It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Layar iPad-ku sudah berubah menjadi hitam sejak beberapa menit yang lalu, namun aku masih memandangi pantulan wajahku disana.
Selalu seperti ini, batinku.
Aku menghela napasku, berusaha untuk mengosongkan sedikit beban di dadaku. Hubunganku dengan Stuart memang sulit untuk dipahami. Kami saling mencintai namun rasa cinta itu terlalu sering tergantikan oleh rasa cemburu berlebihan, argumen-argumen tidak penting dan kemarahan yang selalu menjadi puncak dari semuanya. Bahkan, di Diamond Lounge milik Eva Air di Taoyuan International Airport ini, aku masih tidak bisa lepas dari Stuart. Setelah dua belas jam penerbangan dari Vancouver, hal terakhir yang aku inginkan adalah berdebat dengannya.
Aku tidak sepenuhnya menimpakan kesalahan kepada Stuart. Aku bisa saja mengabaikan panggilannya melalui Facetime tapi aku tetap menerimanya. Apa yang terjadi sekarang? Penyesalan itu memang selalu datang terlambat.
Tanganku kemudian meraih tas Ted Baker yang sejak tadi tergeletak di sebelahku dan memasukkan iPadku setelah mematikannya. Aku tidak ingin diganggu lagi dengan apapun. Paling tidak, sampai aku mendarat di Bali. Aku menggantikan iPadku dengan My Heart Is An Idiot-nya David Rothbart untuk menemaniku membunuh waktu sampai panggilan untuk penerbanganku ke Bali terdengar.
Hanya dalam hitungan menit, aku tenggelam dalam esai-esai yang ditulis David Rothbart tentang pengalamannya jatuh cinta dengan orang yang salah. Membaca buku itu seperti membaca kisah cintaku dengan Stuart. Namun, sekalipun kami saling menyakiti, aku tidak pernah menganggap Stuart orang yang salah untuk dicintai. It’s just our relationship that didn’t work well.
Perhatianku tiba-tiba teralih dari halaman 25 dan reflek, aku langsung mengangkat wajahku. Aku merasa seseorang sedang memerhatikanku. Sekalipun tidak yakin ada yang mengenaliku disini, namun aku yakin bahwa ada yang memerhatikanku.
Tidak banyak orang yang ada di lounge ini. Mungkin tidak lebih dari dua puluh orang. Namun, dari jumlah itu, mataku justru tertumbuk pada sosok pria yang sedang duduk beberapa meter jauhnya dariku dan sedang sibuk menekuri tabletnya.
Aku mengerutkan keningku namun tidak melepaskan pandanganku dari pria itu Dilihat sekilas dari cara berpakaiannya, jelas sekali kalau pria itu bukan sekedar beruntung ada di lounge ini. He has style. He has class. Dari cara duduknya yang menyilangkan satu kaki kirinya sembari memegang tabletnya, serta melihat briefcase yang diletakkannya di sofa sebelahnya, aku bisa mengatakan bahwa pria itu sedang dalam perjalanan bisnis.
Dari sekian jumlah orang yang kurang dari 20 itu, bagaimana mungkin pandanganku terpaku pada sosoknya? Exactly! I can’t even answer that question.
Aku berniat melanjutkan membaca halaman yang sempat tertunda tadi namun lagi-lagi, perasaanku mengatakan bahwa aku sedang diperhatikan.
And I was right!
Pria itu sedang memerhatikanku namun begitu aku memergokinya, dia segera membuang wajahnya, menekuri kembali tabletnya. Apakah aku pernah bertemu dengan pria ini sebelumnya?
Memoriku segera memanggil semua orang yang pernah aku temui, semua pria tepatnya. Namun, tentu saja, hal yang mustahil untuk mengingat apakah aku pernah bertemu dengan pria ini atau tidak. Akhirnya aku menyerah.
Aku melanjutkan halaman 25 dan menengggelamkan diriku kembali, namun itu tidak berlangsung lama.
“Interesting book to read.”
Aku mengangkat wajahku dan melihat pria yang duduk tadi sudah berdiri di dekatku dengan menenteng briefcasenya.
“Boleh aku duduk disini?”
