It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
beneeeer banget...
Okkay kang, segera post juga dong di sini juga dong kang, udah penasaran tingakat dewa hujan ney. hhhahhah #alay
Selalu merasa takjub & heran, gimana bro @Abiyasha bisa dapetin inspirasi buat cerita" bagusnya, apalagi di antologi kayak gini *MyTwoThumbsUp*
kurang battle nya..ahahahaha..
umm.. bikin yg ada adegan fighting nya keren kali ya..
Blm hbs jg sih bc@ bru sampe kaira,,, jd keingat Best man, jari2 pd gatal buat lgsg komen sebab Gw jg pny hrpn sama kyk Kai...
Smg Abi mewujudkan keinginanmu Kai, krn cm dy yg bs mlkknnya. Hehehe.....
Galaauu!!!!!!
ANTOLOGI beres,, EGAR pertama kuselesaikan bacanya,, skarang lanjutin Best Man dulu
“Om Kevin mana?”
Sayup-sayup, telingaku menangkap suara Meda, sekalipun jarak kamarnya dan ruang tengah ini cukup jauh. Aku hanya tersenyum tipis mendengar bocah itu masih bersuara.
“Meda bobo ya? Udah malem banget. Om Kevin udah pulang. Tadi kan Meda udah merem, kok sekarang melek lagi?”
“Ayah, Om Kevin besok kesini lagi nggak?”
“Nanti Ayah tanyain ya? Sekarang Meda bobo aja.”
“Nite, Ayah.”
Aku hanya mampu tertawa kecil mengetahui bahwa hal terakhir yang ditanyakan Meda adalah kedatanganku esok. Sulit untuk tidak jatuh cinta pada bocah empat tahun itu. Dia begitu menggemaskan. Aku menyayanginya, sekalipun rasa sayang itu hanya berselisih tipis dengan rasa cinta yang aku miliki untuk Ayahnya.
“Ayah tunggu sampai Meda bener-bener bobo deh.”
Suara Alton yang lebih mirip gumaman daripada senandung itu kemudia terdengar. Aku pun beranjak dari sofa tempatku duduk dan berjalan menuju kamar Meda. Pelan, aku membuka sedikit pintu kamar Meda, sekedar untuk menuruti egoku melihat Meda dan Alton. Mataku menatap jemari Alton yang dengan lembut membelai rambut Meda, sementara dia membiarkan badan besarnya itu memenuhi ranjang kecil milik Meda. Ini bukan pertama kalinya aku melihat Alton menidurkan Meda, namun apa yang akan aku katakan malam ini, membuat semuanya jadi berbeda.
Alton memergokiku kemudian tersenyum. Aku membalas senyumnya sebelum menutup pintu dan berjalan kembali menuju ruang tengah. Aku menghela napas bersamaan dengan tubuhku yang terempas di sofa.
This is not going to be easy.
Aku meraih remote televisi dan mematikannya tepat ketika Alton keluar dari kamar. Kami saling bertukar senyum sebelum akhirnya dia duduk di sebelahku.
“Meda beneran udah tidur? Kok cepet?”
Alton mengangguk. “Dia pasti capek hari ini, thanks to you yang udah manjain dia di Waterboom seharian. Jangan sering-sering lah manjain Meda. Ntar makin lama dia makin lupa kalau dia punya Ayah.”
Aku cuma tertawa mendengar ucapan Alton. “Manjain Meda kan juga bagian dari dating sama Ayahnya.”
“Mungkin, sekali-kali, perlu juga Ayahnya dating berdua aja sama Om Kevin.”
“Bukannya udah sering?”
“Seingatku, sih malah belum pernah. Maka dari itu, aku udah bikin rencana buat kita pergi berdua, tanpa Meda.”
Aku langsung menunjukkan tatapan terkejut kepada Alton. “Lo lagi nggak mabuk kan? Lo pasti kecapekan sampe omongan lo ngaco begitu.”
Alto menghela napasnya. “Ngaco sih nggak, cuma bingung aja. Kamu ini, diajakin pergi berdua kok malah aku dibilang ngaco.”
