It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Story rate
@idans_true : kan ada pilihan judulnya, td ada yg jwb judul chapter brikut pessure
@Adam08 : tumben aku dipanggil mas?
@Dharma66 :
Btw, kenapa sih si culun dikasih nama Meza, kayak nama cewek
@dirpra : fufufufufufufufu untungnya Meza nya ga kyk cwek jg, wakakak kenapa tuh deg deg-an?
Pressure
Aku benar-benar di antara sadar dan tidak melakukan ini. Tapi aku sangat ingin melakukan sebuah “permainan” dengan Meza saat ini. Aku terus berusaha menahan tubuh Meza yang sudha aku sandarkan di bilik toilet itu. Namun, tidak sedikit pun dia melawan. Aku semakin yakin dia juga menginginkan hal ini.
Tanpa banyak kata, aku mulai mengerayangi tubuh Meza. Bibirku terus berupaya menggigit kecil lehernya yang mulus. Kedua tangannya malah memegang erat pinggangku. Aku terus menekan badanku ke badannya. Biar dia merasakan “bendaku” yang sudah keras dari sejak tadi. Meza menggigit bibir bawahnya untuk menahan gejolak rangsangan yang aku berikan.
Tanganku terus berupaya meronggoh celana belakangnya yang ketat. Upayaku yang semakin panas dan liar membuat suasana semakin terasa gerah. Bibirku terus memagut lehernya. Sesekali Meza mendesah mengerang menahan semuanya.
“Andi......”, erangnya.
Aku malah semakin semangat untuk menggerayangi tubuhnya. Tidak mempedulikan erangannya. Dikepalaku sekarang yang ada hanya NAFSU, NAFSU, dan NAFSU. Aku harus melampiaskan seluruh jiwa raga nafsuku ditubuh Meza.
Akhirnya kedua tanganku berhasil menembus ketatnya celana Meza. Aku rasa sabuk pinggang yang dikenakan Meza juga ikut longgar karena usaha kerasku membobol celana sempit itu. Kemudian au mulai meremas buah bokong Meza. Aku merasa adik kecilku semakin mengeras tidak karuan. Celanaku juga ikut menjadi sempit karena nafsuku. Tangan Meza pun beralih dari pinggangku turun ke tengah-tengah selangkanganku.
“Andi plis.....”, erangnya lagi. Bagiku erangannya itu seakan-akan memberi semangat dan melecut usahaku untuk terus menikmati tubuhnya.
Tanganku tidamau lepas dari remasan bokongnya. Meskipun badannya kurus ternyata bokongnya lumayan berisi dan kenyal. Nadiku jadi berpacu saat tahu celananya menjadi kendor. Ternyata Meza telah melonggar ikatan pinggangnya dan membuka kancing celananya.
“Inikan yang kamu mau”, ucapnya. Aku tatap mukanya, aku perhatikan wajahnya yang pasrah. Tanpa ditunggu-tunggu lagi aku menciumnya langsung. Bibir kami pun saling berpagutan. Aku merasakan lidahku ditarik oleh bibirnya, disedot hingga aku merasakan sensasi “sakit” yang luar biasa. Meza yang tadinya pasrah juga tidak kalah beringas. Kedua tangannya meremas adik kecilku.
Aku rasa bilik ini menjadi lebih panas karena pergumulan aku dan Meza. Tanganku yang sudah leluasa menguasai seluk beluk buah bokongnya berusah masuk ke dalam celana dalamnya dan mencari lubang kenikmatan milik Meza. Namun kali ini mendapat perlawan dari Meza, dia sepertinya tidak ingin terlalu jauh sampai kesitu.
“Jangan....”, desahnya berusaha mendorong tubuhku. Badanku pun semakin menekan karena tahu bakal didorong oleh Meza. Tanganku semakin erat meremas buah bokongnya yang mulus. Jariku mulai menarik kulih buah bokongnya dan terhamparlah lubang kenikmatan Meza. Bebas dari desakan buah bokongnya. Satu jari telunjukku terus menelusuri mendekati lubang kenikmatan itu.
“Jangan Andi.....”, desahnya. Dia terus berontak. Kakinya pun bergerak namun upayanya sia-sia karena aku sudah bisa mengantisipasinya. “Plis, aku ngga mau sampai kesitu dulu”.
