BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

ANTOLOGI - THIS MOMENT

18911131456

Comments

  • Yoyooy . Selalu di gantung mah Sama dia (¬˛ ¬ ”) .

    Tq dah di mentiom :D
  • Sumpah ya mas @abiyasha...... Semua cerita2nya ni bikin arie mellow n galau tingkat langit!
    Indah...............
  • Arghhhh yang ini seru banget. Trims @abiyasha
  • oh brarti cerpen2 ini muncul karna setres gk bisa romantis2an disana gtu ya? jd dituangkan lewat tulisan2 keren ini?wkwkwk.. pisss.. ^^V
  • Waiting for the other...
  • wlo agak galau, tp so sweet lah isi ceritanya..
    Bikin buku antologi gih, @Abiyasha
  • HEART SHOCK


    “Ndra, kamu bisa tolong re-schedule meeting sama Mr. Barry lusa?”

    Re-schedule. Lagi?

    “Mau dipindah kapan? Soalnya kamu udah dua kali tunda meeting sama Mr. Barry. I don’t think…”

    “Apa sih susahnya bikin appointment ulang?”

    Aku menelan ludahku. Mood Martin jelas sedang tidak bersahabat malam ini hingga dia harus membatalkan satu lagi janji temu untuk lusa. Sudah tiga janji yang dia minta untuk aku re-schedule hari ini dan ini yang keempat. Selama satu setengah tahun aku menjadi Personal Assistant Martin, baru kali ini dia membatalkan empat janji temu dalam satu hari. Dua dalam satu minggu itu adalah jumlah maksimal yang Martin batalkan ketika awal-awal aku bekerja untuknya, sekarang angka itu sepertinya normal dalam satu hari. Jika aku boleh mencampuri urusan pribadinya, aku berani taruhan bahwa mood dia saat ini pasti dipengaruhi oleh tiga pacarnya yang sekarang sedang berada di Singapura. Mungkin sedang saling pukul dan jotos untuk memperebutkan Martin. Bukan situasi yang mengejutkanku karena sebelum aku bekerja dengannya, aku sudah mengetahui tipe pria seperti apa Martin itu. Kata ‘playboy’ mungkin terdengar terlalu sederhana karena Martin dan pacar-pacarnya itu (aku belum menemukan istilah yang tepat untuk hubungan Martin dengan Darin, Ivo serta Leon) lebih dari sekedar have fun. Mereka seperti terikat oleh sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan. Dan ini bukan pertama kalinya mereka bertiga ada di Singapura di saat yang bersamaan.

    “Oke, aku akan hubungi Inez buat batalin appointment kita buat lusa. Kamu mau pindah kapan?”

    “Bukankah itu tugas kamu?”

    Dengan itu, Martin melangkahkan kakinya keluar dari kamar hotelku. Mungkin dia akan mabuk malam ini dan tidak akan mengherankanku jika besok dia memintaku untuk bertemu dengan beberapa mitra kerjanya karena dia masih ada di tempat tidur. Aku menarik nafasku dalam sebelum merebahkan diriku ke tempat tidur. Aku bahkan belum sempat berpakaian karena Martin datang tepat ketika aku selesai mandi.

    Baru saja aku bangkit dari tempat tidur untuk berpakaian, bel pintu kamarku kembali berdering.

    “Siapa lagi sih?” gerutuku.

    Dengan malas, aku mengambil t-shirt putih yang biasa aku kenakan kalau tidur dan menyambar jins yang tadi aku pakai untuk makan malam sebelum berjalan menuju pintu dan mengintip melalui peephole. Aku mengerutkan keningku ketika mengetahui siapa yang sedang berdiri di depan pintu kamarku.

    “Darin?” ucapku ketika membuka pintu kamar hotelku.

    “Hei, sorry for waking you up,” ucapnya sambil tersenyum.

    “Aku belum tidur kok.”

    “Boleh aku masuk?”

    Aku mengangguk sebelum membuka pintuku lebih lebar agar pria dari California itu bisa masuk. Dari ketiga pria yang sekarang sedang memperebutkan Martin, Darin adalah yang paling ‘kalem’ menurutku. Yang aku maksud dengan kalem disini adalah dia sangat pandai menyimpan emosinya, bukan tipe seperti Ivo dan Leon yang meledak-ledak. Menghabiskan waktu dengan Darin selalu menyenangkan buatku karena dia begitu humoris dan kami cocok membicarakan tentang literature, entah yang klasik maupun modern. Kadang, aku merasa kasihan pada Darin karena harus terlibat cinta segi empat dengan Martin. Dia berhak mendapatkan yang lebih baik daripada itu.

