It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ditunggu loh.
ªϑª proyek. Cerita panjang ?? Udah selesai ?? Mana mana ?? #nagih
Mendung masih menggantung ketika langkah kakiku memasuki gerbang sekolahan yang sudah lebih dari 20 tahun aku tinggalkan. Sekalipun hampir tiap tahun aku pulang, kesempatan atau keinginan untuk mengunjungi kembali tempat aku menimba ilmu selama enam tahun itu selalu minim. Ketika akhirnya aku kembali pulang tiga hari lalu, satu hal yang menjadi tujuan utamaku adalah mengunjungi kembali sekolahku. Hanya untuk sekedar mengenang kembali semua memori masa kecilku. Terdengar sentimental memang namun terkadang sebagai pria dewasa, muncul keinginan yang begitu kuat untuk kembali ke masa kecil. Itulah yang sedang melandaku sekarang.
Komplek SD Lintang Kidul ini memang terdiri dari tiga sekolah, SD Lintang Kidul 1, 2 dan 3. Aku hanya melewati dua SD sebelumnya karena SD Lintang Kidul 3 memang terletak yang paling belakang dari kedua SD. Begitu langkahku menyusuri lorong sekolah yang aku lalui pertama kali dua puluh enam tahun lalu itu, aku tersenyum. Tidak banyak yang berubah, hanya cat dindingnya saja yang sekarang menjadi coklat muda. Lapangan tengah tempat ketiga SD mengadakan Upacara Bendera setiap hari Senin masih memiliki fungsi yang sama karena tiang bendera itu masih tegak berdiri di tempat aku pernah bertugas membawa bendera merah putih sejak kelas 4.
Kakiku membawaku menyusuri setiap ruang kelas dan melihat betapa waktu berlalu begitu cepat hingga rasanya baru beberapa tahun yang lalu aku meninggalkan sekolah ini. Kemana perginya dua puluh tahun dalam kehidupanku? Hanya orang bodoh yang menanyakan hal seperti itu. Bagiku, kata bodoh itu adalah kata yang haram karena aku akan merajuk setiap kali ada orang yang menyebutku bodoh, untuk hal apapun. Aku ingat Mama sering menyebutkan kata itu, bukan untuk mengataiku namun untuk menyemangatiku agar tidak ada satu orangpun yang menyebutku bodoh lagi. Mama berhasil. Sebutan bodoh itu tidak pernah aku dengar entah sudah berapa puluh tahun dan sekarang, bukan orang lain tetap aku sendiri yang menyebut diriku bodoh karena mengajukan pertanyaan konyol seperti itu.
Langkahku terhenti di depan salah satu ruang kelas yang terbuka. Ketika aku mengangkat wajahku, tertulis angka 3 di rangka pintu. Rupanya, pihak sekolah belum mengubah letak kelas-kelas disini, semua masih sama seperti dulu. Mungkin, ada anak-anak yang habis membahas sesuatu disini dan penjaga sekolah belum menguncinya kembali. Atau memang ruangan ini mau dibersihkan karena liburan semester ganjil sekolah akan usai empat hari lagi. Rasanya, hanya tas dan sepatu baru yang aku ributkan dulu setiap Tahun Ajaran Baru tiba. Semuanya harus dibelikan Papa yang memang sering bertugas ke luar negeri supaya tidak ada yang menyamainya. Selama masa sekolahku hingga kelas satu SMA, hal ini sama sekali tidak berubah. Aku selalu punya perlengkapan sekolah yang tidak pernah disamai siapapun. Mengenang Papa, membuat senyumku kembali tersungging. Ingat betapa Papa selalu menggodaku hingga aku merajuk sebelum memberikan apa yang aku minta. Sejak beliau meninggal delapan tahun lalu, hanya kenanganlah yang aku punya tentang Papa.
Aku membiarkan kakiku melangkah memasuki ruang kelas 3 dan menyandarkan diriku di meja paling depan yang berhadapan langsung dengan papan tulis. Mataku menatap lurus white board di hadapanku sambil memanggil kembali kenanganku tentang sebuah hari yang membuat masa kecilku menjadi begitu indah. Sesuatu yang masih melekat hingga detik ini meskipun sudah dua puluh dua tahun berlalu sejak aku berdiri di depan papan tulis yang masih hitam. Alasan utama kenapa aku mengunjungi sekolahku saing ini. Untuk mengenang kembali seseorang yang namanya selalu aku bawa sejak aku mengenalnya di sekolah ini.
