BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

ANTOLOGI - THIS MOMENT

1131416181956

Comments

  • pas tengah malemm.. jadi lebih berasa >.<
  • happy ending nya baguus lmyn bkn terharu :)
  • auhhh..... "This will be another beginning"..
    yeahhh... but seperti biasa... gak ada lanjutannya..huhuhu..
    berharap ini juga nanti dilanjutin seperti best man..
    suka sama karakter Alo.. :\">
  • mas iyas.... tuh kan gt. bikin makin jatuh cinta ma tulisannya mas iyas.
  • just "say hello" message. but for sure, guling2 sm cekikikan sndiri di kmr, ahaha.

    *pengharapan selalu ada, walau itu pun pahit untuk ditunggu.
  • LIFE’S GAME


    Mataku masih tertutup namun sejatinya, aku sudah terbangun entah sudah berapa menit yang lalu. Rasanya, aku lebih memilih untuk tidak membuka mata dan pura-pura tidur hingga pria disampingku ini bangun dan pergi. Does that make me sound like a coward? Maybe, but to be honest, I’m really scared to open my eyes right now.

    Aku memiringkan tubuhku ke kanan dan akhirnya membuka mataku. Kamar apartemenku masih belum berubah bentuk sejak tadi malam. Catnya pun masih sama seperti ketika aku pertama kali menempati apartemen ini. Gosh! Apakah aku hanya berhalusinasi tadi malam? Atau apakah aku terlalu mabuk sampai tidak sadar apa yang aku lakukan? No! kalau aku mabuk, pikiranku pasti masih kacau sekarang dan tidak mungkin aku terbangun pada jam…7.15? Aku meraih arlojiku dan melihat jam menunjukkan pukul 7.15. Masih terlalu pagi untuk bangun di akhir pekan. Tapi, aku benar-benar tidak bisa tidur lagi.

    Semalam pasti ada roh lain yang menyusupi diriku hingga aku berakhir di tempat tidurku bersama orang lain. Seorang Pascal tidak akan jatuh dalam situasi seperti tadi malam tapi mungkin Pascal yang selama ini aku kenal sedang berlibur.

    Argggh!! Aku menjerit kesal dalam hati.

    Aku kembali ke posisiku semula tanpa lupa memejamkan mataku meskipun godaan untuk membukanya sangat besar. Tanpa melakukannya pun, aku masih ingat wajah pria yang entah masih benar-benar tertidur atau memang takut untuk membuka mata seperti yang aku rasakan sekarang.

    Akhirnya, aku membuka sedikit mataku dan melihat bahwa pria disampingku ini sepertinya masih terlelap. Hanya hidung mancungnya yang menonjol diantara wajahnya. Rambut-rambut halus yang mulai tumbuh dan menghiasi wajahnya, membuat pria di sebelahku ini makin terlihat seksi. Aku kemudian melipat kedua tanganku diatas dada.

    It’s awkward.

    Aku segera kembali menutup mataku ketika mendengar sebuah erangan pelan sebelum merasakan sebuah lengan mendarat di dadaku, tepat di tempat aku melipat kedua tanganku. Jantungku tiba-tiba berdegup semakin kencang dan aku menelan ludahku.

    Seperti ingin benar-benar membuatku gugup meskipun mataku masih terpejam, aku kemudian merasakan sebuah sapaan di telingaku.

    “Good morning.”

    Ucapan itu kemudian diikuti sebuah kecupan singkat di pipiku yang membuatku kemudian membuka mata perlahan, seolah aku baru juga bangun tidur.

    Apa yang aku lihat pertama kali?

    Sebuah senyum lebar dan tatapan yang entah sudah berapa kali aku katakan kepada diriku sendiri tadi malam. That stare must’ve had a magic or spell. I still gasped for air like last night.

    “Hi.”

    Terdengar sangat tolol? Mungkin. Namun, hanya itu yang bisa aku ucapkan.

    “Kamu kenapa? Keliatannya kok bingung gitu.”

    Aku menggeleng pelan. “Well…I don’t know.”

    “Will this make you feel better?”

