangku itu kosong. Dia berjalan pelan mendekati bangku itu. Begitu sampai, ia termenung di meja itu. Ingatannya masih jelas, saat-saat dia dan rama bercengkrama di bangku ini. Bangku itulah saksi mati yang merekam semua suka dan duka esa selama disana.
Seolah esa melihat bayangan dirinya dan rama sedang asyik tertawa, namun bayangan itu langsung sirna. Esa tersenyum lirih. Dilihatnya, di bangku depannya, sebuah bolpoin tergeletak ditinggal pemiliknya. Esa mengambilnya dan kemudian ia sibuk meyoret-nyoret sesuatu di bangku rama. Agak lama akhirnya dia meletakkan lagi bolpoin itu di tempatnya semula. Dia memandangi hasil coretannya di bangku itu dan ia berpaling.
Kini ia berhenti di bangku nara. Matanya berkaca-kaca dan tangannya mengusap bangku itu. Ia juga bisa melihat bayangannya dan nara sedang tertawa cekikikan sambil menyendok mpek-mpek hangat. Bayangan itu segera sirna dari mata esa. Esa mengambil lagi bolpoin yang tadi ia pakai. Ia mencoret-coret bangku nara. Ia tahu, kalau mencoret-coret meja melanggar aturan, dan kalau ketahuan pak sis, dia mungkin akan diceramahi sampai 2 jam+muncratannya.
Begitu selesai, ia melempar lagi bolpoin itu ke tempatnya dan ia berjalan kembali ke teman-temannya. Ia menyalami mereka satu-persatu dan merangkulnya sebagai tanda perpisahan
“aku ga akan lupain kalian..”bisiknya.
dan ia pun berjalan meninggalkan kelas itu, meninggalkan teman-temannya yang hanya bisa meratap melihat kepergiannya yang begitu mendadak. Kini kelas itu tak akan seramai dulu. Satu-persatu anggota keluarga kelas itu pergi. Nara terlelap dalam tidur abadinya, esa harus pergi ke kota yang jauh di ujung pulau jawa, dan rama.. ia akan kembali pada rama yang dulu lagi. Tak akan ada lagi orang yang bisa membuatnya tersenyum di kelas itu. Melani masih tersedu dan kembali ke tempat duduknya. Matanya terpaku sesaat dan ia tersenyum tipis dengan wajah basah oleh tangis. Di usap pelan tulisan baru di bangku itu.
‘Bangku ini milik Ellyanara Caesaria, Melani Kusuma dan Esa Pramandha Aryadhani, dan kami adalah sahabat! Yang duduk di bangku ini selain ketiga orang itu tanpa minta ijin melani, bakal kualat!’
Melani tersenyum kecil,”esa.. ternyata kamu ga berubah.. kamu masih esa yang konyol seperti dulu..“
Esa berjalan gontai. Saat ia melewati kantin, ia melihat putri disana. Hatinya berdegup kencang, saat putri menatapnya dan ekspresinya berubah menjadi getir. Melihat putri yang cepat-cepat memalingkan wajahnya, esa menjadi merasa sangat bersalah. Ia pun berlari menuju kantin.
“putri.. aku mau bicara..”
Putri seakan enggan untuk menatap esa dan tangannya bergetar.
“plis put... beri aku kesempatan..”
Putri masih membisu, hingga akhirnya dia meminta ijin ibunya untuk pergi sebentar. Begitu ibunya setuju, ia pun keluar dari kantin dan berjalan mengikuti esa ke tempat yang agak sepi dan jauh dari pandangan orang.
“putri.. aku minta maaf put..”
Putri tidak menjawab, ia hanya menunduk dan memalingkan wajahnya dari esa. Bibirnya bergetar.
“maaf, put.. aku ga bermaksud nyakitin hati kamu.. aku saat itu ga berpikir panjang.. aku cuma iseng dan aku baru sadar kalau isengku kelewatan.. aku ga nyangka kalau rama akan marah.. plis put.. maafin aku..”
