It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
jiah jd gtw deh sp diriq..,
ni @Keichi_Koji neh om..,
btw mksih wt update.a ia
ttp smngt nulis
klo ntar ad yg ngritik ttp smngt ia
jgn smpe ky lapak sbelah
yg gbisa nrima saran org
trs maki2 ga jelas
hhehe
luph u
*mw bc cerpen.a kk dlu
@ben singing........
(˘̩̩_˘̩̩̩ )
@abiyasha u make me again (˘̩̩_˘̩̩̩ )
Entah kenapa, justru akhir yang penuh derita selalu lebih mengena, meninggalkan kesan yang lebih dalam.
Perih .... tapi itulah hidup di dunia kita.
tkut knp dek??
sini sini dipeluk hhehe
Kok jadi curhat.
Good strory!
Keinginanku dulu hanyalah mencintai seseorang dengan sederhana. Yang tidak aku tahu dulu adalah bahwa cinta dan sederhana seharusnya tidak digunakan dalam satu kalimat. Mereka sama sekali tidak bisa saling melengkapi karena cinta berhubungan dengan hati dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hati tidak pernah sederhana.
Setidaknya untukku.
Aku mengenal Jason terlebih dahulu. Sosoknya yang sangat sopan, untuk ukuran pria yang dilahirkan dan dibesarkan di Amerika, membuatnya langsung mendapatkan simpatiku. Aku memang hanya mengenal orang Amerika dari bierita serta koran saja dan aku tidak perlu menjelaskan bagaimana media menggambarkan orang Amerika kan? Jason, seperti lahir dari belahan bumi lain. Dia hanya mengangkat bahunya setiap kali aku mengutarakan keherananku. Jason itu seperti ensiklopdia film berjalan. Tanyakan saja padanya tentang sejarah sinema dan film apa yang pertama kali memenangkan Oscar maka dia akan dengan sukarela membuatmu tertegun. Kagum.
Satu hal yang paling menonjol darinya adalah selera humornya yang membuatku kadang memilih untuk tidak bertandang ke rumahnya daripada harus merasakan perutku sakit karena leluconnya. Dia mungkin salah satu komedian paling tidak dikenal di dunia. Setiap kali kami janji untuk bertemu di suatu tempat, aku dengan mudah mengenalinya karena selain kepalanya yang sama sekali licin bagai bola Kristal (dia selalu tertawa setiap kali aku menyebutnya seperti itu) namun tingginya yang lebih dari 190 senti itu sangat tidak mungkin diabaikan. Apalagi ditambah dengan kesukaannya memakai kemeja bermotif kotak-kotak milik Burberry semakin membuatnya mudah untuk dikenali. Jason, sudah menjadi seseorang yang lebih dari sekedar aku kagumi. Hatiku seperti menemukan jangkar untuk menambatkan cinta yang selama ini begitu pelit aku berikan. Dia sempurna.
Setidaknya bagiku.
Rama adalah pria kedua yang entah bagaimana membuatku ingin melidunginya. Ketika pertama kali dia bertanya kepadaku apakah ada kamar kosong di kosanku, aku hanya melihat sosok pria bertubuh kurus namun memiliki kulit putih seperti dia lahir di Negara bermusim empat. Dia asli Indonesia, bahkan lahir dan besar di Jogja. Kacamata yang menghiasi wajahnya membuatku mengira Rama cowok serius yang hobinya adalah pergi ke perpustakaan atau toko buku. Namun, aku bukan hanya salah, tapi keliru. Parah! Ketika akhirnya dia menempati salah satu kamar di kosanku, aku mengetahui bahwa Rama sama sekali benci dengan buku! Bahkan dia lebih memilih untuk lari 10 km daripada harus diminta membaca buku. Hobinya? Fotografi. Aku hanya mampu melongo ketika melihat hasil-hasil jepretannya. Bagaimana mungkin cowok dengan berat badan 50 kilo mampu membuat foto-foto sehebat itu?
Satu lagi yang membuatku begitu tertarik padanya. Sikap “menggampangkan” hidup. Go with the flow. Tidak pernah aku melihatnya khawatir tentang masa depannya karena dia menjalani hidupnya dengan mudah. Anehnya, aku juga mencintainya. Terlebih ketika tanpa tedeng aling-aling, dia mengatakan bahwa dirinya menyukai kaumnya sendiri. Semua yang aku cari dari seorang pria memang tidak ada dalam dirinya, tapi kenapa aku malah menyebutnya sempurna?