    Dengan itu, pria bernama Craig yang semalam berbagi tempat tidur denganku, mendekatkan tubuhnya yang sudah dekat itu lalu meraih bibirku. Bibir kami bertemu dan aku hanya bersikap pasif. Bukan apa-apa, aku hanya merasa tidak nyaman harus berciuman ketika bau mulutku tidak jauh beda dengan bau got di jalan. Berlebihan, I know…I know…

    “I guess you don’t like it?”

    “Well, it’s not that. I just feel…uncomfortable doing that before I brush my teeth.”

    Kali ini, suara tawa Craig memenuhi kamarku dan dia kemudian menyangga kepalanya dengan tangan kanannya. Jujur, aku semakin tidak nyaman berada sedekat ini dengannya. Sepanjang usiaku yang hampir mencapai 28 tahun ini, aku selalu menentang apapun yang berhubungan dengan sex without commitment aka one night stand. Buatku, siapapun yang melakukan ONS itu orang yang tidak punya perasaan dan berpikiran sempit. If it sounds like hypocrite, well, call me hypocrite then.

    Namun sepertinya aku termakan omonganku sendiri. Last night, for the first time in my life, I had one night stand with this guy. Dan bisa dibilang kalau aku sedikit menyesalinya sekarang. Bukan karena apa yang terjadi antara aku dan Craig, namun perasaan bersalah yang aku rasakan karena melanggar omonganku sendiri.

    “Kamu tahu nggak? I hadn’t done this for years.”

    Aku mengerutkan keningku, menunjukkan ketidak tahuanku atas maksud perkataan Craig.

    “I mean, hitting a guy at the bar and ended up in his room. I’m not against sex or anything, but it just didn’t appeal me for years. But, when I saw you, I didn’t know why I approach you and…now, here we are.”

    Ini bukan percakapan yang aku harapkan terjadi setelah apa yang kami lakukan semalam. One Night Stand yang selama ini aku saksikan di film atau berdasar cerita teman-temanku, tidak pernah atau bisa dibilang, jarang jadi seperti ini. I mean, they just leave you when you’re still sleeping, right? That’s how one night stand supposed to be ended.

    “Well, same case here.”

    Craig tersenyum. “Anyway, we had a great sex, didn’t we?”

    Jika saja aku mampu menyembunyikan rona merah yang sekarang menjalari wajahku, aku pasti sudah melakukannya. Seks tidak pernah menjadi topik favoritku. Bukannya aku masih menganggapnya tabu, hanya saja ada begitu banyak hal yang bisa dibicarakan selain urusan birahi.

    But, there’s no single lie in Craig’s words. We had a great sex last night. I couldn’t even remember the last time I had that passionate sex. And he was really good in bed.

    “Kamu tersipu?”

    Aku mengambil bantal yang aku pakai lalu menutupi wajahku. Aku tidak ingin Craig melihat betapa dia sudah membuatku sangat tersipu dengan ucapannya. Namun, sepertinya Craig bukan tipe yang suka dengan tindakanku. Aku merasakan bantal itu terangkat dari wajahku, digantikan oleh senyuman lebar Craig. Jantungku, jelas berdegup lebih kencang ketika Craig melakukannya.

    “Craig, stop that!”

    “What?”

    Ini sisi Craig yang tidak aku sangka ada dalam dirinya. Semalam, ketika dia mengajakku berkenalan, dia terlihat sangat tenang dan percaya diri. Sangat luar biasa mengontrol dirinya hingga kami sampai di apartemenku. Bahkan, dia meminta dengan sopan ketika akan menciumku. Berapa banyak pria yang sanggup mengucapkan kalimat permintaan ketika celana mereka sudah begitu sesak oleh nafsu? But, he did ask me.

    “Stop making me blush!”

    “Aha!”

    Dengan itu, Craig kembali merebahkan dirinya hingga aku bisa mengambil nafas dan menghilangkan rona merah di wajahku. Kemudian, aku menatap Craig.

    “Apa yang membuatmu datang ke Bali, Craig? Sepertinya, kamu bukan kesini untuk liburan.”