Tampak putri meneteskan air matanya. Ia menatap esa,”mas nggak perlu minta maaf.. aku juga salah, harusnya aku tahu, kalau mas rama nggak mungkin memberikan hadiah buat aku.. aku harusnya tahu siapa aku, siapa dia.. aku yang terlalu bodoh..” ujar putri.
Tampak ia tersenyum getir dengan air mata mengalir deras di pipinya.
Hati esa seperti dicakar-cakar. Dia tak menyangka kalau hal ini akan menyakiti hati putri begitu dalam. Dengan lembut ia menyeka air mata putri dan menepuk pelan pundaknya.
“jangan pernah berpikiir seperti itu.. rama sebenarnya baik, dia sayang dengan kita semua, dia juga pasti sayang dengamu, hanya saja ada satu orang yang lebih istimewa di hatinya. Kita ga bisa nyalain dia atau diri sendiri.. cukup aku yang salah disini.. jadi aku mohon padamu putri.. maafin aku dan rama.”
Putri tidak menjawab dan masih terisak-iask.
“aku akan ninggalin malang besok, aku mungkin ga punya kesempatan kedua untuk minta maaf ke kamu put. Untuk itu, aku mohon put.. aku minta maaf... aku bener-bener menyesal.”
Putri mendongak sesaat setelah mendengar esa akan pergi meninggalkan malang. Bibirnya bergetar, hingga akhirnya ia memejamkan matanya dan mengangguk.
“baik mas.. aku terima maaf mas.. “
Esa tersenyum, dia menyambut tangan putri dan menjabatnya lalu merangkulnya. “makasih put..”
Setelah itu, Esa pun berjalan meninggalkan putri. Setelah beberapa langkah suara putri menghentikan langkahnya.
“mas.. sebenarnya siapa.. orang yang istimewa di hati mas rama?”
Esa terdiam. Lalu esa menoleh sedikit ke arah putri dan tersenyum. “nara” dan esa pun melanjutkan langkahnya meninggalkan putri yang menutupi mulutnya.
Senyum tipis masih tersungging di bibir esa, hingga akhirnya langkahnya mendekatkannya pada sebuah pintu seng yang berkarat.
Esa mendorong pintu itu. Suasana disana masih sama. Hanya rumput-rumput liar yang tampak semakin meninggi. Esa menengok ke arah pohon besar. Ia berjalan pelan mendekati pohon itu.
Tampak di batang pohon itu, seorang pemuda tampan duduk bersandar disana. Wajahnya yang putih bercahaya getir. Ditangannya terbuka sebuah buku bersampul biru muda.
Rama membuka lagi halaman yang tak sempat ia baca saat itu. Hanya tinggal beberapa baris lagi di halaman itu.
“ram..”
Sebuah suara menghentikan nafas rama. Suara itu, suara yang ia ingin hapus dari ingatan dan hatinya.
Rama tidak menoleh. Ia sudah tahu, siapa yang ada di belakangnya itu.
“aku pikir saat itu aku dah bilang ga ingin liat wajah kamu lagi.”
Suara dingin rama mengiris lirih hati esa. Esa tersenyum getir dan melangkahkan kakinya lebih dekat ke sisi rama. Ia berdiri di samping rama sekarang. Ia menatap titik yang sama yang rama pandang saat ini, yaitu cakrawala. Keduanya enggan untuk saling berhadapan.
“aku akan meninggalkan malang besok. Aku akan melanjutkan sekolah di bandung. Jadi untuk saat ini, bolehlah aku melihat kamu untuk terkahir kali..” ujar esa lirih.
Dia masih tidak berani memandang rama.
Rama termenung. Jarinya sedikit bergerak begitu mendengar esa akan meninggalkan malang.
“aku kesini, nemuin kamu hanya sekedar berpamitan dan menyampaikan pesan kedua dari nara. Yang sekaligus jadi pesan terkahirnya buat kamu ram..”