“Nggak mungkin aja lo ninggalin Meda sendirian, lo pasti nggak bakalan tega. Lagian, apa mau dia ditinggal sendirian? Lo itu mem…”
Tangan Alton langsung membekap mulutku hingga tidak ada pilihan lain untukku selain diam. Ada seringai puas di wajah Alton sebelum aku menyingkirkan tangannya dari mulutku.
“Buat gue, nggak masalah kalau kita pergi bertiga, selama ini juga kayak gitu kan? Nggak perlu ninggalin Meda sendirian.”
“Meda nggak akan sendirian, Kev. Papa dan Mama mau kesini dua minggu lagi dan mereka akan dengan senang hati jagain Meda. Lagipula, Meda juga deket sama mereka, nggak akan susah buat ninggalin Meda.”
“Memang kita mau kemana?”
“Ubud? Nggak jauh banget dari rumah dan tenang disana. Aku akan arrange semuanya besok.”
Mata kami saling bertemu. “Mungkin lo bakal batalin rencana itu setelah lo denger apa yang bakal gue bilang.”
Alton menatapku. Wajah serius Alton selalu membuatku tersenyum, entah kenapa. Dia bukan orang yang sangat serius, hingga sekali-kali membuatnya kelihatan serius merupakan suatu kesenangan tersendiri untukku. Namun, kali ini keseriusan yang akan aku sampaikan mungkin tidak akan pernah disangka akan didengar Alton. Dan aku berhasil untuk menahan senyumku.
“Mau ngomong apa? Jangan bilang kalau kamu cuma pengen liat tampang seriusku.”
Biasanya, aku akan tersenyum mendengar kalimat balasan Alton. Namun kali ini, aku mempertahankan ekspresiku, hingga Alton pun terlihat lebih serius daripada sebelumnya.
“Gue harus pergi. Ninggalin lo sama Meda.”
Ekspresi Alton berubah. Dari sangat serius menjadi lebih rileks. Kemudian, dia tertawa. Bagi Alton, kalimatku memang terdengar seperti sebuah gurauan, namun ini sama sekali bukan sebuah gurauan.
“Ini belum juga tanggal 1 April, Kevin. Kalau mau bikin April Mop, tunggulah bulan April.”
“Gue nggak becanda, Alton. Gue serius dengan apa yang gue bilang.”
Kami kembali saling bertatapan. Jika bisa, aku lebih ingin melihat kemarahan dalam tatapan Alton daripada ini. Akan selalu ada perasaan tidak rela jika aku terus membiarkan tatapan Alton meluruhkan niatku. Tidak ada sorot marah di matanya, hanya sorot terkejut, tidak percaya. Ada sedikit sorot jenaka yang aku tangkap, mungkin Alton masih menganggap kalimatku sebagai sebuah candaan.
“Apa ada yang salah dengan hubungan kita, Kevin?”
Aku menggeleng pelan. Alton sudah berada dalam tahap untuk bisa diajak bicara serius jika dia sudah mulai mengalihkan pandangannya dariku ke hal lain.
“Bukankah dari awal, hubungan ini udah nggak bener?”
“Lalu kenapa kamu bilang pengen pergi? Sekarang?”
Aku menghela napas. Sejak awal, aku tahu bahwa menjalin hubungan dengan pria seperti Alton, akan sangat membebani batin. Menguras emosi. Tidak ada yang salah dengan Alton ataupun Meda, namun melibatkan diri dalam hubungan Ayah dan anak seperti mereka, jelas salah. Setidaknya menurutku. Namun, di sisi lain, aku juga tidak mampu menahan perasaanku terhadap Alton. Sudah terlalu lama aku mencoba untuk mempercayai kembali sesuatu bernama cinta. Dan ketika perasaan itu datang, entah kenapa harus dalam sosok Alton. Seorang Ayah tunggal, yang istrinya meninggal karena kanker payudara, hingga harus membesarkan Andromeda seorang diri. Ada begitu banyak sifat Alton yang akhirnya membuatku berani untuk menjalani hubungan ini, sekalipun aku tahu, sejak awal, Alton tidak bisa menjanjikan apapun kepadaku. But, I kept telling myself to follow my heart. Aku mengabaikan semua batasan yang aku buat untuk diriku sendiri. Aku bermain dan berjudi dengan hatiku sendiri.