“Aku bantuin ya?”
Kepalaku menoleh ketika sebuah suara tertangkap gendang telingaku. Rasa sebal yang menguasaiku begitu aku memasuki ruang kelasku pagi ini masih belum reda. Tugas piket kemarin belum menghapus angka-angka yang tertera di papan tulis hingga tidak ada pilihan lain bagiku selain menghapusnya, karena hari ini tugas piketku. Aku memasang tampang sebalku sambil kembali membiarkan tanganku kotor akibat kapur tulis warna-warni yang digunakan Pak Mamat kemarin. Belum lagi aku juga berusaha menahan nafasku agar kapur tulis yang berhasil aku hapus dari papan tulis tidak terserap masuk ke saluran pernafasanku.
“Kamu kan nggak piket hari ini.”
Sebagai wakil ketua kelas, aku hafal betul siapa saja yang bertugas piket dari Senin hingga Sabtu. Bayu jelas tidak termasuk tim piket hari Selasa.
“Kalau cuma ngapus papan tulis aja nggak papa kok.”
Aku hanya mengangkat kedua bahuku dan melanjutkan tugas yang paling aku benci. Lebih baik aku disuruh menyapu kelas atau mengganti air kotor dalam ember kecil yang diletakkan tepat sebelum pintu masuk untuk mencuci tangan. Menghapus papan tulis, selain membuatku kotor juga terlihat seperti tugas paling ecek-ecek. Aku tidak suka melakukan sesuatu yang sifatnya remeh temeh seperti ini.
Bayu sepertinya benar-benar tulus membantuku karena dia juga mengeluarkan kapur tulis dari boks yang tersimpan di laci guru dan menempatakannya ke dalam kotak kecil di samping papan tulis. Bukan hanya itu, dia juga memastikan semua penghapus bersih hingga tidak ada sisa kapur yang tertempel disana. Sebagai anak yang baru masuk sekolah ini kurang dari dua minggu, Bayu sangat sopan. Ah, mungkin dia cuma cari muka aja, batinku. Semua anak baru kan pasti gitu, biar dibilang rajin sama guru dan dipuji temen-temen yang lain, cibirku lagi dalam hati.
Ternyata, aku bukan hanya keliru namun juga salah besar menilai Bayu.
“Maaf, kalau boleh saya tahu, Bapak siapa dan ada keperluan apa ada disini?”
Lamunanku buyar ketika mendengar suara itu. Dengan cepat, aku menegakkan tubuhku lalu tersenyum sopan sembari menghampiri pria berkemeja batik yang aku taksir usianya tidak berbeda jauh dariku itu.
“Oh, Maaf Pak, saya cuma mampir disini. Dulu saya sekolah disini dan entah kenapa tiba-tiba saya ingin mengenang kembali masa-masa sekolah saya hampir dua puluh tahun yang lalu. Sekedar nostalgia masa kecil.”
Aku kembali membiarkan diriku terlihat bodoh saat ini. Untuk apa pula aku menceritakan kepada pria ini tentang kunjunganku disini? Dilihat dari tampilannya, pria ini sepertinya guru disini karena buku-buku yang dibawanya dan jenis pakaian yang hanya mungkin dikenakan oleh para pengajar. Mungkin, aku bisa ngobrol sebentar, pikirku.
“Oh, saya kira siapa. Soalnya kaget juga liat ada orang disini jam segini,” ucap pria itu sambil tersenyum. Rasanya, dia bukan tipe guru yang konservatif karena dari cara dan gaya bahasanya, aku bisa bilang bahwa pria di hadapanku ini punya banyak pengalaman hidup di luar kota kelahiranku.
“Bapak guru disini?”
Pria itu mengangguk. “Baru satu tahun, saya mengajar Bahasa Inggris.”
Mataku menangkap beberapa buku bertuliskan Bahasa Inggris yang sedang dibawa Bapak Guru di hadapanku ini. Mataku membelalak seperti mendapati hantu dihadapanku ketika dengan jelas membaca nama yang tertulis di name tag yang tersemat di kemeja sebelah kirinya.
“Bayu Edi Wiryapradja?”
