It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
*selalu sedia kamus*
ahhh...
#speechless
Bener2 bikin perasaan senang sedih bergantian ya baca tulisan2an lu. Bener-bener penulisan tingkat tinggi.
Salut!
Its amazing
Perlahan, aku memejamkan mataku yang sejak tadi malam belum juga bisa tertutup dengan sempurna. Bukan hanya tadi malam, namun sudah hampir tujuh malam waktu tidurku sangat teralihkan oleh pikiran yang tiada hentinya menghinggapiku. Mentalku terlalu lelah untukku mengeluh tentang betapa kurangnya waktu tidurku hingga aku membiarkan tubuhku menentukan kapan aku harus memejamkan mata.
Aku menghela napasku panjang sebelum membuka kembali mataku dan menatap pemandangan yang sama dengan nanar. Tembok di hadapanku belum berubah menjadi hijau atau ungu, catnya masih berwarna putih dan indera penciumanku masih dengan leluasa dikuasai oleh obat-obatan dan cairan pembersih rumah sakit.
Memori tujuh hari lalu memanggilku ketika aku melihat nomor yang tidak aku kenal muncul di layar ponselku. Ketika aku mengangkatnya, seketika itu juga duniaku serasa berbalik. Aku bahkan tidak tahu bagaimana akhirnya aku bisa sampai di rumah sakit.
Aku menggelengkan kepalaku, berusaha untuk mengusir hari itu dari memoriku yang tentu saja, tidak akan pernah bisa lenyap. Aku akan selalu dihantui perasaanku saat itu selamanya sekalipun jika semuanya berakhir diluar perkiraan.
Dengan tenaga yang masih tersisa, aku bangkit dari kursi dan melangkahkan kakiku menuju ke ruangan dimana pria yang selama tiga tahun ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari hidupku. Hatiku selalu teriris melihatnya terbaring tanpa daya dengan segala macam selang yang membantunya untuk bisa bertahan. Tidak pernah aku merasakan kelelahan emosi seperti ini hingga aku yakin, bahwa akan tiba saatnya ketika aku mati rasa akan perasaanku sendiri.
Berat rasanya menuju kursi empuk yang senantiasa menemani Alo sejak tujuh hari lalu dan satu-satunya tempat aku duduk di ruangan ini. Kali ini pun aku akan duduk disana hingga nanti waktunya suster memintaku untuk mencoba beristirahat. Andai suster-suster itu tahu bahwa istirahat sama sekali tidak tepat untukku saat ini sampai aku tahu apa yang akan terjadi dengan Alo.
“Babe…”
Aku selalu mengawali percakapanku dengan panggilan itu. Seolah dengan itu, aku bisa menarik perhatiannya. Atau lebih hebat lagi, bisa membuatnya membuka matanya untuk kembali menjalani kehidupannya. Aku sangat ingin melihat lesung pipitnya ketika dia tersenyum. Aku sangat merindukannya.
Jemariku langsung meraih tangan Alo dan menggenggamnya sebelum mengecupnya pelan.
“Aku sebenernya ngantuk banget Alo cuma nggak bisa tidur. Kamu pasti bilang aku kayak rakun saat ini. Belum lagi ejekan-ejekanmu yang lain. I miss those things, babe.”
Perlahan, aku mengulurkan lenganku untuk membelai kepala Alo yang harus digunduli demi menyelamatkan nyawanya. Aku yakin, Alo pasti benci melihat dirinya di cermin dengan kepala plontos seperti ini. Pikiran akan reaksi Alo membuat senyumku tersungging tipis.
“Kamu sadar nggak? Ini pertama kalinya aku liat kamu gundul seperti ini. To be honest, Babe, kamu keliatan cakep kok. Aku bisa ngebayangin ghimana histerisnya kamu kalau tahu nggak punya rambut. Tapi, kalau ntar rambut kamu tumbuh lagi, pasti akan lebih lebat dan bagus. I think you’re going to like it.”
Sebenarnya, aku tahu Alo akan membencinya jika aku mengatakan dia terlihat tampan dengan tanpa rambut hitam ikalnya itu.
“Keluarga kamu baik banget sama aku, babe. Aku malah hampir bertengkar sama Mama dan Papa kamu cuma gara-gara aku nggak mau pulang buat istirahat. Aku kan pengen jadi orang pertama yang kamu liat kalau kamu sadar. Biar kamu ngerasa kayak di cerita dongeng meskipun kali ini bukan ciuman yang bikin kamu bangun.”
Dalam situasi seperti ini, aku sangat bersyukur bahwa keluarga Alo sangat mengerti bagaimana perasaanku dan mereka sangat menghargainya. Sekalipun aku harus sedikit beradu argumen dengan Mama dan Papa Alo karena mereka sangat ingin aku punya cukup waktu untuk istirahat, sedangkan aku ingin menunggui putra mereka. Namun aku sangat menghargai betapa baiknya keluarga Alo kepadaku.