    “Ada apa Darin? Pasti ada hal yang sangat penting sampai kamu harus kesini malam-malam.”

    Darin hanya memberikan senyumnya. “Just want to have a talk with you,” ucapnya sebelum merebahkan tubuhnya ke sofa.

    Aku bisa mendengar helaan nafasnya ketika aku mendudukkan diriku di hadapannya. Single sofa yang ada di kamar ini memang jarang aku pakai karena setiap kali menginap di hotel ini, aku lebih sering menggunakan tempat tidur. Sofa itu hanya aku gunakan untuk membaca, sesuatu yang hampir mustahil aku lakukan setiap kali aku ada di Singapura.

    “Kamu keliatan capek.”

    “As usual, Martin baru dari sini dan minta aku buat re-scehdule lagi meetingnya lusa. Ini appointment keempat yang harus aku jadwal ulang hari ini. Kalian pasti bikin Martin stress berat.”

    Darin tertawa. “Well, from now on, it will be only Ivo and Leon.”

    Senyumku terkembang, namun begitu aku menyadari apa maksud ucapan Darin, senyum itu lenyap. Aku menatap Darin dan sepasang mata biru jernihnya itu membuatku merasa sedang berhadapan dengan Paul Newman dan Cillian Murphy di saat yang bersamaan.

    “Apa maksud kamu?”

    “As you heard, I left him.”

    “Kenapa?”

    Rasanya, itu kalimat tanya yang sangat wajar keluar dari mulutku. Seingatku, aku belum pernah mendengar cerita salah satu dari pria yang pernah menjalin hubungan dengan Martin memutuskan untuk meninggalkannya. Kecuali mungkin beberapa pria yang hadir sebelum aku mengenal Martin. Dan dari nada suaranya, Darin terdengar begitu ringan ketika mengatakan bahwa dia meninggalkan Martin. Tidak ada nada menyesal ataupun sedih yang aku tangkap, seolah dia sudah yakin dengan keputusannya itu. Hal itu justru jauh lebih membuatku heran.

    “I guess because I fall in love with another man.”

    Kali ini, aku tidak mampu menyembunyikan keterkejutanku. Darin pasti melihatnya karena sedetik kemudian, dia tertawa. Seolah baginya, reaksiku berlebihan. Jatuh cinta pada orang lain ketika seseorang sedang menjalin hubungan memang hal yang biasa, namun dalam kasus Martin-Ivo-Leon-Darin, bagiku itu sesuatu yang luar biasa. Jatuh cinta pada orang lain dan meninggalkan Martin? Ingin rasanya aku tidak mempercayai pendengaranku.

    “Sepertinya kamu terkejut.”

    Aku mengangguk cepat. “I am.”

    “Aku cuma lelah, Indra. Sebenarnya, sudah beberapa bulan yang lalu aku bilang ini ke Martin tapi dia selalu bilang kami harus ketemu buat bahas ini. Jadwalku ke Singapura nggak pernah cocok sama jadwal Martin sampai hari ini. So, I told him and to my surprise, he was very upset. Dia hanya diam ketika aku bilang kalau aku jatuh cinta pada pria lain.”

    “Mungkin itu alasan kenapa dia pengen aku buat re-schedule jadwal appointment dia.”

    “Could be.”

    Tidak ada satu suara pun yang menginterupsi kami hingga selama beberapa menit, hanya keheningan yang menyelimutiku dan Darin. Kami masih saling bertatapan sebelum akhirnya, keheningan itu pecah oleh senyuman Darin yang membuatku melakukan hal yang sama.

    “Kamu lucu juga kalau diam gitu. I just noticed it.”

    Aku tersenyum. “So, who’s that lucky guy? Will you introduce him to me?”

    “Pasti.”

    Namun jawaban itu mengandung misteri bagiku karena tatapan Darin sesudahnya. Aku hanya berharap semoga saja pria itu tidak kena damprat Martin kalau mereka bertemu suatu saat. Kadang, Martin juga bisa sangat lepas kendali.

    “Jadi kamu kesini cuma mau kasih tahu aku kalau kamu ninggalin Martin karena jatuh cinta sama pria lain?”

    “Aku pikir, itu informasi yang harus kamu tahu sebagai Personal Assistan Martin,” ucapnya sambil menyunggingkan senyumnya.