Mata esa meluncur melirik rama. Rama masih melamun menatap cakrawala meski sesekali esa bisa melihat jari-jarinya yang gemetar. Esa juga bisa melihat diari nara. Kertas-kertasnya bergetar terkena hembusan angin, dan jari rama menahannya pada sebuah halaman. Halaman yang terdiri dari beberapa baris tulisan.
Esa melanjutkan kata-katanya. “mungkin pesan ini tidak tertulis dalam diari itu, jadi aku bakal menyampaikan ini sekali ke kamu. Aku harap ini bisa mengurangi kesalahanku yang mungkin takakan tertebus pada nara dan kamu.”
Esa menelan ludahnya dan ia melanjutkan kata-katanya dengan suara yang bergetar. “dia bilang, dia sayang sama kamu ram. Dia ga peduli kenapa kamu memberikan pin itu padanya kalau pada akhirnya kamu akan berikan pada cewek lain. Dia ga peduli. Dia kan tetep sayang sama kamu sampai ia mati.”
Jantung rama berdegup dengan berat. Seolah ada rantai besi yanng membebani jantungnya. Dadanya sesak.
Hal yang sama juga dirasakan oleh esa. Sebuah embun hangat mengalir dari ujung matanya dan menetes di rerumputan hijau.
“itu juga yang aku rasain ram.. perasaanku dan nara sama.. aku akan terus mencintai kamu, meskipun kamu benci ma aku, meskipun kamu pukul aku, aku rela.. aku terima semua kebencianmu ke aku ram.. tapi tetep itu semua ga akan mengubah perasaanku ke kamu.. aku ga tau apa mungkin kita bertemu lagi, karena aku matuhin kata-katamu. Aku ga akan liatin wajahku ke kamu lagi.. tapi kamu harus tahu ram..”
Esa menghentikan kata-katanya dan menatap rama yang masih terdiam.
“aku ga akan bisa ngelupain kamu dan akan terus mencintai kamu, jauh disana.. aku akan terus mencintaimu ram..”
Dengan menahan isak tangis, esa memalingkan wajahnya dan bergegas meninggalkan tempat itu.
Sementara rama terpaku. Dengan perlahan ia tundukkan wajahnya dan menatap isi halaman buku diari nara yang tadi ingin ia baca.
‘Aku masih menggantungkan harapan padamu ram.. meski tangan ini sudah lemah untuk diangkat.. meski dada ini semakin sesak.. aku tahu hidupku ga bakal lama lagi.. aku harap di akhir hidupku nanti, kamu lah orang terakhir yang aku lihat rama.. aku harap bisa menggenggam tanganmu erat dan aku bisa menyampaikan padamu, bahwa aku mencintaimu. Aku akan terus mencintaimu rama. Selamanya akan begitu. Meski aku jauh disana, aku akan terus mengingatmu. Selamanya, hati ini menjadi milikmu.’
Tak terasa air mata rama menetes. Tubuhnya mulai mengigil dan tangisnya kian deras menjatuhi halaman itu. Tidak ada lagi tulisan di halaman-halaman berikutnya. Itu adalah halaman terakhir. Semuanya persis seperti yang esa ucapkan. Kedua orang itu sama-sama akan mencintainya sampai mati. Dan kini ia hanya menagis dan menyesal, karena dua orang itu telah pergi. Pergi meninggalkannya sendiri terikat oleh cinta mereka.
Esa berjalan menyusuri trotoar menuju rumahnya. Dia sengaja berpesan pada ayahnya untuk meninggalkannya, ia ingin berjalan kaki sampai ke rumah. Esa ingin mem-flashback memorinya di kota ini.
Hati esa terus berdegup lirih setiap melangkahkan kaki di jalan ini. Di jalan ini dia pertama kali jalan bareng rama. Saat itu, kali pertama bagi esa melihat senyum rama. Esa tidak bisa melupakan hal itu.
Saat esa melewati kedai esa, tampak ibu penjual es menguap bosan. Esa tersenyum kecil. Disana dia bertemu dengan rama. Ia pernah membeli es disana dan ternyata rama yang daritadi ia cari sedang duduk santai disana sambil menikmati pop ice.
