It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Lagi2
klo boleh izin copas buat kolpri ya mas abi.. boleh ga?
ma kasih mas sbelumnya..
ternyata cinta bisa bikin kejem, seremmm
Cerita cinta di ujung jalan sm black night, kok gw ga kena point-nya ya??
G kya cerita2 sblumnya..ini kya mkan short cake strawberry,tp br nyomot vla-nya+blm smpet gi2t berry-nya (analogi aneh,hehe)..
updet lg donk
“Darius?”
Kontan, aku langsung menghentikan langkahku begitu mendengar namaku dipanggil. Diantara begitu banyak orang yang berlalu lalang di bandara Ngurah Rai sore ini, aku sama sekali tidak mengharapkan seseorang akan mengenaliku.
Begitu aku menemukan sosok yang suaranya tidak begitu aku kenali tadi, dunia di sekitarku seperti membeku sesaat. Demi apa ada Alvin disini?
“Hey!”
Sapanya dibarengi dengan senyuman yang selalu menghiasi wajahnya, sekalipun mungkin suasana hatinya sedang tidak ingin bersinkronisasi dengan senyuman itu. Tidak ada yang berubah dari tampilan terakhir Alvin yang aku lihat dua tahun yang lalu. Masih pria yang sama dengan kacamata tanpa bingkainya, dengan potongan rambutnya yang selalu dibiarkan tidak lebih dari 3 cm dan tampilannya hari ini akan membuat setiap wanita pasti menoleh kepadanya dan setiap pria gay berharap untuk bisa tahu namanya.
“Alvin?”
Dengan keterkejutan yang masih menguasaiku, hanya itu yang mampu keluar dari mulutku. Aku juga hanya diam ketika lengan Alvin terulur untuk memelukku dan merasakan 5 o’clock shadow-nya menyentuh pipiku hingga membuat tubuhku mengirimkan sensasi yang membuatku terkejut. Ini tidak mungkin, batinku.
“Kamu apa kabar?”
“Aku baik-baik aja. Kamu sendiri?”
Alvin hanya mengangguk sebelum akhirnya melepaskan pelukan kami dan membuat pandangan kami kembali bertemu.
“Glad to see you again Darius. It’s been…how long?”
“Dua tahun,” jawabku mantap. “Nggak nyangka kita ketemu disini.”
Alvin mengangguk. “Wanna have some coffee? Or are you in a rush?”
Aku menarik nafasku dalam sambil berusaha untuk memikirkan jawaban macam apa yang harus aku berikan. Menolak Alvin saat ini sepertinya salah, dalam beberapa hal. Alasan kesopanan dan for good old days memories, namun mengiyakan ajakannya akan membuatku menimbulkan sepercik rasa bersalah kepada pria yang saat ini mungkin masih menunggu pesawatnya untuk take off beberapa menit lagi.
“Hard to resist I guess.”
“Starbucks?”
“Masih suka Starbucks ya?”
“Hahahaha. Itu satu hal yang nggak akan pernah berubah aku rasa. Shall we?”
Kami kemudian berjalan meninggalkan International Departure Terminal dan menyusuri koridor untuk menuju ke salah satu gerai Starbucks yang baru dibuka. Sejujurnya, aku bukan penikmat kopi tapi Alvin selalu mampu membawaku untuk kembali ke Starbucks sekalipun aku tidak ingin.
“Nganter siapa tadi?”
Aku hanya memberikan senyumku. Berharap aku tidak perlu menjelaskan siapa yang dimaksud oleh Alvin. Alvin pun hanya tersenyum.
“I bet he’s one damn lucky guy.”
“Aku rasa, akulah pria yang beruntung itu.”
“Nggak nyangka ya udah dua tahunan lebih kita nggak ketemu?”
Aku mengangguk. “Life has a strange way for us, hasn’t it?”
“Sekalipun Bali nggak terlalu gede, tetep aja butuh waktu yang cukup lama buat kita ketemu lagi. A coincidence? Fate?”