    Entah fakta bahwa Darin jatuh cinta pada pria lain atau kelegaan karena dia keluar dari rantai Martin-Ivo-Leon yang membuat dia banyak sekali memberikan senyumnya malam ini. Aku merasa lega karena akhirnya Darin memutuskan bahwa dia berhak untuk mencintai dan dicintai satu orang. Paling tidak, Darin bahagia dari apa yang ditunjukannya padaku malam ini.

    “Kapan kamu balik ke Shanghai?”

    “Tergantung apakah aku bisa meyakinkan pria yang aku sukai atau nggak tentang perasaanku.”

    “Ayolah Darin, cerita siapa pria itu. Untuk apa kamu butuh jawaban dari dia? Pria manapun pasti langsung nerima kamu kalau kamu bilang suka. You’re lovable, Darin. Nggak usah bersikap sok nggak laku gitu.”

    Darin tertawa.

    Aku seperti melepaskan semua kepenatan yang aku rasakan seharian ini hanya dengan berbincang dengan Darin. Sekalipun obrolan kami sama sekali bukan obrolan ringan. Ini seperti Caramel Pudding setelah Nasi Goreng Seafood yang sangat pedas mengisi mulutku. Atau seperti masuk ke ruangan ber-AC setelah seharian membiarkan peluh membasahi tubuhku. Mungkin analogiku terdengar aneh tapi memang itulah yang aku rasakan saat ini. Darin membuatku santai dan melupakan sejenak semua appointment dan hal-hal tentang Martin yang harus aku urusi.

    “Mungkin akan terasa berat karena selama ini aku begitu terikat pada Martin tapi aku yakin dia akan baik-baik saja. Masih ada Ivo dan Leon kan?”

    Aku mengangguk pelan. “Kamu juga akan baik-baik aja Darin.”

    “Kamu kapan pulang ke Bali? Udah lama aku pengen kesana.”

    Aku menarik nafasku. Dalam situasi seperti ini, aku sama sekali tidak mengharapkan Martin akan memberiku izin untuk pulang ke Bali. Satu hal yang membuatku dulu mengambil tawaran untuk jadi PA Martin adalah bahwa aku bisa bernegoisasi dengannya masalah libur. Dia begitu fleksibel. Tapi setelah insiden Darin ini, Martin pasti akan mengalihkan banyak tugas kepadaku. Bahkan mungkin dia memajukan jadwal liburannya yang masih sebulan lagi hingga aku yang harus menghandle semua urusan dia. Bolak-balik Jakarta-Singapura-Sydney sama sekali tidak membuatku bersorak kegirangan.

    Jadi, aku hanya mengangkat kedua bahuku sebagai jawaban atas pertanyaan Darin.

    “Gara-gara kamu, Martin mungkin akan ke Eropa dan semua kerjaannya harus aku yang handle. Nanti aku kasih tahu kalau memang udah dapat kepastian kapan bisa pulang.”

    “Apa aku perlu bicara sama Martin? Kapan terakhir kali kamu pulang?”

    “Sama sekali nggak perlu Darin. Kamu mau mood dia tambah jelek dan aku jadi korbannya?” Darin tertawa. “Aku sebenarnya sering pulang ke Bali tapi hanya satu hari, dua hari paling maksimal. Kalau kamu tanya kapan terakhir kali aku punya libur panjang, mungkin hampir tujuh bulan lalu.”

    “That’s like ages, Indra.”

    “Aku anggap malam-malam tanpa harus berurusan sama Martin sebagai liburanku. I always have books to read, music to listen to dan movies to watch. What else do I need?”

    “A boyfriend?”

    “Hahahaha. Good point there.”

    Sejak hubunganku dengan Campbell berakhir satu tahun yang lalu, aku memang belum menjalin hubungan lagi dengan siapapun. Aku bahkan tidak repot-repot mencari karena kerjaanku saja sudah cukup menyita pikiranku. Saat ini, kehidupan profesionalku jauh lebih penting daripada urusan hati. Sekalipun aku tidak akan menutup diri jika ada yang tertarik padaku, tapi siapa? Hari-hariku hanya dikelilingi partner-partner kerja Martin, petugas Imigrasi, resepsionis hotel, waitrees/waiter dan pramuniaga tempat aku berbelanja. Tidak ada satu celahpun yang bisa membuatku diperhatikan oleh seorang pria.

