It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
( Leo singing) ЂёђёђёЂёђёђё
Aku menamainya Kaira, menggunakan namaku dan juga nama seseorang yang telah begitu kuat berusaha untuk menjadi batu karang untukku dan begitu luar biasa, merelakanku untuk menjadi milik orang lain demi sebuah pesan meskipun hati kami sama-sama tersayat begitu dalam hingga meninggalkan bekas yang selamanya, tidak akan pernah hilang.
Dari balik kaca, aku melihat sesosok makhluk mungil yang tertidur begitu pulasnya, tanpa satu dosapun yang dibawa olehnya. Menjadi seorang ayah, tidak pernah terpikir olehku ketika aku mulai mencintainya, karena satu-satunya hal yang selalu memenuhi pikirankku adalah menghabiskan hidupku dengannya, di negeri yang jauh dari Indonesia, di tempat yang tidak tersentuh oleh siapapun yang mengenal kami, sebuah lingkungan yang sama sekali berbeda dengan Bali. Kaira, seharusnya mendapatkan seluruh cinta yang bisa diberikan oleh seorang ayah kepada putrinya, namun, satu setengah jam setelah kehadirannya, aku masih belum mampu melakukannya. Aku malah memberikan nama yang akan dibawanya seumur hidup yang akan mengingatkanku pada cinta yang keabadiannya tidak bisa aku miliki, berapa tahunpun arti keabadian itu untuk kami. Nama kami abadi dalam sosok mungil yang sedang terbaring nyaman dibalik selimut merah mudanya.
“Kai?”
Aku memalingkan wajahku ketika mendengar suara itu, sudah lebih dari delapan bulan aku tidak bertemu dengannya meskipun kami masih berhubungan lewat email. Aku menghubunginya ketika Elia sedang menjalani operasi caesar karena hanya nama Egar yang terlintas di pikiranku. Aku tahu selama ini, Egar berusaha menghindarkanku dari kesalahan bodoh yang mungkin akan aku lakukan jika kembali bertemu dengannya dan aku juga cukup tahu diri untuk tidak memasuki kehidupannya yang baru bersama pria dari Denmark bernama Dane, yang dikenalkannya padaku di hari terakhir kami saling bertatap muka di Bebek Bengil, restoran favoritku yang kemudian juga menjadi restoran favoritnya.
Sosok Egar masih sama bagiku. Kalaupun pipinya berubah menjadi sedikit lebih tirus, bagiku, Egar akan selalu menjadi pria yang sama untukku. Tatapannya yang seperti ingin selalu melindungiku itu belum hilang darinya meskpiun dia sudah menemukan Dane, pria yang aku yakini mampu menjaga Eagr dengan baik, bahkan mungkin lebih baik dariku. Ada sebagian dari hatiku yang teriris mengetahui Egar telah menemukan pria lain, namun, aku tahu, sakit yang aku rasakan mungkin tidaka akan pernah bisa dibandingkan dengan rasa sakit yang Egar rasakan ketika melihatku dan Elia saling mengikat janji di hari pernikahan kami. Aku tidak akan pernah bisa menghapus rasa sakit itu darinya.
Aku tersenyum dan melihat pria yang selamanya akan menjadi cinta sejatiku, melangkahkan kakinya mendekatiku dan begitu jarak diantara kami hanya tinggal beberapa senti, aku melihatnya mengulurkan tangannya dan senyum itu terpasang di wajahnya. Aku selalu ingat jika dia sudah tersenyum seperti itu, aku tidak akan mampu menahan diriku untuk tidak meraih wajahnya dengan kedua tanganku kemudian menciumnya. Keinginan itu belum pudar sekarang, namun, ada terlalu banyak hal diantara kami hingga aku tidak mungkin melakukannya, sekuat apapun keinginan itu mendesakku.
“Selamat ya? Siapa namanya?”
Aku meraih uluran tangan Egar meskipun aku lebih ingin merengkuh tubuh itu dalam pelukanku, karena aku begitu merindukan tubuh di hadapanku ini dalam pelukanku. “Kaira. Aku menggabungkan namaku dengan kedua huruf terakhir namamu. Aku pernah bilang kan kalau bayi yang dikandung Elia cowok, aku akan menamakannya Egar? Ternyata, aku mendapatkan bayi perempuan. Aku harap kamu nggak keberatan.”
Aku bisa melihat keterkejutan dalam wajah Egar mengetahui bahwa aku menggunakan nama kami berdua untuk menamai putriku, namun mengenal Egar bertahun-tahun membuatku tahu bahwa dia akan menyukai nama itu meskipun dia pasti berharap aku akan menamai putriku dengan nama lain.
“Nama yang indah,” ucapnya kemudian mengalihkan pandangannya ke balik kaca yang beberapa menit lalu menjadi pusat perhatianku. “Mana Kaira?”
“Nomor dua dari kanan,” jawabku sambil melakukan hal yang sama dengannya. “Aku hanya berharap dia akan jadi wanita tegar dan kuat karena ada dua huruf dari nama seorang pria yang begitu kuat menahan rasa sakit agar dia bisa terlahir ke dunia.”
Aku memandang Egar yang masih mengunci pandangannya pada Kaira namun ada sesuatu dalam pandangannya yang membuatku semakin ingin meraihnya dalam pelukanku. Egar kemudian menatapku dan tersenyum.
“Pria kuat itu pun pernah terpuruk, Kai. Tapi, dia akan menjadi wanita yang penuh cinta karena sifat itu mengalir dalam darah Ayahnya.”
“Namun, hingga detik ini, cinta itu masih belum sempurna dimiliki Kaira. Cinta itu masih dengan leluasa menjadi milik kamu, Egar.”
Egar menatapku dan perasaan itu kembali menguat dalam diriku melihat tatapannya. Egar, kenapa dulu kamu merelakanku jadi milik Elia sementara kita bisa menjalani kehidupan yang selalu kita impikan? Aku tidak pernah berhenti mengajukan pertanyaan itu untuk diriku sendiri dan apapun jawaban yang mungkin, tidak pernah mampu memuaskanku. Aku rela meninggalkan segalanya demi Egar, namun, seperti pria bodoh, aku menurut begitu saja ketika dia memintaku untuk tetap bersama Elia. Tahukah kamu betapa tersiksanya aku harus terus berpura-pura mencintai wanita yang kamu pilih untuk memenuhi wasiat Mama, Egar?