“Mungkin memang udah saatnya kita ketemu lagi,” ucapku ketika kami berdua akhirnya sampai di depan Starbucks.
“Kamu keberatan cari meja buat kita? Rasanya aku tahu apa yang harus aku pesan buat kamu.”
Dengan itu, Alvin berlalu dari hadapanku dan langsung menuju konter sementara aku melangkahkan kakiku menuju ke meja yang letaknya tidak terlalu dekat dengan keramaian orang yang berlalu lalang.
Kita? Sudah lebih dua tahun sejak aku dan Alvin menyebut kata itu. Hubungan kami yang berjalan selama tiga tahun berakhir karena kami merasakan bahwa hati kami sudah tidak terhubung satu sama lain. Ada jarak yang terlampau jauh diantara kami hingga jika salah satu dari kami memutuskan untuk menunggu atau mengejar, kami akan menyerah. Alasan yang mungkin tidak logis mengingat kami sudah tiga tahun bersama. Tapi, memang itulah yang terjadi. We separated in a good way. Without any harsh feelings or anger. Kami berpisah karena sadar itu yang terbaik untuk kami berdua.
“So, here’s your order Sir.”
Segelas White Hot Chocolate tersaji di mejaku sementara Alvin mengambil tempat di hadapanku sembari meletakkan satu tall Americano yang memang selalu menjadi tujuannya untuk datang ke Starbucks. No sugar. No cream. No milk. Pure coffee.
“Thanks.”
“See? Aku masih inget pesanan favorit kamu disini.”
“Dari dulu, kamu kan memang punya ingatan super.”
Itu bukan sekedar pujian karena Alvin memang memiliki ingatan setajam samurai. Bahkan, hal paling kecil yang tidak penting sekalipun, dia akan ingat. Sesuatu yang selalu membuatku takut sekaligus bangga dulu ketika kami masih bersama.
“Aku rasa, kita berdua udah bisa pulih dari rasa sakit itu.”
Kalimat itu meluncur dengan tiba-tiba dari mulut Alvin. Aku tidak yakin apa yang dimaksud dengan rasa sakit itu. Mungkinkah rasa sakit dari berakhirnya hubungan kami? Aku hanya mampu diam sambil menyeruput white chocolate-ku. Mataku menangkap pandangan Alvin yang mengembara pada lalu lalang orang-orang beberapa meter jauhnya dari meja kami.
“Are you happy with him, Darius?”
Pandangan Alvin membuatku merasa bahwa dia ingin aku menjawab bahwa aku tidak bahagia. Well, ini hanya perasaanku saja. Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk Alvin mendapatkan penggantiku kan?
Aku mengangguk. “I’m happy with him, Vin. Kamu sendiri? Aku harap kamu juga ngerasain hal yang sama.”
Hanya senyum tipis yang diberkan Alvin untuk menjawab pertanyaanku sebelum menyeruput Americano-nya. Mengenalnya selama enam setengah tahun sekalipun sudah dua tahun kami sama sekali tidak berhubungan, aku bisa mengatakan bahwa senyuman Alvin berarti bahwa dia tidak yakin ingin menjawab pertanyaanku. Lebih tepatnya, tidak yakin akan jawaban yang harus diberikannya.
“Don’t give me that look, Alvin.”
Tawa Alvin pecah seketika, tepat ketika aku menyelesaikan kalimatku. Ada apa ini dengan hatiku yang tiba-tiba berdetak jauh lebih cepat hanya dengan melihat dan mendengar tawa Alvin? Aku menyeruput kembali White Hot Chocolate-ku berharap itu akan membantuku mengusir apapun yang sedang melintas di pikiranku saat ini.
“Siapa pria beruntung itu, Darius? Apa dia lebih cakep dari aku?”
Jika Alvin mengajukan perrtanyaan itu bukan dengan nada bercanda seperti ini, aku pasti merasa bahwa Alvin benar-benar sedang dilanda sesuatu yang membuatnya hingga harus menanyakan sesuatu yang sifatnya personal seperti itu. Namun, aku menganggap pertanyaan Alvin sebagai sebuah candaan karena dari dulu, Alvin selalu menjaga privasiku dan percaya sepenuhnya padaku.