    “Kamu harus mulai membuka hati kamu, Indra.”

    “Aku kan nggak pernah nutup hatiku, Darin. Kerjaanku saja udah cukup bikin aku keteteran. Nggak ada waktu buat nyari pacar atau sekedar flirting-flirting nggak jelas. My lovers are my books and the playlist in my iPod.”

    “Well, you can’t make love with them.”

    Lagi-lagi, tawaku pecah. Make love? Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali aku melakukannya. Selama ini, aku cukup puas menghabiskan lebih banyak waktu di bathtub jika dorongan itu muncul. No need to chit-chat with some random guys just to get one onto my bed.

    “I have this,” balasku sambil mengacungkan sepuluh jari tanganku.

    “Seriously, kamu butuh pacar baru, Indra. Kamu harus ingat kalau hidup kamu nggak hanya berputar sekitar Martin, you have your own life.”

    “I know.”

    Darin kemudian beranjak dari sofa yang didudukinya kemudian melangkah menuju ke jendela kaca yang tidak jauh dari tempat kami selama lebih setengah jam ini mengobrol. Aku hanya mengamatinya berdiri di depan jendela kaca yang memberikan pemandangan malam Singapura. Dengan potongan dan warna rambut yang mengingatkanku akan Jude Law dan tinggi rata-rata orang bule, Darin sebenarnya tidak terlalu istimewa, apalagi kalau dibandingkan dengan Ivo yang punya darah Italia atau Leon yang punya darah Spanyol-Prancis. Namun, kedua mata itu yang membuat Darin berbeda, belum lagi kepribadiannya yang menurutku sangat menyenangkan.

    “Kamu.”

    Antara yakin dan tidak Darin mengucapkan sesuatu, aku bangkit dari dudukku lalu mendekatinya.

    “Did you say something, Darin?”

    Darin mengangguk namun masih belum membalikkan tubuhnya untuk menghadapku. Tatapannya masih terpaku pada lampu-lampu malam dan akupun hanya mampu melihat bayangannya dengan samar dari pantulan kaca.

    “Kamu, Indra.”

    Kali ini, aku dengan jelas mendengar suara Darin karena dia akhirnya membalikkan tubuhnya dan jarak kami yang lumayan dekat membuatku dapat menangkap dengan jelas kalimatnya. Ini mungkin jarak terdekatku dengan Darin diluar acara memapahnya kalau dia sedang mabuk. In a sober way kalau boleh aku bilang. Darin menatapku dan aku benar-benar masih tidak mengerti kenapa dia menyebutkan namaku dibelakang kata kamu.

    “Apanya yang aku?”

    “You’re the reason I left Martin. Because I have a crush on you. I like you, Indra.”

    Reaksi pertamaku setelah mendengar kalimat itu? Tersenyum lebar. Bukan karena aku senang mendengarnya tapi karena aku tahu bahwa Darin pasti bercanda. Atau mungkin ada pengaruh alkohol yang sedang mengaliri darahnya saat ini. Yang jelas, bagiku kalimat Darin terdengar menggelikan. Sekalipun benar, rasanya tidak mungkin pria seperti Darin bisa tertarik padaku.

    “Welldone, Darin. Kamu bener-bener sukses bikin stress ku ilang malam ini.”

    Biasanya, Darin akan ikut tertawa, namun kali ini, dia hanya diam hingga membuat senyumku ikut memudar. He can’t be serious, can he?

    “Look at my eyes closely, Indra. Tell me if you see any jokes or lies for what I just said.”

    Aku menelan ludahku dan melakukan apa yang Darin minta sekalipun terasa aneh bagiku melakukannya. Yang aku lihat hanyalah sepasang mata biru yang begitu indah namun hatiku membisikkan sesuatu yang beda dengan tatapan itu. Tidak ada kejenakaan yang biasanya aku lihat dari Darin ataupun sesuatu yang mengatakan bahwa Darin berbohong. Not one of those two things.

    Ketakutan merayapiku. Tidak mungkin Darin tertarik kepadaku. Itu seperti saja menukar segelas Cabernet Sauvignon dengan satu kaleng Heineken. Dalam hal ini, tentu saja aku sebagai Heineken dan Martin sebagai Cabernet Sauvignon. Sama-sama bisa membuat orang mabuk namun dengan kelas yang sama sekali jauh berbeda.

    Untuk alasan apapun, aku masih tidak mempercayai Darin bisa tertarik kepadaku.