“Karena gue sadar, lo butuh istri. Buat ngurusin lo dan Meda.”
Mungkin, kalimatku terdengar sadis. Namun, Meda memang masih membutuhkan sosok wanita yang bisa mendidiknya. Alton tidak akan bisa memberikan apa yang seharusnya diberikan oleh seorang Ibu. Sedangkan aku, tidak akan pernah bisa menjadi apa yang dibutuhkan Meda. Selamanya. Logika akhirnya kembali menguasaiku ketika akhirnya, aku sadar, bahwa Meda dan Alton, membutuhkan sosok wanita dalam kehidupan mereka.
“Kami baik-baik aja, Kev. Meda baik-baik aja, apalagi aku. I’m more than just fine.”
Aku menggelengkan kepalaku. Reaksi ini memang sudah aku duga akan diberikan Alton. Namun, aku harus membuatnya mengerti bahwa hubungan kami tidak akan bisa bertahan selamanya. Dia harus mengerti, terlepas dari semua keberatan yang mungkin mengikutinya.
“Sampai kapan lo dan Meda bakal baik-baik aja? Lo akan sampai di satu titik dimana lo bakal butuh wanita, Alton. Percaya sama gue dan gue nggak mau nunggu. Kita berdua akan jauh lebih sakit kalau saat itu tiba. Lebih baik sekarang, sebelum semuanya terlambat.”
“Meda memuja kamu, Kevin. Aku ngerasa sangat nyaman sama kamu. Tidakkah itu cukup?”
“Gue juga nyaman sama lo, Alton. Lo juga tahu gue sayang sama Meda, cuma gue nggak mau hubungan kita ini makin dalam. Bukan karena gue udah nggak sayang lagi sama lo ataupun Meda. Dia akan tumbuh semakin besar dan kalau udah sekolah, Meda akan tanya tentang sosok Ibu. Gue nggak mau, lo bohong sama dia, apapun alasannya.”
“Apakah ini Kevin yang aku kenal? Setahuku, dia bukan orang yang egois.”
Aku siap untuk menerima semua caci maki ataupun kalimat hujatan dari Alton. Aku memang menyiapkan diriku untuk semua itu. Apapun yang akan diucapkan Alton, aku anggap sebagai bagian dari melepaskanku dari kehidupannya.
“Kalau gue egois, gue nggak akan mikirin Meda, Alton. Gue bakal mikirin diri gue sendiri dan lo doang.”
“Bukankah kamu akan bersikap egois dengan ninggalin aku dan Meda? Apa kamu pikir, Meda nggak akan nanya macem-macem tentang kamu kalau tiba-tiba kamu pergi? Dia masih 4 tahun, Kev. Kamu orang pertama di luar keluarga yang bisa deket sama dia. He adores you. Kalaupun memang kamu pengen pergi, bilang sendiri ke Meda. Kita liat apakah kamu masih tetep kekeh pengen pergi.”
Mulutku tiba-tiba kaku. Aku tahu, keberanianku tidak akan cukup untuk mengatakan bahwa aku akan meninggalkan Meda, langsung di hadapannya. Tatapan polos bocah itu pasti akan langsung meremukkan hatiku. Aku tidak akan sanggup. Tapi, ada lebih banyak alasan kenapa aku harus pergi. Alasan-alasan itu akan membuat Meda dan Alton bahagia seperti seharusnya. Meda akan bisa dibuat mengerti.
“Akan lebih mudah bagi Meda buat ngelupain gue, Alton. Mungkin dia bakal nggak rela selama beberapa saat tapi dia bakal baik-baik aja.”
“Lalu, apakah kamu nggak mikirin aku?”
Aku terdiam.
“Apakah karena aku nggak bisa ngasih apa yang seharusnya bisa aku kasih, Kev?”
Aku mengerutkan keningku. “Apa itu?”
“Seks.”