“Kalo cakep ya, beda-beda tipis lah. Darren nggak suka ber-5 o’clock shadow. Dia pria yang sangat rapi dan bersih. But, he’s away taller than you. Jadi, kamu menang dalam hal itu.”
“Menang?” Alvin mengerutkan keningnya ketika satu kata itu mengusiknya.
Aku tersenyum. “Dengan kamu, aku nggak perlu jinjit kalau mau cium. With Darren, meskipun dia udah menundukkan kepalanya, aku masih harus tetap jinjit.”
Entah kenapa aku menyebutkan tentang hal itu sekarang. About the kiss, I mean. Aku bisa melihat wajah Alvin sedikit terkejut mendengar apa yang aku ucapkan. Namun, sedetik kemudian, ekspresi itu menghilang dari wajahnya, digantikan tawa kecil yang membuatku merasa bahwa Alvin tidak menganggap itu sebagai sinyal yang sengaja aku kirimkan kepadanya untuk ditanggapi.
“D squared dong?”
“Nggak kaget, Vin. Banyak orang yang nyebut gitu.” Aku kembali menyeruput White Hot Chocolate-ku. “What about you, Vin? Rasa-rasanya, dari tadi kita ngebahas tentang aku terus.”
Alvin menghela nafasnya sebelum kembali membiarkan Americano di hadapannya meluncur membasahi tenggorokannya. Aneh rasanya bahwa di cuaca yang lumayan panas seperti ini, kami berdua memilih untuk menghabiskan dua minuman panas yang akan membuat kami berkeringat setelahnya. Namun, dari dulu, aku memang tidak terlalu menyukai minuman dingin. Alvin juga seperti itu. We have so many things in common and I guess, it hadn’t changed a bit.
“Aku bahagia dengan Luc. Dia pria yang menyenangkan. Hanya saja….entahlah Darius. Kadang ada saat dimana kita nggak yakin dengan pasangan kita sendiri kan? Sesempurna apapun hubungan yang kita miliki, pasti ada saat-saat seperti itu. I’m in that state right now.”
“Aku percaya semua akan baik-baik aja.”
Alvin mengangkat kedua bahunya. “Nothing’s wrong in my relationship with Luc. I love him and he loves me. It’s just…I don’t know.”
“Mungkin kalian harus bicara?”
“Apa yang harus dibicarakan Darius? Nggak ada masalah dalam hubungan kami. Aku juga nggak mau memicu sesuatu yang nggak ada.”
Aku mengulurkan tanganku untuk menepuk tangan Alvin pelan. Just to show my sympathy. Hal itu dibalas Alvin dengan senyuman yang selama 3 tahun kami bersama selalu menjadi hal yang aku minta darinya setiap pagi. That smile was the best starter of my days.
“Kita dulu juga sering kayak gitu kan? In the end, we always found a way to solve it.”
Alvin mengangguk. “Kamu selalu bisa bikin hubungan kita balik ke normal lagi, Darius. Dengan Nasi Goreng Beras Merah buatanmu itu. Damn! How I miss that dish of yours!”
Aku tertawa. Berawal dari coba-coba, Alvin memang kemudian menyukai nasi goreng buatanku itu. Setiap kali hubungan kami diselingi dengan beda pendapat dan sedikit perang dingin, aku selalu membuatkan Alvin nasi goreng itu dan kami kembali seperti dua orang remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. It always worked.
“Datanglah kapan-kapan ke rumah, ntar aku masakin.”
Hatiku serasa berhenti berdetak begitu kalimat itu meluncur dari mulutku. What the hell did I just say? Aku benar-benar tidak menyadari bahwa aku mengundang Alvin untuk datang ke rumah dengan kalimat itu.
“I don’t wanna cause a trouble between you and Darren, Darius.”
“Darren tahu tentang hubungan kita dulu dan aku rasa, dia nggak akan keberatan kalau aku undang kamu ke rumah. Mungkin, kamu bisa ajak Luc?”