Aku hanya mengangguk dan menyilakan pria itu duduk di sebelahku. Aroma woody langsung menmenuhi indera penciumanku dan entah kenapa, rasa gugup tiba-tiba menjalari tubuhku.
“Rasanya bacaan itu terlalu berat untuk membunuh waktu.”
Aku mengerutkan dahiku sambil memandang pria itu yang kali ini sudah melepaskan blazernya dan diletakannya blazernya itu di lengan sofa yang didudukinya. Aku bisa menebak bahwa pria ini berasal dari daratan Eropa, menilik dari tampilannya dan logat bahasa Inggrisnya. Namun, aku bisa saja salah.
“Aku malah berpendapat sebaliknya. Ini bacaan yang ringan.”
“Apakah bacaan itu tidak membuat kamu merasa tersindir?”
“Kenapa harus merasa tersindir? It’s just a book.”
“Well, kadang, sebuah buku ditakdirkan bukan hanya menjadi sebuah bacaan. Sometimes, a book is written for that purpose but the readers decided that it inspires or simply slaps them. Aku rasa, buku itu ditakdirkan untuk jadi salah satunya.”
“Buatku, a book is just a book. Aku baca buku ini karena tertarik dengan esai-esai David Rothbart dan betapa dia menertawakan dirinya sendiri karena jatuh cinta dengan orang yang salah. I think it’s a light book.”
“Well, jika memang itu menurut kamu, apapun yang aku bilang tidak akan mengubah opini kamu kan?”
Pria itu tersenyum dan membiarkan lesung pipitnya kembali membuat jantungku berdegup tidak beraturan. Biasanya, aku langsung memasang benteng yang tinggi jika ada pria yang mendekatiku karena aku tahu apa yang ada di pikiran mereka. Rasa penasaran tidak pernah menghinggapiku karena bertemu dengan begitu banyak macam pria dari berbagai negara sudah cukup memberiku pelajaran. Lagipula, ada Stuart. Sekalipun selalu ada keinginan untuk meninggalkannya, namun aku selalu kembali. Jadi, pria manapun tidak pernah menarik minatku.
Sampai hari ini.
I feel so intrigued with this man. Bukan karena tampilannya karena pekerjaanku dipenuhi pria dengan tampilan sepertinya. Aku rasa juga bukan karena fakta bahwa dia bule, Stuart juga bule. Entah kapan terakhir kali aku merasa kesulitan untuk menjelaskan kepada diriku sendiri kenapa aku merasa begitu penasaran dengan seorang pria.
“People…you can never change the way they feel…” balasku dengan menyenandungkan satu bait Kissing A Fool milik George Michael untuk menutupi rasa penasaranku.
Pria di sebelahku tertawa dan aku juga tidak mampu menahan tawaku. Oh God! It felt so good for being able to laugh after a long flight and argument after argument I had with Stuart.
“You look good when you laugh like that.”
Aku kembali memandang pria di sebelahku ini, tidak begitu mengerti dengan maksud kalimatnya.
“Maksudnya?”
“Aku lihat kamu tadi sempat marah-marah dan ekspresi wajah kamu menunjukkan kalau mood kamu sedang tidak baik. It caught my attention.”
Aku menelan ludahku sambil menyandarkan tubuhku. Pandanganku beralih dari pria itu ke seluruh area lounge yang semakin lama semakin berkurang karena beberapa panggilan penerbangan sudah terdengar. Dari sekian banyak orang yang ada di lounge ini ketika aku sedang beradu argumen dengan Stuart, kenapa juga harus pria disampingku ini yang memerhatikanku?
“Aku tidak bermaksud mencampuri urusan pribadi kamu, kalau memang itu yang kamu pikirkan. I just thought that after such a long flight, it’s just not right to feel upset about something. The next flight will be different and everything, will look like they try to upset you.”
“I’ve a reason to be upset.”
“Try not to be. Hidup ini memang tidak sempurna tapi selalu merasa marah tentang sesuatu, itu hal lain.”