    “You can’t have a crush on me or like me, Darin.”

    Akhirnya kalimat itu yang berhasil terangkai dari semua kosakata yang berkeliaran di otakku saat ini.

    “Kenapa? Karena kamu kerja untuk Martin? You can quit and work for me or I can help you to find another job. That’s not a problem, Indra.”
    “Bagaimana mungkin, Darin? Ini nggak mungkin.”

    Kali ini Darin tertawa. Darin yang selama ini aku kenal. Tapi, aku merasa ini bukan hal yang lucu hingga aku yang ganti terdiam.

    “Apakah ada yang nggak mungkin jika itu menyangkut hati, Indra? You told me that many times.”

    “Ya, tapi…”

    Telunjuk Darin mendarat di bibirku untuk menghentikanku menyuarakan apa yang sedang berebutan di otakku saat ini. I need to tell him all the reason why, kenapa Darin tidak mungkin jatuh cinta kepadaku. Pasti ada satu atau dua alasan yang akan masuk akal baginya dan dia akan bilang kalau semua yang dikatakannya hanyalah pelampiasan karena dia akhirnya memutuskan hubungannya dengan Martin. Pasti ada.

    “No buts, Indra. Aku tahu kamu pasti terkejut dan sama sekali nggak nyangka, tapi beri diri kamu sendiri waktu, Ok? Remember that night when we both sitting at the terrace of my hotel room in Sydney? Ketika Martin sudah terkapar mabuk dan kita berdua harus membopongnya sampai ke kamar? That was the night when I realized that I want to leave Martin.

    Malam itu, untuk pertama kalinya aku bisa melihat diriku lepas dari lingkaran yang dibuat Martin dengan Ivo dan Leon just by looking at your face when you were staring at Sydney Opera House. Aku menganggap diriku gila karena punya pikiran untuk meninggalkan Martin tapi aku berusaha meyakinkan diriku bahwa aku bisa lepas dari Martin. Kamu begitu berbeda dari Martin, Indra. Bahkan kalau aku bisa pakai persentase, bisa lebih dari 75%. Mungkin akhirnya, Cupid tahu pada siapa dia melepaskan panahnya dengan tepat.

    Bulan-bulan yang aku lewati setelahnya hanya semakin membuatku yakin bahwa aku ingin lepas dari Martin. Aku sadar betul apa yang akan terjadi kalau Martin tahu aku tertarik sama kamu, but you know what the funny thing is? I don’t really care. Aku lebih khawatir apa yang akan dia lakukan ke kamu, tapi kamu nggak perlu takut. I will be around to make sure he won’t do you any harm. Aku tadi bilang kan kalau aku akan kembali ke Shanghai setelah aku bisa meyakinkan pria yang aku sukai? So, that’s what I’m gonna do. Aku juga akan ngasih tahu Martin, bagaimanapun juga, dia harus tahu karena ini juga menyangkut kerjaan kamu.”

    Kalimat panjang yang baru aku dengar seperti novel roman yang sering aku baca dulu. Too good to be true. Namun, ini bukan kisah dalam novel melainkan kejadian yang benar-benar aku alami. Sampai di ujung usiapun tidak akan pernah terpikir olehku akan mengalami hal ini. I need time, that’s for sure. Aku tidak tahu berapa lama, yang pasti bukan dalam hitungan hari. Ini terlalu mengejutkan, bahkan jika orang lain yang ada di posisiku. Situasi ini benar-benar membuatku tidak tahu harus berbuat apa atau lebih sederhana dari itu, harus berekasi seperti apa selain menunjukkan keterkejutanku.

    “Darin….”

    Aku masih menyimpan sedikit harapan bahwa Darin akan menarik semua kalimatnya dan aku bisa meyakinkannya dengan alasan yang mana saja bahwa ini sama sekali tidak benar. Namun gelengan kepala darinya seolah membuatku menutup mulutku dan menelan kata-kata yang belum sempat aku ucapkan.

    “I’ll let you rest for now. Kamu pasti butuh waktu buat mencerna semua ini dan sebanyak apapun itu, I’ll wait. Yang harus kamu ingat Indra, bahwa saat ini aku nggak mabuk dan semua kalimat yang aku ucapkan sepenuhnya berada dalam kendali pikiranku. Kamu juga bukan pelarianku dari Martin. Aku yang milih buat ninggalin dia, bukan dia yang ninggalin aku. Jadi, apapun yang aku bilang, itu benar-benar datang dari hati. Kamu boleh mikir ataupun berasumsi macam-macam tapi dua hal itu yang harus kamu ingat, OK?”