Alvin terdiam. Namun, tatapan kami saling bertemu seolah Alvin ingin mengatakan sesuatu yang tidak ingin diucapkannya melalui tatapannya. Aku kemudian kembali menyeruput White Hot Chocolate-ku demi menghindari tatapan itu lebih lama lagi. Darren memang tidak pernah mempermasalahkan hubungan-hubungan yang aku miliki sebelumnya. Karena dia belum pernah bertemu dengan Alvin dan Erik, kedua mantanku. Darren juga bukan pria pencemburu hingga aku yakin, dia akan baik-baik saja jika aku memberitahunya bahwa aku berniat mengundang Alvin dan Luc untuk makan malam.
“I don’t think that’s a good idea, Darius. Aku harus menjaga perasaan Darren, begitu juga Luc. Bagaimanapun juga, pernah ada sesuatu yang spesial diantara kita.”
Aku menelan ludahku, berusaha untuk menerima penolakan Alvin yang seharusnya aku sambut dengan sorakan gembira. Seharusnya aku mengamini ucapannya kan? Aku benar-benar tidak tahu apa yang sedang melintas di kepalaku saat ini. Menghianati Darren adalah hal terakhir yang terpikir olehku, bahkan memikirkannya pun aku tidak berani. Tapi, apa yang baru aku katakan adalah sesuatu yang bisa menuju ke arah itu.
“I’m sorry, Alvin. I shouldn’t have said that.”
“It’s ok.”
Keheningan diantara kami muncul setelah Alvin mengucapkan dua kata itu. Ada sedikit kecanggungan yang aku rasakan dan aku merutuki diriku sendiri karena menjadi penyebab akan rasa canggung itu.
“Darius…”
“Alvin…”
Aku hanya mampu mengeluarkan tawa kecilku begitu sadar bahwa kami sama-sama ingin mengatakan sesuatu. It happened a lot in our past relationship. Biasanya, Alvin akan mengalah dan memintaku untuk mengutarakan apa yang ada di pikiranku lebih dulu.
“One thing hasn’t changed between us I guess.”
Alvin kemudian menghabiskan Americano-nya sebelum kembali memandangku.
“Banyak hal yang nggak akan berubah, Darius. Aku rasa, sampai kapanpun, hal-hal itu akan selalu ada. Dalam setiap hubungan.”
“Aku tahu.”
“Jadi, apa yang pengen kamu bilang?”
Aku menghela nafasku. “I just want to say that…it’s nice seeing you again after two years. Alive and well.”
“I feel the same way, Darius.”
Rasanya, kami berdua punya sesuatu yang ingin disampaikan namun terlalu takut dan canggung hingga kemudian, menahan apapun yang ingin kami katakan menjadi pilihan yang terbaik.
“I gotta go, Alvin. Ada sesuatu yang harus aku lakukan.”
Aku kemudian beranjak dari kursiku diikuti Alvin dan disinilah kami. Berdiri saling berhadapan dengan rasa canggung yang masih menyelimuti kami. Alvin kemudian mengulurkan lengannya untuk memelukku, seperti yang dilakukannya tadi ketika kami bertemu. 5 o’clock shadow-nya kembali menyentuh pipiku dan mengirimkan sensasi yang sama seperti yang selalu aku rasakan setiap kali dia melakukannya.
“Baik-baik ya? I hope your relationship with Darren will last for a long long time. I only want you to be happy, Darius.”
Kalimat yang sama meluncur dari Alvin dua tahun lalu ketika kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. He asked and wanted me to be happy.
“Kamu juga, Alvin. Whatever obstacles with your relationship, I hope that you’re going to find a way to turn it back on the right track.”
Alvin mengangguk sebelum melepaskan pelukan kami. “Kita berdua seperti dua orang yang nggak akan ketemu lagi, Darius.”
Tawa kecilku keluar untuk membalas ucapan Alvin. “We will see each other again, right?”
“Only if you want to.”