Hanya kalimat itu yang terlontar dari mulutku ketika menyadari siapa yang sedang aku ajak bicara saat ini. Bayu? Ini nggak mungkin, sangkalku dalam hati. Bayu tidak mungkin jadi guru, itu bukan impiannya dulu. Namun, aku yakin bahwa seantero kota ini hanya ada satu Bayu Edi Wiryapradja dan dialah yang sedang berdiri di depanku saat ini. Holy crap! Aku seperti tidak percaya dengan penglihatanku sendiri tapi Bayu memang ada disini!
“Kok Bapak tahu nama tengah saya?” Ada kecurigaan yang terpancar di wajahnya mengetahui bahwa aku bisa menebak kepanjangan dari E yang tertulis di name tag-nya. Reaksinya itu semakin membuat jantungku berdegup kencang.
“Pegasus Hyoga Cygnus Seiya Dragon Shun?”
Kallimat itu kontan meluncur dari mulutku dengan lancarnya. Aku dan Bayu adalah penggemar Saint Seiya hingga kami memutuskan untuk menciptakan kata sandi dari kelima tokoh utama namun dengan menukar nama-nama mereka. Bayu suka Pegassus Seiya dan Andromeda Shun sementara aku lebih suka Phoenix Ikki dan Dragon Shiryu. Cygnus Hyoga hanya sebagai pelengkap buat kata sandi kami. Setiap kali bertemu yang berarti setiap hari hingga kami pisah sekolah waktu SMP, kata sandi itu adalah satu-satunya yang menjadi salam kami. Lucunya, aku sama sekali tidak pernah lupa tentang hal itu. Bahkan, setelah dua puluh tahun, ingatanku masih dengan jelas mengingat nama-nama ksatria Athena tersebut.
“Ikki Andromeda Phoenix Shiryu.”
Dengan pelan, Bayu mengucapkan kalimat itu. Aku bisa menangkap nada tidak percaya dalam suaranya bahwa setelah sekian tahun, kami akhirnya bertemu kembali di tempat semuanya berawal. Takdir memang kadang punya cara yang lucu untuk mempertemukan dua orang yang sudah terpisah begitu lama.
“Apa kabar Bayu?”
“I can’t belive this! Gery!”
Lengan Bayu terbuka lebar dan aku menyambutnya. Rasanya, hanya dalam mimpi hal ini bisa terjadi. Aku ingat ketika itu, kami kelas tiga SMP dan orang tua Bayu memutuskan untuk pindah ke Samarinda setelah kelulusan. Malam itu, untuk terahir kalinya, kami berpelukan seperti ini di teras rumahku. Dan juga terakhir kalinya aku bertemu dengan Bayu.
“Kirim surat ya? Meski jauh Saint Seiya harus tetap saling berhubungan,” ucapnya saat itu yang langsung mendapatkan anggukan dariku.
“Kalo kirim surat aja gampang, bakal dibales nggak?”
“Pasti, Gery.”
“Janji?”
Bayu mengangguk. “Janji Saint Seiya.”
Namun, seperti semua cerita yang pernah tertuang dalam buku, balasan surat dari Bayu berhenti setahun tepat setelah kepindahannya ke Samarinda. Tidak ada satupun suratku yang dibalas setelah itu. Bahkan ketika aku mencoba menghubungi telepon rumahnya, tidak ada jawaban karena nomor itu tidak terdaftar. Selama beberapa bulan, aku tanpa henti mencoba menghubungi Bayu dengan semua cara yang aku bisa, namun tanpa hasil. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk melepaskan Bayu namun tidak melupakannya.
“Kamu sendiri apa kabar Gery?”
Aku melepaskan pelukan Bayu dan menatapnya. Tipikal Bayu. Dia selalu ingin orang lain menjawab pertanyaannya lebih dulu daripada menjawab apa yang ditanyakan kepadanya. Sesuatu yang dulu selalu membuatku gerah karena dia tidak akan pernah memberikan jawaban sebelum pertanyaanya dijawab. Namun sekarang, hal itu justru membuat senyumku mengembang.
“As you see, aku baik-baik aja.”
“Kok kamu jadi ganteng gini sih? Perasaan dulu gantengan aku kemana-mana.”
“Hahahaha. Kamu bisa aja. Anyway, kok bisa jadi Guru disini? Perasaan dulu kamu nggak pernah bilang pengen jadi guru.”
Raut muka Bayu berubah setelah aku menanyakan itu dan rasa ingin tahuku menyeruak ketika kemudian Bayu melangkahkan kakinya masuk ke ruang kelas dan duduk di salah satu kursi. Aku mengikutinya.
