It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ehehehe... bang Abi....
permisi...
Q suka bnget ma karya mu... lope2 lahhhh...
ne jugaa Q sekalian mo izin copas.. TAPI Q janji gak bakal Q share dahhh...
biasa bang... anak kere... ge d warnet gak bisa lama2 d warnet. limit times...
jadi Q save d flashdisc trus d bca d rumahh...
#cek dompet
Maaf lagi Abi aku kelupaan ma yang ini. tadi pas iseng buka antologi nyari tau kalau-kalau ada cerpen baru dan ternyata aku lagi-lagi ketinggalan... ohmegod, kemana aja aku selama ini???? :-SS
#Lebaymodeon
Makasih Abi untuk cerita-ceritanya, setiap cerita Abi bikin motivasiku menggebu untuk harapan itu(?). meski kadang aku sering lompat bacanya, gila...Abi kalau udah mau bikin sedih or kesel gak tangung-tanggung,
#Lempar Abi pake bantal
makanya kadang aku skip dulu, nanti baru baca lagi pas mental udah siap #:-S . dibilang lebay yah, teserah, tapi aku emang gitu, suka kebawa suasana (Yang parah banget).
udah segini aja, makasih sekali lagi buat Abi... >-
*sekalian ngingetin 3bulan blm diupdate*
dan dirimu baru baca skarang?
#geleng-geleng
:o3
sayah sayah... ikutan boleh? @abiyasha mau dong di mention juga .....
sama soal vote... saya baca ulang lagi dulu semuanya yah.... biar bisa pilih yang sesuai dengan hati... hehhe
“Aku ingin pulang, Will.”
Kalimat itu meluncur dari mulutku. Singkat, namun jauh lebih mengena daripada rentetan kalimat panjang yang sempat terpikir untuk aku katakan. Mataku masih memandang English Bay yang mulai menggelap bersamaan dengan matahari musim panas, yang sebentar lagi terbenam. Semilir angin yang berembus, membuat Vancouver sedikit lebih sejuk dibandingkan siang tadi.
Aku masih belum berani menatap wajah Will sejak kami selesai makan malam satu jam yang lalu. Bahkan, ketika kami sudah menghabiskan hampir satu jam duduk di balkon apartemen dengan sebotol bir di tangan masing-masing.
“Berapa lama?”
“Maybe for good.”
Kali ini, aku memberanikan diri mengalihkan pandanganku dari English Bay untuk menatap Will, pria yang selama empat tahun ini telah menjadi bagian tidak terpisahkan dariku. Darah Indonesia yang diwarisi dari Mamanya, tampak jelas pada warna rambutnya yang gelap dan kedua mata cokelatnya, sementara wajah serta proporsi tubuhnya, jelas menurun dari Papanya yang memang warga negara Kanada. Orang tidak akan menyangka bahwa Will punya darah Indonesia jika mereka hanya melihat wajah serta tingginya.
“Boleh aku tahu alasan kamu bilang seperti itu?”
Aku menelan ludah. Will selalu tahu bagaimana menggunakan otoritas dalam suaranya setiap kali dia membutuhkan penjelasan dari siapapun. Tanpa ada pengecualian.
“Kantor menawariku jabatan sebagai Creative Director.” Aku sengaja berhenti sebelum melanjutkan kallimatku. Sadar bahwa Will tidak akan suka mendengar kata berikutnya. “Di Jakarta. Mereka akan membuka kantor disana awal tahun depan.”
Kali ini, kami hanya saling bertatapan. Namun, hanya dengan itu, aku tahu bahwa Will sedang menimbang kalimat yang akan diucapkannya kepadaku. Sudah hampir dua minggu aku menunda untuk mengatakan ini kepada Will dan kantor meminta jawabanku dengan segera.
“Aku harap kamu menolak tawaran itu.”
Aku memejamkan mata. Kalimat Will lebih terdengar seperti perintah daripada sebuah permintaan.
“Aku justru ingin mengambil tawaran itu, Will. Kapan lagi aku mendapat tawaran menjadi seorang Creative Director di sebuah advertising agency besar seperti Point Grey? Sudah saatnya aku menantang diriku untuk jabatan itu.”