“Menurut lo, pikiran gue sedangkal itu ya? Gue serendah itu ya? Sampai harus pakai alasan itu buat pergi. Lo keterlaluan ngehina gue, Alton.”
Aku beranjak bangkit dari sofa, namun tangan Alton segera melingkar di pergelangan tanganku. Ini hanyalah sedikit dari kontak fisik yang bisa aku lakukan dengan Alton. Aku menghormati dan menghargainya. Namun, apa yang dia katakan tentang seks tadi, benar-benar membangkitkan rasa marah yang selama ini aku simpan. Yes, I need sex, like every fucking guy on this planet. But, I’ll be a total douchebag, a total jerk, if I said that sex as a reason why I’d like to walk away from his life. Jika memang seks menjadi alasannya, aku tidak akan bertahan setengah tahun dalam hubungan ini. Kadang, Alton memang bisa jadi begitu dangkal.
“I’m sorry.”
Aku menelan ludahku. Kenapa harus sesulit ini sih?
“Gue cuma pengen lo pake logika lo lagi, Alton. Lo itu pernah punya istri, lo itu nggak akan pernah doyan sama cowok macam gue. Lo musti mikirin Meda, Nggak ada satupun tentang hubungan kita yang bakal bener buat Meda.”
Menyakitkan rasanya harus mengucapkan kalimat semacam itu kepada pria yang menguasai hatiku. Seperti memberikan lecutan untuk diriku sendiri. Sakit. Namun, aku harus mengatakannya. Aku harus bertahan dengan rasa sakit itu.
“Kamu benar, Kevin.”
Aku memejamkan mataku. Berusaha untuk tetap mempertahankan pendirianku sementara hatiku berteriak begitu kerasnya hingga sulit untuk mengabaikannya. Ada kepedihan dalam nada suara Alton, namun aku tidak yakin.
Dadaku bergemuruh lebih cepat ketika aku merasakan kedua tangan Aston menyentuh pipiku. Ketika aku membuka mata, aku melihat Alton sudah ada di hadapanku. Menatapku tanpa satupun kebencian atau rasa marah. Ada sesuatu dalam tatapannya yang belum pernah aku lihat dari Alton.
“Meda memang akan butuh sosok seorang Ibu. Aku sadar itu dan aku juga tahu, sampai kapanpun, kamu ataupun aku nggak akan bisa ngasih itu buat dia. Aku juga sadar kalau aku ini pria yang pernah punya istri, seorang wanita. Kamu benar, Kevin.
Tapi, yang nggak kamu tahu, tiap kali kita keluar bareng, aku ngerasa aman. Kebahagiaanku hanyalah Meda, Kevin. Ngeliat dia tertawa setiap kali sama kamu, ngeliat senyumnya tiap kali kamu ngasih dia sesuatu, ngeliat betapa nyamannya dia sama kamu, itu adalah kebahagiaan yang paling besar buatku. Aku tahu, nggak semua orang bisa bersikap seperti itu kepada Meda, sekalipun seorang wanita.”
“Tapi tetep lo….”
Kembali, Alton tidak membiarkanku menyelesaikan kalimatku. Maka, aku kembali diam.
“Apakah itu bikin aku tertarik sama pria?” Alton menggeleng. “Tapi, jika pria itu kamu, aku akan bilang iya. Ini perasaan yang aku juga nggak bisa jelasin karena sebelumnya, aku nggak pernah ngerasa kayak gini. Tapi, apakah semua perasaan butuh penjelasan, Kevin? I’m happy. Aku pria yang bahagia. Bukan hanya karena aku punya Meda, tapi karena ada pria lain yang bisa bikin Meda ketawa dan senyum. Apakah kamu tahu bahwa semenjak dia kenal kamu, dia jarang tanya tentang Mamanya lagi? Nggak semua orang bisa ngelakuin itu, Kevin.”
Tubuhku rasanya lemas sekarang. Tatapan kami masih beradu. Sulit, benar-benar sulit untuk menjelaskan tentang perasaan yang sedang berkecamuk dalam diri Alton. Baru sekali ini, aku melihat Alton seperti sekarang. Baru kali ini juga, kami bersikap seperti dua pria dalam cerita roman yang dikelilingi oleh suasana romantis, hingga tidak banyak kalimat yang terucap. Selalu ada Meda diantara kami, kalaupun dia tidak ada, kami tidak pernah seintim ini.