“Cinta itu akan jadi milik Kaira, Kai dan aku, akan kehilangan cinta itu seiring berjalannya waktu. Your life is perfect now, Kai. Don’t mess it up with your past and me. I beg you so many times, right?”
“How can I change my feeling Egar? Is there any medicine or theory to do that? Sudah hampir setahun aku menikah dengan Elia tapi cinta itu belum juga hadir untuknya. Tell me how, Egar.” Aku hampir kehilangan kendali atas emosiku karena mendengar permintaan Egar. Permintaan yang dulu selalu diucapkannya dan aku hanya bisa menurutinya. Namun, aku ingin mengetahui bagaimana perasaannya sendiri ketika mengucapkan permintaan itu. Apakah dia tidak berpikir bahwa aku tidak ingin mendengarnya meminta hal itu lagi dariku?
“Kita berdua tahu bahwa luka yang ada diantara kita akan selamanya ada, tapi, kita bisa berusaha untuk mengabaikan rasa sakitnya kan Kai? Nggak mudah memang namun kita pasti bisa.”
“Kamu bahagia dengan Dane?”
Entah kenapa pertanyaan itu yang meluncur dari mulutku sementara disaat yang bersamaan, aku tidak ingin mendengar nama itu terucap dari mulut Egar, sekarang, aku malah menyebut nama itu dengan mulutku sendiri. Aku berharap bisa menarik kembali pertanyaanku.
Egar menundukkan kepalanya sebelum kembali memandangku. “Dane pria yang baik, Kai. Dia tahu bahwa…aku masih belum bisa ngelupain kamu. He’s willing to wait for me to love him back and I’m trying.”
Egar segera menjauh dari hadapanku untuk menuju ke kursi ruang tunggu yang berjajar tidak jauh dari kami sementara aku masih terdiam di tempatku. Aku mengikuti Egar ketika melihatnya duduk, seperti tidak ingin menceritakan lebih banyak tentang Dane kepadaku. Aku duduk disebelahnya lalu melihat cincin itu masih terpasang di jari manisnya. Cincin yang aku berikan di malam sebelum pernikahanku dengan Elia, di malam aku memintanya, untuk yang terakhir kalinya, kabur denganku dan menikah di Belgia.
“Cincin itu masih kamu pakai,” ucapku sambil menatap Egar tanpa bisa menyembunyikan senyumku.
Egar menatapku dan tersenyum. “Kamu bilang kalau aku harus pakai cincin ini sampai ada orang lain yang memintaku untuk ngelepasin kan? I keep my promise, Kai.”
Ada kebahagiaan luar biasa yang menyusupi hatiku mendengar Egar mengucapkan kalimat itu. Aku tahu, bahwa cinta yang kami miliki tidak akan bisa digantikan oleh siapapun, sampai kapanpun dan mengetahui bahwa Egar menepati janjinya untuk tetap mengenakan cincin dariku, membuatku bahagia.
“Apa Dane tahu?”
Egar mengangguk. “Dia tahu semuanya dan dia sama sekali nggak keberatan. Dia tahu aku butuh waktu, Kai dan cincin ini adalah janjiku sama kamu. Dia terlalu baik.”
Aku mengangguk dan berusaha untuk menelan kalimat Egar tanpa merasakannya, karena selama kami berhubungan, tidak pernah ada nama lain yang hadir. Masih terasa aneh bagiku melihat Egar dan juga hubungan kami menjadi seperti ini.
“Kita nggak pernah ngebayangin bakal jadi kayak ghini kan Egar?” tanyaku sambil menyandarkan punggungku dan merapatkan jaket yang aku pakai. Egar melakukan hal yang sama dan lenganku hampir terulur untuk meraih tangannya namun, Egar dengan segera melipat kedua lengannya di dadanya.
“Kita seperti punya dunia sendiri, Kai. Semua yang terjadi sama sekali nggak pernah terlintas dalam pikiran kita. Tapi, apa yang bisa kita lakukan?” Egar menggelengkan kepalanya. “Kita nggak punya pilihan.”
Aku paling tidak suka kalau Egar sudah bilang bahwa kami tidak punya pilihan. Aku memberinya pilihan namun dia tidak ingin memilih. Aku ingin tahu apa yang dirasakannya setiap kali dia bilang seperti itu.
“Kita punya pilihan, Egar, dan kamu memilih untuk ngerelain aku jadi milik Elia.”
Egar terdiam. Aku tahu bahwa membawa nama Elia dalam percakapan kami akan seperti debat kusir. Berputar pada hal yang sama, dengan kalimat yang sama dan dengan akhir yang sama karena Egar akan terus mengingatkanku tentang surat wasiat Mama dan janji yang telah diucapkannya dan aku akan terus memberinya kemungkinan-kemungkinan yang membuat kami bisa memiliki masa depan yang selalu kami impikan dulu.
“Dane nanti akan kesini. Aku harap kamu nggak keberatan aku ngasih tahu dia.”
Jawaban Egar bukan hanya mengejutkanku namun membuatku semakin yakin bahwa Egar berusaha untuk tidak membahas masa lalu kami. Apakah dia tidak ingin membiarkan masa lalu kami hadir disini malam ini? Ketika kami hanya berdua, untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan. Apakah dia masih berusaha untuk menghindarkan kami berdua dari kesalahan yang mungkin akan kami lakukan?
Aku menggeleng. “Aku sama sekali nggak keberatan.”
Kami seperti berada di ruang kedap suara karena kesunyian yang menyelimuti kami berdua. Aku ingin sekali bisa membaca isi pikiran Egar saat ini, apakah dia juga sedang memikirkan semua waktu yang sudah kami habiskan bersama selama enam tahun?
“Bagaimana kondisi Elia setelah operasi?”
“Dia baik-baik saja.”
