It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Akulah yg kau sakiti!
BUAT PENULISNYA : CERITANYA BIKIN GALAU TERUS.... MELLOW.... TAPI BAGUS DING.....
Menolak tawaran Andi untuk tinggal sebentar di bar bukanlah sesuatu yang baru untukku karena aku melakukannya hampir setiap kali tawaran Martini gratis itu datang. Aku berusaha memaksakan tubuhku untuk melewati sesaknya pengunjung Incanto malam ini agar bisa segera sampai di pintu keluar. Tugasku sudah selesai dan tidak ada hal lain yang aku inginkan selain pulang dan tidur. Malam ini, entah kenapa aku merasa begitu lelah. Mungkin karena permintaan lagu-lagu dari pengunjung membuatku teringat akan banyak hal yang mati-matian ingin aku hapus dari memoriku.
Senyum sopanku tanpa henti menghiasi wajahku ketika beberapa pria mencoba untuk menahanku atau sekedar menggodaku atau sekedar mencolekku. Bekerja sebagai keyboardist tunggal di sebuah gay bar sementara aku sendiri adalah seorang gay bukanlah hal yang mudah untuk aku atasi pada awalnya. Terlalu banyak godaan. Namun, seiring berjalannya waktu, aku kebal terhadap itu semua. Mungkin karena aku tidak ingin mengulang sebuah kejadian di masa lalu ketika aku masih percaya bahwa cinta itu ada dalam dunia seperti yang aku jalani.
Aku menghembuskan nafas lega ketika akhirnya aku berhasil keluar dari Incanto dan selama beberapa detik, aku hanya berdiri terdiam sembari menyaksikan semakin banyak pengunjung memadati Incanto.
“Wan, ora nongkrong dhisik?” (Wan, nggak nongkrong dulu?)
“Ngantuk Pak, sesuk isih ono gawean,” (Ngantuk Pak, besok masih ada kerjaan) jawabku sambil tersenyum ketika security Incanto, Pak Joko melontarkan pertanyaan itu. Sebagai sesama orang Jawa yang merantau ke Bali, kami lumayan sering bertukar pikiran hingga aku merasa seperti menemukan saudara jauh di tempat yang jauh pula.
“Ati-ati yo?” (Hati-hati ya?)
Aku mengangguk sambil melangkahkan kakiku untuk menghampiri motorku yang aku parkir tidak jauh dari pintu masuk karena Incanto memang tidak memiliki tempat parkir khusus. Aku menghidupkan mesin motorku dan langsung meninggalkan Incanto, tempat yang telah menghidupiku selama kurang lebih satu setengah tahun ini.
Baru beberapa meter aku mengendarai motorku, tiba-tiba aku merasakan motorku sedikit oleng hingga aku terpaksa mengurangi kecepatan yang sudah sangat pelan. Aku mendesah sebal ketika mengetahui bahwa ban belakangku bocor. Tidak ada pilihan lain selain menuntunnya. Maka, aku segera turun dari motorku dan berhenti sesaat untuk sekedar melampiaskan rasa marahku dengan menendang ban belakangku. Jam segini jelas tidak ada bengkel yang masih buka, jadi tidak ada pilihan lain selain menambalnya besok. Masalahnya, bukan ban yang harus aku tambal besok, tapi jalan Drupadi yang biasa aku lewati untuk menuju kosku bukan jalan utama hingga tidak banyak kendaraan yang lewat disana kalau malam. Aku bukan takut hantu, aku lebih takut dengan orang yang punya niat tidak baik.
Dengan perasaan sebal, aku akhirnya menuntun motorku, berharap tidak akan ada kejadian apapun hingga aku sampai kosanku.
“Hey!”
Langkahku terhenti ketika sayup-sayup aku mendengar sebuah suara yang sepertinya ditujukan kepadaku namun aku kembali melanjutkan langkahku karena tidak mungkin ada orang yang mengenaliku.
“Awan!”
Kali ini, aku tidak punya pilihan lain selain kembali menghentikan langkahku karena namaku jelas terdengar. Aku memalingkan kepalaku untuk melihat siapa yang memanggilku, namun rupanya aku tidak perlu melakukannya terlalu lama karena sosok yang memanggilku sudah berada disampingku. Seolah untuk mencapai tempatku, dia hanya perlu menjentikkan jarinya.
Mataku melebar ketika mengetahui siapa sosok itu. Sosok yang sama sekali tidak aku duga akan aku temui malam ini terlebih karena aku selama ini, aku hanya melihatnya sekilas diantara kerumunan Incanto.
“Sepertinya kamu butuh bantuan.”
Aku tersenyum lalu menggelengkan kepalaku. “Makasih tapi aku baik-baik saja.”
“Karel,” ucap pria itu sambil mengulurkan tangannya ketika aku berniat untuk melanjutkan menuntun motorku. Aku hanya menatap pria itu dari ujung rambut hingga ujung kaki sembari berusaha untuk menebak apa maksudnya dengan memperkenalkan dirinya.
“Kamu udah tahu namaku kan?”