Tangan Alton kemudian dengan lembut membelai pipiku sebelum akhirnya, tubuh besarnya itu semakin dekat dengan tubuhku sendiri. Aku hanya mampu menelan ludahku ketika jemari Alton merangkak naik ke tengkukku dan yang aku rasakan sesudahnya, hanyalah bibirnya yang menyentuh bibirku.
Lembut dan pelan.
Sudah begitu lama, tidak ada pria yang menciumku seperti ini. Tidak ada paksaan ataupun nafsu. Yang ada hanyalah kelembutan dan ciuman penuh kehati-hatian, seolah ciuman ini akan membuat bibirku berdarah. Aku memejamkan mataku, dan perlahan, kedua lenganku melingkar di balik punggung Alton.
Aku, larut dalam situasi ini. Terbuai oleh kenyataan bahwa akhirnya, bayangan akan kami berdua berbagi ciuman, terjadi. Betapa berartinya ini untukku. Mencintai pria seperti Alton, aku sudah mengorbankan banyak sekali egoku. Ciuman ini, bukan hanya sekedar ciuman, namun membuat keteguhan yang aku gembor-gemborkan tadi, seperti runtuh perlahan-lahan. Logika yang begitu menguasaiku tadi, seolah lari entah bersembunyi dimana, memberikan hatiku tempat utama untuk menguasai diriku saat ini.
Ketika akhirnya kenyataan itu kembali menyeruak diantara kami, aku hanya mampu menatap Alton. Senyum tipisnya, seolah ingin mencemooh keteguhanku, bahwa akhirnya, aku kalah. Aku kalah oleh perasaanku sendiri. Aku kalah oleh perasaan cinta yang aku rasakan terhadap Alton.
“Lo nggak perlu ngelakuin itu, Alton. Gue tetep nggak mau ngorbanin siapapun buat keegoisan gue. Apalagi lo.”
“Itu ucapan terima kasih. Buat semua yang udah kamu kasih buat aku, buat Meda. Aku tahu, kamu yang udah ngorbanin banyak buat ada disini. Aku nggak mau kamu berkorban lagi. Apalagi untuk aku dan Meda. Bukankah sejak dulu, cinta memang egois? Dan aku, nggak keberatan untuk ngorbanin apapun, demi Meda, demi pria yang udah bikin Meda kembali senyum dan ketawa. We’ll be fine tanpa seorang wanita. Kita akan baik-baik aja, Kevin.”
Aku kembali membasahi tenggorokanku. Bukan seperti ini yang aku inginkan malam ini akan berakhir. Aku ingin mengakhiri malam ini dengan kemarahan luar biasa yang dirasakan Alton hingga akan mudah bagiku untuk meninggalkannya. Aku mengharapkan sumpah serapah dan caci maki dari Alton, mengharapkan semua kata-kata tuduhan darinya. Aku ingin Alton mengusirku dari rumahnya dan memintaku untuk tidak datang kembali. Aku, hanya mengharapkan kemarahan Alton.
Tapi, bukan ini. Bukan sebuah ciuman. Bukan juga kalimat-kalimat lembut seperti yang diucapkannya. Bukan juga keteguhanku yang perlahan roboh.
“Kenapa lo musti bikin ini jadi sulit, Alton?”
“Aku nggak bikin ini jadi sulit, Kevin. Aku bikin ini jauh lebih mudah buat kamu, buat kita. Kamu nggak perlu berkorban lagi, untuk aku ataupun Meda.”
“Ini nggak akan mudah, Alton. Gue nggak mau lo nyesel nanti. One day, ada yang bakal tersakiti dan gue nggak mau itu terjadi ama lo atau Meda. Gue nggak papa, gue bakal baik-baik aja. Gue nggak mau Meda terikat lebih dalam sama gue.”
“Dia udah terikat sama kamu, Kevin. Kamu juga tahu itu.”
“Gue harus pulang.”