“Bisa diam ga!”, bentakku berbisik. Tubuhku sudah kehilangan akal sehatku, nafsulah yang menguasai semuanya. Akhirnya jari telunjukku berhasil menyentuh lubang kenikmatan milik Meza. Badanku pun semakin kuat menekan. Aku ingin, ingin sekali masuk, aku ingin merasakannya secara nyata. Aku pun juga semakin bermain kasar.
“Aku ngga mau...”, erangan Meza terdengar layaknya orang yang tidak mau diperkosa. “aku.... mpphhhhh”, aku tutup mulut Meza dengan bibirku. Dia pun tidak bisa berbicara lagi dan jari telunjukku berhasil mendarat di permukaan lubang itu. Aku putar jari telunjukku, Meza hanya bisa mengerang didekapan bibirku.
Tanpa ada aba-aba, telunjuk berusaha menerobos masuk ke dalam lubang Meza. Aku semakin liar dan kasar, aku rojok-rojok telunjukku untuk masuk. Aku merasakan sensasi yang luar biasa saat melakukan hal itu. Serasa di adik kecilku ada yang ingin menyeruak keluar, sesak dan ingin merasakan nikmatnya lubang ini.
Aku berhasil memasukan seperempat dari jari telunjukku ke dalam lubang Meza. Aku putar-putar jari telunjukku. Kepalaku pun mulai berimajinasi dengan lubang Meza. Ingin sekali rasanya aku melakukan penetrasi ke dalam lubang Meza.
“Mmmppphhhhh...”, erangan Meza yang tertahan oleh bibirku. Semakin diperlakukan seperti itu, semain dalam jari telunjukku masuk ke dalam sampai akhirnya Meza menggigit bibir bawahku.
“Au”, aku melepaskan pelukanku karena kaget. Tiba-tiba sontak saja kesadaranku kembali normal. Aku perhatikan tubuh Meza yang berantakan dan celananya yang kendor ke bawah. “AKu...aku....”, kataku gugup”.
“Kamu jahat!”, ucap Meza marah.
Aku jadi gugup dan mengingat apa yang telah aku lakukan dengan Meza. Aku pegang bibirku, bekas ciuman dengan Meza. Aku tatap seluruh badan Meza yang ada malah gemetar ketakutan. Aku sudha melakukan kesalahan yang fatal. Aku sudah gila karena Meza, aku sudah di luar batas kemanusiaan. Aku sudah tidak normal lagi. Aku....aku....
Aku dorong tubuh Meza dan langsung membuka pintu bilik toilet itu.aku berlari sambil terhuyung-huyung seperti orang mabuk. Kesadaranku sudah kembali pulih namun tertahankan oleh ingatan tadi. Aku pun lari meninggalkan Meza sendirian di toilet pria.
Aku keluar layaknya orang yang mengalami tekanan batin. Entah apa yang aku tabrak selama berlari menjauh dari Meza. Aku malah merasa jijik dengan diriku sendiri kenapa melakukan hal “gila” seperti itu. Aku berjalan keluar dari area gedung kampusku.
“Aku...aku....”, wajahku rasanya berubah jadi pucat. Aku syok, benar-benar syok. Aku sudah tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Apa lebih baik aku bunuh diri saja sekarang.
Tanpa memperdulikan sekitar yang heran melihat kelakuan anehku. Berjalan sambil menabrak sana sini seakan-akan aku adalah orang buta. Tapi aku memang buta, batinku benar-benar berada di zona kebutaannya. Aku sudah tidak peka lagi dengan lingkungan sekitar. Aku ingin berlari keluar dari kampusku dan ingin menabrakkan diri di jalan raya. Aku ingin mati sekarang juga tapi......
Seseorang menarik tanganku dan terus menyeretku ke samping. Aku sudah tidak sadar dibawa ke mana lagi. Yang aku tahu aku berada di pinggir pagar dinding kampusku. Seseorang menepuk-nepuk kedua pipiku.
“Andi!! Andi!!”, orang itu terus menepuk kedua pipiku. “Sadar woy!”.
Kedua mataku masih tidak karuan memandang jelas wajah orang itu. Namun samar-samar suara itu mengingatkan pada seorang temanku.
“Andi!!!”, tepukannya semakin keras dan aku kembali tersadar.
“Fajri?”, suara kecilku akhirnya terucap.
“Kamu kenapa?”, tanyanya panik.
“Aku....aku.... Meza....”, aku masih tidak jelas berucap.