Esa terus menyusuri jalan itu. Saat ia sampai di sebuah gerobak penjual rokok, ia teringat saat ia mengintip di balik gerobak itu, rama yang sedang dipalak dan dipukuli preman-preman. Esa masih ingat tempat ia berdiri dengan gemetar saat mencoba menghentikan preman-preman itu. Ia masih ingat wajah rama yang meringis kesakitan. Semua tergambar jelas seolah waktu berputar kembali.
Esa memejamkan matanya dan meneruskan kembali perjalanannya. Tiba-tiba, keningnya terasa basah. Saat esa mengusap keningnya ia baru sadar, jika hujan mulai turun. Dia bergegas mencari tempat lindungan dan tubuhnya berhenti di bawah sebuah pohon besar.
Jantungnya kembali berdegup kencang. Ia sangat ingat tempat ini. Pohon besar dengan kursi kayu reyot di bawahnya. Dengan perlahan ia duduk di kursi itu. Matanya menerawang kosong. Ia palingkan wajahnya ke jalan yang ia lalui tadi. Ia ingat masa itu. Sebuah bayangan tampak berlari di derasnya hujan. Itu bayangan dirinya dan rama. Tampak esa yang meringkuk malu di bawah lindungan jaket rama. Kedua sosok itu kini duduk di kursi ini. Bibir esa bergetar melihat bayangan itu. Masa-masa indah itu, yang sempat membuat esa seakan terbang ke langit penuh pelangi. Ia melihat rama merangkul hangat tubuh esa dan berkata lembut.
‘aku kan sahabatmu..!’
Bayangan wajah esa tampak bersemu merah. Jantungnya berdegup kencang, sama seperti yang esa rasakan saat ini. Namun, ia sungguh iri. Saat bayangan kedua sosok itu hilang, esa masih sendiri. Tak ada yang merangkulnya seperti saat itu. Tak ada rama yang menaunginya dari hujan dengan jaketnya. Tak ada rama yang merangkulnya dan mengatakan kalau dia ‘kekasihnya’. Tidak ada. Itu semua hanya ilusi dan kenangan.
Sebuah mobil hitam berhenti di depan esa. Esa juga mengingat bagian ini, ketika mobil hitam berhenti di depannya saat esa hendak mengutarakan isi hatinya pada rama. ‘apakah ini juga ilusi?’
Pintu mobil terbuka dan muncul jordan dari balik pintu itu. “ayo sa, masuk.. aku kirain kamu kemana, aku khawatir soalnya pak jaya bilang tadi kamu ga ikut pulang naik mobil. Saat tau hujan, aku langsung minta jemput kamu..”ujar jordan sambil menarik tubuh esa.
Esa menurut dan mengikuti jordan masuk ke dalam mobil. Begitu pintu ditutup, mobil itupun melaju. Masih pak ujang sebagai supirnya.
Untuk sejenak esa merenung. Dia mengingat saat mengajak rama naik mobilnya. Saat itu ia duduk di sebelah kanan esa. Namun kini saat esa menoleh, yang ada justru jordan yang memandangnya heran. “kenapa sa? “
Esa tersenyum tipis dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu ia berpaling menatap ke arah luar jendela. Ia memandangi jalan trotoar yang harusnya akan ia lalui. Tampak orang-orang berlarian di tengah derasnya hujan. Esa juga bisa melihat bayangan rama yang berlari seolah berpacu dengan mobil esa. Esa tersenyum lirih.
‘rama.. aku ga yakin, apakah aku bisa jauh dari kamu ram.. kamu selalu ada di pikiranku.. dan ini sungguh menyiksaku ram, saat tau kamu ternyata ga ada di sisi..’
Dan seketika bayangan rama menghilang.
