It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@rulli_arto : knapa kasian?
@Rez1 : ayo ayo di add semua, emmmm top? Wow :O
@steverahardian aku kan lagi nungguin kamu dateng ke hatiku, ya pasti belum tidur lah
@iamyogi96 : waw gombalnya rek....
@AwanSiwon : ntr ya, mungkin secepatnya lah, biasa lagi sibuk bgtzzzz
Btw, di bawah ini kucingnya Andi, mungkin ngga mirip tp lucccuuuuu miauwww
Gmn nih? Pdhl aku bisanya OL via phonemobile
udh gak nahan nih..
#Apa maksdnya
(◦ˆ⌣ˆ◦)•.♥.•
Fearless
Akhirnya aku memilih untuk tidak mengikuti kegiatan perkuliahan hari ini. Aku memilih untuk izin pulang ke rumah, menjauh dari Meza. Bayangan kejadian tadi benar-benar membuat diriku bergejolak liar. Untungnya dengan cepat Fajri datang menolongku dan dialah yang menyarankan aku untuk pulang ke rumah dulu.
Aku sudah berada di parkiran kendaraan motorku. Segera aku pacu kendaraanku untuk pergi dari kampus ini sementara waktu, lebih tepatnya hari ini. Sembari mengendarai motorku, aku masih memikirkan sejuta pertanyaan tentang kejadian ini. Kenapa aku bisa tiba-tiba tergila-gila dengan Meza? Kenapa aku sekarang jadi bisa suka dengan teman sejenis? Kenapa aku bisa tahu hubungan seks sejenis? Terus apa yang harus aku lakukan? Aku normal, tidak mungkin suka dengan sejenis, aku juga bukan waria atau cowok ngondek? Tapi, arghhhhhh aku tidak bisa mencari tahu jawabannya.
Aku jadi teringat dengan apa yang dikatakan Fajri beberapa hari yang lalu, tentang yang namanya pelet modern. Aku tidak habis pikir ada istilah pelet modern, memangnya ada pelet kuno? Tapi, apa pun itu, pelet bukanlah sesuatu yang baik. Dan sekarang aku diduga menjadi korban dari pelet modern via mimpi. Satu yang pasti, kata Fajri ada penangkalnya buat pelet modern, yaitu ”sesuatu” dan “sesuatu” itu apa? “Sesuatu” itu menjadi tanda tanya besar buatku, yang pasti aku harus mencari tahu “sesuatu” itu namun harus mengawalinya darimana?
Tak terasa aku begitu cepat sampai di rumahku. rumahku yang besar yang hanya ditinggali oleh 6 orang, aku, Ayahku, Ibuku, adikku dan kedua pembantu rumah tanggaku. Sebelumnya aku ingin cerita sekilas tentang keluargaku. Bisa dibilang keluargaku ini keluarga yang paling harmonis di seantaro dunia. Kedua orang tuaku memilik usaha jasa arsitektur gedung dan bangunan lainnya, kadang mereka pergi ke luar kota bersama-sama. Adikku adalah seorang cowok juga, anaknya bisa dibilang tidak nakal seperti Kakaknya ini, namanya Odin, nama yang anehkan? Aku dan adikku jarang sekali bertengkar,mungkin terakhir kali waktu aku masih SMP dan kami kelahi hanya karena rebutan pisang goreng, aneh bukan? Aku dan adikku serasa menjadi dua dunia yang berbeda, salah satu perbedaan yang mendasar adalah dia orangnya sangat kalem sedangkan aku orangnya sangat agresif sekali. Bisa bayangkan seberapa agresifnya aku? namun karena adikku kalem, dia selalu tidak berani menentang aku.
Kira-kira sampai disitu saja aku bercerita tentang keluargaku. Saatnya aku menaruh motorku di garasi rumah dan bersegera untuk masuk rumah. Tentunya aku sudah memikirkan alasan aku tidak masuk kuliah hari ini sebab pasti kedua orang tuaku bakal bertanya-tanya “Kenapa?”.