“Kamu nggak ingin ada di kamar buat nemenin dia?”
“Dia sedang istirahat dan ada Kakak serta Mamanya disana. Aku udah minta izin buat keluar sebentar.”
“Oh.”
Hanya itu yang keluar dari mulut Egar dan aku sama sekali tidak menyukai suasana yang sedang berlangsung saat ini. Tidak pernah ada kekakuan antara aku dan Egar hingga aku bukan hanya tidak menyukainya, tapi merasa tersiksa bahwa kami harus seperti ini. Mungkin, aku salah memberitahunya tadi. Tapi, keinginan untuk kembali bertemu dengannya mengalahkan segalanya. Aku tidak pernah punya alasan lain untuk bertemu dengannya dan ini satu-satunya alasan yang bisa aku gunakan untuk melihat kembali wajahnya.
“I love you, Egar.”
Mengucapkan kalimat itu setelah sekian lama, kepada seseorang yang akan selamanya memiliki cintaku, terasa begitu aneh namun juga melegakan karena aku menyimpan kata itu hanya untuknya. Dulu, aku tidak pernah punya alasan untuk mengucapkan kalimat itu karena mencintai Egar sama mudahnya dengan bernafas, namun dengan semua yang terjadi diantara kami sekarang, aku tidak bisa leluasa mengucapkannya, sebanyak apapun keinginanku untuk mengucapkannya.
Aku melihat Egar masih terpakku dalam posisi duduknya, aku bahkan tidak mampu membaca ekspresi wajahnya. Namun kemudian, dia memalingkan wajahnya untuk menatapku dan Egar tersenyum.
“You know I will always love you too, Kai. But…” Egar kemudian menundukkan wajahnya. “It seems not right for saying those words now when we both have our own lives.”
Aku merasakan Egar meraih tanganku lalu menggenggamnya. Aku hanya terdiam ketika jemari Egar dengan kuatnya meremas milikku dan semua momen yang pernah terjadi, dengan dua tangan kami yang saling bertaut, melintas di pikiranku. All those love making, all those laughs, all those tears, all those smiles, all those angers. They came to me like a projector. Dan ketika pandangan kami bertemu, aku bisa merasakan bahwa cinta itu masih ada di dalam hatinya, cinta Egar untukku. Egar tidak perlu mengucapkannya karena hati kami saling memberitahu, saat ini. Di ruang tunggu Rumah Sakit ini. Semua ketakutanku akan kehilangan cinta Egar sirna. Egar masih menyimpannya untukku.
“Egar…”
“Kita punya masa lalu yang luar biasa indah, Kai. Nggak ada apapun yang bisa ngambil itu dari kita. My love for you will always be yours. Dane, or any other men that may come into my life, will never have the kind of love that I have for you. Aku hanya ingin kita bahagia sekarang. Kamu dengan Elia dan Kaira, aku dengan Dane. Hidup sudah begitu ramah sama kita, Kai. Let’s not mess it up.”
Aku hanya mampu menelan ludahku, membiarkan air mata yang sudah tertahan disana untuk tidak mengalir. Aku tidak pernah salah mencintai Egar. Aku beruntung pernah menghabiskan enam tahun bersama pria seperti Egar dan aku lebih dari sekedar beruntung menyimpan cinta untuk pria seperti Egar dan mendapatkan cinta darinya. Meskipun kecil, aku masih menyimpan asa, untuk bisa kembali bersamanya. Suatu hari nanti.
“Aku masih menyimpan sedikit harapan untuk kita, Egar dan aku akan tetap mertahanin itu meskipun kamu nggak suka atau setuju. I won’t leave Elia and Kaira, since I know that’s what you want me to do. I’ll do it. I won’t ask you to leave Dane either since I know that he’s a good man for you. Tapi, aku nggak akan pernah berhenti berharap, Egar.”
Aku merasakan genggaman tangan Egar mengendur namun aku mempereratnya kembali, tidak rela membiarkan Egar melepaskannya. Kami masih saling berpandangan, mengabaikan semua yang ada di sekeliling kami. Sebuah dorongan memaksaku untuk mendekatkan wajahku ke Egar dan seperti dua tubuh yang terpisah namun kembali saling bertemu karena perasaan yang menggerakkan keduanya begitu kuat hingga tidak mungkin untuk saling menolak, tubuh kami kembali bersatu.
Aku merasakan bibirku menyentuh bibir Egar, pelan, lembut dan keinginan yang selama ini hanya bisa aku simpan sendiri, sekarang menjelma menjadi nyata. Aku seperti dilempar kembali oleh mesin waktu saat ciuman-ciuman seperti ini bisa aku dapatkan kapanpun aku mau dan aku akan meminta lebih daripada sekedar ciuman. Seperti kejadian di kamar mandi ketika kami baru saja menyewa rumah, serta kejadian lain yang terlalu banyak memenuhi memoriku saat ini.
Ciuman kami terasa begitu lebih berarti sekarang karena untuk ini, kami harus melawan perasaan bersalah yang menggerogoti kami serta keinginan untuk kembali mendapatkan apa yang terenggut dari kami selama ini. Semuanya tidak mudah namun kami seperti tidak peduli dengan konsekuensi apapun yang mungkin akan terjadi setelah ciuman ini.
Perlahan, aku melepaskan bibirku dari Egar dan kedua tanganku terasa begitu berat ketika Egar berusaha untuk melepaskannya dari wajahnya. Aku masih ingin merasakan kehangatan di kedua telapak tanganku yang bersentuhan dengan kulitnya namun aku hanya mampu membiarkan Egar melakukannya.
Kami kembali saling bertatapan namun tidak ada kata yang terucap dari mulut kami. Aku hanya berharap Egar tidak menyesali ciuman kami karena aku sama sekali tidak punya penyesalan atas apa yang baru kami lakukan. Diluar dugaanku, Egar menggenggam tanganku dengan erat kemudian mengecupnya pelan sebelum melepaskannya. Sekarang, kedua tanganku terdiam diatas pangkuanku karena Egar, dengan kelembutannya, meletakannuya disana.