***
Hari telah berganti. Matahari masih malu-malu menyorotkan sinarnya. Hawa dingin masih menyelimuti dan menusuk kulit, tapi orang itu masih tidak peduli. Di sebuah sudut ruang kelas XI IPA 2 yang masih lengang, hanya terdengar bunyi detak jarum jam dinding yang menunjuk angka 6.30. biasanya pada saat ini, esa sudah datang dan menyapa ruangan yang sepi, tapi tidak kali ini. Yang masih belum berubah hanya kedatangan seseorang yang lebih awal. Saat ini dia termenung di bangkunya di sudut ruangan. Matanya menerawang kosong pada gambar yang terukir di bangkunya. Sebuah gambar penguin yang mengedipkan matanya dengan nakal, persis di hadapan rama. Tangan rama bergetar dan ia menjatuhkan kepalanya. Ia menunduk di bawah berkas-berkas sinar mentari yang menerobos masuk di sela-sela jendela. Menyinari gambar itu dan tubuh rama yang menggigil.
Di depan pintu utama. Mobil hitam esa sudah bertengger dengan elegannya. Pak ujang tampak sibuk memasukkan koper dan travel bag ke dalam bagasi mobil. “huuft... untung cukup’ ujarnya pelan.
Sementara itu esa sedang memeluk bi ida yang masih menangis di pundaknya.
“hati-hati ya den... jaga diri baik-baik.. sering-sering telpon ke rumah... “isaknya.
Esa mengusap pelan tubuh bi ida.
“iya bi.. bibi tenang ya.. esa akan jaga diri disana.. esa juga akan sering telpon bibi..”
Bi ida melepas pelukannya dan memandang wajah esa sambil tersenyum. “
bibi harap, disana den esa bisa lebih tenang dan bahagia.. jangan menangis lagi den...”
Esa membalas senyuman bi ida. “iya bi..”
“sudah siap sa?” tanya jordan yang berjalan menghampiri esa.
“iya, aku dah siap”ujar esa. Esa pun melepas tangan bi ida dan berjalan memasuki mbil.
“saya pergi dulu bi, saya janji akan jaga esa baik-baik”pamit jordan sambil mencium tangan bi ida.
“iya, nak.. tolong ya nak ya.. pastikan den esa bahagia disana”pesan bi ida sambil menahan haru.
Jordan mengangguk sambil tersenyum. Ia pun menyusul esa memasuki mobil. Esa menyingkap kaca mobilnya dan melambaikan tangan pada bi ida dan bi surti saat mobil itu mulai melaju. Tampak bi ida masih mencoba tetap tersenyum dan melambaikan tangannya begitu juga bi surti. Esa pasti akan merindukan kedua orang itu, mbak ina juga, pak ujang juga, begitu juga om le dan yang pasti ayahnya. meski ia tidak mengantar esa, esa memakluminya dan berharap suatu saat ayahnya akan mengunjunginya di bandung.
Mobil itu sudah sampai di pintu gerbang dan esa menepuk pundak pak ujang.
“berhenti dulu?!” ujarnya setengah berteriak.
Mobil itupun seketika berhenti. Pak ujang tampak heran begitu juga jordan. “kenapa sih den?!” tanya pak ujang.
“kenapa sa?” sambung jordan, tapi esa tidak menanggapi kedua orang itu.
Melalui celah di jendela kaca yang tadi belum ia tutup, ia menerawang kosong trotor di depan gerbang rumahnya.
Lagi-lagi ia melihat bayangan rama. Kenangan terakhir yang ia ingat di tempat itu. Rama yang mencium keningnya lalu berjalan mundur sambil tersenyum padanya dan berkata, “see ya..!”
Untuk sejenak esa terdiam. Bola matanya mulai basah. Ia tersenyum lirih dan berbisik dalam hati.
“see ya, rama.. “
Kaca gelap itu mulai menutup kembali dan mobil itupun melaju meningalkan tempat itu. Menghilang dalam kabut pagi. Pergi meninggalkan sebaris bayangan masa lalu yang indah namun menyakitkan jika terus dipandang. Yang ikut hanya masa lalu yang pahit, yang akan terus menjangkit bagai virus di hati yang sekarat.
***
@zalanonymouz ditunggu cerita lainnya.
bikin season 2 oke juga tuh. ceritanya fokus esa - jordan . perjuangan jordan membuat esa jatuh cinta padanya.