“Adik kamu bahkan bawain aku banyak banget cemilan yang entah akan bertahan berapa minggu saking banyaknya. She’s beautiful inside and outside, just like you. Dia versi cewek kamu, babe. Well, kamu pasti nggak terima aku samain sama adik kamu tapi memang itu faktanya kok.”
Mataku melirik jam dinding besar di kamar yang sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Masih ada sekitar empat jam lagi sebelum matahari muncul untuk mengawali hari ini. Semoga, sebelum bola raksasa itu mengintip di balik peraduannya, aku bisa melihat Alo membuka matanya dan tersenyum padaku. Mengucapkan selamat pagi.
“You know what, babe? Aku kangen banget sushi roll yang kamu buat. Kayaknya, aku bakal minta kamu buat masak itu tiap hari nanti. Kamu mau kan?” Aku mengecup punggung tangan Alo. “Kamu boleh minta apa aja deh sebagai bayarannya. Cuma, jangan yang naughty ya? Kamu kan kadang aneh kalau udah minta sesuatu gitu.”
Entah perasaanku saja atau memang mataku benar-benar menyaksikannya, aku melihat seulas senyum tipis di wajah Alo. Hanya sesaat namun itu membuat jantungku berdegup lebih kencang. Jika memang itu hanya perasaanku saja, maka aku sama sekali tidak keberatan tertipu olehnya.
“Did you just smile at me, babe?”
Aku mengulurkan lenganku untuk membelai pipi Alo. Pipinya agak sedikit gembul, mungkin karena efek infus yang diterimanya. Aku kembali menggenggam tangan Alo erat. Satu hal yang tidak pernah lelah aku lakukan sejak Alo menjadi penghuni ruangan ini.
“Babe, cepet bangun ya? We miss you so much. I know you can hear me. Nanti kita bisa bikin memori-memori baru yang lebih indah dan aku punya kejutan buat kamu kalau kamu bangun.”
Ya, aku memang menyiapkan sesuatu untuk Alo jika Tuhan memberinya kesempatan untuk kembali menjalani hidupnya. Sesuatu yang sangat diinginkannya namun selalu terbentur kata sibuk hingga dia belum sempat melakukannya. Aku seperti dilempar kembali ke masa sekolah dulu. Aku selalu berjanji pada diriku sendiri akan melakukan sesuatu jika aku jadi juara kelas atau lulus dengan nilai tertinggi. Nazar. Kali ini, keinginanku hanyalah melihat Alo kembali. Dalam keadaan apapun. Asalkan Alo hidup dan aku bisa kembali bersamanya. Jika itu terjadi, aku berjanji akan memenuhi keinginan Alo yang belum sempat terwujud itu.
“Jangan kira aku udah lupa ya babe tentang keinginanmu yang satu itu. Aku masih ingat dengan jelas waktu kamu bilang malam itu. Semuanya. Dan aku memang janji kalau suatu hari, aku pengen bisa bikin kamu dapetin itu. Sekarang, ada penyesalan kenapa aku nggak ngelakuin itu dulu,” ucapku sambil menghela napasku pelan.
Aku mengecup punggung tangan Alo lembut. Benar-benar merindukan jemari itu menyentuhku dan menggenggam tanganku setiap kali ada kesempatan untuk kami melakukannya. Alo orang yang cukup romantis sekalipun itu sama sekali tidak akan pernah sesuai dengan tampilannya yang cenderung santai.
“Inget nggak pagi itu waktu kita sarapan sebelum kamu pergi kerja? Kamu tiba-tiba pengen makan telur dadar dan nasi goreng padahal kamu hampir nggak pernah sarapan sama dua makanan itu. Untung kita punya persediaan bumbu nasi goreng siap saji. Aku juga nggak tahu kenapa sampai ada bumbu itu di dapur. Tapi bukan kamu kalau masaknya kepedesan. Aku sampai khawatir kita bakal sama-sama sakit perut begitu nyampe di kantor.”
Aku tersenyum mengingat pagi itu ketika aku dan Alo berjibaku di dapur hanya untuk membuat nasi goreng. Pagi terakhir sebelum kecelakaan itu menempatkan Alo di ruangan ini. Memori satu minggu lalu itu masih terlalu segar dalam ingatanku.
Alo orang yang simpel dan nasi goreng, sekalipun itu dengan bumbu siap saji, masih terlalu repot untuknya. Untukku juga. Sarapan kami biasanya hanya toast dan scrambled egg dengan segelas jus atau susu. Namun pagi itu, begitu kami membuka mata, stau hal yang keluar dari mulut Alo hanyalah “Babe, bikin nasi goreng yuk! Tiba-tiba pengen makan nasi goreng pagi-pagi.” Reaksiku? Hanya menganggapnya sebagai salah satu lelucon paginya.