Setidaknya itu jawaban yang dibisikkan oleh hatiku setiap kali pertanyaan itu menyeruak.
Apakah aku terjebak dengan dua cinta, Jason dan Rama? Jawabannya bisa sebuah anggukan atau sebuah gelengan. Tidak ada jawaban yang salah.
“Aku harus pergi,” ucapku singkat.
Jason menatapku seolah aku ini baru mengatakan kepadanya akan bunuh diri. Aku tidak perlu menjelaskan kepadanya apa maksudku dengan pergi karena hanya itu yang aku katakan selama sembilan malam terakhir. Pandangan kami bertemu.
“Kenapa?” tanyanyan singkat.
Kata tanya yang sama. Bukan kemana. Sepertinya ada terlalu banyak pilihan kalimat yang bisa aku gunakan untuk menjawab pertanyaan itu. Maka, akupun hanya meluruskan kakiku yang sejak tadi tertekuk karena duduk di atas tempat tidurku yang tidak memiliki rangka. Jason masih membaringkan tubuhnya, setengah telanjang karena kamarku tidak memiliki pendingin sementara udara di luar malam ini memang gerah. Biasanya aku akan bergabung dengan Jason, namun kali ini aku memilih untuk tetap mengenakan pakaianku. Lengkap.
“Harus ada yang pergi kan Jason?”
“Ini malam kesepuluh kamu bilang seperti itu. Apa kamu sedang mengejar rekor untuk bilang kalimat itu selama seribu satu malam berturutan?”
Jason menegakkan tubuhnya lalu duduk disampingku. Aroma D & G Light Blue merambat memasuki penciumanku dan sebagai pria yang alergi dengan parfum, ini satu-satunya parfum yang tidak membuatku bersin setiap satu menit sekali. Aneh kan? Dada bidangnya yang ditumbuhi rambut-rambut tipis membuat mataku selalu lapar namun kali ini, aku menahannya. Harus bisa, batinku.
Lengannya terulur dan meraih jemariku kemudian menggenggamnya. Erat. Aku menelan ludahku sementara mata kami kembali saling terkunci satu sama lain. Jason tersenyum sambil meremas tanganku lembut. Sentuhan yang selalu membuat bagian dada sebelah kiriku jadi berdenyut lebih cepat.
“Ijinkan aku pergi, Jason.”
“Aku bisa saja, Angga. Mudah saja untuk bilang silakan, tapi apakah aku siap dengan konsekuensi atas ucapanku?” Jason menggeleng. “Terlalu berat. Bahkan bagi Rama, kalimatmu itu akan terdengar seperti lelucon.”
“Bukankah aku mempermudah pilihanmu, Jason?”
“Apakah aku pernah ingin memilih?”
“Dulu mungkin nggak, tapi suatu saat kamu harus. Rama juga. Bukankah seharusnya aku mendapat ucapan terima kasih karena mempermudah pilihan kalian?”
“Apakah kamu nggak bosen denger jawaban yang sama setiap kali pertanyaan itu muncul? Kamu tahu apa jawabanku, Angga. Aku nggak perlu bikin kamu bosen kan?”
Aku menghela nafasku pelan namun cukup untuk didengar Jason hingga kemudian dia menarik kepalaku untuk bersandar di pundaknya. Aku menurut saja. Lengan kekarnya segera saja melingkar di pundakku dan aku bisa merasakan elusan lembut jemarinya disana. Nyaman, hanya itu yang aku rasakan. Namun, aku ingin rasa nyaman itu tidak mengubah keputusanku.
“Lebih baik kita sakit sekarang daripada nanti, Jason. Semuanya akan jadi lebih rumit, sekarang saja udah ada tanda-tanda akan kesana. Kamu nggak bisa menutup mata dari itu. It’s just too obvious.”
“As obvious how I feel for you.”
“As obvious how Rama feels for you.”
“For us, Angga.”
Lagi-lagi, aku menghela nafasku. Inilah jawabanku atas pertanyaan apakah aku terjebak dengan dua cinta atau tidak. Jawabannya adalah antara ya dan tidak. Aku tidak bisa memutuskan mana yang lebih dominan karena dua-duanya seimbang. 50-50.