“I’m in love with this man, but he keeps driving me up the wall. I can’t leave him since I love him but I can’t be with him since everytime I’m there, all we have is argument after argument and fight after fight. You know what he said to me when we talked earlier? Sorry, it wasn’t a conversation. It was a fight over Facetime. He said that I’m going to Bali to find another boyfriend, to run away from him, that I don’t love him anymore. His jealousy is unbelievable! I just don’t understand it.”
Selama mengutarakan kalimat sepanjang itu, aku sama sekali tidak memandang lawan bicaraku. Aku membiarkan pandanganku beredar di seluruh area lounge namun mengabaikan pria dandy yang duduk disampingku. Aku terlalu malu untuk mengakui bahwa aku mencintai pria yang juga selalu membuatku ingin meninggalkannya. Selama satu setengah tahun, aku tidak bisa melepaskan diriku dari Stuart, simply because I love that man. Kami punya banyak sekali kenangan indah namun pertengkaran serta sumpah serapah yang ada diantara kami juga sama banyaknya. Bahkan mungkin lebih banyak.
“Dia selalu menyimpan kecurigaan atas semua yang aku lakukan ketika yang aku lakukan hanyalah keluar dengan rekan bisnis. Dia selalu bilang bahwa dia takut aku meninggalkannya dan aku meyakinkannya ratusan bahkan mungkin ribuan kali bahwa aku tidak akan pernah pergi. I love him. Isn’t that enough for him to know? Bahkan ketika kepergianku sekarang karena urusan keluarga, he still doesn’t understand it. He said that I just made this up just to stay away from him. Aku…benar-benar lelah.”
Ketika akhirnya aku mengalihkan pandanganku ke arah pria disampingku ini, dia hanya terdiam menatapku. Entah untuk apa tatapan itu diberikannya padaku. Tatapan simpati atau kasihan?
“Yang bisa aku bilang hanyalah, you have to open your heart. You have locked it for so long until you have no idea where you put the key to open it. If you can’t find the key, then simply break it. It will tear the lock apart but at least, you will have a choice. Open it and leave or keep it close and stay. As simple as that.”
“Tahukah kamu apa yang sudah aku lewati bersama Stuart? Leaving him won’t be that easy. He could track me everywhere I go and yet, I can’t hate him for doing that. We’re in love but we have issues to deal with.”
“Have you ever had another relationship while you’re still with your boyfriend?”
Aku menggeleng. “You mean cheating on him? I can’t do that. I told you, I love him.”
“Mungkin memang harus ada orang ketiga dalam hubungan kalian. Kamu tidak bisa menjalani hidup kamu seperti ini hanya karena kamu mencintainya dan tidak bisa meninggalkannya. Begitu juga dengan dia. Kalian sama-sama terjebak dalam sebuah hubungan yang tidak sehat. Salah satu harus ada yang pergi.”
“I can’t.”
Sebesar apapun aku ingin meninggalkan Stuart, aku tetap tidak bisa. Stuart sudah menjadi bagian dari kehidupanku yang, tanpanya, akan ada yang hilang dalam diriku. After all, I chose this way by myself. I know what consequences that I’m gonna get and the only way is, face it.
“You haven’t tried it, why did you say you can’t?”
“Why are you suggesting me to cheat on him?” tanyaku dengan nada tidak percaya.
Siapa pria ini? Namanya saja aku tidak tahu tapi dia berani memberikan saran agar aku berselingkuh dengan pria lain? Saran yang terlalu absurd bagi orang yang belum genap satu jam mengobrol denganku.
“Well, aku tidak akan menyebutnya seperti itu tapi by all means if you take my suggestion as a form of cheating.”
“Siapa kamu? Aku bahkan belum tahu namamu tapi kamu berani kasih saran seperti itu.”
Pria itu kemudian mengulurkan tangannya, seolah tidak memedulikan betapa terusiknya aku dengan sarannya.
“My name is Arthur, nice to meet you.”
Aku mengabaikan uluran tangannya dan memberikan tawa sinisku. Apakah pria-pria ini benar-benar hanya memikirkan satu hal dalam otak mereka?
“So, where are you going to fuck me?”
Tatapan Arthur berubah. Senyum yang beberapa detik lalu masih menghiasi wajhanya, menghilang. Digantikan sebuah ekspresi yang aku artikan sebagai ekspresi tidak suka. Memang apa yang diharapkannya selain membawaku ke tempat tidur?
