It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku menghembuskan nafas lega ketika akhirnya Mbak Inge, editor yang selalu menangani naskah-naskahku, menelponku dan memberitahu bahwa naskah yang aku kirimkan tiga minggu yang lalu, akhirnya disetujui untuk diterbitkan. Sempat terbersit ketakutan bahwa mungkin naskahku kali ini akan ditolak karena tema yang aku angkat cukup berani, namun kalimat yang diucapkan Mbak Inge membuatku tersenyum tanpa henti.
“Damar, this is definitely your best work! Brilliant! Aku bisa mencium best seller disini.”
Best Seller? Kata yang sudah dua kali tertulis di dua novelku sebelumnya.
Kali ini, aku sengaja mengambil tema yang lebih berani hingga mendengar bahwa novelku akan kembali diterbitkan, membuat semua yang aku lakukan selama lima bulan terakhir terbayar sudah.
Saatnya kembali menjadi seorang Damar Anggara Jati yang selama lima purnama ini telah menghilang ditelan sesuatu yang mengatasanamakan kreativitas.
“Telpon dari siapa babe?”
Babe.
Panggilan yang selama lima bulan selalu menghampiri gendang telingaku setiap kali aku menghabiskan waktu bersama Satria. Pergulatan batin yang sempat melingkupiku selama lima bulan akhirnya akan berakhir malam ini karena apa yang aku inginkan sudah ada dalam genggaman tanganku.
“Mbak Inge,” jawabku sambil membalikkan tubuhku dan melihat pria berdarah Jawa-Manado itu melepaskan handuk yang melilit di pinggangnya untuk menggantinya dengan celana batik dan v-neck t-shirt berwarna abu-abu.
Biasanya, aku akan langsung menghentikan apapun yang sedang aku lakukan untuk mencegah celana itu melewati sepasang kaki kekarnya. Biasanya, Satria akan protes sebelum menyerah pasrah dengan apa yang aku lakukan setelahnya. Namun kali ini, aku hanya terpaku sambil menyaksikan Satria duduk di sofa dan menyalakan televisi.
“Satria, ada yang mau aku omongin.”
Satria hanya tersenyum sambil menepuk tempat di sebelahnya. “Kenapa nggak duduk disini aja?”
Perlahan, aku melangkahkan kakiku dari meja tempatku menghabiskan lima bulan kehidupanku berkutat dengan naskahku untuk menghampiri Satria. Namun, aku memilih untuk duduk di sofa kecil yang ada di ruang tamu ini daripada duduk di samping Satria. Sesuatu yang kemudian memberiku pandangan penuh tanya pada wajahnya.
“Aku udah nggak bau kok,” ucapnya sambil tersenyum.
Aku hanya membalasnya dengan sebuah senyuman tipis. Kadang, keluguannya memang muncul sekalipun Satria sudah menginjak usia dimana seharusnya keluguan tidak menjadi bagian dari usianya itu. Namun, itulah yang membuat sosoknya sempurna di mataku. Lima bulan lalu ketika sebuah ide muncul di kepalaku.
“Lebih baik hubungan kita berakhir sampai disini,” ucapku pelan namun cukup untuk didengar pria yang sedang tersenyum kepadaku saat ini.
Satria masih tersenyum seolah apa yang baru aku katakan hanyalah sebuah gurauan malam yang memang selalu didapatkannya dariku. Namun, tatapan yang aku berikan kepadanya membuat senyum itu terhapus dari wajah Satria. Kali ini, dia menyatukan kedua alisnya dan memandangku penuh dengan tanda tanya.
“Ada apa Damar?”
Ada apa? Pertanyaan yang sudah aku duga akan ditanyakan oleh Satria. Siapapun yang sedang berada di posisi Satria saat ini, sangat wajar akan mengajukan pertanyaan itu. Dan aku sudah memiliki jawabannya.
“Novel terbaruku akan diterbitkan. Mbak Inge tadi ngasih tahu tentang hal itu.”