Kali ini, Will dengan jelas memperlihatkan ekspresi tidak sukanya. Sejak awal, aku tahu, membahas mengenai tawaran ini akan jadi diskusi panjang antara kami berdua. Bukan tidak mungkin, diskusi ini akan berakhir menjadi pertengkaran hebat. Will ingin aku tetap di Vancouver, itu sudah pasti, bahkan, dia pernah bertanya apakah aku mau mengubah kewarganegaraanku. Namun, aku belum siap untuk itu.
Will segera bangkit dari kursi dan masuk ke apartemen dengan langkah kaki yang menunjukkan apa yang dirasakannya. Aku menarik napas panjang sebelum menyusulnya. Aku ingin bicara dengannya, bukan berdebat. Namun, sepertinya, hanya perdebatan yang menunggu kami berdua.
Aku menghampiri Will yang sedang membuka botol Hennessey sebelum menuangkannya ke gelas. Will menatapku.
“Do you want one?” tanyanya sebelum menandaskan cognac itu dalam sekali teguk.
Aku menggelengkan kepala. “Bisa kita bicara tanpa ada alkohol, Will?”
“Kamu tahu aku tidak suka kamu kembali ke Indonesia, apalagi untuk tinggal disana. Kalau kamu masih ingin tahu jawaban dariku,” Will menggelengkan kepalanya mantap. “No.”
“Tidak bisakah kita bicara terlebih dulu, sebagai dua orang pria dewasa, sebelum kamu bilang tidak?”
Will menghela napasnya sebelum meletakkan botol Hennessey itu di atas bar table. “Apa lagi yang harus kita bicarakan, Arta? Apapun alasan kamu, aku tetap tidak akan pernah mengizinkanmu tinggal di Indonesia. How much salary will you get there? And most importantly, how about ME? How about OUR relationship?”
Aku kembali terdiam.
Jika saja aku bisa membuat Will mengerti bahwa ini lebih dari sekedar masalah uang. Di Jakarta, aku akan memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada seorang Art Director, posisiku saat ini. Namun, aku juga tidak yakin apakah aku bisa jauh dari Will. Kami terlanjur melewati begitu banyak hal dan kenangan yang kami miliki, terlalu penuh untuk aku ingat satu persatu. Aku rela terbang Jakarta-Vancouver sesering yang Will minta jika memang itu bisa membuatnya senang. Aku mengerti, Will tidak akan pernah mau datang ke Indonesia, kecuali jika kedua orang tuanya memohonnya untuk pergi. Sebisa mungkin, dia selalu menggunakan kasus-kasus yang ditanganinya sebagai alasan utama. Aku akan melakukan apa saja asalkan aku bisa meyakinkan Will bahwa hubungan kami akan tetap berjalan sekalipun kami ada di dua benua yang berbeda.
“Hubungan kita akan tetap berjalan, Will. Aku rela…”
“Nonsense!! Bagaimana mungkin kamu menjaga hubungan kita kalau kamu berada ribuan kilo jauhnya dariku? We’ve been in this relationship for 4 years, Arta! 4 freaking years!! How am I supposed to live without you?!”
“That’s why I want us to talk, Will. Amarah kamu tidak akan membawa kita kemana-mana,” balasku sambil menatap Will.
Will masih terlihat gusar, namun, mengenal Will, aku tahu amarahnya sudah sedikit mereda. Biasanya, aku yang mengalah jika perdebatan diantara kami mulai meruncing. Untuk kali ini, aku berusaha tidak mengalah semudah itu. Aku ingin hubunganku dengan Will tetap berjalan sekalipun aku berada di Jakarta.
Will keluar dari balik bar table dan berjalan melewatiku sebelum menghempaskan tubuh jangkungnya itu di atas sofa Minotti berwarna krem, yang kami pilih berdua setahun yang lalu. Aku berjalan menghampirinya. Polo shirt Zegna berwarna biru lautnya mulai terlihat kusut, karena Will terlalu malas untuk mandi dan menggantinya sebelum kami makan malam tadi. Aku memandang wajahnya yang sudah mulai dipenuhi oleh rambut-rambut halus, tanda bahwa sudah dua hari dia tidak bercukur dan kedua matanya yang terpejam, tanda bahwa dia tidak ingin membahas persoalan ini lebih lanjut.