“I hope that would be our last kiss, Kai. I didn’t regret it but it wasn’t right. For both of us.”
Aku mendengar suara Egar agak bergetar ketika mengucapkan kalimat itu, seperti berusaha untuk tidak merasa bersalah atas ciuman kami karena detik berikutnya, dia memalingkan wajahnya dariku dan kembali memandang kekosongan yang ada di hadapannya.
“I didn’t regret it, either, Egar. Dan tolong, jangan bilang kalau itu akan jadi ciuman terakhir kita.”
Aku sadar bahwa aku baru saja memohon Egar agar kami bisa memiliki ciuman lain, suatu saat nanti. Mendengarnya menyebutkan ciuman terakhir seolah kami akan berpisah dan tidak akan bertemu lagi. Kehilangan Egar sama sekali tidak pernah terlintas olehku dan aku tidak mau membayangkannya. Ciuman kita nggak akan jadi ciuman terakhir, Egar, ucapku dalam hati.
Egar menghela nafasnya sebelum sebuah bunyi membuat kesunyian yang mengelilingi kami pecah. Egar kemudian meraih ponselnya dan segera menjawab panggilan yang aku duga dari Dane, karena Egar menyebutkan dimana kami berada sekarang. Panggilan itu hanya berlangsung kurang dari tiga menit namun mampu membuat jantungku serasa direnggut dari tubuhku. Perasaan tidak rela yang mati-matian aku kubur, menyeruak dengan begitu cepatnya hingga aku kemudian hanya terdiam ketika Egar kembali meletakkan ponselnya di balik saku celananya.
“Dane udah di parkiran,” ucapnya sambil menatapku. Aku tahu, Egar pasti ingin segera beranjak dari kursi keras yang kami duduki ini. Bukan karena dia ingin pergi dariku, namun lebih untuk menghindarkan dirinya agar perasaan bersalah yang dirasakannya tidak semakin menenggelamkannya.
Aku hanya mengangguk. “Ini pertama kalinya aku akan bertemu Dane setelah sekian lama,” ucapku singkat. Aku berharap situasi kami nanti tidak akan menjadi kikuk. Bertemu dengan seseorang yang sekarang menempati hati Egar, selain aku, bukanlah hal yang mudah buatku. Sekarangpun, aku lebih memilih untuk beranjak dari sini, jika aku bisa, namun, aku tidak ingin emosiku mengambil alih kesopananku. Aku akan tetap disini.
Setelah itu, kami hanya diam, sibuk dengan perasaan dan pikiran masing-masing hingga sebuah sosok menghampiri kami dan begitu melihat Dane, aku tersenyum. Bukan untuk menyambutnya namun karena aku ingin menutupi rasa sakit yang aku rasakan, terlebih ketika Dane sudah di dekat kami dan membungkukkan badannya untuk mengecup pipi Egar. Hatiku seperti dicambuk dengan begitu kerasnya, berkali-kali menyaksikannya. Dadaku naik turun menahan semua perasaan yang tidak mungkin aku lampiaskan saat ini.
Aku dan Egar segera bangkit dari kursi yang entah sudah berapa lama menyangga tubuh kami dan kembali, Egar memperkenalkanku dengan Dane.
“Dane, ini Kai, Kai ini Dane. Semoga kalian masih inget satu sama lain.”
Aku mengingatnya dengan jelas, Egar, bagaimana mungkin aku melupakan pria yang sekarang mengisi hari-harimu? Sementara hatiku masih tanpa henti memikirkanmu?
“Halo Kai, selamat atas kelahiran putri pertama kamu. Siapa namanya?” Tanya Dane ketika tangan kami masih berjabatan dengan erat.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. “Thanks, Dane. Namanya Kaira,” jawabku setelah jabatan tangan kami terlepas.
“What a beautiful name! May I see her?”
“Tentu saja,” ucapku sambil menuju ke dinding kaca yang diikuti oleh Dane kemudian menunjukkan kepadanya Kaira. Putri pertamaku dengan Elia yang aku namai menggunakan namaku dan Egar, Dane. Andai kamu tahu aku mengabadikan cinta sejatiku untuk nama putriku.
“She looks beautiful. I have no doubt that she will break so many men’s heart later.”
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Dane sebelum kami berdua kembali menghampiri Egar yang menyandarkan tubuhnya ke dinding sambil menyaksikan kami berdua melihat Kaira melalui dinding kaca.
“Thanks for coming, Dane.” Meskipun kehadiranmu membuat sakit yang aku rasakan semakin menyiksa, lanjutku dalam hati.
“It’s nothing, Kai. Egar yang minta aku datang dan kebetulan jalur pulangku melewati rumah sakit ini. Jadi, sekalian jemput Egar.”
Dane mengucapkan kalimat itu sambil memandang Egar dan aku bisa menyaksikan dengan jelas bahwa tatapan yang diberikan Dane kepada Egar bukan hanya penuh dengan cinta, namun aku juga bisa merasakan betapa Dane begitu memuja Egar hingga sedikit rasa sesal menyusupi hatiku bahwa aku tidak cukup memberikan semua itu ketika Egar masih bersamaku.
Egar hanya tersenyum lalu seperti ingin segera beranjak dari tempat ini, dia memandangku sambil mengulurkan tangannya. “Sepertinya aku harus pulang Kai. Aku nggak mau efek sampanye Dane ngaruh ke cara dia naik motor.”
“I didn’t drink Champagne, Egar. I just had one glass of wine. I swear!” Ucap Dane dengan nada yang membuat Egar tersenyum sembari memutar bola matanya.
Aku dengan segera menyambut uluran tangan Egar meskipun aku lebih ingin memeluknya. Merasakan kembali tubuh itu dalam pelukanku sebelum dia pergi.
“Makasih udah dateng ya? Ntar aku salamin Elia kalau kamu dateng,” ucapku sambil berusaha menahan selama mungkin tangan Egar dalam genggamanku namun Egar melepaskannya secepat dia ingin meninggalkan koridor ini.
“I guess we will have to come here again, right, Egar? We have to see the woman who had delivered such a beautiful baby girl.”