“Aku pulang”, ucapku saat melangkah di ruang tamu rumahku.
Suasana hening menghampiriku menjawab bahwa di rumah sedang sepi. Aku pun melanjutkan langkah dan berlari kecil ke arah anak tangga ke lantai 2. Dengan cepat aku sudah sampai di lantai dua, di situ ada kamarku dan kamar adikku tentunya. Aku toleh sebentar ke kamar adikku yang hanya berada di samping kamarku. Ternyata pintu kamarnya terbuka, apa dia ada di dalam? Padahal ini masih siang, masih jam sekolahnya kenapa dia ada di kamar? Apa mungkin bibi yang ada di kamarnya? Tapi tidak mungkin, soalnya adikku itu tipe orang yang tidak suka kamarnya dimasuki oleh orang lain.
Aku menggerakkan kakiku pelan-pelan, ingin mengintip sebentar ke dalam kamarnya. Aku majukan kepalaku sesampai di depan pintu kamarnya yang terbuka sedikit. Aku tatap isinya dengan sangat hati-hati. Terlihat kasurnya yang berantakan, selimut yang teracak-acak sedikit basah, apa karena keringat atau air ya? Lalu dimejanya banyak bertaburan lembaran dan buku-buku. Lalu, aku tidak bisa jelas melihat di balik pintu, maka aku masuk mengendap-ngendap sambil mendorong pelan pintu kamar adikku dan.......................................... sepi. Aku tengok ke sana kemari tidak aku temukan adikku di mana saja. Apa mungkin dia lagi....................
“Mas Andi!”, tegur seseorang yang ada di belakangku. Aku telat, suara itu berasal dari arah kamar mandi adikku.
Aku menoleh ke belakang dan melihat sosok Odin yang hanya berbalutkan handuk. ”Em.....”, gumanku bingung mencari beribu alasan. Aku tatap tubuh Odin, terlihat kurus tapi otot perutnya sudah terbentuk hanya saja badannya kalah besar dari aku.
“Masuk kok ngga ngetok pintu dulu?!”, omel Odin sembari meloto aku.
“Ya maaf, kirain ngga ada orang”, aku mencoba mengelak.
“Kalo pintu ke buka itu ya pasti ada orangnya”, adikku tambah marah. Ditopangnya kedua tangannya seakan-akan dia sedang menghardik anak kecil yang mencuri pisang goreng.
“Kamu juga, ngapain jam sekolah kok di rumah?”, aku membalasnya.
“Itu... em..... sekolah libur!”, jawabnya. Aku yakin dia berbohong, pasti dia bolos.
“Jangan bohong”, aku menggodanya.
“Ngga....”, suaranya terdengar panik. Mana ada seorang adik bisa membohongi Kakaknya.
“Mana Papa sama Mama?”, tanyaku mengganti topik sembari berjalan ke arah pintu kamarnya.
“Keluar kota lagi, besok pagi baru balik”, jawabnya. “Udah ah, Mas keluar sana, Odin mau ganti baju”.
“Iya Om..................”, ejekku sembari keluar dari kamar.
“Uh! Mas Andi jelek”, sahutnya dari balik pintu kamarnya.
..................................................................................................................................................................
Dari tadi aku hanya berkutat di ruang TV, meja makan, WC terus ruang TV dan berulang-ulang pokoknya. Jenuh sekali kalau tidak ada kegiatan seperti ini. Sekarang pun masih jam 12 siang, benar-benar membosankan. Apa lebih baik aku menelepon pacarku saja? Tapi dia sekarang masih kerja pastinya. Sumpah, rasanya BT sangat. Rasanya itu seperti berada di arena tinju, lalu dipukul ke atas masuk ke langit lalu jatuh lagi ke arena tinju.
“Mas......”, panggil adikku yang akhirnya membuyarkan lamunanku.
“Ya....................”, jawabku malas-malas.