Kebingungan jelas terpancar dari wajah Satria. “Apa hubungannya?”
“Banyak,” jawabku singkat.
“Damar, ada apa sebenarnya?”
Aku bisa mendengar kekhawatiran serta kebingunan bercampur dalam nada suara Satria dan berharap bahwa aku akan mampu menghapus itu dalam hitungan menit.
“Aku bukan gay, Satria. Alasan utama kenapa aku mau jalanin hubungan ini selama lima bulan hanya karena aku perlu menyelesaikan novelku. Kamu datang disaat yang tepat ketika aku udah mulai putus asa. Pembaca novelku pasti ngira aku gay karena bisa dengan detail menggambarkan hubungan dua pria. Well, mission accomplished so I have no more reasons to stay with you. It’s over. I took you for granted, my novel.”
Ada senyuman lega terpasang di wajahku. Ya, selama lima bulan, aku hanya memanfaatkan Satria untuk kepentingan naskah novelku. Terdengar kejam? Sama sekali tidak untuk seorang Damar Anggara Jati. Betapa mudahnya Satria jatuh ke pelukanku adalah bukti bahwa tidak susah untuk mendapatkan pasangan di dunia gay. They only want to have fun. You give them sex and they will follow you like a puppy.
“Lalu kenapa kamu masih ada disini?”
Satria tidak menuntut jawaban yang lebih panjang dariku namun justru menanyakan kenapa aku belum juga pergi dari apartemennya. Begitu mudahnya kah Satria untuk aku baca? Bagi yang tidak mengenal Satria, nada itu terdengar sangat biasa. Namun, mengenalnya selama lima bulan, membuatku tahu bahwa ada kemarahan yang berusaha disembunyikannya.
“Aku akan pergi, Satria, jangan khawatir. Aku jamin nggak ada satupun bendaku yang akan tertinggal disini. Aku hanya mau bilang terima kasih.”
Dengan itu aku bangkit dari kursiku dan menatap Satria yang masih saja terdiam di sofanya namun jelas sekali bahwa ini bukanlah sesuatu yang disangkanya. Satria pasti mengira bahwa hubungan kami berjalan baik-baik saja karena hampir tidak pernah ada pertengkaran berarti diantara kami.
“Nggak pernahkah kamu berpikir tentang hati, Damar?”
Pertanyaan itu meluncur ketika kakiku baru saja mencapai lima langkah dari tempatku duduk sebelumnya. Perlahan, aku membalikkan tubuhku dan menatap Satria yang sekarang sudah berdiri dengan kedua tangannya dimasukkan ke saku celananya. Jelas sekali ada tatapan terluka yang sedang diberikannya padaku sekarang, sama seperti gambaran yang aku berikan ke setiap tokoh-tokoh yang aku ciptakan. Namun, aku hanya memberinya senyuman.
“Jika aku berpikir tentang hati, novelku nggak akan selesai Satria. Kita hidup butuh uang, bukan hanya hati. Tapi untuk novelku yang ini, aku nggak bisa bilang apapun selain terima kasih. You’re such a great model for my characters!”
“Jadi hubungan ini cuma sebuah permainan?”
Aku mengangguk mantap. “Well, setidaknya buatku. Bukan salahku kan kalau kamu benar-benar jatuh cinta sama aku? It’s none of my business and frankly, I don’t care at all. Ingat Satria, kamu yang mulai deketin aku and you’re the one who asked me to be your boyfriend, right? Dari awal, kamu memang udah pakai hati. Apa perlu aku ulang setiap kalimat yang kamu ucapkan malam itu?.”
Ada tawa keluar dari mulut Satria namun aku bisa mengartikan itu sebagai tawa sinis atau sekadar tawa yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Karena kebodohannya mungkin?