“Wait!” Ucapnya sambil meletakkan jemarinya di pergelangan tanganku ketika aku mengabaikan uluran tangannya seolah tidak rela kalau aku berlalu dari hadapannya.
Apa sih maunya orang ini? Aku sama sekali tidak tahu harus bagaimana karena dia memperkenalkan dirinya dengan layak hingga tidak sopan rasanya kalau aku harus bersikap ketus padanya. Namun, apa yang baru dilakukannya membuatku semakin tidak mengerti apa maksudnya.
“I’m sorry, I just want to talk.”
Aku mengerutkan keningku mendnegar apa yang baru dikatakannya. Bicara? Memang apa yang ingin dibicarakannya? Kami belum saling mengenal kecuali bahwa aku tahu namanya Karel, itupun karena dia memperkenalkan dirinya sendiri. Aku mengamati Karel lebih seksama.
Bisa dibilang dia bukan pria yang sangat tampan, katakanlah memiliki tampilan seperti model pria di majalah-majalah fashion. Karel tidak terlalu tinggi untuk ukuran bule dan kulitnya agak terlalu pucat meskipun hanya kulit lengan dan wajahnya saja yang terlihat olehku. Yang menarik perhatianku adalah kedua alisnya yang menyatu dan tatapannya yang dalam. Aku tidak tahu apa warna kedua matanya namun tatapan itu benar-benar dalam hingga membuatku terhenyak selama beberapa saat. Oke, sekarang saatnya aku tanya apa maunya.
“Apa kita saling kenal selain bahwa sekarang aku tahu nama kamu dan kamu tahu namaku? Dan topik kayak apa yang pengen kamu bicarain? Lagipula, aku udah mau pulang dan banku bocor. Aku pengen cepet-cepet sampai di kos dan tidur.”
Mungkin terdengar terlalu kasar tapi itu kalimat paling sopan yang terlintas di pikiranku saat ini karena aku memang mengatakan yang sejujurnya bahwa aku ingin segera sampai di kos dan tidur. Jawaban yang aku dapatkan adalah sebuah senyuman.
“Suara kamu bagus. Aku udah perhatiin kamu sejak beberapa minggu yang lalu, cuma aku tahu kalau kamu nggak suka diajak ngobrol sehabis kamu tampil. Malam ini, aku memang nggak liat kamu tampil tapi akhirnya aku bisa juga ngobrol sama kamu,” jawabnya dengan nada sumringah.
“Ghimana kamu bisa ada disana pas banku bocor? Kamu nggak….” Aku sengaja tidak melanjutkan kalimatku karena menuduhnya punya andil dalam kebocoran yang aku alami terdengar terlalu absurd karena aku sama sekali tidak punya bukti apapun untuk mendukung tuduhan itu.
Karel tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Of course not! Ya Tuhan! Apa yang kamu pikirkan sampai kalimatmu nggak selesai? Kalau aku yang bikin ban kamu bocor? Hahaha. Aku kebetulan mau ke Incanto dan kemudian aku lihat kamu sedang menuntun sepeda motormu. So, since I had no chance to talk to you previously, I thought maybe it’s the right time to talk. In case you need some help.”
Entah kenapa, aku mempercayai begitu saja kalimat yang keluar dari mulutnya. Mungkin karena dia terdengar begitu meyakinkan hingga aku tidak punya keraguan untuk mempercayainya. Yang tidak aku duga adalah, aku tertawa kecil setelahnya.
“Sorry.”
“It’s normal. So, ada yang bisa aku bantu?”
“I’m Ok.”
Damn! Kenapa suaraku jadi tiba-tiba melunak seperti ini? Ada kekikukan selama beberapa detik sebelum akhirnya Karel kembali tersenyum padaku.
“Keberatan kalau aku nemenin kamu jalan sampai ke kosan? In case something ada yang berniat buruk sama kamu. Aku punya sabuk hitam lho,” ucapnya sambil menunjuk ikat pinggang yang dipakainya yang memang berwarna hitam. Atau karena cahaya di sekitar kami yang tidak terlalu terang hingga bagiku keliatan seperti warna hitam. Karel tertawa ketika aku memandang ikat pinggang yang dipakainya.
“Apa hubungannya?”
“Bukan itu yang aku maksud. Sabuk hitam dalam karate maksudku.”
“Oh,” aku tersenyum ketika mengetahui kekeliruanku. Aku berharap dia tidak berpikir aku memandang ikat pinggangnya karena penasaran dengan apa yang ada di balik celananya.
“Jadi?”
“Kenapa kamu pengen nemenin aku?” tanyaku sambil kembali menuntun motorku yang kemudian diikutinya. Aneh rasanya berjalan bersisian namun dipisahkan oleh sebuah motor dengan orang yang baru aku kenal. Namun tawarannya datang di saat yang tepat meskipun aku tidak secara vokal mengiyakan ajakannya untuk menemaniku sampai ke kos.
“Kan tadi aku bilang pengen ngobrol.”
“Kenapa?”
“Sepertinya ‘kenapa’ jadi kata favoritmu ya? Entah berapa kali kamu mengucapkan kata itu sejak sepuluh menit lalu.”
“Karena memang kata itu menuntut jawaban yang ingin aku dengar.”