    Craig menghela napasnya sebelum mengedikkan bahunya. “Aku berencana untuk pindah kesini awal tahun depan. I haven’t been to Bali for years. Entah kenapa aku tiba-tiba ingin tinggal disini. Mungkin karena aku kangen tinggal di Indonesia lagi.”

    Kalimat terakhir Craig mampu menarik perhatianku lebih dalam. Mengejutkan mengetahui bahwa pria seperti Craig pernah tinggal di Indonesia sebelumnya.

    “Kamu pernah tinggal di Indonesia?”

    Craig menatapku dan mengangguk. “Waktu aku berusia satu tahun, orang tuaku pindah ke Jakarta hingga aku berusia sembilan tahun. Then, we moved back to England. Tapi, sekalipun hanya 8 tahun aku di Indonesia, ada begitu banyak memori yang masih aku simpan hingga sekarang. Something that I can’t forget.”

    “Kamu masih bisa ngomong Indonesia?”

    “Don’t try to speak Bahasa to me. I can’t remember any Indonesian words except Terima Kasih. I should’ve started learning it again.”

    “Well, aku rasa kamu memang harus mulai belajar lagi kalau memang mau pindah kesini.”

    Craig mengangguk. “Anyway, kamu juga bukan orang Bali kan? Nama kamu sama sekali nggak terdengar Indonesia buatku.”

    Kali ini, aku yang tertawa lebar. Bukan baru pertama kali ini orang menanyakan tentang namaku yang sangat tidak Indonesia, terutama nama panggilanku. Namun, karena terlalu seringnya aku ditanyai tentang hal ini, aku jadi tidak begitu memedulikannya lagi. Malas kan kalau harus mengulang cerita yang sama ratusan kali?

    “No. I was born and raised in Jakarta. Pindah ke Bali juga baru satu setengah tahun. It’s easier to be gay here although in Jakarta people don’t care at all about me being gay. But, still, I feel better here.”

    “It’s funny, isn’t it?”

    Aku mengerutkan keningku. “Apanya yang lucu?”

    “That you were born and raised in Jakarta and I lived in Jakarta for 8 years.”

    “That’s just a coincidence, Craig.”

    “I know.”

    Setelah itu, kami hanya terdiam. Mataku tentu saja tidak pernah lepas dari Craig karena entah sudah berapa tahun aku tidak terbangun dengan pria lain disampingku. My last boyfriend was like 3 years ago and I hadn’t been with a guy since then. Jadi, sebuah kenikmatan tersendiri mendapati ada pria tampan terbaring disampingku sekalipun apa yang kami lakukan semalam masih menyisakan sedikit sesal buatku. Again, it’s more to my personal point of view as I said before.

    “Kalau boleh tahu, kenangan apa yang masih kamu inget waktu tinggal di Jakarta?”

    Seketika, senyum Craig melebar ketika aku menanyakan hal itu. Well, at least, whatever memories he’s been keeping all these years must be the good ones.

    Craig menatapku. “You know what? Nobody ever asked me that question before. Aku selalu senang tiap kali ada yang bertanya tentang hal itu.”

    “Apa kamu pernah jatuh cinta atau ada anak laki-laki yang membuatmu tertarik?”

    “Hahahaha. I didn’t even know what love was at that time.”

    It’s getting interesting, I guess.

    “So, who’s that little boy?”

    “Aku ingat dengan jelas sosoknya, apalagi namanya yang sangat Indonesia sekali. Jati. Kami bertetangga dan sering main bareng. Sayangnya, kami hanya bertetangga selama kurang lebih dua tahun karena aku harus kembali ke Inggris. But, those two years I had with him, left a mark in my life.”

    “Kenapa? Bukannya dua tahun itu terlalu singkat untuk diingat anak sembilan tahun? I believe, you kept more memorable years in your life rather than those two years you had with that boy.”

    “Seharusnya seperti itu kan? Tapi, entah kenapa aku selalu ingat dengan Jati. Mungkin karena dia satu-satunya teman yang aku miliki yang selalu mengajakku main ular tangga dan monopoli. Aku, tentu saja selalu menang.”