“Aku nggak nyangka akan denger ini dari kamu, Damar tapi selamat. Semoga novel kamu jadi best seller lagi dan suatu hari, kamu akan lihat lagi malam ini sambil berharap bahwa kamu nggak pernah bilang apapun. Anyway, aku nggak akan narik apapun yang udah aku kasih ke kamu ataupun yang udah kita lewati bersama. Waktu nggak bisa diputar balik kan?”
“Good luck with your life, Satria.”
Dengan itu, aku kembali melangkahkan kakiku untuk segera keluar dari ruang tamu. Semua barang-barangku sudah aku pindahkan sedikit demi sedikit hingga Satria sama sekali tidak menyadarinya. Sepertinya, aku perlu merayakan malam ini dengan sesuatu yang besar. Novelku akan diterbitkan dan kepura-puraan yang aku jalani selama lima bulan berakhir. Apa lagi yang aku butuhkan selain mungkin sebotol Champagne?
“Do you believe in karma, Damar?”
Pertanyaan itu kembali menghentikan langkahku. Namun kali ini, aku mendengar langkah kaki Satria mendekat. Tepat ketika aku membalikkan tubuhku, Satria sudah berdiri di hdapanku. Jarak diantara kami begitu dekat hingga aku bisa mencium aroma shower gel-nya dengan jelas. Satu-satunya mungkin yang akan aku rindukan dari Satria.
“Karma? Aku rasa cuma orang kurang kerjaan yang percaya sama karma. Aku hanya percaya sesuatu yang bisa dijelaskan dengan logika, Satria. Apakah pernah ada penjelasan yang logis tentang karma? Itu mungkin hanya omong kosong yang dibuat oleh para spiritualis untuk mencari kambing hitam atas kegagalan mereka.”
“Suatu hari, kamu akan tahu bahwa Karma bukan omong kosong. Mungkin sekarang kamu cuma mikir ghimana bisa nulis novel yang bisa jadi best seller tapi kamu akan sadar bahwa apa yang kamu lakukan kepadaku akan kembali. Dengan cara yang kamu nggak pernah sangka.”
Aku tertawa. Omongan apa lagi ini?
“Satria, bilang apa aja yang kamu pengen tapi itu sama sekali nggak akan bikin aku tetap disini karena aku bukan gay. All those love making we had, I wish I could take them back.”
Aku melihat Satria menundukkan wajahnya sebelum kembali menatapku. Kali ini, aku tidak menduga bahwa tatapan itu yang akan aku lihat dari seorang Satria.
“Kamu tahu kan kenapa sebelum kita ketemu aku nggak bisa punya hubungan dengan pria manapun, Damar?”
“Oh, karena kamu kehilangan Doni kan? Lalu apa hubungannya denganku, Satria?”
Dani adalah kekasih Satria selama tiga tahun sebelum akhirnya mereka dipisahkan oleh takdir. Sebuah kecelakaan pesawat menewaskan Doni dan sejak itu, Satria tidak mampu menjalani sebuah hubungan lagi. Menurutku, itu justru kisah yang sangat sempurna untuk diangkat menjadi sebuah novel hingga aku kemudian memasukkan kisah Doni dalam novel terbaruku. Apakah ada yang lebih ampuh daripada menjual kesedihan? Adele mampu melakukannya dengan kisah patah hatinya.
“Aku rasa percuma aku tanya hal itu.”
Aku memberikan senyum terima kasihku. “Memang harusnya kamu tahu. Dia udah meninggal, Satria. Apa hubungannya denganku? Justru kamu harusnya berterima kasih kepadaku karena kisah kalian ada dalam novel terbaruku. Dengan sedikit bumbu tentu saja. Aku benar-benar yakin akan banyak yang nangis kalau baca novelku nanti. I’ll send you one.”
Plak!
Rasa panas menjalari pipiku hingga aku harus meletakkan tanganku disana untuk sedikit mengurangi rasa sakitnya. Mataku tajam menatap Satria yang sepertinya sangat kuat mengayunkan telapak tangannya ke arahku.