“Well, mungkin terdengar dangkal dan gombal buat kamu tapi aku pengen ngobrol sama kamu karena pertama kali aku liat kamu tampil di Incanto, I was speechless. Jangan tanya kenapa karena aku sendiri juga nggak tahu jawabannya. Aku kesana hanya untuk liat kamu tampil. Malam ini ada yang harus aku lakuin hingga aku nggak bisa dateng ke Incanto lebih awal buat liat kamu. Aku tetep pengen pergi kesana in case kamu masih disana. Then, I saw you. I guess it’s more like a luck than a coincidence.”
Luck? Keberuntungan macam apa yang dimaksudkannya? Baginya mungkin iya, tapi buatku, it was a coincidence. It had nothing to do with luck. Lagipula, ban bocor tidak bisa dikategorikan keberuntungan kan? Setidaknya buatku.
“Udah berapa pria yang termakan sama rayuan kamu?”
Karel menganggukkan kepalanya seolah tahu bahwa aku akan mengajukan pertanyaan itu. Jawabannya membuatku mataku melebar. “Ada lebih dari lima, well, mungkin enam. Faktanya adalah, mereka memang suka dirayu. Mudah sekali untuk merayu mereka dan mereka memang bilang aku perayu ulung. Well, aku nggak mau bohong tentang hal itu karena aku ingin kamu punya kesan pertama yang baik tentangku.”
Aku sama sekali tidak menduga akan mendengar jawaban semacam itu dari Karel. Pria cenderung suka menyembunyikan fakta tentang kehebatan mereka dalam hal rayu-merayu kan? Kejujuran –jika memang Karel mengatakan hal yang sebenarnya- yang aku dengar memang membuatku terkesan. Terlalu dini untuk mengatakan apakah dia jujur ataupun tidak. Well, anggap saja dia jujur kali ini.
“Kesan apa lagi yang ingin kamu tunjukkan kepadaku?”
“Bahwa aku pengen ngobrol sama kamu bukan karena I want to have sex with you. I really want to know you. More.”
“I hope it’s true.”
“Hahahaha, kamu kedengeran begitu skeptis, Awan. Apa ada pengalaman buruk di masa lalu tentang pria yang kamu temui di bar?”
Aku langsung mengunci mulutku begitu mendengar Karel mengucapkan kalimat itu. Apakah aku terdengar begitu skeptis hingga dia bisa menyimpulkan bahwa aku memiliki pengalaman buruk dengan pria yang aku temui di bar? Meskipun kesimpulannya sama sekali tidak salah.
“Kamu asli mana?”
Karel terlihat bingung pada awalnya karena pertanyaanku sama sekali tidak ada hubungannya dengan pertanyaannya sebelumnya. Namun kemudian dia seperti mengetahui bahwa aku tidak ingin menjawab pertanyaannya, paling tidak bukan sekarang ketika aku baru mengenalnya kurang dari setengah jam.
“Finland.”
“Pantes kulit kamu pucet banget.”
“Really? Aku udah di Bali hampir sebulan tapi kamu bilang kulitku masih pucat?”
Aku mengangkat kedua bahuku. “Emang iya kok.”
“Paling nggak, itu lebih baik daripada aku dikira vampir.”
Tawaku meledak begitu mendengarnya menyebut kata vampir karena sejujurnya, aku tidak memikirkan tentang hal itu sama sekali. Aneh rasanya bisa tertawa dengan Karel, mengingat situasi yang aku alami malam ini sama sekali tidak ada yang pantas untuk ditertawakan. Namun, aku merasa sedikit lupa akan rasa kesalku karena ban motorku bocor ataupun kelelahan emosional yang aku alami saat aku menyanyikan lagu-lagu di Incanto tadi.
“Apa yang kamu lakuin di Bali?”
“Sebenarnya bisa dibilang liburan karena aku nggak banyak ngelakuin apapun selain pergi ke pantai, liat sunset, clubbing, itupun nggak setiap hari.”
“Jadi, apa yang kamu lakuin disini?”
“Bukannya aku udah jawab?”
Aku menggelengkan kepalaku. “Bisa dibilang liburan itu berarti ada hal lain yang kamu lakuin.”
“Kamu ini detail juga ya ternyata?” Aku melihat Karel mengulurkan kedua lengannya hingga tangan kami bersentuhan. Aku menatapnya. “Nggak keberatan kan kalau aku gantiin kamu menuntun motor kamu?”
Siapapun pasti terkejut mendengar tawaran itu. Aku sendiri tidak mampu menyembunyikan keterkejutanku, bukan hanya karena tawarannya, namun ketika kulit kami bersentuhan. Belum pernah ada satu lelakipun yang menyentuhku sejak satu setengah tahun lalu, tidak dengan cara seperti yang sedang Karel lakukan sekarang. Kami saling berpandangan sebelum akhirnya aku melepaskan tanganku dari motor yang aku tuntun, membiarkan Karel menggantikanku.
“Kamu sepertinya terkejut.”
Itu bukan pertanyaan. Itu sebuah pernyataan yang lagi-lagi benar hingga kemudian aku memalingkan wajahku dari Karel selama beberapa detik sebelum kembali menatapnya.