Aku melihat Egar hanya mengangguk. “We will, Dane.”
Aku kemudian menyambut uluran tangan Dane untuk yang kedua kalinya dalam kurun waktu kurang dari lima belas menit. “Kami pulang dulu ya Kai? Jaga diri baik-baik.”
“Kalian juga jaga diri baik-baik. Kasih tahu ya kalau mau dateng?”
Egar mengangguk. “Malam Kai, salam buat Elia.”
“Akan aku sampaikan.”
Aku kemudian melihat kedua pria itu menjauh dariku, membelakangiku berjalan bersisian dan Dane terlihat seperti ingin mengatakan kepada Egar bahwa semuanya baik-baik saja, bahwa dia tidak marah karena Egar datang menemui mantan kekasihnya. Aku hanya mampu menghela nafasku panjang, mengeluarkan semua beban berat yang sejak kedatangan Dane aku tahan sambil kembali mendudukkan diriku di kursi meskipun pandanganku tidak lepas dari mereka berdua.
Aku ingin Egar bahagia, seperti Egar ingin aku bahagia. Namun, apakah mungkin kami mendapatkan kebahagiaan itu jika sumber dari semua kebahagiaan terbesar kami justru tidak mampu saling memiliki? Dane, bukan hanya kelihatan sangat mencintai Egar, namun, aku melihat bahwa Dane rela melakukan apapun untuk melihat Egar tersenyum. Apakah aku begitu dalamnya menyakiti perasaan Egar meskipun dia sendiri yang memintanya?
Tidak ada jawaban yang bisa aku berikan atas pertanyaan itu selain satu hal : bahwa Egar berusaha untuk menahan rasa sakit itu dan melanjutkan hidupnya. Semua yang terjadi denganku, pernikahanku dengan Elia serta kelahiran Kaira dan keluarga yang sempurna menurut banyak orang, sama sekali tidak mampu membuatku imun atas rasa sakit yang timbul atas konsekuensi yang diminta Egar dariku. Egar mungkin bisa melakukannya, namun, aku masih belum mampu.
Aku beranjak dari kursiku lalu kembali menatap Kaira dari balik jendela kaca. Dia sekarang bergerak seperti ingin melepaskan diri dari lilitan selimut yang membungkus tubuh mungilnya sebelum akhirnya tangisya pecah.
Air mataku pun mengalir dan aku merasakan tubuhku gemetar. Bukan karena melihat tangis Kaira, namun karena merasakan bahwa hidup tidak adil dengan memberikan semua ini kepadaku ketika yang aku inginkan bukanlah seorang istri atau seorang bayi perempuan, melainkan mencintai seorang pria bernama Egar tanpa harus membiarkan diriku terjebak dalam kenyataan hidup yang aku miliki sekarang. Betapa hidup tidak adil dengan membiarkan aku mencintai seseorang namun tidak mengizinkanku memilikinya hingga sesuatu yang tidak mampu kami hindari, kematian, memisahkan kami.
Tapi….
Harapan kecil itu masih tersimpan dalam diriku, harapan untuk kembali bersama Egar, memiliki kehidupan yang selalu kami impikan dulu dan aku akan tetap menyimpannya. Mungkin, semua yang terjadi sekarang hanyalah sebuah ujian yang diberikan kepada kami berdua untuk mengetahui seberapa kuat kami mampu bertahan sebelum akhirnya kami dipersatukan kembali. Ujian untuk keteguhan cinta kami.
Aku menyeka air mataku dan kemudian tersenyum.
“Would you like to wait for me, Egar?”
@kiki_h_n : Hahahahaha, cepet banget ya ketagihannya? Just keep checking. Kalau gak ada halangan, aku posting tiap hari
@AwanSiwon : Amiiiiiiiiiiiiiiiiin. Nggak lah, bagaimana mau dilupakan?
@Rulli Arto : Thanks! Keep raeding ya?
@freakymonster58 : hehehehe, kebetulan aja mungkin yg aku post cerita yg mellow2 krn personally, aku lebih suka bikin jenis cerita kayak gitu tapi bukan berarti nggak bisa bikin cerita yg happy loh ya? Thanks for keep reading and commenting
@arieat : Itu lagunya sapa ya? *Inget2tapiGakInget*
@rarasipau : Nunggu antrian ya? soalnya banyak yang pengen cerita yg lain dijadiin cerita panjang. Ntar kalau udah banyak aku bikin polling deh cerita mana yang mau dibuat cerita panjang
@yuzz : makasih!
Da......gara-gara.......cerita.......ini......gue......jadi.....pengen........nyatain.......perasaan.......ke......gebetan........gue........yang.......mau......nikah.........ceritanya bagus banget :''''''''(
Da......gara-gara.......cerita.......ini......gue......jadi.....pengen........nyatain.......perasaan.......ke......gebetan........gue........yang.......mau......nikah.........ceritanya bagus banget :''''''''(
aqkan galau gr2 bc tulisan sampeyan hhehe:p
Bayanganku di cermin terlihat begiu sempurna, aku tahu cermin tidak akan pernah berbohong mengenai bayangan yang ditampilkannya. Aku melihat diriku berdiri dalam balutan jas warna putih yang sangat kontras dengan warna kulitku yang coklat. Entah sudah berapa kali aku mematut diriku di cermin sementara menit demi menit berlalu dan aku yakin, Alia sudah berangkat menuju ke tempat kami akan mengucapkan sumpah setia seumur hidup.
Ya, hari ini adalah hari pernikahanku, hari dimana aku seharusnya menyambutnya dengan senyuman lebar di wajahku, membayangkan bahwa sebentar lagi, aku dan Alia akan resmi menjadi suami istri, membangun sebuah keluarga baru dan semua persiapan yang kami lakukan selama tiga bulan, pada akhirnya akan terbayar juga. Aku seharusnya antusias menyambut salah satu hari terpenting dalam kehidupanku sebagai seorang pria. Namun, aku merasa sebaliknya.
Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia. Ada yang hilang dari kebahagiaan yang seharusnya aku rasakan.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunanku dan ketika aku mendengar suara pintu dibuka, aku tidak perlu mengalihkan pandanganku dari cermin karena sosok yang baru saja melewati pintu kamarku sedang melangkahkan kakinya menuju ke arahku. Hatiku berdebar begitu cepat hingga aku tidak tahu apakah karena aku merasa gugup ataukah karena langkah kaki yang semakin mendekatiku.
Kami saling bertatapan dan hanya melalui bayangan yang aku lihat di cermin, wajah itu terlihat begitu jelas menyembunyikan perasaan sesungguhnya. Ada sebuah senyuman tipis disana namun itupun tidak mampu menyembunyikan apa yang kami berdua sama-sama tahu bersemayam dalam hati kami.
“You look great, Dani.”
Jantungku terasa ingin lepas dari badanku mendengar suaranya. Ingin rasanya aku menutup kedua telinga dan mataku dan berharap ini semua hanya terjadi dalam lamunanku, namun sentuhan di kedua bahuku membuatku tersadar bahwa sosok Ian memang berada di sisiku, memandang bayangan kami di cermin seolah hanya itulah satu-satunya media kami bisa saling berkomunikasi.
“You look stunning, Ian.”
Aku tidak akan menarik ucapanku karena Ian memang selalu terlihat mempesona, apalagi dengan setelan jas berwarna dark blue membuatnya lebih pantas jadi mempelai pria daripada diriku. Aku melihat Ian memutar tubuhku hingga sekarang, aku tidak punya alasan selain memenuhi indera penglihatanku untuk menatap kedua alis tebalnya yang begitu sempurna membingkai sepasang mata berwarna hazel itu dan sebuah belahan di dagunya yang membuat rahangnya terlihat begitu sempurna membentuk wajahnya. Aku bisa merasakan kedua tangannya menyentuh kedua sisi wajahku, membuat semua kenangan yang aku miliki atas sentuhan itu memenuhi isi kepalaku.
“Aku disini, Dani, apapun keputusan yang akan kamu ambil.”
Mendengarnya menyebut satu kata itu membuat tubuhku bergetar dan seperti pengecut, aku hanya mampu menundukkan wajahku, menatap sepasang sepatuku yang begitu mengkilat, sepatu yang khusus aku beli untuk hari ini. Aku mengangkat wajahku kembali ketika jemari Ian membuatku melakukannya, kembali, aku tidak punya pilihan selain menatap wajahnya.
“Ian, kamu tahu aku tidak mungkin melakukannya.”
Ian mengangguk. “Selama kamu belum mengucapkan sumpah itu, aku masih menyimpan harapan itu Dani, meskipun itu hanya sekecil butiran pasir di pantai. Lebih baik memilikinya daripada tidak memilikinya sama sekali. Kalaupun akhirnya harapan itu hilang, kamu tahu aku akan bahagia untukmu. Untuk Alia.”
Jemari Ian kemudian meraih milkku dan genggamannya begitu kuat hingga aku merasa Ian tidak ingin melepaskanku, untuk alasan apapun, namun, Ian sudah melepaskanku. Bersedia jadi Best Man-ku adalah sesuatu yang tidak mudah baginya dan aku tahu, betapapun terlukanya dia, betapapun terlukanya diriku, kami akan melanjutkan hidup dengan kenangan yang tersimpan dalam ingatan kami.
“Kiss me once again, Ian.”
Entah apa yang merasukiku hingga aku meminta itu dari Ian, di hari pernikahanku namun ada sesuatu dalam diriku yang ingin merasakan, untuk terakhir kalinya, sebuah ciuman dari seorang pria yang selama tiga tahun belakangan mengisi hidupku sebelum Alia datang dalam kehidupanku.
Aku memejamkan mataku, membiarkan naluriku melihat inci demi inci tubuh Ian mendekat dan kemudian, aku merasakan bibir itu menyentuh bibirku, lembut dan pelan. Aku masih memejamkan mataku, merasakan ciuman Ian semakin dalam namun tidak ada paksaan disana, paksaan untuk membalas ciumannya sebelum akhirnya, aku merasakan bibir itu meninggalkan bibirku. Aku membuka mataku dan untuk kesekian kalinya, mata kami saling bertemu.
“We better go now before everyone is getting worried.”
Aku menelan ludahku dan membiarkan lengan Ian menuntunku keluar dari kamarku. Aku seperti kehilangan kontrol atas diriku sendiri ketika kami masuk ke mobil yang akan membawaku ke tempat semua orang sudah menunggu dengan tidak sabar peresmian hubunganku dan Alia. Aku merasakan genggaman erat di tanganku begitu kami berdua sudah berada di kursi belakang dan sopir sudah siap untuk membawa kami pergi.
Aku membiarkan pandanganku menyapu jalanan, sama sekali tidak ingin membiarkan diriku larut dalam kegugupan namun menit demi menit yang aku lewati membuatku merasakan sesuatu yang sebelumnya bukan hanya tidak ada, namun tidak pernah mengganggu pikiranku. Sudut mataku menatap Ian yang sepertinya juga hanya mampu terdiam, pandangannya lurus ke depan namun mengenalnya selama empat tahun membuatku tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Aku hanya berharap bisa membaca pikirannya.
Alia…Semua pria ingin memilikinya, sebagai seoarng istri. Dia sudah berjanji untuk mengabdikan dirinya sebagai seorang Ibu Rumah Tangga, meninggalkan pekerjaannya begitu dia resmi menjadi istriku. Alia terlalu baik, bahkan aku masih tidak percaya bahwa dia akhirnya menerima pinanganku untuk menghabiskan hidup kami bersama. Aku bukan pria berusia belasan yang meminta kekasihnya menikah hanya karena dorongan biologis namun aku pria berusia 30 tahun yang sudah matang serta siap lahir batin untuk menjalani sebuah pernikahan. Alia, begitu mengerti diriku, bahkan hanya kepadanyalah aku bisa menceritakan tentang hubunganku dengan Ian. Dia mengerti, bahkan sangat mengerti.