“Berani-beraninya kamu!”
Jelas sekali kemarahan yang terpancar dari wajah Satria hingga akupun terkejut melihatnya. Selama lima bulan, aku tidak pernah melihat sisi Satria yang saat ini ada di hadapanku. Ternyata Satria bisa juga melakukan hal fisik semacam ini.
“Selama itu bisa jadi cerita yang bagus, kenapa aku harus nggak berani Satria?”
Kesunyian merambati kami setelah pernyataan itu meluncur dari mulutku. Aku tidak mengharapkan jawaban dari Satria karena aku tidak membutuhkannya. Sama sekali tidak ada penyesalan. Untuk apa? Satria bukan siapa-siapa bagiku.
“Keluar dari apartemenku. Sekarang!”
Aku hanya mampu menggelengkan kepalaku dan memberikan senyuman tipis kepada Satria. “Nggak perlu bentak-bentak seperti itu Satria. Aku akan pergi tanpa kamu minta. I’m done with you anyway. Selamat malam.”
Dengan itu, aku melangkahkan kakiku menjauh dari Satria. Sebelum tanganku berhasil meraih gagang pintu, suara Satria kembali terdengar olehku namun kali ini aku berhasil menahan diriku untuk tidak membalikkan tubuhku.
“Someday, you will look back at this evening in a whole different way, Damar.”
Aku hanya tersenyum sebelum membuka pintu dan melangkahkan kakiku keluar dari apartemen Satria dengan perasaan lega yang luar biasa. Akhirnya, akhirnya…aku bisa keluar dari apartemen itu tanpa harus kembali lagi. Semuanya berakhir dengan luar biasa bagiku. Novelku siap diterbitkan dan aku mengakhiri kebohonganku.
“Ya? Oh, aku sampai sebenar lagi.”
Raisa. Wanita yang sempat menentang rencanaku pada awalnya tapi akhirnya luluh dengan tawaranku untuk mengajaknya berlibur ke Yunani bulan Agustus ini. Tapi, seperti Satria, tentu saja Raisa hanya bagian kecil yang akan dengan mudah aku singkirkan. Malam ini, semuanya benar-benar akan berakhir.
***
3 Months later….
Seperti yang Mbak Inge bilang, novel terbaruku yang berjudul “Cinta Di Ujung Waktu” laris manis di pasaran. Bahkan, hanya dalam waktu tiga minggu, sudah harus cetak ulang lagi. Belum lagi review dari para pembaca serta kritikus sastra yang menyebut novelku adalah karya kontemporer paling berani dalam lima tahun terakhir. Banyak yang mengira aku seorang gay karena gambaran yang begitu nyata tentang kehidupan dua tokoh utamanya. Sama seperti yang aku perkirakan. Tentu saja Satria mendapat satu copy yang aku tanda tangani. Dia berhak mendapat sedikit dari apa yang sudah dia berikan kepadaku kan?
Aku sedang bersiap untuk berangkat ke acara bincang-bincang malam di salah satu stasiun televisi ketika sebuah berita membuatku tertegun tanpa bisa menggerakkan tubuhku di depan layar 32 inciku. Sebuah berita breakin news yang tayang setiap satu jam sekali.
“Sebuah mobil mengalami kecelakaan di kawasan Puncak Bogor sekitar satu jam yang lalu. Korban yang diketahui bernama Dimas Satria Wardoyo, tewas di tempat kejadian. Diperkirakan korban mengantuk karena….”
Aku menelan ludahku dan tenggelam dalam pikiranku sendiri hingga kalimat selanjutnya tidak tertangkap olehku. Atau lebih tepatnya, aku mengabaikannya.
“Satria…”
Tubuhku lemas seketika mengetahui bahwa pria yang selama lima bulan pernah menjadi bagian dari hidupku, sekalipun hanya untuk kepentinganku sendiri, sekarang tidak bernyawa. Jantungku berdegup dengan kencang seolah saat ini, arwah Satria sedang berada dalam ruangan ini bersamaku, menertawakanku karena akhirnya ada ketakutan terpancar di wajahku.