“Kamu inget nggak apa yang aku bilang pagi itu?”
Menirukan suaraku sendiri pagi itu ketika mendengar ucapan Alo, aku mengucapkan kalimat yang kurang lebih sama. Bahwa kami tidak akan punya cukup waktu untuk membuatnya dan bahwa Alo akan terlalu banyak menggunakan saos sambal hingga rasa pedas menutupi rasa nasi goreng yang sebenarnya. Apa yang Alo bilang? “Ah, selalu ada kecap, babe. Kepedesan, tinggal nambah kecap aja. Beres kan?” Malas berargumen, akhirnya aku hanya mengiyakan keinginannya.
“Kita memang sering masak bareng, cuma kalau masak sarapan, keseringan aku yang masak kan? And to be honest with you babe, I wish we did that more. Kamu nggak keberatan kan kalau kamu bangun, kita bikin sarapan bareng lebih sering? It must be nice.”
Aku berusaha untuk tidak memperhatikan suara-suara yang ditimbulkan oleh mesin-mesin penopang hidup Alo setiap kali ada jeda diantara obrolanku dengannya. Agak naïf dan terdengar sangat mustahil memang, namun aku berusaha untuk melakukannya. Terdiam terlalu lama hanya akan menggoyahkan rasa positifku akan Alo. Sesuatu yang sangat aku hindari. I want him to open his eyes and I know, he will.
“Babe, kamu nggak kangen ya sama aku?”
Pertanyaan konyol memang, namun apalagi yang bisa aku katakan selain berusaha membuat kesadaran Alo kembali dengan segala macam cara yang aku tahu? Sekalipun itu konyol dan terdengar sangat tidak dewasa, aku tidak peduli. Aku hanya ingin Alo kembali.
Suara pintu dibuka membuatku memalingkan mukaku. Seorang suster tersenyum padaku dan berjalan mendekati kami. Entah kenapa, aku selalu benci tiap kali ada orang yang menginterupsi kami seperti ini. Rasanya, ada yang terputus dalam satu-satunya komunikasiku dengan Alo.
“Bapak istirahat ya? Bapak Alo akan baik-baik saja. Bapak juga harus jaga kesehatan.”
Kalimat yang entah sudah berapa ratus kali aku dengar. Kalimat yang sama dan diucapkan oleh semua suster yang mengunjungi kamar Alo. Bagaimana mungkin mereka bisa bilang Alo akan baik-baik saja? Apakah mereka cenayang yang tahu bahwa Alo AKAN baik-baik saja? Terkadang, aku merasa begitu marah dan jenuh dengan semua kalimat yang aku dengar disini. Alo akan baik-baik saja, kondisinya stabil, alat-alat vitalnya bekerja dengan baik dan segala jenis kalimat penghiburan lainnya. Aku memang bukan orang yang mengerti istilah medis dan aku tidak peduli dengan itu. Aku hanya ingin tahu apakah Alo akan sadar atau tidak. Setidaknya, mereka bisa jujur daripada mengucapkan kalimat-kalimat bernada pengharapan seperti itu.
“Sebentar lagi Sus.”
Setelah memeriksa kondisi Alo dan mencatat sesuatu, suster itupun kembali berlalu dari hadapanku dan meninggalkan kami berdua. Tidak lupa pesan untuk istirahat itu kembali terdengar olehku dan betapa leganya aku ketika akhirnya suster itu pergi.
“Kamu juga pasti bosen kan babe denger kalimat yang itu-itu terus?”
Aku yakin, Alo akan punya seribu stok lelucon yang berhubungan dengan kalimat-kalimat itu. Bukan bermaksud merendahkan atau mengejek, sama sekali tidak. Hanya saja, selera humor Alo akan tersentil jika tahu bahwa apa yang mereka ucapkan sama sekali tidak relevan dengan kondisi yang sebenarnya. Alo masih belum sadar dan bagiku, itu sama saja Alo tidak baik-baik saja.
“Aku nggak sabar nunggu lelucon macam apa yang bakal kamu lontarin, babe. Pasti ada banyak kan? I just know you too well.”
Ya, aku terlalu mengenalmu, babe.
“Kamu tahu nggak babe kalau sebenernya aku agak gugup pas kamu bilang kalau kamu pengen kita pacaran?”
Aku tersenyum tipis mengingat malam itu ketika Alo memintaku untuk jadi lebih dari sekedar klien untuknya. Tidak ada acara romantis atau makan malam di tempat yang meneriakkan kata romantis. Hanya kami berdua duduk di dalam mobil dengan kedua pintu terbuka sambil menunggu pagi datang.