Pintu kamarku terbuka dan sosok Rama memasuki kamarku. Satu hal yang selalu aku ingatkan adalah untuk menguncinya karena Rama selalu lupa satu hal itu. Namun malam ini, dia mengunci pintu kamarku tanpa aku ataupun Jason perlu mengingatkannya. Dengan segera, Rama meloloskan t-shirt bertuliskan I Love Bali itu melalui kepalanya, melemparnya ke kursi meja belajarku dan langsung bergabung bersamaku dan Jason. Namun, malam ini berbeda. Rama memilih untuk duduk di sebelahku daripada mengapit Jason, seperti yang selalu kami lakukan selama sepuluh bulan terakhir. Jason, selalu menjadi pusat bagi kami berdua. Aku pernah bercanda kenapa dia selalu jadi poros dalam hubungan kami. Posturnya yang lebih besar dibandingkan aku ataupun Rama membuat kedua lengannya mudah untuk memeluk kami di kedua sisi. Satu hal yang tidak pernah aku keluhkan bersama Rama.
“Kok keliatannya mellow banget malam ini?” tanya Rama setelah mengecup punggung tangan Jason kemudian menyandarkan kepalanya di bahuku. Jason mengacak-acak rambut Rama seperti biasanyaa yang selalu dibalas Rama dengan menggigit pelan jemari Jason.
“He just said that he wants to go. To leave us.”
“Nggak bosen ya ngomongin tentang hal itu tiap hari? Seperti nggak ada topik lain aja.”
“Bingo!”
Berada di antara Jason dan Rama bukanlah pilihan yang bijak jika pembicaraan sudah menyerempet area argumentasi. Aku selalu kalah. Aku selalu diam. Berdebat dengan mereka sama saja seperti menaikkan tekanan darahku dengan drastis karena aku akan dicecar dengan argumen-argumen berbobot mereka. Yang bisa dan selalu aku lakukan hanyalah mempertahankan argumenku sendiri yang biasanya lemah. Aku bukan lawan sepadan untuk mereka dalam urusan berargumen.
“Aku ingin cinta yang normal,” ucapku pelan namun cukup untuk didengar oleh Jason dan Rama.
“With a woman?”
“Sama cewek?”
Dua kalimat tanya itu sampai di telingaku hampir bersamaan hingga senyum tipisku mengembang mengetahui fakta kecil itu. Mereka seperti membuat janji lewat media yang tidak bisa aku lihat. Media yang hanya Jason dan Rama tahu.
“Cinta untuk satu orang.”
“Oh, c’mon, stop that bullshit, Angga.”
Kepalaku tersentak ketika Jason memutuskan untuk bangkit dari sisiku dan tubuh besarnya segera mengisi kamarku seperti sosok raksasa dari cerita-cerita kuno. Bedanya, Jason adalah raksasa yang manis dan tampan. Lengan Rama langsung menggantikan lengan Jason yang sekarang sedang terukur untuk meraih air mineral dalam botol yang tadi dibawanya. Diteguknya habis isi botol itu sebelum melemparkannya dengan kasar ke tempat sampah. Kasihan botol itu, batinku.
“Kamu ini kenapa?”
Suara Rama jelas terdengar di telingaku karena begitu dekatnya. Mataku tanpa lepas menatap Jason yang sekarang sedang duduk di kursi meja belajarku sambil menyentuh iPadnya. Benda itu jadi satu-satunya pelampiasan Jason setiap kali dia terganggu oleh sesuatu yang tidak ingin dipikirkannya. Dia melampiaskannya dengan menekan virtual keypadnya dengan kasar untuk membuat satu kodok melompat-lompat sambil memakan tiap lalat dan mendarat di atas kepala burung-burung bangau untuk mendapatkan angka. Permainan yang aneh menurutku. Saat ini, sesuatu yang tidak ingin dipikirkannya adalah ocehan tentang kepergianku yang sudah didengarnya selama sepuluh malam ini. Wajahnya terlalu jelas untuk menyembunyikan apa yang dirasakannya.
Diantara kam bertiga, Rama memang bisa dibilang yang paling sabar. Sama sekali tidak sesuai dengan cara dia memandang hidup yang ‘go with the flow” itu. Setiap kali kami bertengkar, Rama yang selalu jadi penengah hingga aku dan Jason menyebutnya Our beloved Switz.