Genggaman tangan Alton menguat hingga aku kembali memandangnya penuh dengan tanda tanya. Aku harus pulang. Berada disini lebih lama hanya akan membuatku semakin bimbang untuk mengambil langkah. Lebih baik aku pergi saat benteng yang aku bangun masih menyisakan sedikit pondasi, belum runtuh sepenuhnya.
“Kamu mau tinggal disini malam ini?”
Aku terdiam sebelum menggelengkan kepalaku. “Gue harus tetep pulang, Alton.”
“Just for tonight.”
Hatiku sudah meneriakkan persetujuan mereka untukku tinggal sementara logikaku, masih terus berusaha membuatku mendengar suara mereka. Untuk teteap pergi dari rumah ini. Ada terlalu banyak hal yang akan membuatku bimbang dan tinggal disini, sama sekali tidak akan membuat kebimbangan itu menghilang.
Mata kami masih saling bertemu dan sebuah sentuhan lembut di pipiku dan senyuman dari Alton, membuatku menjerit dalam hati untuk sebuah pilihan.
“Will you, Kevin?”
Maaf sekali, ANTOLOGI nya baru dilanjutin lagi, hehehehe. Nggak kerasa, ini cerita ke-30 yang aku buat. Whoa!!!! Bener2 nggak nyangka udah sebanyak itu. Kayaknya, wajar juga kalau ANTOLOGI nya distop sampe disini ya? #MintaDitoyor Nggak kok, ANTOLOGI bakal tetep jalan, tapi ya waktunya kapan nggak bisa ditentuin Maafkan ketrebatasan diriku, hehe
@tera9 : Hahahaha, iya. Alurnya indah ya yg BATTLE OF LOVE
@Different : Ini udah dicolek kan?
@kiki_h_n : Thank you!!!!! Hahahaha. tahu nggak kalau aku dulu nggak bisa bikin cerita pendek?? ANTOLOGI ini kayak proyek pembuktian kalau aku bisa bikin cerpen, hehehe. Ada temen yg ngeraguin aku bisa bikin cerita kurang dari 8 hal soalnya
@tyo_ary : Oh, maaf!!! Semoga cerita2 lainnya nanti nggak terlalu banyak pake Inggris ya?
@arieat : kapan? Ya asal tetep percaya aja nanti kan juga bakal kejadian
@marckent05 : Masak sih? hahahaha. Kebetulan aja. Kalau Bali, pengennya sih semua tempat dipake cuma ya familiarnya ama daerah Seminyak ama Sanur situ doang, hehehe
@faghag : Hahahahaha. Iya, yang nulis juga sadar kalau nggak desperate ya too good to be true
@rarasipau : Hehehehe. Keep believing dan sabar kuncinya ya?
@yeltz : Thank you!!
@nes16 : Bilang gila nya nggak di jalan kan? hahahaha
@AwanSiwon : hahaha, kan biar bisa dilanjutin sendiri sama kalian2. Membantu imajinasi kalian untuk mengembara
@obay : Asal percaya, pasti bisa
@4r14 : Thank you!!!!!
@jakasembung : Hahaha, kan udah diceritain sedikit, pake imajinasi aja, hehehe
@DanaAga : apanya yg dipost disini? Kan EGAR nya udah dipost
@Emtidi : Thank you!!!!!!!!!
@angelofgay : Inspirasi dateng dari mana aja dan kapan aja sih. Cuma, matengin inspirasi itu yg butuh waktu. Biar ntar jatuhnya nggak asal2an nulisnya Thanks udah mau komen lagi, hahaha
@yuzz : saran fighting scene nya ditampung!
@venussalacca : Hahaha, ya bacanya kan juga nggak harus sekali abis. Ini udah 30 cerita di file-ku, nggak ngitung berapa yg udh dipost disini, hehehe.
@masdabudd : Kamu bacanya kebalik sih, hhahaha. tapi nggak papa. yang penting dibaca
Colek2 siapa ya? @Adra_84 @jamesfernand084 @pria_apa_adanya @dirpra @Aoi_Sora @budhayutzz
*brb..bantu kevin bikin keputusan* )