    Jantungku berdegup lagi lebih cepat sekarang.

    “Dia anak yang menyenangkan. Ada satu kejadian yang bikin aku nggak bisa lupa dengan Jati. Aku ingat pulang sekolah hari itu, kami main seperti biasa di rumahku. Papa dan Mama sedang nggak di rumah, jadi hanya tinggal pembantu yang ada. Hujan di luar deras sekali dan kami berdua sangat ingin main hujan-hujanan. Tentu saja, pembantu di rumah nggak mungkin kasih izin. You know what we did? We locked her in her room from outside and then we played in the yard, singing, dancing and sleeping with our eyes closed and let the rain hit our faces. We opened our eyes at the same time and stared each other. Then, we kissed. Well, I kissed him actually.”

    Ada jeda sejenak sebelum Craig kembali melanjutkan kalimatnya.

    “Mungkin saat itu, kami nggak tahu apa-apa tentang dua pria berciuman itu salah but it was and will always be my first kiss. Bahkan, sekalipun mungkin terdengar nggak masuk akal, that moment changed the way I see girls. And then I started to have feeling toward boys.”

    Aku hanya terdiam mendengar cerita Craig. Alasannya memang tidak masuk akal, tapi siapa yang tahu dia berbohong atau tidak? I don’t know him well enough to decide. Yang membuatku terdiam adalah betapa Craig seperti menemukan kembali potongan masa kecilnya yang hilang dengan pertanyaan pembukaku tadi. Aku bisa melihat dengan jelas di wajahnya kalau dia senang memanggil kembali memorinya, terutama tentang dua tahun yang dilewatinya bersama teman masa kecilnya itu. Teman yang diciumnya pertama kali dan jika aku tidak salah menafsirkan, mempengaruhi dirinya untuk lebih menyukai pria daripada wanita.

    “Apakah teman masa kecilmu itu suka ngunyah permen karet?”

    Craig menatapku, seolah apa yang aku tanyakan kepdanya membuatnya terkejut. But, from the look on his face, he is surprised.

    “Well, I never knew the fun of chewing gum like he did. But, how did you know?”

    “Aku rasa, teman masa kecilmu itu juga nggak suka liat kamu naik pohon tinggi-tinggi kan?”

    Kali ini, Craig mendekatkan wajahnya kepadaku hingga jarak kami hanya tinggal beberapa inci. Wajahnya penuh dengan kebingungan. Aku juga merasa bingung melihat reaksinya seperti itu. Apakah dia masih ingin mengetahui kabar teman masa kecilnya itu?

    “Pascal, did you know Jati? Or do you know where he is now?”

    Kartu As.

    “I know him so well, Craig. Do you want to know where he is now?”

    “Tell me.”

    Aku tersenyum. His reaction is priceless at the moment.

    “Kamu memangnya mau ngelakuin apa kalau tahu dimana Jati sekarang? Mungkin aja dia udah nikah kan? Bahkan, mungkin dia nggak inget sama kamu.”

    “Well, aku yakin kalau ketemu dia dan cerita tentang semua yang pernah kami lakuin bareng, dia pasti ingat. Childhood memories are something you don’t want to forget, you know,” tatapan Craig masih terkunci kearahku dan mendapati dia sedekat ini, membuatku semakin ingin tahu bagaimana jika aku memberitahunya tentang Jati. “So, tell me, do you know him or where he is now?”

    Aku mengangguk, membuat Craig seperti menemukan harta karun bernilai jutaan dolar. Sesuatu dalam tatapannya membuatku tidak ingin membuatnya menunggu terlalu lama.

    “The funny thing is, you are talking to Jati right now, Craig. Should I answer your question where he is now?”

    Ada ketidakpercayaan dalam tatapan Craig dan aku sama sekali tahu bahwa dia tidak akan percaya dengan ucapanku. Namun, ada begitu banyak hal yang akan didengarnya hingga dia tidak akan memiliki keraguan sedikitpun bahwa akulah teman masa kecilnya itu.

    “You must be kidding me, Pascal.”