“Apa yang kamu inginkan sebenarnya, Karel? Jika kamu cuma main-main, kamu bisa pergi sekarang. Jangan bikin aku bingung.”
Kedua sudut mulut Karel mengembang namun tanpa sekalipun mengalihkan wajahnya ke arahku. Dia terus menuntun motorku seolah tidak mendengar apa yang aku ucapkan.
“Sampai kapan kamu mau nanya kayak gitu terus, Awan?” Dia memandangku dan langkah kami sama-sama terhenti.
“Sampai aku tahu apa yang kamu inginkan.”
Karel menghela nafasnya panjang sebelum kembali melanjutkan langkahnya. Mau tidak mau, aku mengikutinya.
“I never thought that convincing you could be this hard. I want to know you, Awan. Is that wrong? We’re gay men, we’re grown up men. What’s wrong with knowing each other? I mean, my intention to know you.”
“Aku hanya tahu kalau kebanyakan kaum kita cuma perlu seks, Karel. Sayangnya, aku bukan salah satu dari mereka. Love, for me is a total crap.”
“I knew it!”
Aku mengerutkan keningku mendengat seruan Karel yang lumayan keras hingga kalau ada orang di sekitar kami sekarang, mereka pasti sudah akan memandang kami berdua. Apa maksudnya?
“Apa…?”
Karel memandangku sekilas sebelum kembali melanjutkan memfokuskan dirinya pada jalanan di hadapan kami.
“Aku merhatiin kamu bukan cuma sekali, Awan. Bagaimana cara kamu menolak tawaran Andi, atau hanya membiarkan senyummu menjawab semua godaan yang kamu terima sehabis kamu tampil dan tadi, ketika aku tanya tentang pengalaman buruk, kamu segera mengalihkan obrolan kita. Something must have happened in the past and I knew straight away that it must be related to love thing,” Karel tersenyum. “Correct me if I’m wrong.”
Bagaimana mungkin aku mengoreksi sesuatu yang sepenuhnya benar? Aku hanya terdiam dan membiarkan kakiku melangkah mengikuti Karel dan motorku. Selama satu setengah tahun, tidak pernah ada seorangpun membahas tentang kisah cintaku atau menganalisanya karena aku memang tidak ingin memberi kesempatan kepada siapapun untuk mengetahui kehidupan cintaku. Tidak seorang pun. Ketika Karel mengucapkan kalimat itu, aku seperti ditampar untuk alasan yang aku tidak tahu. Sekarang, apa yang harus aku katakan? Mengalihkan obrolan kami akan membuatku terlihat seperti pengecut namun keterdiamanku ini pasti sudah diartikannya bahwa aku tidak perlu mengoreksi apapun karena semuanya benar.
“Kenapa kamu bisa bilang seperti itu, Karel? Kita bahkan belum satu jam kenal.”
Ada nada ragu dalam suaraku hingga jika kami sedang duduk saling berhadapan di tempat dengan cahaya yang terang, Karel akan langsung mengetahui keraguanku dari ekspresi wajahku.
“Karena aku belajar psikologi, Awan dan kamu bukan orang pertama yang kaget bagaimana aku bisa tahu. Aku bukan cenayang namun berkutat dengan psikologi selama sepuluh tahun bikin aku dengan mudah menganalisa orang.”
“Apa lagi yang kamu tahu, Karel?”
“Bahwa aku tertarik sama kamu.”
Kalimat itu sepertinya meluncur dengan mudah dari mulut Karel hingga aku tidak mampu melanjutkan langkahku. Apa sih yang sebenarnya terjadi denganku malam ini? Sepertinya Tuhan sengaja mengatur semua ini terjadi dalam satu malam ketika aku berada dalam kondisi emosional yang tidak menyenangkan.
Karel sepertinya menyadari bahwa aku tertinggal di belakang karena kemudian dia memalingkan wajahnya tepat ketika kami berada di depan sebuah butik dengan cahaya yang lumayan terang meskipun sekitar kami tetap saja gelap.
“Aku nggak tahu dimana kosanmu, Awan, jadi kamu lebih baik jangan berdiri disitu dan diam.”
Kakiku terasa begitu berat untuk melangkah namun aku paksakan juga karena semakin lama kami sampai ke kosanku, Karel akan menganalisaku lebih jauh hingga aku tidak punya pilihan lain selain merasa ditelanjangi olehnya.
Sepanjang perjalanan, kami hanya diam atau Karel memilih untuk diam karena itu yang aku lakukan. Ketika akhirnya kami sampai di kosanku, aku segera menuju ke kamarku dan membiarkan Karel menaruh motorku di garasi karena dia pasti tahu dimana harus meletakannya. Terdengar sangat kasar dan tidak sopan memang, namun aku mengesampingkan semua itu karena perasaanku serasa diaduk-aduk hingga aku tidak mampu lagi menganalisa apa yang sebenarnya aku rasakan.
Aku meneguk segelas air putih yang langsung tandas ketika Karel menghampiri kamarku dan berdiri di ambang pintu.