Aku terduduk diam di sofa dan berusaha untuk mengembalikan ketenangan yang aku rasakan sebelumnya. Namun, tanganku terus bergetar hingga kemudian sebuah suara bergema di kepalaku.
“Someday, you will look back at this evening in a whole different way, Damar.”
Suara terakhir yang aku dengar dari Satria.
@rarasipau : Hahahaha, BEST MAN udah dilanjut banyak gantian ANTOLOGI nya yang ditelantarkan
@Different : Thank you!!!!!!!!!! Asal komen pasti dimention kok, soalnya kadang lupa mention kl gak komen, hehehe
@AoiSora : Ups! Maaf, Heineken itu merk bir, macam Bintang gitu trus Cabernet Sauvignon itu jenis angggur merah yang jadi bahan buat bikin red wine
@Adam08 : Sepertinya, ini bukan cerita pertama yang akhirnya gantung deh. Kalo diperhatiin, hampir semua cerpen di ANTOLOGI yng aku buat punya akhir yang gantung, hehehe. Emang sengaja dibuat gitu soalnya ada rencana mau dibuat cerbung. Salah satu cerpen tentunya, nggak semuanya, hahaha
@kiki_h_n : Hahahahaha, masih ketagihan kah?
@Dimasera : I will! Seneng ya kalo punya pengalaman kayak gitu? Hehehehe.
@Arieat : I'm here!!!! maaf, ANTOLOGI nya baru bisa diupdate soalnya kmrn2 pikiran lagi kacau banget. Cerita yg baru aku post ini aja butuh perjuangan karena mandek di tengah jalan. Hehehe. Maaf ya baru bisa diupdate lagi ANTOLOGI nya
@yuzz : Hahahahaha. Well, mungkin bakal jadi signature-ku bikin cerita yg nggak ber-ending
Colek @Rulli arto @yeltz @andreaboyz @bi_ngung @hent4 @habibi @tonymonster
atuhlah... mas abi, apdet ceritanya yang sering ya......
ya mas abi ya...
hehe..
“I love you Paris….”
Kalimat itu berhasil membuatku tersenyum lebar setelah selama hampir satu jam, kalimat yang keluar dari mulut Enzo hanyalah betapa dia menginginkanku dan desahan-desahan nikmat yang membuatku merasa bahwa tidak perlu mati untuk merasakan surga. Dia begitu liar sekaligus lembut hingga membuat setiap inci dari tubuhku ketagihan akan sentuhan dan kecupannya. Belum lagi ketika bibir kami saling bertemu, akan dengan mudah Enzo mengalahkanku dengan telak karena seumur hidup, belum pernah aku menemukan pria yang memiliki ciuman seperti itu.
Tidak akan ada satu pria pun yang akan menolak pesona Enzo. Semua bagian dari dirinya hanya memancarkan kesempurnaan. Apakah ada orang Italia yang tidak sempurna secara fisik? Kalaupun ada, persentasenya pasti hanya beberapa persen.
“I love you even more Enzo,” jawabku.
Mataku menangkap sosok pria berkulit gelap dari daratan Sisilia ini berbaring begitu nyamannya seolah tidak peduli betapa aku langsung menutup tubuhku dengan selimut begitu kami selesai bercinta. Dari dulu, aku memang tidak pernah suka berada di kamar dengan AC menyala.
“Jadi, apa rencana kamu Paris? Kita sudah sering membicarakan ini tapi belum pernah sekalipun kamu bilang apa yang harus kita lakukan. All you have to do is let me know and I’ll take care of the rest.”
Aku menyangga kepalaku dengan lengan kiriku agar bisa memandang wajah Enzo lebih leluasa. Rambut gelapnya yang sedikit bergelombang dan rambut-rambut tipis yang mulai tumbuh subur di wajahnya hanya membuat Enzo terlihat semakin memesona. He’s the real definition of an Italian man.
