It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
mmm....jadi bingung cara ngejelasinnya...minta maaf sebelumnya kalau choco banyak mengecewakan semuanya dan kalau kalian marah sampai gak mau baca lagi juga gak apa-apa....cuma mau jelasin karena choco belum ngumpulin buat antologi makanya update musti diundur yang choco cuma bisa janjiin klo udah update pasti dimention...sekali lagi klo pun kalian marah gak baca jg gak apa-apa...choco rela
Makasih sebelumnya buat perhatiannya.
Lebaran telah usai .
Hore . Hore . Hore .
*inspirasi lagu tasya - libur telah tiba .
Haha . @xchoco_monsterx keep spirit ya bang .
Jangan lupa , we are always waiting ur story .
Hwaittinnngggg !!!!!
makasih
biar ga tenggelem lagi
masih ditunggu untuk kelanjutannya mbak @xchoco_monsterx
ƪ(⌣˛ ⌣“)ʃ sbar sbar sbar .
Huft...akhirnya Tuhan akhirnya choco bisa balikjuga...kangen banget sama semua-semuanya deh pokoknya ya lapaknya, ya karakter2nya, ya pembaca-pembacanya.
Mohon maaf dengan sangat atas keterlambatan yang sangat luar binasa ini karena banyak sekali halangannya dan terima kasih yang teramat sangat atas kesabarannya, dukungannnya dan kritik maupun saran untuk cerita ini.
Tanpa berlama-lama lagi choco will start the story but before I will give u all the recap of the story due too the extent time I took to update..
Recap,
Setelah hampir tujuh tahun lebih Kebo dan Miki berpisah akhirnya mereka bertemu kembali. Tetapi kondisi kehidupan yang sudah mereka jalani membuat pertemuan mereka bitter-sweet.
Miki sudah memiliki Fadil, meskipun hubungan mereka tak semulus yang terlihat. Kebo telah bertunangan dengan seorang perempuan bernama Vira. Bahkan pertemuan mereka dikarenakan permintaan tunangan Vira yang meminta Miki sebagai fotografer untuk foto-foto prewedding antara Kebo dan Vira. Pergolakan, hasrat dan luka lama timbul kembali atas hasil pertemuan mereka.
Belum selesai Miki menyortir perasaannya masalah baru muncul. Eros pria yang menjadi pihak ketiga dalam hubungannya dengan Fadli meminta Miki agar menyerahkan Fadli padanya. Di saat Miki memberitahu perihal Eros, Fadli menjatuhkan sebuah kabar akan kepindahan kerjanya ke kantor pusat di Hongkong dan meminta Miki untuk menemaninya. Kebo yang mengetahui hal ini memohon sampai-sampai dia berlutut dihadapan Miki untuk tidak pergi.
Di tengah dilemanya Miki dikejutkan oleh kabar Kebo melakukan tindakan bunuh diri. Dan kini Kebo yang berada dalam keadaan koma membuat Miki bingung tak tahu harus apa. Tapi Vira tanpa disangka membantunya dengan memberikan buku harian milik Kebo.
Dibuku harian itu Miki menemukan kenyataan pahit atas keadaan Kebo yang sebenarnya setelah dia meninggalkannya. Lalu apakah yang akan terjadi kemudian?
Mari kita lanjut ke cerita selanjutnya.
Nyokap menelepon gue tadi pagi. Dia meminta gue untuk pulang ke rumah setelah kuliah. Dari nada suaranya yang serius dan dingin firasat gue mengatakan apa pun yang akan dikatakan olehnya akan menentukan nasib gue di masa depan. Penuh keterpaksaan gue mengiyakan.
Sesampainya gue pulang ke rumah nyokap sudah menunggu di sofa ruang keluarga. Gue menghirup napas dalam-dalam dan kemudian menarik paksa kaki gue untuk melangkah.
“Assalamu’alaikum Mah,” Sapa gue ringan.
“Wa’alaikumsalam,” Jawab singkat nyokap tanpa basa basi. Sebelum duduk gue cium tangannya dan dari dekat terlihat jelas air mukanya sangat dingin. Gue abaikan dan duduk persis di sofa samping.
Hening merayapi seluruh ruangan. Gue menatap nykap yang tengah memandangi gue lekat. Ini membuat gue sama sekali tidak nyaman. Gue menggeliat gelisah sampai akhirnya memberanikan diri membuka suara, “Papah mana mah?”
“Lagi keluar kota dari kemarin.”
“Oh.”
“Gimana kabar skripsi Aa?” Tanya nyokap tiba-tiba.
Sempat gue tertegun sesaat, tetapi berhasil mengumpulkan suara untuk menjawab. “Masih dalam proses.”
Mendadak nyokap tertawa kering. “Dalam proses atau belum sama sekali?”
Dari tatapan nyokap yang tajam gue tahu gue tidak akan bisa mengelak. “Belum sama sekali.”
Nyokap menghela napas dalam dan mencubit hidungnya seperti tampak lelah. “ Apa susahnya jujur sih A?” Pertanyaan retoris. “Tenang aja Mamah nelepon Aa bukan sekedar menanyakan kabar mengenai skripsi, tapi mengenai kabar yang tidak mengenakkan. Dan Mamah ingin Aa menjawab sejujurnya.” Tatapan tajam itu kembali dan gue hanya bisa mereguk liur dalam.
“Slentingan Mamah mendengar kabar kalau Aa belakangan ini jarang masuk kuliah dan ibu kos-kosan Aa bilang hampir tiap malam Aa pergi terus pulangnya pagi-pagi atau bahkan keesokan harinya. Apa betul a?”