“Aku mau nginap di tempat temanku”, ucapnya dihadapanku. Dia terlihat sudah rapi dan merangkul ransel besarnya. Ini mau menginap atau mendaki gunung?
“Tempat siapa?”, tanyaku.
“Biasa, di tempat Indra”, jawabnya.
“Siapa itu?”.
“Ah Mas ini pake lupa, yang kemaren sempat belajar bareng berdua sama aku”.
“Ohhh yang itu....”, aku melenguh panjang. Aku ingat siapa Indra, teman sekelas adikku, mereka biasanya selalu belajar kelompok bareng. Biasanya pakai acara menginap di rumah masing-masing. Kali ini mungkin Odin yang menginap di tempat temannya itu.
“Udah ya, mau pergi”, ucap Odin yang langsung menyelonong pergi.
“Eh tunggu!!”, aku berteriak mencoba menghalangi dia pergi duluan.
“Ingat! Jangan bolos”, tegurku.
“Iya Mas............”, jawabnya yang langsung hilang dari hadapanku.
Benar-benar komplit sekarang, aku jadi sendirian di rumah yang besarnya kayak istana ayam ini. Aku merasakan firasat tidak enak sendirian di rumah ini. Apalagi kejadian tentang si Meza itu. Arghhhhhhhhhhh....................
“Meong.....”.
“Oh Pusy...”, aku kaget melihat kucingku sudah berada dikakiku yang selonjoran di lantai ruang tengah.
“Meong...........”, jawabnya.
“Kamu benar, kita hanya berdua di rumah ini”, aku mencoba berbicara dengan kucingku.
“Meonggg....”, jawab kucingku sembari tidur dikakiku. Kalau dipikir-pikir sepertinya kucingku mengerti kalau aku ajak bicara. Dasar kucing yang aneh, tapi kalau ada di dekat kucingku, aku merasa lebih aman dan santai.
.................................................................................................................................................................
PRANGG!!!!!
Tiba-tiba ada suara pecah dari arah dapur rumahku. Spontan saja aku langsung menoleh kaget ke arah dapur. Seingatku tadi aku hanya sendiri, setidaknya para Bibi-bibi sudah pulang dari tadi siang, apa mungkin mereka balik? Atau bisa saja itu kucingku yang tidak sengaja bermain di atas meja makan.
“Puss.....”, panggilku. Aku segera bangun dan berjalan pelan ke arah dapur. “Puss............. itu kamu ya?”.
Aku merasa bulu kudukku merinding saat mendekati ke arah dapur. Dari tadi aku memanggil kucingku tidak menyahut, masa itu tikus? Atau jangan-jangan.................. ah tidak mungkin itu “dia”.
“Jangan berpikir parno Andi”, gumanku dalam hati, menyakinkan dirku kalau yang di dapur itu bisa saja binatang lain.
“Puss, jawab dong........”, aku menyaringkan suaraku saat berada di bibir dinding dapur. Dapurku memang terhubung langsung dengan ruang tengah. Jadi kita bisa mengintip langsung dari arah lorong tanpa pintu itu. Hanya saja aku dari tadi melihat dapur yang gelap tanpa adanya cahaya.
Bulu kuduk makin bergidik ngeri saat sudah berada di dalam dapur. Gelap dan dingin sekali rasanya. Dari tadi aku memanggil Pussy tidak ada jawaban sama sekali, padahal sebelum tidur diajak ngomong pun kucing itu bisa menjawab dengan mengeong.
Aku terus berjalan mengendap-ngendap melewati dinding dapur. Berusaha mencari sakelar lampu dapur. Aku berusaha meraba dinding dapur untuk menemukannya. Samar-samar aku mendengar suara langkah yang mendekat ke arahku.
“Siapa itu?”, teriakku. Tanganku masih meraba dinding dan akhirnya berhasil menemukan sakelar lampu sebelum orang itu lebih dekat ke arahku. Dan..............
“HUA!!!!”, aku terkaget di hadapanku ada Bibi Imah. “Bibi.....................”, panggilku.