“Acuhkan saja, Rama. Nanti juga dia pasti berhenti sendiri.”
Ucapan Jason itu seperti muncul ketika aku berada di tempat lain, dimensi lain yang tidak akan mampu menangkap suaranya. Nyatanya, aku disini, mendengar dengan jelas setiap suku kata yang terlontar dari mulutnya. Biasanya, kata-kata Jason memang benar seratus persen, namun malam ini bukanlah malam biasanya. Malam ini berbeda.
“Aku akan tetap pergi. Bukan karena cintaku buat kalian hilang atau berkurang, tapi aku hanya ingin kita bertiga punya hubungan yang normal. Kalian akan baik-baik saja kalau aku pergi karena cinta kalian akan saling menguatkan. Aku juga akan baik-baik saja.”
Kebohongan yang jelas terlalu jelas untuk tidak dirasakan Jason maupun Rama karena detik selanjutnya, Jason meletakkan iPadnya untuk menatapku.
“Kalau salah satu dari kita pergi, nggak akan ada yang baik-baik saja, Angga. Aku dan Rama akan pincang, bahkan kami bisa berakhir dengan saling membenci. Apakah itu yang ingin kamu lihat padaku dan Rama? Kami saling membenci?”
“Of course not!”
“Then, stop saying that you’ll go.”
“I love you guys, so much. But, it feels not right. Ada yang salah dengan hubungan tiga cinta ini. Sadar atau nggak, akan ada yang terluka nanti dan aku memilih untuk pergi sekarang agar kalian nggak perlu merasakan sakit itu. It’s because I love you guys so much.”
“Then don’t leave, for God’s sake!”
Lengan Rama terulur untuk meraih tanganku namun aku terlanjur bangkit dari sisinya untuk menghampiri Jason. Aku meraih tangannya lalu mengecupnya sebelum aku merasakan ada dua lengan memelukku dari belakang.
“Don’t leave us, Angga. We love you so much.”
Aku membalikkan tubuhku untuk mengecup kening Rama sebelum kemudian merasakan Jason menyentuh daguku untuk menghadapnya. Aku melihata tatapan itu di matanya dan tanpa ragu, aku membiarkan Jason mendaratkan ciuman di bibirku. Lembut. Pelan. Pendirianku selalu saja goyah setiap kali Jason memberiku ciuman seperti ini, namun sayangnya malam ini hal itu tidak akan terjadi. Pendirianku akan tetap kokoh berdiri. Aku menajdi pribadi yang paling egois yang pernah dikenal Rama dan Jason namun keegoisanku akan terbayar dengan kebahagiaan sejati mereka.
“We will keep trying to keep you with us, Angga.”
“Aku akan anggap itu sebagai bentuk penghianatan, Jason. Apakah kamu ingin aku membencimu dan Rama?”
Membalikkan kalimat yang tadi diucapkan Jason bukanlah sesuatu yang disukai Jason, apalagi itu akan berdampak pada Rama juga. Namun, itulah kelemahan Jason, paling tidak jika aku yang mengucapkannya.
Maka, aku meraih tas ranselku yang tergeletak di dekat tempatku biasa meletakkan sepatuku tanpa halangan dari Jason maupun Rama. Mereka hanya diam menyaksikanku meletakkan tasku di punggung namun ketika aku memandang mereka berdua, mereka sama sekali tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan untuk mencegahku pergi. Mengenal mereka, aku tahu ini hanya shock moment saja. Saat mereka sadar dan kembali dengan pikiran jernih, mereka akan sibuk menghubungi setiap orang yang aku kenal untuk menemukanku. Sayangnya, itu akan sangat terlambat.
“I love you guys. You know how much important your presence in my life is. Be good and be happy.”
Dengan langkah yang sangat aku paksakan, aku akhirnya berhasil melalui pintu kamar kosanku dan berjalan keluar dengan hati yang begitu berat namun lega. Dua orang yang aku cintai akhirnya akan bersama, seperti seharusnya dua orang yang harus saling memiliki.