Seribu satu alasan terkumpul dan terbentuk dalam kepala gue, tetapi alas mulut gue seakan-akan memilki pikirannya sendiri, “Buat apa sih Ibu kosan ikut campur? Bukan urusan dia dan Aa keluar juga karena ngerjain tugas di rumah teman.”
“Ibu kosan Aa masih teman arisan Mamah dan memang mamah sendiri yang minta dia buat mengawasi Aa.”
Mata gue melebar penuh horor. Apa? Sejak kapan?
Raut wajah nyokap yang tadi begitu dingin dan keras, tapi kini melunak, muram. “Ibu kosan juga bilang beberapa bulan terakhir ini ada selalu seorang laki-laki yang antar jemput Aa. Dan dari penampilannya dia jauh lebih tua dari Aa.” Alis dan dahi nyokap bertaut menjadi satu. Tidak… tidak… gue pernah melihat ekspresi itu dan menjadi momok dalam hidup gue.
“Dan laki-laki itu juga sering kali menginak di kosan Aa,” Suara nyokap semakin menghilang namun dia berdeham mengumpulkan segenap tekadnya. “Pernah satu kali Aa pergi hampir dua minggu bersama dengan pria itu karena penjaga kosan melihat dia menjemput dan mengantar Aa pulang. Siapa dia A?” Pandangan kami saling beradu. Dari tatapannya gue bisa mengetahui nyokap mengharapkan gue berkata sejujurnya.
Apakah kejujuran jalan terbaik? Tidak bisakah nyokap menutup mata dan membiarkan keadaan apa adanya? Setidaknya gue sudah melakukan apa yang nyokap inginkan, gue menjadi anak baik yang siap menuruti perintahnya kapan saja dan permintaan “dia” untuk melupakannya. Tidakkah gue berhak setidaknya diberikan penghargaan atas pengorbanan yang sudah gue lakukan selama ini? Rasa pedih ini menghimpit dada gue. Argh!!! Sudah biarkan saja jika kejujuran yang memang nyokap inginkan maka gue akan memberikannya. Walaupun itu artinya luka lama harus tertoreh kembali.
Gue mengusap kasar muka gue dan menghela napas dalam-dalam. “Dia bukan siapa-siapa,” Gue menatap mata nyokap untuk meyakinkannya.. “Sumpah Mah dia bukan siapa-siapa. Dia hanya… hanya seorang teman yang Aa ajak diskusi untuk membantu melupakan…,” Tidak perlu gue teruskan karena sepertinya nyokap sudah dapat menangkap siapa orang yang gue maksud.
“Diskusi? Memangnya apa yang bisa Aa dapatkan dengan berdiskusi dengan dia?”
Gue mengepal kencang telapak tangan gue hingga kemerahan. “Aa berdiskusi dengan dia karena dia… mempunyai… kondisi… yang… hampir sama dengan Aa.”
Seketika melelehlah airmata dari pelupuk mata Mamah. “Mohon Mah dengarkan Aa dulu,” Gue bermaksud menggapai lengan nyokap, tapi nyokap menepisnya dengan kasar. Airmatanya semakin berurai deras dan gue pun semakin panic, “ Enggak Mah, hubungan Aa dan dia tidak seperti yang Mamah pikirkan, kita-“
“Stop-stop tidak perlu diteruskan.”
Gue ingin membuka mulut lagi, tapi sepertinya apa pun penjelasan yang gue berikan tidak akan menghasilkan apa-apa.
“Sewaktu mamah harus kehilangan satu anak Mamah, Mamah mengutuk diri Mamah sendiri. Apa salah Mamah sehingga Mamah di hukum seperti ini? Tapi memasrahkan semuanya ka Gusti Allah. Mungkin apa yang Mamah alami sentilan dari Allah supaya berintrospeksi diri sebagai seorang Ibu. Semenjak itu Mamah janji ke diri sendiri dan terutama ka Gusti Allah untuk memperjuangkan Aa agar tetap di jalan yang di ridhoi Allah. Mamah melakukannya pelan-pelan. Mamah beri Aa ruang untuk berpikir dan introspeksi diri sendiri karena Mamah pikir Aa sudah cukup besar untuk tahu mana yang baik dan benar. Sayang perkiraan Mamah meleset.
Sekarang Mamah sadar gak bisa lagi membiarkan keadaan terus larut seperti ini. Semakin jauh keadaan dibiarkan maka tidak akan ada lagi yang bisa diperbaiki. Dan Mamah tidak mau itu terjadi.”
Meskipun tatapan nyokap tak lagi setajam sebelumnya, tetapi tatapannya menyiratkan ketetapan hati yang amat kuat. Inikah? Inikah puncak segalanya? Sebuah akhir? The end of my life?
“Mamah ingin Aa membuat pilihan. Aa tahukan poin penting yang Mamah inginkan?” Sejurus nyokap menatap lekat mata gue. Gue mengangguk. “Kalau Aa memilih Mamah maka permintaan Mamah hanya satu tutup semua cerita lama dan membuka lembaran baru. Termasuk Aa harus menjalani poin tersebut dengan sungguh-sungguh dan kembali ke rumah. Tetapi... jika Aa merasa pilihan yang tadi akan membuat Aa terkekang, tidak bebas, tidak bisa menjadi diri sendiri silahkan pintu rumah ini terbuka dengan lebar untuk kaki Aa melangkah keluar.”
Gue tertawa. Tertawa lirih dalam batin. Akhir, benar-benar sebuah akhir. Terima kasih, terima kasih kepada siapa pun yang telah mengatur alam semesta ini. Terima kasih telah menjatuhkan pondasi rasional yang berusaha gue pertahankan habis-habisan dan kini pondasi itu runtuh, jatuh kedalam parit lahar, meleburkannya hingga hangus tanpa sisa.