Tatapan Bibi Imah, pembantu rumahku, terlihat kosong. Wajahnya agak hitam dari biasanya. Daster kuning bermotif bunga yang dia pakai agak kotor dan berukuran besar dari tubuhnya. Aku melirik ke arah tangannya, ternyata dia tengah memegang pisau daging yang besar itu. Aku pun langsung menatapnya takut.
“Bi.....”, suaraku agak gugup. “Ma..mau ngapain...?”.
Tidak ada sepatah kata pun terucap dari mulutnya. Dia malah lebih asyik menatap aku tanpa satu kedipan pun. Aku malah merasa ngeri, bulu kudukku semakin banyak yang merinding. Astaga, aku takut kalau dia mau membunuhku. Tapi Bibi Imah malah berbalik, dia berjalan sambil menyeret kaki kirinya. Aku langsung menatap heran dengan Bibi Imah yang bertingkah aneh ini.
Dia terus berjalan menuju meja makan. Di belakang bajunya ada sedikit bercak merah-merah, lebih tepatnya cairan merah. Bibi Imah pun berhenti di meja makan. Tangannya yang sedang memegang pisau daging yang besar diangkatnya tinggi ke atas. Lalu dengan sekejap diayunkannya ke arah meja makan.
BRAK!! BRAK!!!
Aku mendengar pukulan pisau Bibi Imah sangat kuat menghantam meja makan. Sesekali aku mendengar guratan suara daging dan tulang yang remuk karena pisau Bibi Imah. Dengan segenpa sisa jiwa raga keberanianku, aku memberanikan diri untuk melihat yang Bibi Imah potong. Aku berjalan pelan agar tidak mengganggu acara memotong Bibi Imah walaupun suara pisau yang terus menghantam meja semakin keras. Aku berjalan agak jauh di sampingnya, ancang-ancang kalau tiba-tiba Bibi Imah mengarahkan pisau ke aku. Dengan sangat hati-hati aku bisa melihat sesuatu yang dipotong oleh Bibi Imah, warnanya putih, kecil dan..............
BRAK!!! Pisau itu menghujam ke arah kepala binatang itu!
“PUSSY!!!”, teriakku melihat kucing kesayanganku ternyata dipotong-potong oleh Bibi Imah. Antara rasa takut dan marah aku berani berteriak untuk menghalangi Bibi Imah. “BIBI!! SUDAH!!!”.
Bibi Imah menoleh tajam ke arahku, kali ini matanya berubah menjadi merah. Rasa takut pun mulai mengalir deras di seluruh denyut nadiku. Bibi Imah pun berhenti memotong tubuh kucing kesayanganku yang sudah hancur tak berbentuk. Dia mengayunkan pisau daging itu ke arahku. Aku yang sudah mengambil ancang-ancang untuk kabur dengan cepat mundur ke belakang sehingga bisa berkelit dari kibasan pisau daging Bibi Imah. Aku dengan sigap mundur ke belakang namun sayang belum ada satu meter aku tersandung jatuh ke bawah.
Aku merasakan tanganku mengenai sebuah cairan. Aku pelan-pelan membuka mataku yang aku tutup saat terjatuh. Aku melihat ada rona darah ditanganku. Kemudian aku terduduk dan terpana dengan apa yang ada dihadapanku. Badanku gemetar dan sudah tidak bisa bergerak melihat pemandangan yang menyeramkan ini. Pembantuku yang lain, Bibi Tuti, mati bersimbah darah, dadanya terkoyak dan banyak mengeluarkan darah. Mukanya sudah hancur walaupun aku bisa mengenali dari bajunya. Satu yang pasti, kaki dan tangannya terpisah dari tubuhnya.
Aku yang syok tidak bisa berdiri dan mataku terpaku hanay menatap pemandangan yang mengerikan itu. Aku tidak bisa berteriak karena mulutku gemetar. Otakku sudah kehabisan akal untuk mengendalikan tubuhku. Aku menggerakkan leherku kebelakang dan melihat Bibi Imah yang sudah berdiri di belakangku dengan sigapnya diayunkannya pisau daging itu ke arahku. Dan...................