“Aku letakkan kunci kamu disini, Awan. Thanks for giving me a chance to know you. At least, I'm less curious now. Have a nice sleep and goodnight.”
Aku menahan semua amarah yang entah dari mana datangnya hingga aku tidak memedulikan tentang Karel lagi. Ketika aku membalikkan tubuhku, Karel sudah pergi namun kunci motorku tergeletak di atas meja di samping tempat tidurku dengan sebuah kertas disampingnya.
Aku menelan ludahku dan meraih kertas itu yang ternyata adalah sebuah kartu nama bertuliskan :
KAREL ALEKSI
Kana’a Director Of Human Resources
Ketika aku membalik kartu nama itu, tertera alamat serta nomor telepon kantor tempat Karel bekerja dan juga nomor pribadinya. Perlahan, aku menutup pintu kamarku dan terduduk diatas tempat tidurku dengan masih memegang kartu nama Karel di tanganku.
Tiba-tiba, aku merasa bersalah karena Karel, apapun yang diucapkannya yang membuatku marah karena merasa bahwa dia tidak berhak untuk menganalisaku, dia sudah menolongku. Aku bukan hanya jadi manusia tidak tahu berterima kasih tapi juga manusia paling kasar sedunia. Maka, aku meraih ponselku dan menekan nomor Karel yang tertera di kartu namanya hingga aku kemudian mendengar nada sambung sebelum akhirnya suaranya menjawab panggilanku di ujung sana.
“Karel….ini Awan…”
Maaf semuanya baru sempet posting cerita baru karena beberapa hari belakangan ini lagi puasa nulis
@kiki_h_n : Hahahaha, mau ya punya hubungan kayak gitu?
@dirpra : Yah, namanya juga cinta. Disadari atau nggak, kita berkorban ketika cinta itu datang Tapi setuju juga sih ama pendapat kamu, hehehe
@yeltz : Thanks udah mampir ya? It's a pleasure knowing it. Keep reading!
@arieat : *Langsung menuju ke youtube buat dengerin*
@AwanSiwon : Hahahahaha. Kadang, musti ada yg pergi kan? manusia kan emosinya berubah terus. Kali aja Angga nyesel udah pergi suatu hari nanti So, aku dapat julukan Penulis Ahli Galau nih? hihihihi
@udjangndeso : Wah, terima kasih kritikannya I do my best. Semoga cerita2 selanjutnya bisa lebih variatif lagi. Thanks a lot!
@yuzz : Pengen bisa! cuma, aku pernah coba bikin cerita yang agak2 gokil gitu jatuhnya malah garing, hihihihihi. Mungkin emang udah klik bikin cerita yang galau2, haahahahaha.
Colek2 @DeliRnzyr @tonymosnter @rarasipau
karya mas abi keren.. sukses bikin galau, hehe..
ceritanya simpel tapi bener pas porsinya.
Ngegantung....
For this i love it!
Jarang di kaum gay yg bisa punya pendirian seperti awan! ⌣Ơ̴̴̴̴̴̴͡.̮Ơ̴̴͡⌣
Heheheh . Tp kok yg ini Ъk berasa gregetnya ya . Apa krn efek bacanya jam 12 saat mata udah sayup2 hahahaah .
Ayo ayo di tunggu karya selanjutnya . ƪ(ˇ▼ˇ)¬
hhhehe
ah mas.a sukses bkin galau lg deh hhuhu ;(
@abiyasha
itulah serunya cerpen dalam antologi, hihi.. bener ga @abiyasha?
Ada apa dengan bulan Mei?
Bagi sebagian besar orang, bulan Mei hanyalah bulan kelima dalam kalender mereka. Bulan setelah April dan sebelum Juni. Salah satu dari tujuh bulan yang berusia 31 hari. Selama 26 tahun, bulan Mei sama sekali tidak berarti apapun bagiku, sama seperti sebagian besar orang. Namun, setahun terakhir, aku memiliki hubungan yang lebih dari sekedar biasa dengan bulan itu. Sejak beranjak dari bulan Mei setahun yang lalu, aku seperti kesurupan ingin segera bertemu lagi dengan bulan paling pendek karena hanya terdiri dari tiga huruf itu. Orang-orang terdekatku sampai bosan mendengar keinginanku untuk memiliki mesin waktu setiap kali kata “Mei” terlontar dari mulutku. Aku seperti mendamba untuk bisa meraih bulan Mei dalam genggamanku.
Ada apa sebenarnya dengan bulan Mei?
Aku duduk di sebuah restoran kecil di Blue Point sementara sejak lima menit lalu, aku resmi melepaskan kaca mata hitamku. Bukan karena aku ingin melepasnya tapi karena itu satu-satunya cara agar aku dikenali. Siang ini matahari bersinar lumayan terik namun tidak mengurangi antusias orang-orang yang ingin melihat luasnya Samudera Hindia dari ketinggian. Bagiku, Blue Point adalah lokasi paling sempurna untuk menyaksikan sunset, bahkan Tanah Lot pun tidak mampu menyainginya. Selalu menyenangkan dan menenangkan berada disini. Duduk dengan sekaleng Coke dingin, memandang birunya Samudera Hindia yang dihiasi dengan buih-buih ombak berwarna putih, merasakan hembusan angin yang membuatku mengantuk serta pantulan sinar matahari yang terlihat seperti rentetan perhiasan dari perak. Hanya satu kata : sempurna. Setidaknya buatku.