Aku mencintai Jason namun butuh waktu bagi Jason untuk merasakan hal yang sama terhadapku. Ketika waktu itu datang, Rama sudah menempati hatinya terlebih dulu. Yang membuatku mampu mengatakan bahwa cinta dan sederhana tidak seharusnya ditempatkan dalam satu kalimat karena aku juga mencintai Rama seperti aku mencintai Jason. Begitu juga Rama. Kami bertiga menjalani sebuah hubungan yang sama sekali tidak terbayangkan oleh orang normal. Normal berarti bukan hanya kaum hetero, namun juga kaum kami. Hubunganku dengan Rama dan Jason tidak diawali dengan seks. Kami bertiga hanya terjebak dalam rasa cinta dan peduli satu sama lain hingga kecemburuan bahkan tidak pernah eksis diantara kami.
Namun sekarang aku memilih untuk melangkah menjauh. Bukan karena dua pria yang masih ada di kamarku saat ini kehilangan cinta dariku, sama sekali bukan. Aku hanya ingin mereka bahagia dengan mengorbankan diriku sendiri karena suatu saat di masa depan, akan ada luka yang menganga diantara kami. Aku memilih untuk mengambil luka itu sekarang dan menyelamatkan mereka dari rasa perih. Mereka lebih dulu saling memiliki sebelum aku menapakkan kakiku di panggung kehidupan mereka berdua.
Aku berusaha untuk mencintai mereka dengan sederhana namun sepertinya aku harus tetap memegang perkataanku di awal bahwa cinta dan sederhana tidak seharusnya terdapat dalam satu kalimat. Cintaku bersama Jason dan Rama tidak akan pernah mengenal kata mudah dan aku memilih untuk pergi, meninggalkan dua pria yang mengisi hatiku dengan penuh cinta.
Setidaknya, itulah harapan yang aku miliki untuk Jason dan Rama.
@DeliRnzyr : Yah, kana pake nick lain, mana aku tahu? Ya namanya juga penulis, pasti ada yang nggak suka juga. Kritik sbnrnya sih perlu asal cara penyampaiannya baik. Kadang, kayak aku ini di forum tetangga nggak banyak yg komen ama cerita2 pendekku. Bagi penulis, komen itu penting krn dia akan ngerasa kalo karyanya dibaca org dan tahu responnya ghmn Thanks ya?
@tonymonster : hahahahahaha, aku nggak bisa bikin cerita ala anak2 SMA gitu. Feelnya nggak dapet, hehehehe. Yang SEHABIS PROM itu aja proyek iseng krn pengen nulis pake bahasa yang santai. Ntar kalo dapet feelnya pasti dituangin kok, hehehe.
@arieat : Nyanyi lagunya siapa sih itu? hahahaha
@dirpra : Jangan takut dong!!!! Kan nggak semuanya harus berakhir kayak gitu. Pinter2 aja cari cowoknya, hehehehe. Tetep semangat!
@bi_ngung : Setuju!!!!! Makanya lebih suka bikin cerita2 yang bikin galau, wakakaakak. Thanks udah baca and kasih komen ya?
@kiki_h_n : Thank you!!!!!!!!!!! Udah diupdate tuh, silakan dibaca
@rarasipau : Hahahaha, jangan nangis lah. Ini juga nggak ada yang sangat menguras emosi kecuali yang TAK TERKATAKAN. Aku aja pas nulis itu sempet mau nangis saking kebawa suasana, hiihihihihi.
@mllowboy : Lewat BB kan masih ada chance buat ketemu kan? tetep berharap aja. Hehehehe. It happened to me personally kok. Kalo yang SEHABIS PROM itu bukan cerita lama, ditulis juga pas bikin project ini. Agak beda karena waktu itu mau bikin cerita ttg anak SMA pake bahasa yang biasa aku pake cuma feelnya nggak dapet. Akhirnya pake bahasa sehari-hari aja eh malah dapet feelnya and jadi dalam satu kali duduk. Cerita paling ringan yang aku pernah tulis. Bahasanya emang nggak aku banget sih, hehehehe.
Cerita ini terinspirasi dari novel -9-1-1 karya Chris Owe yang memang bercerita ttg hubungan 3 pria yang tinggal satu atap. Hubungan mereka bukan hanya tentang seks tapi lebih untuk menjaga satu sama lain. Hubungan kayak ghini memang ada di dunia nyata krna aku sempet browsing2 juga stlh baca novel itu. So, jadilah cerita ini Hope you guys like it
mas abi bikin karya lain ga yg non gay? klo ada mau baca dong.. yah.. yah.. please...