It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Mgkn trlalu lama ga bca jadi asing .
Semangattt (ง`▽´)ง
Mgkn trlalu lama ga bca jadi asing .
Semangattt (ง`▽´)ง
Haha . @AdamLambat , itu cerita angkot cinta nya jga lgi scene galau .
Menyerah setelah berputar-putar memikirkan kata-kata dan tindakan Mamah, aku berjalan gontai menuju kamar "dia". Baru sedikit aku membuka pintu, aku melihat Mbak Vira duduk di samping "dia" dengan wajah teduh. Segera aku menghentikan ayunan pintu. Aku bertanya-tanya dalam hati mengapa Mbak Vira masih ada di rumah sakit? Lalu aku tersadar tadi saat Mamah pulang Mbak Vira tidak ada bersamanya, hanya Papah.
Beberapa saat aku berdiri di pintu tanpa membukanya lebar karena aku tak ingin mengganggu Mbak Vira. Terlihat sekali Mbak Vira sangat mencintai "dia". Dari hari pertama Mbak Vira sudah mengorbankan waktu, tenaga dan bahkan... hatinya. Aku masih ingat betul dengan permintaan Mbak Vira untuk kembali kepadanya. Bagaimana bisa Mbak Vira berpikir seperti itu? Padahal pada kenyataannnya cinta Mbak Vira sudah begitu dalam. Lihat wajahnya yang berseri-seri saat memandangi "dia". Dan matanya memancarkan kejujuran hati yang bahkan orang buta sekalipun tidak akan mungkin bisa melewatkannya. Di bandingkan dengan aku, seorang pembawa nestapa, Mbak Vira lebih pantas untuknya. Namun... kenapa pula aku masih belum bisa mengatakan tidak? Ugh, sakit, rasa bersalah ini semakin sakit.
"Hei," Sapa Mbak Vira menginterupsi pikiranku.
Aku mengumpulkan kembali kesadaranku. "Halo Mbak. Belum pulang?"
Mbak Vira menggelengkan kepalanya pelan. "Gak pulang hari ini."
Aku melangkah masuk dengan dahiku yang mengerucut, "Kok?"
Seutas senyum simpul berkembang di wajah Mbak Vira. Ini salah satu hal yang kuperhatikan dari Mbak Vira. Tak ada sehari pun atau semasam apa pun hari yang dilewati Mbak Vira senyum tak pernah luput dari wajahnya. Aku menghela napa dalam untuk melegakan dadaku yang terhimpit.
"Sini Miki, cepat sini," Mbak Vira melambai-lambaikan tangannya agar aku segera disampingnya.
"Ada apa Mbak?" Secepat mungkin aku beranjak menuju Mbak Vira.
"Lihat... lihat... wajah Aamu lebih cerah sekarang," Aku mereguk ludahku ketika mendengar kata "Aamu" seakan memiliki konotasi yang terselubung, tapi kuacuhkan dan memfokuskan perhatianku pada wajahnya. Hmm, ya wajahnya lebih berwarna sekarang daripada sebelumnya. Aku tersenyum kecil. "Setelah pengobatannya lanjut dan tadi suster bilang sudah bisa diberikan infus makanan," Senyum Mbak Vira semakin merekah. "Itu artinya kondisi Aa semakin membaik dan kita tinggal menunggu dia sampai sadar."
Aku hanya melebarkan senyumanku sebagai sebuah reaksi.
"Hah... lega banget. Setelah berhari-hari akhirnya ada hasil yang positif."
"Mmm... iya."
"Eh? Apaan tuh Mik?" Mbak Vira melirik ke bawah. Aku pun mengikutinya.
"Oh ini...," Aku mengangkat plastik makanan yang aku agak lupa sedang membawanya. "Ini kue Klepon, kesukaannya Bi Uneh."
"Klepon?"
"Yup... Mbak Mau?"
"Mau dong Miki siapa sih yang gak bisa nolak makanan gratis," Kami terkekeh kecil.
Mbak Vira mengambil piring yang telah disiapkan Mamah untuk kami-kami yang bertugas menjaga. Sedangkan aku berjalan menuju ruang duduk berseberangan dengan tempat tidur pasien. Hanya butuh semenit buatku dan Mbak Vira untuk melakukan semua itu lalu kemudian Mbak Vira mulai menikmati kue Klepon satu persatu.
"Gak kerja Mbak?" Aku masih penasaran mengapa Mbak Vira masih ada di sini.
"Semenjak dokter bilang kondisi Aamu mulai membaik Mbak seperti terkena euphoria gak jelas. Makanya tadi malam Mbak langsung telepon orang rumah dan teman-teman kantor buat bilang Mbak bakalan absen mungkin sampai tiga hari kedepan."
Aku mengangguk pelan.