“Aku hanya belum tahu cara paling aman untuk kita berdua, Enzo. Aku nggak mau membahayakan nyawa dan hidup kamu.”
Ada tawa keluar dari mulut Enzo sebelum akhirnya, dia menatapku. Siapapun bisa melihat ada begitu banyak cinta disana dan aku tidak bisa meminta hal selain itu darinya. Dicintai Enzo adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku. Sekalipun ada satu hal, lebih tepatnya satu orang yang membuat hubungan kami kurang sempurna. Aku dan Enzo saling mencintai tapi belum saling memiliki.
“Kamu sama sekali nggak perlu khawatir tentang aku, Paris. I will be totally fine. Apa kamu masih belum yakin juga dengan apa yang bisa aku lakukan? Kamu akan aman selama ada aku. Mengkhawatirkanku adalah hal yang sangat nggak penting.”
“Aku hanya takut…”
Enzo meletakkan telunjuknya untuk menghentikan kalimatku. Aku melihatnya menggelengkan kepalanya dan sebuah senyuman kembali terpasang di wajahnya.
“Kamu bahkan nggak akan tahu betapa cepatnya semua bisa terjadi, Paris. Kamu hanya perlu bilang. Dan kamu nggak perlu takut.”
Kami saling bertatapan dalam diam sebelum akhirnya aku mengangguk. “We’re a perfect couple, Enzo.”
“We are, Paris. Contoh sempurna dari dua orang manusia yang saling mencintai dan akan melakukan apapun untuk bisa bersama.”
“Aku nggak sabar untuk ada di Capri.”
“Setelah semuanya beres, kamu akan ada disana. Selama yang kamu mau. With me, all you have to do is just let me know. Apapun yang kamu pengen, Paris. You’re gonna have it.”
Apakah ada pria yang mampu menolak kalimat seperti itu? Jika ada, mungkin pria itu punya gangguan mental akut.
“Aku semakin yakin kalau semua pria Italia itu perayu ulung.”
Lagi-lagi, tawa Enzo membahana. Enzo selalu menganggap ucapan itu konyol. Dia pernah bilang, kalau semua pria Italia perayu ulung, maka dunia akan dipenuhi oleh orang berdarah Italia.
“Faktanya adalah, aku bukan perayu ulung, Paris. Setidaknya, rayuanku nggak mempan buat kamu.”
Ada senyum kebanggaan terpancar di wajahku mendengar kalimat itu meluncur dari mulut Enzo.
Bukan rayuan memang yang membuatku jatuh cinta begitu dalam terhadap Enzo, bukan karena kata-kata manis pula yang membuatku rela bersabar hari demi hari menunggu saat ketika Enzo akan kembali memelukku. Namun karena bersama Enzo, aku bisa menjadi diriku sendiri dan merasakan rasa aman yang tidak bisa aku dapatkan bersama Bari. Rasa aman yang telah lama terenggut dariku secara batin.
“Jadi?”
Pertanyaan itu meluncur dari mulut Enzo setelah dia selesai dengan tawanya. Kali ini, dia menatapku dengan tatapan yang hanya bisa aku artikan menuntut jawaban. Bukan mengintimidasi, hanya menginginkan jawaban dariku. Jawaban yang seharusnya mudah saja aku ucapkan namun terasa begitu berat untuk mengucapkannya. Betapapun aku mencintai Enzo, Bari tetaplah pria yang punya arti dalam hidupku. Setidaknya ketika hubungan kami masih berjalan dengan normal, sebelum semua ketakutan serta keposesifannya menguasainya.
“Menurutmu sendiri, apa cara terbaik Enzo?”
Enzo menghela nafasnya. “Ada banyak cara Paris. Tapi, aku lebih suka cara paling cepat dan praktis.”