“Inget nggak dulu siapa yang selalu sembunyiin tangannya di laci?” tanyaku ketika kami duduk bersisian. Melihat laci meja itu tiba-tiba mengingatkanku akan satu hal.
Hanya senyuman yang aku dapat dari Bayu. Entah kenapa, Bayu memang suka menyembunyikan tangannya di laci di bawah meja kalau pelajaran sedang berlangsung. Tangannya hanya dikeluarkan kalau dia butuh menulis atau mengangkat jari untuk menjawab pertanyaan guru. Satu hal yang katanya masih dilakukannya ketika SMP.
“Mungkin karena memang aku pengen inget lagi kenangan masa kecilku makanya aku jadi Guru.”
Tawa kecilku keluar ketika mendengar jawaban pertanyaanku sebelumnya. “Alasan yang amat sangat personal, Bapak Guru Bayu.”
Dengan pelan, Bayu meninju lenganku sebelum tawanya sendiri pecah. “Kadang, kita butuh alasan yang sangat personal buat ngelakuin sesuatu kan? Sekalipun itu nggak masuk akal.”
Aku mengangguk. “Jadi?”
Bayu memandangku. “Apanya yang jadi?”
“Kenapa jadi Guru? Mungkin kalau di sekolah lain akan beda, tapi ini di sekolah kita, sekolah kamu dulu. Pasti ada alasan lain kan?”
Bayu mengangkat kedua bahunya. “Aku sendiri nggak tahu kenapa pengen jadi Guru disini. Mungkin karena memang alasan personal yang aku bilang tadi.”
Ingin rasanya aku membantah alasannya namun pada akhirnya, aku hanya mampu menarik nafasku dalam. Mungkin ada alasan yang tidak ingin diceritakan Bayu kepadaku.
“Udah ada Bayu junior belum?”
Terpisah begitu lama dan sama sekali tidak pernah mendengar kabar apapun dari Bayu membuat pertanyaanku terdengar begitu wajar kan? Namun, sekali lagi raut muka Bayu berubah ketika aku menanyakan itu hingga lagi-lagi, rasa ingin tahuku menyeruak. Apakah selama 16 tahun aku tidak berhubungan dengannya, Bayu berubah menjadi sosok yang berbeda?
“Kamu sendiri ghimana?”
“Keberatan kalau kamu jawab pertanyaanku dulu? Untuk kali ini aja?”
Bayu menghela nafasnya sebelum menatapku. “Pernikahanku kandas setahun yang lalu. So, I’m single now. Nggak ada Bayu junior dalam empat tahun pernikahanku, Gery.”
Aku berharap mendengar jawaban selain yang baru diberikan Bayu karena apa yang baru dikatakannya sama sekali mengejutkanku. Namun, sekali lagi, takdir seperti memainkan kartu kehidupan kami di area yang sama.
“Boleh aku bilang kalau hal itu menggelikan, Bay?”
Bayu menatapku aneh. Seolah apa yang baru aku katakan sangat tidak sesuai dengan apa yang dia ucapkan. Namun, aku yakin Bayu akan setuju denganku jika tahu apa yang akan aku katakan selanjutnya.
“Aku sedang dalam proses perceraian sekarang. Kamu lebih hebat karena mampu bertahan selama empat tahun sedangkan pernikahanku hanya berusia dua tahun, Bay.”
Guntur menggelegar membuat kami berdua terdiam dan sesaat kemudian, suara berisik terdengar jelas dari atap ruang kelas ini. Suara air hujan yang sepertinya sangat bernafsu untuk menumpahkan semua air yang menggantung sejak tadi. Ruangan menjadi sedikit gelap namun aku dan Bayu masih terdiam disana, saling berpandangan.
“Kenapa hanya dua tahun?”
Kali ini, giliranku untuk menghela nafas. Jawaban yang aku berikan selama beberapa bulan terakhir setiap telingaku menangkap pertanyaan itu hanyalah “Kami sudah tidak cocok lagi”. Klise memang, tapi apakah orang-orang perlu tahu alasan yang sesungguhnya? Namun, di hadapan sahabat masa kecilku ini, aku tidak ingin memberikan jawaban yang sama.