Badanku tersentak, karena mendengar bunyi dering telepon di sebelahku. Dengan mata yang masih belum siap membuka merasakan ada yang bergerak di atas dadaku. Aku berusaha terus untuk mengumpulkan semua sistem syaraf diotakku dan bisa sedikit jelas mendengar suara di sekitarku. Ada suara dering telepon dan ada suara Pussy, kucingku.
Aku dengan cepatnya membuka mata dan melihat Pussy mencakar-cakar bajuku. Dia terus mengeong untuk membangunkan aku. Aku sudah tersadar sepenuhnya, aku merasa badanku bermandikan keringat. Ternyata yang tadi itu adalah mimpi buruk hanya saja posisi tidurnya benar. Aku tertidur di lantai ruang tengah.
Aku yang sepenuhnya sudah sadar mendengar dering telepon di sampingku. Handphoneku berbunyi, dengan agak gugup aku raih handphoneku dan aku angkat.
“Ha..halo”, suaraku agak bergetar.
“Halo Yank...”, suara seorang cewek menyahut dari balik telepon. “Aku di depan rumahmu”.
“I..iya....”, jawabku. Otakku berpikir cepat, ada seorang cewek menelepon aku dengan panggilan “Yank”, aku bisa menebak cewek itu pasti Jenny dan dia sekarang berada di rumahku.
“Cepat ya...”, serunya ditelepon.
“Iya Yank, tunggu”, aku langsung mematikan handphoneku dan mengangkat Pussy ke lantai. aku bersegera ke depan rumah untuk membukakan pintu buat Jenny.
..................................................................................................................................................................
Suasana hening menyergapi ruang tamuku. Hanya ada aku dan Jenny tentunya Pussy-ku juga yang tengah bermain di sofa. Jenny dengan herannya menatapku bingung, dia seperti melihat orang gila melintas di depannya. Mungkin aku bisa merasakan kondisi tubuhku saat ini, pakaian lusuh, basah oleh keringat, mukaku terlihat panik seakan-akan habis dikejar setan danmemang benar dikejar setan di alam mimpi.
“Kamu ngga apa-apa kan Yank?”, tanya Jenny khawatir.
“Ng..ngga apa-apa”, jawabku. Rasanya jantungku masih berdebar-debar kencang karena bergerak sangat cepat.
“Kamu kayaknya habis kena masalah”, selidik Jenny. Memang yang namanya wanita itu peka dengan perbedaan suasana.
“Masalah?”, aku mencoba menyeka keringat di wajahku dan membetulkan rambutku yang teracak-acak. “Ngga kok...”.
“Andai aku bisa tanya sama Pussy...”, ucap Jenny serius menatap ke arah Pussy yang tengah asyik bergelanyut di sofa.
“Meong”, balas kucingku.
“Mungkin aku bisa tahu”, sambung Jenny.
“Ah Sayang jangan berpikir yang aneh-aneh”, elakku. “Aku baik-baik aja, tadi habis tidur siang”.
“Ok lah...”, Jenny terlihat pasrah dengan jawabanku. Dia mengangkat barang bawaan diplastik besar. “Ini, aku bawakan opor ayam kesukaan kamu”, Jenny menaruh plastik itu di meja dan mulai membukanya. Langsung saja aroma masakan opor ayam versi Jenny semerbak di ruang tamuku.
“Enak nih”, pujiku.
“Ingat, dihabisin ya”, tegur Jenny.
‘Sip......”, ucapku senang karena Jenny membawakan opor ayam kesukaanku. Kebetulan juga para Bibi-bibi hanya memasak sayur bening yang tidak aku sukai. Para Bibi-bibi itu.......... aku jadi teringat mimpi burukku tadi. Sudahlah, sementara ini lupakan dulu mereka.
“Ya sudah aku langsung balik”.
“Cepat banget?”, tanyaku kaget.