Dengan itu, Enzo mengarahkan jemarinya yang membentuk pistol kearahku disertai dengan desisan suara pistol yang keluar dari mulutnya.
“Cepat dan tanpa suara.”
Aku menelan ludahku. Enzo yang beberapa detik tadi menatapku membuatku takut. Mungkin dia tidak bermaksud untuk menunjukkan ekspresi itu di hadapanku tapi siapapun yang melihatnya, pasti bergidik. Termasuk aku.
“Tapi, bukankah harus di tempat yang sepi?”
“That’s not a big deal, amore mio.”
Sejak aku mengenal Enzo dan mengetahui apa yang bisa dilakukannya, satu hal melintas di pikiran kami tiga bulan lalu. Menghabisi Bari. Selama ini, kami hanya bertemu ketika Bari tidak di rumah. Pekerjaannya memang mengharuskan dia untuk sering bepergian. Namun, Bari selalu tahu apa yang aku lakukan. Enzo adalah satu-satunya pria yang tidak bisa disentuh Bari. Kenapa? Aku sendiri tidak pernah tahu jawabannya.
Namun, setelah tiga bulan rencana itu terpatri dalam pikiran kami, tetap saja aku belum bisa mengatakan kepada Enzo cara paling tepat untuk menyingkirkan Bari. Namun, belakangan pikiran itu semakin menggangguku karena Bari jadi semakin jarang bepergian lagi sementara aku sudah merasa begitu tersiksa berada bersamanya. Maka, ketika kemarin malam aku bertemu lagi dengan Enzo setelah lima minggu berpisah, hal pertama yang ditanyakannya adalah apakah aku sudah memilih cara untuk menyingkirkan Bari.
Hingga beberapa menit yang lalu, aku masih belum tahu. Namun sekarang, dengan tatapn Enzo yang menghujam jantungku dan keinginan untuk bisa lepas dari Bari serta betapa inginnya aku menghabiskan hari-hariku bersama Enzo, aku tahu cara apa yang aku inginkan.
“Celakai mobilnya, Enzo. Buat seolah-olah itu adalah kecelakaan. Pastikan bahwa nyawanya langsung hilang.”
Senyum lebar menghiasi wajah Enzo setelah aku menyelesaikan kalimatku. Aku tidak menyangka bahwa aku punya kemampuan mengucapkan kalimat seperti itu. Ya, aku memang ingin bersama Enzo dan menyingkirkan Bari dari hidupku adalah satu-satunya cara.
Dengan lembut, Enzo mendekatkan wajahnya untuk mengecup pipiku. “Akan aku pastikan dia nggak akan punya waktu semenitpun untuk menjerit kesakitan.”
Aku bisa merasakan darah dalam tubuhku mengalir begitu cepatnya karena aku tahu keputusan ini tidak bisa aku ubah. Menghabisi Bari….Sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiranku. Namun sekarang, Enzo-lah pria yang aku inginkan untuk ada di sisiku. Bukan Bari.
Enzo membelai rambutku sebelum meletakkan kepalaku di dadanya yang bidang. Bersama Enzo aku selalu merasakan rasa aman namun membiarkan kepalaku menempel dengan kulitnya serta membiarkan telingaku dimanjakan oleh detak jantungnya, membuatku merasa jauh lebih aman. Semua ketakutanku hilang tak bersisa karena aku tahu bahwa Enzo akan melakukan apapun untuk melindungiku.
“Kapan kamu ingin melihat Bari hilang dari hidupmu, Paris?”
“Didn’t you say that all I have to do is let you know and you’re gonna do the rest?”
Telingaku menangkap suara tawa sebelum aku kembali merasakan kelembutan jemari Enzo menyusuri rambutku. Entah mantra macam apa yang dimiliki Enzo hingga aku ketagihan atas setiap sentuhan yang diberikannya. Aku yakin saat ini, sudah ada skenario yang sedang berjalan di kepala Enzo tentang bagaimana cara terbaik untuk menyingkirkan Bari.