    “Firstly, my complete name is Pascal Indrajati. Some people call me Jati, just like little Craig used to call me. Kamu suka ngelempar batu ke jendela kamarku hanya supaya aku nggak bisa tidur siang kan? Aku yakin, Mama kamu pasti bakal marahin kamu abis-abisan kalau tahu kamu yang nyemplungin anak kucing ke kolam renang sampai dia mati. Aku yakin juga, kamu pasti belum lupa kan kalau kita berdua dirawat di rumah sakit, dengan tempat tidur sebelahan setelah acara hujan-hujanan itu? Kamu juga…”

    Craig langsung mengunci bibirku sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku. Ciuman ini lebih seperti ciuman yang diberikan oleh orang-orang yang menemukan seseorang yang telah dicarinya begitu lama. Aku tidak bilang bahwa selama ini Craig mencariku. Hanya saja, bagiku, ini sesuatu yang hanya bisa terjadi di novel atau film komedi romantis. Too impossible to happen in real life. Kali ini, aku membalas ciuman Craig. This kiss is more like a celebration to us. For finding each other again after so many years.
    Bahkan, ketika ciuman kami berakhir, aku masih merasa bahwa ini semua terlalu berlebihan untuk suatu pagi di akhir pekan.

    “Where have you been all these years?”

    “Can I ask you the same question?”

    Craig hanya menggelengkan kepalanya. Aku yakin, dia juga pasti tidak percaya dengan apa yang dialaminya sekarang. Siapa yang menyangka bahwa dua pria dewasa yang saling bertemu di sebuah bar dan berakhir di tempat tidur, ternyata adalah dua manusia yang berbagi kenangan yang sama di masa kecil mereka?

    Mungkin, ini yang dinamakan takdir. Atau ini hanyalah sebuah kebetulan semata.
    Apapun itu, aku yakin kami akan punya banyak sekali topik untuk dibicarakan hari ini. Mungkin juga besok. Mungkin akan berlanjut lusa. Aku sama sekali tidak tahu. One thing for sure, we will share so many laughs and even when our life stories are not that cheerful or happy, we will try to comfort each other. I found my childhood friend, so did Craig.

    What will happen next? Only time could answer that question.
  • Hellow,


    @arieat : hahahaha, ada ya cerita2ku yg ngga sweet? #Pede

    @silverrain : apa yang mau dipelajari? ini kan bukan pelajaran, hihihihi

    @rarasipau : Lah, yang itu kan nggak ada sedih2nya? Kok bisa nangis? :)

    @heavenstar : Hahahaha. Semoga yg ini bacanya nggak tengahmalem lagi ya? :)

    @jakasembung : thank you!!!!!!! :)

    @yuzz : Aduh, kalau semuanya minta dilanjutin ya susah atuh, hahahaha. Penulisnya cuma satu, nggak bisa nurutin permintaan satu2 cerita mana yg mau dibikin cerita panjang :D

    @kiki_h_n : Hahahaha. Bukannya udah jatuh cinta sejak dulu? hihihi

    @andreaboyz : hahahaha. Untung di kamar cekikikannya ya? kalau nggak kan berabe :D

    @arry_toki : kelanjutan yang mana?

    Colek2 @darkrealm @Aoi_Sora @kukangjawa @yeltz @oxygen_full @rulli arto @mllowboy @dirpra @4r14 @AwanSiwon @DiFer
  • shit abi! U always know how to make us addicted to ur story :D well,its cute! :)
  • Entrancing story,
    Mang da ceritanya selalu sweeeTtt...... ЂёђёђёЂёђёђё
  • lah ini cerita yg mana ya? gw lupa mas abi hahahaha
  • uuuuu so sweet ;)
  • wkwkwkwk... Udah jadi gay sejak kecil....!!!
  • @abiyasha as always. life's game, did make me cry. applause to you sir.
  • ceritanya bagus...romantis banget...jd terharu nih...
  • lucu jg nama nya pasca: )
    fate nya keren bgt..seperti biasa cerita nya selalu baguuuuus
Sign In or Register to comment.