“Karena aku tahu bahwa pernikahanku sejak awal adalah sebuah kesalahan, Bay. Yang aku lakukan selama dua tahun itu hanyalah memaksakan cinta yang nggak akan pernah ada. Aku terperangkap dalam cinta masa laluku yang nggak pernah bisa aku ungkapkan.”
Hujan semakin deras hingga untuk sesaat, aku lupa bahwa London berada ribuan kilometer jauhnya dari tempatku berada. Angin yang cukup kencang mampu membawa air hujan masuk ke kelas hingga aku sempat menggigil kedinginan. Bayu hanya menempelkan telapak tangannya di lenganku, seperti saat yang kami habiskan berdua ketika hujan turun berpuluh-puluh tahun yang lalu. Satu lagi hal yang tidak berubah dalam kehidupanku. Bahwa Bayu masih menjadi sosok yang sama seperti yang selalu aku ingat.
“Siapa cinta masa lalumu itu, Gery? SMA atau kuliah?”
Aku tersenyum. “Bahkan, nggak ada yang ngalahin cinta yang datang sebelum itu.”
Bayu menautkan alisnya, pasti heran dengan jawaban yang aku berikan. Namun, aku memang mengatakan yang sesungguhnya. Cinta masa laluku sedang adalah pria yang sedang duduk di sebelahku saat ini, yang sedang meletakkan tangannya di lenganku sebagai seorang Guru Bahasa Inggris di sekolah kami dan yang namanya tidak pernah sekalipun terhapus dari ingatanku.
“Kapan kamu mau jatuh cinta Bay?”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dariku ketika aku dan Bayu sedang duduk bersisian dengan peluh mengalir dari kedua tubuh kami setelah menyelesaikan lari sore kami mengelilingi stadion kota. Saat itu, kami sama-sama duduk di kelas 3 SMP. Ujian akhir untuk mata pelajaran Olahraga mengharuskan kami lari selama tiga puluh menit dan berapa banyak putaran yang bisa kami tempuh dalam waktu itu. Sejak seminggu lalu, aku dan Bayu memang merencanakan untuk lari setiap sore.
“Hayo, lagi jatuh cinta ya?”
Dengan tampang mengelak aku menatap Bayu. “Enggak! Kok jadi aku? Kan tadi aku nanya kamu.”
“Ngaku aja lah Ger, lagi jatuh cinta ama sapa?”
“Apaan sih kamu Bay. Urusanku lah mau jatuh cinta sama sapa.”
Yang terjadi adalah, jantungku berdegup begitu kencang ketika Bayu menanyakan dengan siapa aku jatuh cinta. Mengenal Bayu sejak kelas 3 SD membuatku merasakan sesuatu yang berbeda setiap kali bersamanya. Aku benar-benar tidak tahu apa namanya tapi yang pasti, ada yang berbeda.
“Betapa beruntungnya wanita yang jadi cinta di masa lalumu.”
Kalimat itu membuat mataku kembali menatap Bayu. Sejalan dengan usiaku yang semakin bertambah, aku semakin sadar perasaan berbeda yang aku rasakan setiap kali bersama Bayu adalah cinta. Aku menyayanginya lebih dari sekedar sahabat. Berulang kali aku mencoba untuk berpikir bahwa apa yang aku rasakan terhadap Bayu hanyalah sekedar perasaan anak berusia 14 tahun namun aku gagal. Semakin aku menyangkalnya, aku semakin yakin bahwa apa yang aku rasakan terhadap Bayu adalah perasaan cinta. Hingga kemudian, aku sadar bahwa pria lebih menarik perhatianku daripada wanita. Semua karena perasaanku terhadap Bayu.
“Aku nggak yakin apa dia ngerasa beruntung jika tahu, Bay,” sahutku.
“Kenapa?”
Dorongan yang sebelumnya sama sekali tidak pernah terpikir akan muncul, mendorongku begitu kuat kali ini. Perlahan, aku mengulurkan tanganku untuk meremas tangan Bayu. Aku bisa melhat keterkejutan di wajahnya namun dia tidak menarik tangannya. Pun ketika kami saling bertatapan.