Sekarang, ketika aku berada di dalam mobil untuk menuju ke tempat kami akan saling mengucap janji, sebuah perasaan menyeruak dalam diriku. Bagaimana jika Alia terlalu baik untukku hingga aku merasa tidak pantas untuk menjadi suami baginya? Bagaimana jika aku hanya akan mengecewakannya setelah kami menikah? Bagaimana jika…jika perasaanku terhadap Ian belum sepenuhnya hilang dari diriku dan Alia hanyalah sebuah bentuk lain, bentuk paling ekstrem dari pelampiasan atas tuntutan berkeluarga yang selalu membebaniku sejak dua tahun lalu?
Aku memejamkan kedua mataku, berusaha untuk mengusir semua pikiran-pikiran itu dan fokus pada janji yang akan aku ucapkan nanti. Aku tidak boleh mengacaukannya. Tidak dihadapan begitu banyak orang, tidak di hadapan Alia dan yang terpenting, bukan di hari pernikahanku. Namun, semakin aku mencoba untuk memfokuskan diriku pada hal-hal yang seharusnya menjadi pusat perhatianku, semakin aku merasa tertarik jauh dari semua itu. Sebuah keraguan yang sebelumnya bisa aku atasi, muncul kembali ke permukaan.
Bagaimana jika pernikahanku adalah kesalahan terbesar yang aku lakukan dalam hidupku? Aku bukan hanya akan menjalani hidupku dalam sebuah kebohongan namun Alia, dia tidak pantas menjalani kehidupan pernikahan yang semu. Dia menginginkan pernikahan serta rumah tangga yang sempurna, terlepas dari definisi sempurna itu sendiri. Dia tidak pantas mendapatkannya.
Aku menghela nafasku hingga membuat Ian mengalihkan pandangannya dari apapun yang ada dihadapannya kearahku. Aku bisa melihat bahwa dia agak cemas seperti helaan nafasku mengirimkan sinyal buruk untuknya.
“Semuanya baik-baik saja, Dani? Apa yang mengganggu pikiranmu?”
Bahkan, hanya dengan menanyakan pertanyaan sesederhana itu, Ian mampu meredakan semua kekhawatiran yang aku rasakan. Sulit untuk merasakan kedamaian dalam diri seseorang, terutama seorang pria, terlebih lagi dalam dunia dimana hubungan fisik lebih penting dari apapun juga. Aku tidak pernah mengingkari fakta bahwa mengenal Ian, adalah salah satu anugerah terbesar dalam hidupku. Ian mencintaiku, meskipun dia tahu aku telah melukai hatinya, begitu juga dengan Alia, dia masih mau mendampingiku dan mau menikah denganku meskipun dia tahu masa lalu hubunganku dengan Ian bahkan dia tidak keberatan ketika aku menginginkan Ian menjadi Best Man-ku. Apakah ada pria seberuntung diriku, yang dikelilingi dua pribadi paling mengagumkan yang pernah aku kenal?
Aku menatap Ian, seperti aku baru saja bertemu dengannya, mengamati setiap kerutan serta lekuk di wajahnya dan mata hazel itu masih menatapku, menungguku memberikan jawaban atas pertanyaannya karena hanya dengan melihatnya, aku tahu bahwa dia menyimpan kekhawatiran dalam dirinya melihatku seperti ini. Ian, selalu seperti itu. Dia selalu ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja.
“I’m ready, Ian,” ucapku setelah pikiran dan hatiku berusaha untuk mengambil alih diriku meskipun hanya sekecil butiran pasir di pantai, seperti kata Ian, paling tidak itu lebih baik daripada tidak memilikinya sama sekali.
“Siap untuk apa, Dani?”
Aku menelan ludahku, membiarkan berbagai kata mengembara di otakku sebelum akhirnya aku memutuskan untuk merangkainya menjadi sebuah kalimat yang sama sekali asing bagiku hingga pagi ini namun sekarang, aku merasakan dorongan kuat untuk mengatakannya. Bukan karena emosi atau hanya dorongan impulsif, namun karena hati kecilku menolak untuk berhenti mengingatkanku akan keputusan yang akan aku ambil.
“I’m ready to run away with you.”
Ian menatapku seolah aku baru saja mengatakan kepadanya bahwa aku akan menghabiskan hidupku untuk menjadi sukarelawan di negara-negara tertinggal di Afrika. Ada ketidak percayaan dalam tatapan yang ditunjukkan Ian padaku namun keterkejutan-lah yang menguasai wajahnya.
“Dani, kamu sadar apa yang baru kamu katakan?”
Aku mengangguk. “Pernikahanku dengan Alia mungkin jadi kesalahan terbesar yang terjadi dalam kehidupanku dan aku tidak ingin menghabiskan hidupku dalam kebohongan. Alia terlalu baik sebagai seorang wanita, dia akan menjadi istri dan ibu yang luar biasa, tapi, aku bukan pria yang pantas untuk mendapatkan itu semua. Akan ada pria yang juga luar biasa yang hadir dalam kehidupannya.”
Ian masih menatapku dengan tatapan itu seolah kalimat yang baru meluncur dari mulutku adalah sebuah kebohongan yang tidak seharusnya aku ucapkan, namun aku kemudian mengulurkan tanganku untuk meraih tangan Ian dan menggenggamnya erat.
“What about Alia? What about your family?”
“They will hate me for sure. Bahkan, aku akan selamanya dicoret dari daftar anggota keluarga mengingat betapa Papa begitu menginginkan pernikahan ini. Alia, dia akan terluka sangat dalam tapi dia akan baik-baik saja. Aku…tahu, sikapku ini lebih rendah dari seorang pengecut atau pecundang. Jika memang ada kata yang lebih pantas untuk tindakanku, aku akan terima. Tapi, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku lebih memilih untuk jadi Dani yang dibenci semua orang, seorang pecundang atau pengecut namun tidak perlu membohongi hatiku sendiri. This is the rightest thing to do, at least for my heart, Ian.”