"Lagian kasihan ke Mamah juga sudah bermalam di rumah sakit hampir tiga minggu. Biar tiga minggu ini Mbak full jaganya dan kalau malam dengan Bi Uneh."
Alisku bertaut, "Kok Mbak enggak bilang-bilang Miki?"
"Habis rencananya juga mendadak jadi enggak sempat telepon Miki."
"Kalau gitu tugas malam biar Miki-"
"Enggak," Sergah Mbak Vira cepat. "Miki harus tetap meneruskan membaca diary Aa," Perkataan Mbak Vira membuat gejolak kemarahanku membuncah. Aku tidak mengerti dengan pemikiran Mbak Vira, kenapa dia terus keukeuh dengan idenya? Tidak, untuk kali ini aku harus menentukan pilihan.
"Mbak," Aku berusaha membuat suaraku setegas mungkin. "Hentikan apa pun yang menjadi ide Mbak, karena semuanya itu hanya... hanya ide bodoh. Apa yang terjadi antara Miki dan Aa semuanya hanya masa lalu, kita berdua juga sudah ada yang punya. Miki punya Fadli dan Aa, Mbak. Dan hubungan yang sudah Miki dan Aa miliki bukan hubungan main-main. Miki gak mau semakin banyak orang yang tersakiti."Napasku sedikit tersengal-sengal, tetapi rasanya dada ini terasa lebih ringan.
"Sudah?" Tanya Mbak Vira begitu tenangnya. Melihat sikap Mbak Vira seperti itu aku hanya bisa terdiam. "Miki percaya dengan yang Miki katakan?"
Aku sadar wajahku tertekuk bingung.
"Kalau Miki benar-benar percaya dengan perkataan Miki sendiri seharusnya Miki tidak perlu melibatkan diri Miki sendiri dengan Kebo. Dan itu seharusnya sudah Miki lakukan semenjak pertama kali Kebo meminta Miki menjadi fotografer untuk pre-wedding kami."
Mulutku menganga tak percaya.
"Benar. Apa yang dikatakan Mbak benar adanya dan Miki sendiri tahu jauh di dalam hati Miki kata-kata yang Mbak katakan ada benarnya. Dan tolong jangan katakan tidak ingin menyakiti, oh please. Dari awal kalian bersatu pun sudah ada banyak orang yang tersakiti. Jadi munafik jika sekarang Miki menutup mata atas fakta yang ada dan adalah sebuah penghinaan kalau Miki menganggap Mbak tidak mampu menghadapi rasa sakit. Yes I'm a woman but I'm not a girl.
"Persoalan mendasar Miki bukan karena masa lalu atau pun orang lain. Tetapi diri Miki sendiri. Kalian sudah melewati banyak hal dan perpisahan adalah trauma tersendiri bagi kalian. Ya, Mbak bilang kalian karena Kebo pun seperti itu. Kalian sama-sama pengecut dalam hal ini. Terlalu mendramatisir keadaan jika sewaktu-waktu kalian harus bersatu lagi dan meremehkan arti kepercayaan."
Aku... aku... benar-benar tidak mampu berpikir.
"Dengar Mbak. Miki dan Aa sekarang sudah sama-sama besar sekarang, sudah bisa menentukan pilihan sendiri dan kalian sudah bisa bebas menjadi apa yang kalian mau. Penghalang satu-satunya hanya ada di dalam tengkorak kepala kalian saja, selebihnya tak lebih sekedar kerikil tajam. Majulah, hadapi kerikil-kerikil tajam itu, jika tidak kalian hanya akan diam di tempat seperti sekarang ini."
Mbak Vira mengubah posisinya sehinggan mata kami saling bertatapan dan dia meraih tanganku. "Miki, have some faith."
Perlu sedikit waktu untuk meresapi kata demi kata yang terlontar dari bibir Mbak Vira.
"Oh Miki!" Tiba-tiba Mbak Vira memelukku dan tak terasa sesuatu telah membasahi pipiku. "Just have some faith to yourself, to him and your love."
Tak kuat aku merangkul balik Mbak Vira. "Tapi bagaimana Mbak?"
"Well, it's a lie if I said no pain, but trust me after four years going out with a guy who doesn't even had an indication of guilt? Seriously? I'm a tough ass bitch," Kami tertawa riang. "I'll be fine Miki. I will, I promise."
lanjutkan ...
Menurut kalian harus disatukan gitu? Apa gak capek bacany?
Jadi bisa baru sadar itu ucapan vira pas sdh di akhir kalimat di tiap pargraf.
padahal ternyata 3 paragraf itu punya vira.. tp gpp deh, hehe
"I'm a tough ass bitch"
VIRA, I love you! jadi suka neh ama karakter dia.. keren!
kebo bangun dong...