“Kalau dipikir-pikir, aneh juga ya babe mobil kamu bisa tiba-tiba mogok di tengah hutan seperti itu? Kalau aku sama orang lain, pasti udah panik setengah mati karena nggak ada satupun mobil yang lewat. Tapi, kamu bikin situasi itu jadi nggak terlalu tegang. With your jokes and your laughs. And with those ‘I want you to be more than a client, James. I want you to be my man’ yang kamu bilang. Awalnya aku pikir kalau kamu pasti becanda, but you didn’t.”
Memori itu memang selalu melekat di otakku. Bagaimana mungkin aku lupa? Momen yang mengawali segalanya tentang ‘kami’ bukan Alo dan James lagi sebagai individu. Aku yakin, tidak akan ada lagi pria yang bilang seperti Alo di saat seperti itu.
“Tanganku gemetar pas kamu nyium aku. Kamu sampai bilang ‘Jangan gemetar gitu dong James, ini cuma ciuman. Kalau yang lain jangan-jangan kamu pingsan sebelum kita ngapa-ngapain’. Kamu itu ya babe? Tahu aku gemeteran malah dibecandain begitu.”
Kali ini, aku yakin merasakan sedikit gerakan dalam genggamanku. Pelan memang namun, menggenggam tangan Alo begitu erat, aku tidak punya keraguan bahwa ada gerakan disana.
Aku langsung menegakkan tubuhku dan mataku tidak lepas dari wajah Alo. Jemari dalam genggamanku semakin kuat mencoba untuk menggenggam kembali tanganku. Aku tidak mau menjadi terlalu bersemangat karena kondisi seperti ini memang kadang terjadi. Namun, aku tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku, yang terwakilkan oleh senyum lebar di wajahku, ketika melihat kelopak mata Alo perlahan membuka.
“Babe?”
Aku tidak tahu apakah ini hanya sekedar mimpi atau memang benar-benar terjadi, mengingat aku sudah megalami kelelahan mental yang luar biasa hingga tidak mengherankan jika aku mulai mengalami delusi. Namun, ketika akhirnya untuk sesaat mata Alo terbuka, aku tahu bahwa ini nyata. Alo-ku kembali.
“James….”
Meski dengan suara parau dan pelan, aku bisa mendengar panggilan itu dengan jelas. Tubuhku seperti diguyur air dingin yang bukan membuatku kedinginan namun malah membuat tubuhku segar. Mungkin analogiku terdengar aneh dan tidak masuk akal, namun aku tahu bahwa ini adalah sesuatu yang aku tunggu. Alo-ku telah membuka mata lagi.
“Babe…Aku panggil dokter ya?”
Hanya senyuman tipis yang diberikan Alo kepadaku namun itu lebih dari cukup untuk saat ini. Dengan lembut namun tanpa bisa menyembunyikan rasa bahagiaku, aku mengecup punggung tangan Alo sebelum beralih ke keningnya.
“Welcome back, babe. This will be another beginning for you. For us.”
@primexxx : Akhirnya kenapa? hehehe
@AwanSiwon : Hehehehe. Lagi pengen sentimentil pas bikin POSTCARD
@yuzz : Bukannya aku memang raja tega? Suka memainkan emosi orang seenaknya sendiri? Harusnya nggak kaget dong, hahahaha
@4r14 : ah, masak sih? Kayaknya cuma beberapa deh yang tokohnya meninggal. Si Guntur ini kan bisa aja mati suri Jadi masih menyisakan banyak pertanyaan sebenernya
@rarasipau : berburunya udah dapet berapa?
@dirpra : bisa diartikan begitu terserah mau di-interpretasikan seperti apa, hehehe
@jakasembung : Yang ini kayaknya nggak terlalu menguras emosi deh kayaknya
@yeltz : Maaf!!!! Aku kan sering bilang, kalo gak komen biasanya memang lupa dimention Maafkan diriku....
@kiki_h_n : hahahaha, asal kamusnya jangan disalahin ya kalau nggak ada kata yg dicari
@Silverrain : hahahaha. Kenapa? #PertanyaanGakMutu
@mllowboy : Thank yoU udah kembali baca Nggak tingkat tinggi juga kok. Always try to do my best when I write
@andreaboyz : dapet love message? Hehehehe. Sbnrnya ide ini muncul pas bangun tidur lho. Gak tahu knapa tiba2 pengen bikin cerita yg berhubungan sama postcard
@rulli arto : Hahahahaha. Maafkan saya yang selalu membuat dada kalian sesak
@arieat : Sayangnya nggak banyak bahkan mungkin gak ada orang kayak K
@heavenstar : Loh, kok dag dig dug? Kenapa? Pake acara ngumpet segala
Colek2 @kukangjawa @Aoi_Sora @sly_mawt @pria_apa_adanya @Different @DiFer @Cruiser_79
ahh
nice one.
umm
#pelajari
Heheh makasih udah di update +mention .
Iya . Ternyata dpt buruan yg buannyaaakkk