    Aku hanya diam. Masih banyak yang harus aku cerna dari banyaknya kejutan yang mengisi kepalaku malam ini.

    “Goodnight Indra, I’ll see you tomorrow.”

    Dengan itu, Darin berlalu dari hadapanku setelah meninggalkan kecupan singkat di keningku yang membuat tubuhku gemetaran ketika aku mendengar suara pintu ditutup. Seluruh organ di tubuhku seperti bekerja sama untuk membuatku tidak punya kekuatan untuk menopang tubuhku hingga detik berikutnya, aku terduduk lemas di atas karpet tebal yang melapisi lantai kamarku.

    Dari begitu banyak pria gay yang menghuni bumi ini, kenapa justru Darin yang begitu aku kenal, yang merupakan mantan dari bosku sendiri?

    Aku bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Martin tahu, belum lagi Ivo dan Leon yang pasti juga akan mengetahuinya. Pria yang selama ini menjadi saingan mereka untuk mendapatkan Martin sekarang ganti mengencani Personal Assistant-nya. Kekacauan macam apa yang akan aku hadapi? Apalagi tadi Darin bilang bahwa dia akan memberitahu Martin.

    Untuk pertama kalinya, aku berharap bisa mengantuk-antukkan kepalaku ke tembok untuk membuatku pingsan dan terbangun esok hari dengan memori kosong mengisi kepalaku. Setidaknya, memori tentang malam ini.
  • Hellow,

    @kiki_h_n : Novel? aduh, mau break dulu deh. Lagi gak pengen bikin cerita yang panjang2 :D

    @AoiSora : Semua cerpenku sih nggak ada yang dibuat lanjutannya, hehehe

    @rulli arto : dapat ide dari mana? Ya dari mana aja. Banyak nih ide di kepala, tapi musti antri soalnya tubuhnya cuma stau, gak bisa dikloning, hahahaha.

    @AwanSiwon : Ngegantung kan memang keahlianku *loh?* :)

    @yeltz : thank you!!!!!!!!!!!!!!! :)

    @rarasipau : asalkan komen patsi dimention kok soalnya kadang lupa karena kebiasaan. jadi yang nggak komen nggak dimention :)

    @arieat : hahahaha, jauh bener galaunya. Naik apa kesana? :D

    @Adam08 : itu profile picnya James Dean ya? Oh noooo!!!!!!! I'm a fan oh him :D

    @yuzz : Gak juga ah, dasarnya sih memang aku romantis *loh?* tapi emang suka bikin scene2 yang mellow sih, hahahahaha.

    @different : Ini udah dikasih lagi cerita yang lain :) selamat menikmati :D

    @andreaboyz : Pengen sih punya buku sndr, sabar ya? :)

    @
  • Ahahai . Kadang juga lupa koment . Atau malah Ъk ke post a yg udah di ketik -,-" ayo di up lg yg best man . Kmren blom fokus 100 % bacanya . Masih kebawa galau abis baca cerita (boleh di sebut Ъk sih ) -,,-" .

    Cerita yg ini kurang greget akhirnya . Apa blom selesai ya ? :/
  • @abiyasha,thank U so much mention me...
    I always rather unpatient to wait Ur short story...
    Keep writing...
  • E...to...
    Mungkin kalo ada kosa kata yang mmg 'asing' sptny prlu ada notes ny dech,
    Ky Heineken atau yg lainnya hehe
    Apa itu sjenis minuman beralkohol?
    Kan ga smua org tau,trmsuk sy
    Hahaha
    XDD~
  • Sengaja ngambang ya? @abiyasha
  • aih.. bener dah ceritanya mas abi bikin adict.. nagih terus..

    mas abi pm fb nya dong biar bisa diskusi.. #modus
    hehehe...

    ditunggu cerpen lainnya..
  • baru baca sampe 'sehabis prom'. Jadi inget waktu sma pernah dideketin juga sama cowok terganteng se sma (udah dipolling di buku tahunan. Pernah jadi vj mtv segala.). Eh gw nya ngabur soalnya gw takut kalo gw dikerjain sama anak2 gaulnya sekolah (I was (and still) a nerd back then).
    Ceritanya bagus2 mas. Keep me posted. :)
  • @abiyasha kamana nyak?
Sign In or Register to comment.