“Jika kamu berpikir bahwa apa yang aku lakukan sekarang hanyalah salah satu trik untuk membawamu ke tempat tidur, sorry to disappoint you but you’re totally wrong. I’m trying to help you.”
“Help me? You’re nobody to me!”
Pembicaraan kami jadi semakin tidak menentu. Apa yang seharusnya bisa jadi perkenalan baik-baik, berubah menjadi seperti ini. I won’t blame myself karena Arthur sendiri yang memulai ini semua. I wish this guy never approached me.
“I’m nobody to you but who knows I could be somebody to you?”
“Apa maksud kamu?”
Arthur menyandarkan tubuhnya hingga dia duduk dalam posisi yang membuatnya nyaman kemudian merapikan dasinya sebelum kembali memandangku. Sikapnya seperti sedang mempersiapkan sesuatu yang memang sudah disimpannya sejak lama. Hal itu semakin membuatku merasa berharap bahwa pertemuan ini tidak pernah terjadi.
“Patria Kresnaputra, don’t you know that someone is watching you and Stuart? Don’t you realize that all these times, Greg is worry about you? He knows that you deserve someone better than Stuart. He loves you more than you know. He cares about you.”
Semua kalimat yang sudah akan terucap dariku tertahan seketika begitu dia menyebutkan nama lengkapku. Namun, ketika nama Greg muncul, aku semakin tidak tahu apa lagi yang harus aku ucapkan untuk membalas kalimat Arthur. Ini tidak mungkin. This is too impossible. This can’t be happening in real life. At least, not in my life.
“How do you know about Greg?”
“Why don’t you ask him directly?”
“Who are you?”
“My name is Arthur and Greg sent me to make sure that you’re fine, that Stuart couldn’t harm you. I shouldn’t have approached you but I couldn’t resist myself after seeing how angry you were. I broke my promise to him but I would not regret it”
Aku masih terkejut dengan apa yang baru aku dengar. Greg mengirim pria ini untuk menjagaku? Apa-apaan ini?
“Greg? Bagaimana mungkin?”
Ada senyum sinis yang terpasang di wajah Arthur. Sosok pria ini berubah seratus delapan puluh derajat sekarang di mataku. Jika sebelumnya pria ini hanyalah salah satu dari pria berpenampilan dandy yang mungkin sedang dalam perjalanan bisnis, sekarang, Arthur bukanlah pria biasa. Setidaknya, jika memang benar Greg yang mengirimnya.
“He loves you like his own son, Pat. Something you always doubt about. He wants you to get someone better. He’s afraid that Stuart would hurt you, physically. He almost did that, didn’t he?”
Dengan ketidakpercayaan yang masih menguasaiku, aku menyandarkan tubuhku tanpa melepaskan pandanganku dari Arthur. This is something unexpected. Bagaimana mungkin pria yang aku benci hanya karena dia membuat Mama bahagia, melakukan ini untukku? Aku harap ini adalah sebuah skenario dalam film dimana akhirnya sang sutradara akan meneriakkan kata ‘Cut!’ dengan keras.
Dadaku masih naik turun, terlalu terkejut dengan apa yang aku alami. Bagamana mungkin?
“Dimana Greg sekarang?”
“He’s waiting for you in Bali. Your Mom is not sick at all. It was just the only way they could think of to make you come home and see her,” Arthur kemudian meletakkan tangannya di lututku dan menepuknya pelan. “She misses you greatly, Pat.”
Aku memejamkan mataku. Memutar semua hal yang terjadi dalam hidupku selama dua tahun terakhir. Kapan terakhir kali aku menelpon Mama? Kapan terakhir kali aku pulang? Berapa banyak kebohongan yang harus aku katakan hanya agar aku tidak pulang ke Indonesia? Berapa kali aku mengorbankan keluargaku di Indonesia demi Stuart? Dimana aku ketika adik perempuanku mengucap janji suci di altar? Aku melupakan mereka demi Stuart.
Napasku terasa begitu sesak saat ini, seolah semua rasa bersalah yang sebelumnya tidak pernah menghinggapiku, sekarang berlomba untuk menghimpitku di saat yang bersamaan. Aku membuka mataku dan melihat Arthur masih ada di tempatnya.