“Sudah sore..”, jawab Jenny. “Ntar dimarahi sama Papa”.
“Aku antar ya...?”, pintaku.
“Ngga usah, tadi aku bawa motor sendiri”, balas Jenny.
“Ngga apa-apa?”, tanyaku ragu.
“Sudah ngga apa-apa, yang penting kamu makan dulu ini”, tunjuk Jenny ke arah opor ayam yang masih semerba harumnya.
“Kalo itu sudah jangan ditanya lagi”.
“Ah sayang ini, aku pulang dulu ya”, Jenny beranjak dari kursinya.
“Aku antar ampe pagar”, aku ikut beranjak dari kursi, tidak lupa menutup kembali plastik yang berisikan opor ayam buatan Jenny.
..................................................................................................................................................................
Terlintas dibenakku untuk meminta Fajri menemani aku yang sendirian di rumah. Selain itu ada yang ingin aku bicarakan dengan dia juga. Sebelumnya aku letakkan dulu piringku di meja ruang tengah dan mengambil handphoneku untuk menelepon Fajri. Kemudian aku menelepon Fajri.
Tut.............tut............(bunyi dering telepon)
“Halo..”, jawab Fajri.
“Halo juga”, balasku.
“Ya ada apa Ndi?”, tanyanya.
“Lagi sibuk ngga?’.
“Ngga juga kok, baru nyelesain tugas kuliah”, jawabnya.
“Tugas?”.
“Oiya ya, aku lupa bilang kamu ada tugas kuliah”, potong Fajri.
“Ya udah kalo gitu, kamu bisa ke rumahku ngga? Sekalian bawa tugas-tugas kuliah”, pintaku.
“Bisa-bisa, emangnya di rumah ngga ada orang lagi?”.
“Iya nih, aku ngga enak sendirian di rumah”, jawabku.
“Em.. tunggu bentar ya, aku langsung ke sana aja”.
“Sip......”.
“Oiya, Billy ama Dennis diajak ngga?”, tanyanya.
“Em....”, belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, tiba-tiba ada suara ketukan pintu di depan rumahku. “Eh Jri, tunggu bentar ada yang negtuk pintu”.
“Iya, bukain aja dulu”, suruh Fajri.
“Jangan dimatiin teleponnya”, ucapku pelan. Aku melihat Pussy berlari ke arah belakang kursi, dia sepertinya ketakutan. Aku malah jadi ikut-ikutan takut.
Aku beranikan diri untuk berjalan ke depan dan mendekat ke arah pintu rumahku. semakin aku mendekat, suara ketukan pintu itu terdengar semakin jarang. Aku smeakin curiga, jangan-jangan itu............
“Siapa?”, teriakku. Namun tidak ada suara yang menyahut dari balik pintu itu. Tiba-tiba...........
BRAK!!! Pintuku terasa dipukul keras-keras. Spontan saja aku langsung terperanjak kaget dan mundur ke belakang. Aku angkat lagi teleponku.
“Halo Fajri!!!”, panggilku.
“Iya?”, jawabnya.
“Cepat sini! Aku takut!”, jawabku gugup. Deru nafasku menjadi tidak beraturan lagi. Badanku menjadi gemetar.
“Iya, tunggu, aku ajak Billy sama Dennis”, jawab Fajri yang buru-buru menutup telepon.
Yang bisa aku lakukan sekarang hanya bisa bersabar menunggu Fajri, Billy dan Dennis datang ke rumahku. sebisa mungkin aku harus bisa bertahan sendiran menhadapi teror yang menyeramkan ini. Baru kali ini aku merasakan takut yang luar biasa. Ya Tuhan, lindungilah hamba-Mu yang lemah dan cakep ini.
Semuanya, maaf ya lama update ceritanta, fufufufufu biasa lagi sibuk buangetzzzzzzzz (งˆ▽ˆ)ง
Silahkan baca, jgn lupa komennya ♥ᵋ(ˇ▼ˇ)ᵌ♥