Pikiranku tidak pernah berhenti untuk membawaku kembali ke tanggal 20 Mei satu tahun yang lalu. Di tempat dan meja yang sama, pada waktu yang sama dengan pemandangan yang sama. Dengan satu kata yang sama : sempurna.
“Mau bertemu lagi disini satu tahun dari sekarang disini?”
Aku mengalihkan pandanganku dari para surfer yang terlihat seperti noktah-noktah kecil yang bergerak dari meja tempatku berada ke arahnya. Tidak percaya dengan apa yang aku dengar namun tidak bisa dipungkiri bahwa aku senang mendengarnya. Aku tersenyum karena dia selalu bilang “You have a big smile!!!”. Dia membalas senyumku dengan senyumnya juga.
“Seperti Celine dan Jesse di Before Sunrise?”
Dari obrolan kami selama tiga hari terakhir, aku tahu bahwa kami sama-sama memuja film itu dan juga sekuelnya. Bukan hanya karena kedua film itu bersetting di Wina dan Paris, tapi menurut kami, film itu brilian. Dialognya sangat berbobot dan cerdas. Maka, ketika Nate mengajukan pertanyaan itu, pikiranku tidak mampu memikirkan hal selain dua tokoh yang diperankan Ethan Hawke dan Julie Delpy itu.
“Bukankah kita memuja film itu?”
“Siapa yang jadi Celine dan siapa yang jadi Jesse?”
Nate tertawa hingga aku berpikir ingin menyimpan tawa itu dalam kotak dan membukanya setiap kali aku merindukannya.
Aku mengedipkan mataku, berusaha untuk membawa diriku kembali ke saat ini. 20 Mei 2012. Ya, aku dan Nate akan kembali bertemu di tempat ini, hari ini seperti janji yang kami buat setahun lalu. Kami berkirim email setelah Nate kembali ke Seattle tiga hari sesudah janji itu terucap, saling chat melalui Skype ataupun saling memberi komentar di Facebook. Kata Mei tidak pernah lupa terucap ataupun tertulis dalam setiap komunikasi kami. Hanya satu bulan. Mei.
Namun, hanya tiga bulan yang aku miliki bersama Nate.
Setelah itu, semua komunikasi kami jadi seperti satu arah. Setiap email yang aku kirim mendapat notifikasi tidak terkirim. Aku mencoba dua email yang Nate gunakan untuk berhubungan denganku, namun tidak ada satupun yang berhasil. Profil Facebook-nya pun tiba-tiba menghilang dari friend list-ku dan berpuluh-puluh, bahkan mungkin beratus-ratus sapaan, pertanyaan, keluhan, rasa marah, frustasi yang aku kirimkan ke Skype-nya, tidak mendapat balasan. Tidak ada maaf atau bahkan sekedar sapaan. Hanya kebingungan yang melandaku karena Nate memutuskan semua komunikasi kami. Bahkan, aku sempat berada dalam fase frustasi selama beberapa bulan karena tidak mendengar apapun darinya. Semua kemungkinan paling buruk melintas di pikiranku tanpa henti karena aku tahu Nate tidak akan menghilang begitu saja. Atau seminggu yang kami lalui bersama tidak cukup untuk membuatku mengenal Nate?
Sampai kemarin, aku masih berharap Nate akan ingat janji kami hari ini untuk bertemu dan aku masih mengirimkan pesan di Skype-nya.
I will be at Blue Point tomorrow. Same place, same time. Just as we promised one year ago. I hope you haven’t forgotten that.
I miss you a lot, Nate.
Mungkin terdengar sangat dangkal dan naïf bahwa aku masih ingin menepati janji kami sementara aku tidak tahu pakah Nate akan datang atau tidak. Duduk seorang diri di hari Senin di tempat seindah ini, sengaja membuat diriku tidak masuk kantor hanya untuk ada disini. Apakah aku terlalu naïf? Aku tidak bisa menjawab ya atau tidak, namun aku berusaha untuk tidak memikirkan kebodohan ataupun kenaifanku jika memang nantinya Nate tidak muncul. Mungkin, aku membutuhkannya. As a closure. Sebagai penutup atas hubunganku dengan Nate, agar aku bisa kembali melanjutkan hidupku tanpa harus membebani pikiranku dengan satu nama. Aku menjalani kehidupanku dengan normal sejak komunikasi kami terputus, namun ada yang tertinggal setiap hariku berakhir. Nate. Aku tidak mau menjadi seorang munafik dengan mengatakan bahwa Nate tidak berarti apa-apa lagi untukku. Namanya masih ada di hatiku karena belum ada pria lain yang menggantikannya. Apakah setelah hari ini aku harus mengusir Nate dari sana dengan paksa?