“Thanks for surprising me, Arthur. I guess I owe you a lot.”
Dengan ringan, Arthur menggelengkan kepalanya. “It’s Ok. You can always pay me later.”
Panggilan untuk penerbangan selanjutnya ke Bali terdengar di telingaku. Namun, rasanya berat meninggalkan sofa tempatku duduk. Bukan karena aku masih ingin duduk disini, namun karena aku ingin tahu apa saja yang sudah aku lewatkan selama dua tahun ini. Jika Greg memercayai Arthur, aku yakin Arthur tahu banyak hal yang seharusnya aku ketahui namun aku abaikan. Demi Stuart.
“Kamu harus pergi, Pat. People who love you will be waiting in the airport.”
Arthur kemudian bangkit dari sofa dan mengenakan blazernya. Dia menatapku.
“Things will be fine. Kamu akan punya banyak waktu untuk memikirkan hubunganmu dengan Stuart. Aku pergi dulu.”
Dengan gerakan layaknya pria berkelas, Arthur meninggalkanku, namun belum genap sepuluh langkah, aku menyusulnya.
“Arthur!”
Arthur, tentu saja menghentikan langkahnya sebelum membalikkan tubuhnya.
“Ya?”
“Will I see you in Bali?”
Arthur hanya tersenyum dan memamerkan lesung pipitnya itu sebelum mengedikkan kedua bahunya.
“Ask Greg.”
Dengan dua kata itu, Arthur meninggalkanku sendirian di lounge ini sementara panggilan untuk penerbangan ke Bali kembali terdengar. Dengan gontai dan rasa tidak percaya yang semakin menguasaiku, aku meraih tasku dan berjalan meninggalkan Diamond lounge yang sekarang hanya tinggal beberapa orang.
Apa yang baru aku alami benar-benar….too Hollywood. Terlalu aneh untuk dipikirkan dengan akal sehat. Namun, jika memang Greg ada dibalik ini semua, aku rasa itu bisa dimengerti. Ayah tiriku itu berutang banyak sekali penjelasan terhadapku. Aku, juga beutang banyak padanya.
Things will never be the same once I get to Bali. Nothing will ever be the same again.
Ah, akhirnya diupdate juga ANTOLOGI nya, hehehehe. Maafkan saya kalau lama nggak diupdate. Udah sebulan lebih ternyata Yg ini ngabisin bener2 seharian buat bikinnya dan agak susah ngontrol, makanya jadi sktr 10 hal, hihihihi. Semoga bisa diterima
@yeltz : Hahaha, perasaan nggak semuanya juga addicted to my story kok
@arry_toki : Thank you for reading!!
@arieat : Ah, kamu jug asweet kok #loh?
@rarasipau :
@AwanSiwon : Yah, namanya juga cerita kan? hahahaha
@tera9 : Loh, kenapa nnagis? kan LIFE'S GAME itu nggak ada sedih2nya
@obay : Thank you!!!
@jakasembung : Namanya kadang susah nyarinya, soalanya udah kebanyakan cerita jadi musti ati2 kalo milih nama, takut ada yg sama ntar dikira lanjutannya lagi, hehehe
@yuzz : Bagus kan kalau bikin senyum2? daripada bikin nanngis
@andreaboyz : kenapa? hehehe
@Adam08 : Thank you!!!
@Different : Thank you!!!
@marckent : thanks udah di up up, hehehe
@rulli arto : apanya yg seandainya? hehehe
Colek2 sapa ya? @kiki_h_n @jamesfernand084 @tyo_ary @DiFer @tialawliet @heavenstar @sly_mawt @dirpra
tar ja dah bacanya, low disambi ini itu tuh jd kurang dpt feel critany,
ceritanya bagus banget kak. kalo abis ketika langit berganti selesai bikin cerita lagi yah. oh iya aku heran loh sama kak abiyasha bisa produktif banget bikin cerita dan semuanya bagus banget. inspirasi nya kok banyak banget yah? kalo penulis lain kadang yg bagus 3/4 cerita. kalo kaka banyak bgt yg bagus