Ada keraguan yang menyusupiku saat ini. Berhubungan kembali dengan Alvin akan membuka begitu banyak kesempatan yang tidak ingin aku bayangkan. Sekalipun saat ini kami sudah memiliki pasangan masing-masing, kami tetaplah dua orang yang pernah saling mencintai. Kami pernah memiliki perasaan yang sama seperti yang kami rasakan saat ini dengan Darren dan Luc. Apakah ada jaminan bahwa perasaan kami tidak akan menguntit kami sekalipun ada orang lain yang mengisi hati kami saat ini?
“Give me your phone number, I’ll text you,” ucapku sambil mengeluarkan ponselku dari saku celanaku.
“Apakah kamu yakin, Darius?”
Tatapan kami kembali bertemu dan aku bisa melihat dengan jelas bahwa Alvin memiliki keraguan yang sama denganku. Aku bisa melihat dari cara dia menatapku.
“Nggak ada salahnya kan kalau kita tetep keep in touch? As friends.”
Alvin terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya dia memberitahuku nomor ponselnya dan aku dengan cepat menyalinnya ke ponselku dan menyimpannya. Akan selalu ada kesempatan buatku untuk menghapusnya nanti. For now, this is all I need.
“Jangan kaget kalau misalnya Luc yang membalas smsmu atau angkat telponmu.”
Aku mengangguk. “Noted,” ucapku. “Oke, lebih baik aku pergi sekarang. Thanks for the White Hot Chocolate, Vin. Mungkin aku bisa bikin makanan favoritmu sebagai balasannya.”
Alvin hanya tersenyum. “Just let me know.”
“Jaga diri baik-baik, Vin.”
“Kamu juga.”
Dengan kalimat itu, aku melangkahkan kakiku menjauh dari Alvin membuatku menghentikan langkahku dengan kalimatnya, ketika jarak kami masih belum begitu jauh.
“Wanna have a dinner tonight, Darius?”
Aku memalingkan wajahku untuk menatap Alvin dan sebuah senyum terpasang di wajahku. “I’ll text you later.”
Alvin hanya mengangguk sambil melambaikan tangannya bersamaan dengan kakiku yang kembali melangkah.
Penyesalan memang selalu datang terlambat. Aku tidak menyesali pertemuanku dengan Alvin ataupun setiap kalimat yang telah meluncur dari mulutku. Namun, aku tahu bahwa penyesalan itu akan datang suatu hari nanti sebagai akibat dari apa yang terjadi antara aku dan Alvin beberapa menit yang lalu.
“Be nice to me, Dear life. I beg you.”
Semoga kehidupan akan berpihak dengan semua yang aku miliki sekarang. Bukan dengan kenangan masa lalu yang mencoba untuk mengambil alih pikiran dan hatiku saat ini.
Life, please be kind to me….
Maaf semuanya, ANTOLOGInya baru bisa dilanjut lagi Bukan karena nggak ada ide tapi lagi ke-distract ama banyak hal.
@arieat : Sadis ya? Hehehehe. Terinspirasi dari lagunya Carrie Underwood yang Two Black cadillacs meski gak persis sama sih
@sly_mawt : Apanya yg seriously? hahahaha. Thank you!!!!!!!!!!
@yeltz : Ntar kalo sad ending diprotes lagi knapa sad ending mulu, hahahaha
@rarasipau : Iya, lagi mood bikin cerita2 yg agak 'hitam'
@kiki_h_n : Iya, udah sekitar segitu. banyak ya? Boleh aja kok, asal gak dipublish/disadur aja
@BB3117 : Thank you for visiting and reading and commenting
@dirpra : ah, bukannya cinta itu memang kejam? membutakan kan?
@dwian : maaf, hehehe. Baru sempet diupdate sekarang
@Different : Apanya yang lagi?
@andreaboyz : Thanks for the response! ya, ibarat hidup, bikin cerita juga kadang di bawah akadang di atas kan? *analogi yang nggak nyambung* Anyway, will try to make better stories next. Thank you!!!!!
@keichikoji : Ini udah diupdate ya?
hehe.. mau si save di kompi biar bisa dibaca ulang.