Aku menghela nafasku sambil menghabiskan Coke-ku dengan sekali teguk sebelum memesan satu kaleng lagi. Sudah lima belas menit beranjak dari pukul setengah dua namun mataku masih belum menangkap sosok Nate. Aku yakin, satu tahun tidak akan mengubah Nate menjadi lebih tinggi sepuluh senti atau merubah mata hazelnya itu menjadi biru kan? Kecuali kalau di memakai kontak lens yang sangat aku ragukan karena Nate lebih suka memakai kacamatanya. Tidak ada yang terlupakan atau tersisihkan dari memoriku tentang sosok Nate, apalagi wajahnya. Bagaimana mungkin bisa?
“Sorry, I’m late.”
Hatiku berdegup begitu cepatnya ketika aku menangkap suara itu. Telingaku jelas tidak akan membohongiku dengan memanipulasi suara itu kan? Selama beberapa detik, tubuhku membeku. Leherku seperti terpaku pada satu arah hingga otakku menjadi lebih lambat untuk mengirimkan respon agar aku memalingkan wajahku. Aku menelan ludahku sebelum akhirnya mataku menangkap pemilik suara itu.
Nate.
Ada senyuman disana, tidak lebar, hanya tipis. Namun, senyum itu milik Nate. Mata itu masih berwarna hazel meskipun tidak ada lensa yang menutupinya namun tatapan itu masih milik Nate. Rambut coklatnya dibiarkannya tumbuh lebih lebat dan panjang hingga membuatku, entah kenapa tiba-tiba teringat Tom Welling. T-shirt V-neck berwarna krem dan chino short berwarna biru gelap membuatku semakin yakin bahwa memang Nate-lah yang sedang berdiri di hadapanku sekarang. Masih Nate yang setahun lalu duduk di hadapanku di meja ini.
Kami saling bertukar pandang. Aku yang berada di antara rasa percaya dan tidak karena kembali melihat Nate, sedangkan Nate seperti ingin menjelaskan begitu banyak hal kepadaku dengan tatapan itu. Tatapan maaf. Selama beberapa detik, aku yakin bahwa kami berdua mencoba untuk mengontrol perasaan kami atas pertemuan ini. Penantian selama satu tahun itu akhirnya berakhir saat ini.
“You’re here.”
Nate mengabaikan ucapanku karena detik berikutnya, aku bisa merasakan lengan Nate memelukku erat dan hidungku kembali menangkap aroma He Wood Rocky Mountain dengan jelas, parfum yang sama.
Semua fakta-fakta kecil itu membuatku semakin yakin bahwa memang Nate yang sedang memelukku saat ini. Bukan hasil dari khayalanku karena begitu menginginkan untuk kembali melihatnya.
“I’m sorry, Lintar.”
“I believe there will be more. Am I right?”
Nate melepaskan pelukannya dan sekali lagi, kami saling bertukar pandang sebelum akhirnya dia duduk di hadapanku. Jemarinya masih menggenggam tanganku dengan erat.
“Apa kabar Lintar?”
Aku tersenyum. “Baik. Kamu sendiri?”
“Aku baik-baik saja.”
“You look great, Nate. I like your long hair.”
Nate tertawa kecil, selalu seperti itu setiap kali aku melontarkan pujian terhadapnya. Seperti dia tidak sadar bahwa dia pantas mendapatkan pujian itu, setidaknya dariku.
“You haven’t changed a bit, Lintar. Kamu masih Lintar yang sama.”
Aku mengangguk. “Physically.”
“Akan ada banyak permintaan maaf dariku, Lintar.”
“Aku percaya bahwa kamu punya alasan yang sangat kuat kenapa tiba-tiba memutuskan komunikasi kita, Nate. Aku hanya berharap nggak ada kesalahan yang aku lakukan hingga kamu harus melakukan itu.”
Nate menggeleng cepat. “No!!!! You made no mistake at all, Lintar. Nggak ada alasan kamu harus berpikir seperti itu.”
“What happened?”
Nate menghela nafasnya, seperti sudah menyiapkan dirinya untuk pertanyaan itu. Aku yakin, Nate sama sekali tidak terkejut dengan apa yang aku tanyakan. Jawaban apapun yang akan diberikannya, aku hanya ingin mendengar sebuah kebenaran meskipun mungkin yang akan aku dapatkan adalah sebuah kebohongan. Tidak ada yang tahu pasti kecuali Nate apa yang terjadi selama sembilan bulan sebelum dia muncul di hadapanku hari ini. Jantungku seperti ingin lepas dari tubuhku melihat Nate terdiam hanya untuk memberikan jawaban yang dengan pasti diketahuinya.
“I’m a married man, Lintar.”
Ingin rasanya aku meminta Nate untuk mengucapkan kembali apa yang baru aku dengar. Apakah kali ini telingaku memanipulasi kalimat Nate? Namun ketika mataku menatap ada cincin yang melingkar di jari manisnya, aku merasakan lonjakan emosi yang tidak tertahankan. Nate milik orang lain sekarang.
Aku memaksakan senyumku, tipis meskipun Nate lebih memilih untuk memalingkan wajahnya dariku. Menikah?
“Why didn’t you tell me?”