“Gawat, ayo sini”, Fajri membopongku dan membawa aku pergi dari tempat itu.
..................................................................................................................................................................
Aku dibawa ke sebuah ruangan kecil. Aku dibaringkan disebuah ranjang kecil. Kepalaku terasa sedikit pening, apa aku pingsan tadi? Kemudian aku perhatikan kesekeliling ruangan kecil itu. Ada kotak obat bertuliskan P3K di dinding. Lalu di depan ada tiga orang pria sedang berdiri sambil berbicara.
“Yakin ngga apa-apa?”, tanya Billy.
“Bener, aku aja yang urus Andi”, jawab Fajri yang menyakinkan kedua temannya.
“Aku jadi bingung kenapa sama Andi hari ini?”, Dennis melirik ke arahku. “Udah bangun tuh anaknya”.
“Kenapa aku di sini...”, aku mencoba merubah posisiku menjadi duduk.”Au....”, kepalaku terasa berdenyut sakit.
“Istirahat aja kamu bro”, tegur Billy. “Nanti aku kasih izin”.
“Aku ngga apa-apa”, kataku berusaha untuk terlihat sehat.
“Jangan paksain dulu”, Fajri menahanku dan menyuruhku tetap duduk.
“Tapi?”.
“Udah ngga apa-apa bro, masalah kuliah biar aku sama Billy yang urus”, ucap Dennis yang telah berdiri di sampingku.
“Terus? Aku di sini sama siapa?”.
“Aku yang di sini”, jawab Fajri. “Ya sudah kalian berdua ke kelas sana, izinin aku sama Andi ya”.
“Sip Bos!”, ucap Billy. Kemudian mereka berdua pergi meninggalkan aku bersama Fajri di ruangan em..... UKS sepertinya.
“Kamu ngga apa-apakan?”, tanya Fajri yang mengambil kursi di meja depan dan duduk di hadapanku.
“Ngga apa-apa, cuma.....”.
“Tenang selama ada aku dia ngga berani ke sini”.
“Makasi bro, aku bisa gila kalo begini terus”.
“Emang apa yang terjadi?”, tanya Fajri.
“Itu... emmmmm itu...”,aku merasa gugup untuk menceritakan hal porno. Kalau hal porno dengan cewek mungkin aku berani cerita tapi ini dengan cowok.
“Gitu ya?”.
“Yahh begitulah”, jawabku.
“Wow, aku ngga nyangka bakal sejauh itu”, Fajri terkekeh.
“Ah kamu, aku ini normal, ngga ada niat sama sekali buat begitu-begitu”.
“Yang jadi masalah itu di Meza, kenapa dia ngelakuin itu ke kamu?”.
“Dendam kali, tapi masa aku di.............................. pelet”, bisikku pelan.
“Menurutmu?”, Fajri malah balik bertanya.
“Aku ngga tahu, lagian dia gitukan aku pake apa? Setahu aku kan yang namanya pelet itu perlu media dari korbannya”.
“Namanya juga pelet modern, he he he”, Fajri kembali terkekeh. “Yang pasti kamu harus cari penangkalnya”.
“Cari dari mana coba? Kalau gini terus bisa-bisa aku ngga kuliah”.
“Sabar, yang penting usaha dulu buat mencarinya”.
“Tekanan batin ini”, aku menepuk dahiku. “Terus ada saran ngga?”.
“Ya saranku jauh-jauh saja dari Meza”.
“Ahhhhh itu namanya bukan saran, kalau gitu mending aku pindah kuliah aja”.
“Eh, jangan! Masa nyerah gitu?”.
“Mau gimana lagi?”, aku berbaring. “Aku menyesal sudah melakukan hal buruk ke Meza”.
“Tumben kamu ngomong gitu?”.
“Andai waktu itu tidak terjadi mungkin bakal baik-baik saja sekarang”.
“Andi Andi”, Fajri menggelengkan kepalanya. “Apa pun yang bakal terjadi, aku bakal bantuin kamu kok”.
“Makasi ya Jri, kamu memang sahabat aku yang paling baik”.
“Sama-sama”, Fajri memberikan senyumannya kepadaku. Tenryata dia manis juga kalau diperhatikan.
amiiinnnnn
@xchoco_monsterx : ada yg ikut panas neh
@DItyadrew2 : agak hot ya? Yaa ntr lain kali dibuat lbh hot n cold
:-D