Tatapan tidak percaya itu sekarang melembut dan aku bisa merasakan kebahagiaan serta keharuan bercampur hingga kemudian, tanpa memedulikan sopir kami, Ian mendekatkan wajahnya dan kami berciuman. Sebuah ciuman kelegaan karena Ian tahu, bahwa harapannya yang sekecil butiran pasir di pantai itu, mengalahkan realita, kenyataan yang sudah tidak mungkin teraih olehnya. Bagiku, ciuman ini terasa seperti pelepasan diriku atas semua kegusaran yang aku rasakan atas perasaanku sendiri. Aku menyerahkan diriku sepenuhnya pada Ian dan hanya padanya, aku menyandarkan semua harapan yang aku tinggalkan dalam hidupku. Hanya Ian batu karang tempat aku bisa berpijak sekarang.
Ian melepaskan ciuman kami dan dengan kedua tangannya yang masih berada di kedua sisi wajahku, dia memaksa pandanganku terkunci pada wajahnya, seperti ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang baru didengarnya bukanlah sebuah gurauan.
“I love you, Dani. I love you so much!”
Dengan kalimat itu, Ian merengkuhku dalam pelukannya dan aku bisa merasakan air mata mengalir dari kedua pelupuk matanya, air mata kebahagiaan dan hatiku seperti ingin melonjak karena pada akhirnya, aku jujur pada diriku sendiri, terlepas seburuk apapun konsekuensi yang akan aku hadapi nanti. Aku ingin menangis, membayangkan kebahagiaan Ian dan masa depan kami yang entah akan berakhir dimana namun aku juga tidak kuasa untuk membiarkan diriku membayangkan kepedihan yang akan ditanggung Alia dan juga Mama. Aku mengecewakan dua wanita dan aku menyerahkan diriku pada karma karena tindakanku ini memiliki konsekuensi yang tidak kecil.
Aku menunggumu karma, aku siap, ucapku dalam hati sebelum melepaskan diriku dari pelukan Ian. Ian berusaha untuk menghapus air mata yang mengaliri kedua pipinya namun dia sepertinya saraf di tubuhnya tidak mengizinkannya melakukannya hingga aku harus meraih sapu tangan dari saku jas pengantinku dan menyeka air matanya.
“Pak, tolong ke bandara,” ucapam Ian itu membuat kedua alisku terangkat.
“Bandara? Kita akan pergi kemana, Ian? I didn’t have my passport with me.” Kepanikan tiba-tiba melandaku mengetahi bahwa kami akan ke bandara, tanpa persiapan apapun.
“Trust me, Dani. I will not do something recklessly.”
“But…”
Ian seperti mengetahui kepanikanku hingga kemudian, dia berusaha menenangkanku dengan memberikan tatapan meyakinkan kepadaku hingga aku hanya mampu terdiam di posisiku sementara kedua tangannya menggenggamku erat.
“Aku menyiapkan semuanya, Dani. Your passport, some of your clothes. You’re going to Bora-Bora for honeymoon, right? Well, plan changed.”
“Kita akan pergi kemana?”
Ian mengeluarkan selembar kertas dari saku bagian dalam jasnya lalu menyerahkannya padaku, begitu aku melihat tempat yang akan kami tuju, aku hanya memandangnya tidak percaya. Bagaimana mungkin dia menyiapkan ini semua? Apakah dia tahu bahwa aku akan memilih untuk pergi bersamanya daripada melangkahkan kakiku di altar untuk mengucap janji setia bersama Alia?
“Kita akan di Singapura dua hari sebelum bertolak ke Brussels. That’s a perfect place to start our new life, Dani.”
“How did you do it?”
“It was a gambling. I wanted everything to be prepared. Jika memang kamu ingin mengikatkan dirimu pada Alia, maka aku kalah dan semua persiapan yang aku lakukan akan sia-sia, tapi aku tidak mau kita pergi tanpa tujuan jika kamu memutuskan untuk menjalani hidupmu denganku. I won the gambling, Dani.”
Entah apa yang harus aku katakan pada Ian untuk semua yang sudah dilakukannya untukku, semua ini masih terlihat seperti adegan dalam sebuah film daripada kenyataan dan aku tidak akan mempercayainya sampai aku benar-benar berada di Singapura. Aku masih berada di Bali, segala kemungkinan bisa terjadi.
“You’re wonderful, Ian.”
Ian memberikan senyumnya kepadaku dan aku merasakan genggaman tangannya masih erat, sama sekali tidak mengendur.
“I will always fight for you, Dani. Whatever risk that I should take. We both have so many things to be dealt after this and I just want you to know that I’m with you. I will never leave you.”
“I know, Ian.”
Ponselku berdering dan ketika aku melihat nama yang terpampang di layar ponselku, aku menatap Ian, seolah meminta pendapat darinya apakah aku harus mengangkatnya atau tidak. Ian hanya menganggukkan kepalanya. Maka, aku pun menekan tombol hijau untuk menerima panggilan dari Alia.
“Alia…I can’t marry you…I’m sorry….”
Hanya itu yang bisa aku ucapkan dan setelah memutuskan hubungan, aku mematikan ponselku, memastikan bahwa tidak ada seorangpun yang akan menggoyahkan keputusanku. Alia akan tahu bahwa aku membatalkan pernikahan kami karena Ian dan aku punya hutang, sebuah penjelasan kepada keluargaku dan keluarga Alia yang harus aku lunasi. Aku akan melunasinya jika aku sudah siap. Ian akan membantuku.
“I love you, Dani.”
Aku hanya menatap Ian ketika mengucapkan tiga kata sakral itu tepat ketika mobil yang membawa kami berhenti di area untuk menurunkan penumpang. Kami saling bertatapan untuk beberapa saat sebelum akhirnya aku membalas ucapan Ian dengan sebuah senyuman, senyuman pertamaku setelah keputusan besar yang aku ambil, di menit-menit terakhir pernikahanku.
“Singapore is waiting for us, Ian.”
@AwanSiwon : Kenapa kok hua hua?
@dirpra : ayo, semangat!!!! Nggak ada salahnya kan ngungkapin perasaan kamu? Sebelum terlambat
@keichi_koji : Hahahaahaha. Ya tetep nggak mau kan yang galau kamu
@habibi : thanks for visiting and reading and commenting