Aku menjaga suaraku agar terdengar normal. Dari semua kemungkinan yang terlintas selama sembilan bulan ini, Nate dan menikah tidak pernah menjadi satu kalimat di pikiranku. Aku terlalu sibuk memikirkan keselamatan Nate, bahkan pikiran kalau Nate sudah meninggal tidak bisa aku singkirkan. Jadi, inilah yang aku dapatkan untuk penantianku selama ini? Fakta bahwa pria yang masih aku biarkan mengisi hatiku ternyata telah menjadi milik orang lain?
“It happened so fast, Lintar. I’m sorry.”
Aku menghela nafasku sembari membiarkan mataku menatap kembali samudera luas dihadapanku, berusaha untuk membuang semua rasa marah yang aku rasakan disana. Berharap dengan melakukannya, aku juga mampu untuk memaafkan Nate. Tidak ada pernikahan yang terjadi begitu cepat dalam kamusku.
“Untuk apa kamu kesini jika memang kamu sudah terikat dengan orang lain, Nate?”
Dari semua kalimat yang aku ingin untuk Nate dengar, pertanyaan itulah yang akhirnya terlontar. Logikaku mengambil alih hatiku.
“Aku sadar bahwa aku bersikap sangat tidak adil sama kamu dan inilah satu-satunya cara yang bisa aku lakukan untuk menebusnya. Menepati janji yang kita buat setahun lalu.”
“Apa dia ikut ke Bali?”
Pelan, Nate mengangguk. “He will be here soon.”
Senyum kembali terpasang di wajahku. Namun, bukan ‘Big smile’ seperti yang Nate selalu bilang kepadaku, senyum yang disukainya, tapi senyum yang aku tujukan untuk mengasihani diriku sendiri. Untuk menertawakan kebodohan serta kenaifanku selama sembilan bulan terakhir. Apa lagi yang bisa aku lakukan? Aku tidak mungkin meratapi apa yang baru saja aku alami disini kan?
Semuanya jelas sekarang dan aku tidak punya alasan lain untuk tetap berada disini. Melihat pasangan Nate datang ke meja kami hanya akan membuat kebodohanku semakin terlihat jelas. Lagipula, aku tidak menyiapkan diriku untuk kejutan semacam ini. Akan lebih mudah bagiku untuk menerima ketidak hadiran Nate daripada fakta bahwa Nate menjadi milik orang lain. Aku segera mengeluarkan satu lembar lima puluhan untuk membayar Coke-ku sebelum bangkit dari tempatku duduk.
“Aku menghargai kedatanganmu, Nate. I really do. Aku minta maaf jika kamu datang ke Bali hanya untuk menepati janji kita. Thanks for everything, something I haven’t said yet. Send my regard to him and I wish nothing but the best for both of you.”
Dengan kalimat itu, aku melangkahkan kakiku menjauh dari Nate namun hanya beberapa langkah sebelum suara Nate kembali menghentikannya.
“Once again, I’m sorry, Lintar.”
Aku hanya tersenyum namun tidak memalingkan wajahku untuk menatap kembali Nate. Aku melanjutkan langkahku untuk segera menjauh dari sana. Ketika sedang menuruni tangga, aku berpapasan dengan seorang pria yang membuatku tidak mampu untuk tidak memberikan senyumku. Ketika aku sudah mencapai tangga terakhir, mataku menatap sosok pria itu menghampiri meja Nate. Jadi, pria itulah yang memiliki Nate sekarang.
Ada perasaan menyesal menyelimutiku karena ingin rasanya aku berada disana lebih lama, untuk mendengar lebih banyak tentang pernikahan yang katanya terjadi begitu cepat itu. Ingin rasanya aku menjadi pihak yang ikut berbahagia dengan pernikahan itu dan memberikan ucapan selamat, menekan semua perasaanku hingga batas minimum. Namun, aku tidak bisa. Aku kalah oleh perasaan marah dan kecewaku.
Satu tahun yang lalu, hanya tawa dan kebahagiaan yang aku bagi bersama Nate dan janji bahwa pada tanggal yang sama, kami akan mengulangi tawa dan kebahagiaan itu. Aku tersenyum getir sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan tempat yang selama satu tahun mengikatku secara batin. Sekarang, tempat itu tidak akan pernah sama lagi buatku. Tempat favoritku selama satu tahun untuk menikmati sunset, akan segera digantikan oleh tempat lain. Aku bahkan mungkin tidak akan memiliki cukup keberanian untuk berada disana selama beberapa waktu.
I got that closure. It was so far from the word perfect but I got my closure. Wasn’t that the most important thing?
Yang harus aku lakukan sekarang adalah berusaha untuk memindahkan Nate dari hatiku ke tempat yang bernama kenangan dan membiarkan pria lain mengisinya. Entah kapan.
Mei, sepertinya akan menjadi bulan yang ingin aku lewatkan dalam kalenderku sampai aku merasa bahwa Mei, tidak berbeda dengan sebelas bulan yang lain. Bahwa Mei, sama sekali tidak punya arti apapun buatku selain sebagai bulan berusia 31 hari. Bulan yang harus aku jalani sama seperti 26 tahun kehidupanku sebelum aku bertemu Nate.
Mei, would you like to be kind to me again?