“Kita udah sama-sama jadi pria dewasa Bay, jadi aku mohon, apapun yang akan kamu dengar, jangan anggap itu sebagai sebuah gurauan. Tujuh belas tahun aku berusaha untuk menjelaskan pada diriku sendiri tentang ini tapi aku nggak bisa. Sekarang, aku nggak akan nyia-nyiain kesempatan yang aku punya,” Aku menarik nafasku. “You’re the love of my past, Bay. Butuh waktu begitu lama buat aku sadar bahwa apa yang aku rasain ke kamu lebih dari sekedar perasaan sayang sebagai sahabat. Jangan tanya kenapa karena aku nggak tahu.”
Keberanian serta perasaan yang tersimpan selama tujuh belas tahun yang aku lalui tanpa bisa bertemu dengan Bayu mengalahkan logikaku. Yang terpenting bagiku saat ini adalah Bayu tahu bahwa setelah sekian lama, aku masih mengingatnya dengan cara yang paling spesial. Jika Bayu marah dan menganggapku gila atau jika ternyata dia orang yang homophobic, aku berani mengambil resiko untuk dibenci olehnya. Setidaknya, Bayu sekarang tahu.
Semua terjadi begitu cepat hingga reaksiku hanyalah diam ketika lengan Bayu terulur dan mendarat di tengkukku sebelum menarik wajahku mendekat dan mengunci bibirku. Aku hanya mampu bersikap pasif ketika ciuman Bayu semakin dalam sebelum akhirnya dia melepaskannya.
Aku bisa merasakan bahwa tubuh Bayu gemetar dan dengan tanganku, aku menangkap kedua lengannya dan menggenggamnya erat. Berharap itu mampu meredakannya. Kami saling bertatapan dalam jarak yang begitu dekat hingga kami seperti tidak peduli dengan hujan yang semakin deras di luar ruangan ini. Ada luka dalam tatapan Bayu dan sedetik kemudian, dia menyandarkan kepalanya di bahuku dan terisak.
“It’s OK Bay, it’s OK…”
Lenganku dengan lembut membelai bahu Bayu dan menyusupkan jemariku di rambutnya yang sudah mulai panjang. Aku membiarkan Bayu melepaskan apapun yang sedang dirasakannya tanpa ingin menanyakan satu hal pun kepadanya. Apa yang baru terjadi diantara kami cukup untuk memberiku jawaban atas apa yang dirasakan Bayu. Bagiku, itu lebih dari cukup. Meminta penjelasan dari Bayu terdengar terlalu berlebihan saat ini jadi aku hanya membiarkan tangisnya mereda.
“Kamu keberatan kalau kita ngobrol di tempat lain, Bay?”
Bayu mengangkat wajahnya dan berusaha untuk mneyeka air matanya. Aku merogoh skau celanaku dan mengulurkan sapu tanganku kepadanya. Mungkin tidak akan bisa menghapus rona merah akibat apa yang baru saja dilakukannya, namun paling tidak bisa mengeringkan air matanya.
“Masih hujan, Ger,” katanya sambil memandang keluar melalui pintu ruang kelas.
“Aku bawa mobil.”
Setelah itu, kami hanya saling berpandangan. Ada begitu banyak cerita yang harus kami bagi dan jika memang itu membutuhkan waktu satu malam ataupun satu minggu, aku akan dengan senang hati menghabiskannya bersama Bayu.
Entah kapan hujan akan berhenti namun berada di ruang kelas 3 SD Lintang Kidul 03 bersama Bayu terasa jauh lebih menyenangkan daripada semua tempat yang pernah aku singgahi ketika hujan tiba. Disini, aku bersama cinta masa laluku yang mungkin juga akan menjadi cinta masa depanku. Aku tidak tahu pasti kemana takdir akan membawaku setelah ini, aku hanya ingin menikmati saat ini. Sekarang. Ketika hujan menemani kami berdua.
Setelah lumayan lama terbengkalai akhirnya diupdate juga
@kiki_h_n : Yg ini mustinya sih lumayan banyak
@adinu : yup! tinggal posting aja *wink-wink*
@rarasipau : hahahaha,di warung sebelah sih dipost nya
@habibi : Aduh, kata2nya manteb bgt! Cerita2ku kurang bikin galau ya? hihihihi
@hent4 : It's really nice reading your comment, thanks a lot! Berumur??? Hadeh, aku kan belum tua2 banget Masih juga di pertengahan kepala dua
@rulli arto : Thanks youuuuuuuuuu!!!
@yuzz : aku juga mau!!! hehehehe
Colek2 @AwanSiwon @arieat @bi_ngung @tonymonster
ada Sequel ny ga?hehe...
#Ngarep