“Baiklah. Bukankah semakin cepat akan semakin baik untuk kita?”
Aku mengangguk. “Bisa aku minta satu hal lagi, Enzo?”
“Kenapa cuma satu?”
“Jangan kasih tahu aku bagaimana kamu menyingkirkan Bari, dimana dan jam berapa. Just tell me “He’s gone”. Hanya itu yang perlu aku tahu. Aku nggak butuh detail apapun.”
Enzo terdiam. Mungkin dia tidak mengira bahwa aku akan meminta itu darinya, namun hal terakhir yang ingin aku dengar adalah bagaimana pria yang pernah punya arti dalam hidupku pergi untuk selamanya. Bukannya aku masih menyimpan perasaan terhadap Bari, namun aku hanya tidak ingin mendengarnya.
“Nggak masalah, Paris. Aku pastikan kamu nggak akan dengar apapun selain bahwa dia nggak akan lagi jadi penghalang dalam hubungan kita.”
Melegakan memang mendengar bahwa Bari tidak akan mampu lagi menghalangiku untuk bertemu Enzo. Namun, masih ada ketakutan yang merayapiku. Bagaimana jika rencana Enzo gagal? Bagaimana jika Bari justru lebih dulu punya rencana untuk menghabisi Enzo? Bahwa akan selamanya aku terperangkap dengan Bari dan mengubur cinta serta harapan yang aku miliki bersama Enzo?
Mengutarakan ketakutanku kepada Enzo tidak akan ada gunanya. Enzo akan meyakinkanku dengan semua keyakainan yang dimilikinya bahwa dia akan baik-baik saja. Tapi, aku benar-benar tidak bisa menyingkirkan semua kekhawatiran itu dari pikiranku.
“Kenapa diam Paris?”
“I’m happy that finally, we will be together,” bohongku.
Aku merasakan sentuhan lembut di pundakku sebelum kembali merasakan kecupan singkat di ujung kepalaku.
“We will always be together, Paris. Nggak akan ada apapun atau siapapun yang bisa ganggu hubungan kita.”
Perlahan, aku memejamkan mataku. Berusaha untuk benar-benar tertidur dalam pelukan Enzo. Berusaha untuk tidak memikirkan apa yang akan aku dengar atau apa yang akan mengikutiku sepanjang hidupku. Perasaan bersalah karena atas nama cinta, aku punya peran besar untuk mengambil alih tugas takdir atas hidup Bari. Aku ingin terbangun dengan sneyuman lebar Enzo dan tidak ada bahasan apapun tentang Bari. Aku hanya ingin terbangun dengan senyum di wajahku.
Enzo menyenandungkan sesuatu dalam bahasa Italia yang tidak aku mengerti. Mungkin, dia lega bahwa akhirnya aku mengambil keputusan untuk membuatnya jadi satu-satunya pria yang mampu memilikiku. Mungkin, Enzo tahu bahwa saat ini yang aku butuhkan hanyalah ini. Membaringkan kepalaku di dadanya dan merasakan lengannya memelukku.
Perlahan, suara Enzo menghilang dari telingaku….
@bi_ngung : Ah, bersih2 yg kemaren aja masih utang kok, hihihihi.
@yeltz : thanks! hanya berusaha sebaik mungkin aja kok
@kiki_h_n : Hahaha, pengennya sih gitu tapi kan ide nggak bisa dipaksa. Apalagi ini udah ada sekitar 20an crpen dengan cerita yang beda2. Mau ngangkat tema apa lagi jadi bingung.
@AwanSiwon : Waduh, kenapa kau cakar2 mukaku????
@rarasipau : iya... sebenernya yg UNTUK TOBY itu juga agak antagonis kok tokohnya, si Ravi
@arieat : yep! karena ada org yg nggak percaya ama karma...
@dirpra : Damar kali bukan Satria, hahahaha.
Colek2 @yuzz @AoiSora @Different @Dimasera