“Haruskah kita membahas ini sekarang, Arta? Tidak bisakah kita membahas ini besok?”
Biasanya, aku akan menuruti keinginan Will karena permintaan itu biasanya keluar dari mulutnya ketika dia sedang menangani kasus yang menyita energi dan pikirannya. Namun kali ini, aku ingin kami menyelesaikan pembicaraan ini secepatnya. Semakin lama kami menunda membicarakannya, akan semakin rumit jadinya. Aku hanya ingin meminta Will untuk mengerti betapa pentingnya ini bagiku. Aku tidak ingin mengorbankan dia untuk sebuah jabatan, namun, aku juga tidak mungkin melewatkan kesempatan ini.
“Aku ingin kita bicara sekarang, Will. Kantor menunggu keputusanku dan aku ingin kita bisa menemukan cara agar hubungan kita tidak berakhir hanya karena aku pindah ke Indonesia.”
Will membuka matanya dan menatapku. “You know I love you, right?”
Aku mengangguk. “I love you too, Will.”
“Then please don’t go.”
Aku menghela napas panjang. “Jangan memberiku pilihan, Will. Aku tidak ingin ada yang dikorbankan. Kamu, aku ataupun hubungan kita.”
“Tapi, bukankah harus ada yang dikorbankan, Arta? Bukankah pada akhirnya, kamu tetap harus memilih?”
Inilah yang aku takutkan ketika pertama kali tawaran ini datang kepadaku. Memilih. Kalaupun aku tidak menginginkan pilihan itu, Will yang akan membuatku untuk memilih. Bagaimana mungkin aku memilih diantara dua hal yang sama-sama penting untukku?
“I don’t want to choose, Will. That’s why we have to talk. Agar kita tidak harus memilih.”
Will menegakkan tubuhnya sebelum mengulurkan lengannya untuk meraih tanganku dalam genggamannya. Setiap kali Will melakukan ini, aku selalu merasa bahwa tidak ada hal buruk yang akan terjadi pada kami berdua. Genggaman tangannya selalu membuatku merasa aman.
“Apakah ada yang bisa membuat kamu menolak tawaran itu, Arta? Tidak bisakah kamu meminta untuk dipindahkan ke kantor cabang mereka di New York atau Los Angeles atau London? Kemana saja asalkan kamu tidak harus ke Indonesia.”
“I’m afraid not.”
“So, you have made your decision to go, then. Even before you told me about that offer.”
“Will, kamu tahu betapa pentingnya posisi itu untukku. You know how much I want it. Aku bisa minta untuk pindah setelah dua atau tiga tahun disana dan kembali kesini. After that, I promise that I will never be away from you again.”
Will melepaskan genggamannya.
“Lalu, apa yang terjadi dalam kurun waktu dua atau tiga tahun itu, Arta? Apakah kamu yakin kita bisa bertahan selama itu? Apakah kamu yakin bahwa tidak akan terjadi apapun dalam hubungan kita? I certainly know what’s going to happen. There won’t be us anymore.”
Aku menghela napas. “Will…jangan bilang begitu.”
“Don’t leave me, then. Don’t go.”
Jika seperti ini, pembicaraanku dengan Will tidak akan menemukan titik temu. Aku tidak mungkin bisa meminta Will untuk membahas persoalan ini tanpa harus mendengar permohonannya agar aku tetap di Vancouver. Sementara aku, ingin mengambil tawaran ini tanpa harus mengorbankan hubungan kami. Kami seperti berjalan di dua lintasan yang berbeda. Saling berlawanan. Secepat apapun kami menambah kecepatan atau memperlambatnya, kami tetap akan menuju akhir yang berbeda.
“I’ll be right back.”
Telapak tangan Will menyentuh pipiku sebelum dia beranjak dari sofa dan berjalan menuju kamar tidur kami. Aku menyaksikan punggungnya menghilang dibalik pintu sebelum aku menyandarkan tubuhku dan memejamkan mata.
Bagaimana aku bisa memutuskan jika Will terus bersikap seperti ini? Menerima tawaran ini tanpa persetujuan Will akan sama halnya mengakhiri hubungan kami secara sepihak. Will takut dengan Long Distance Relatonship karena dia punya sejarah buruk dengan hubungan semacam itu. Dia bahkan selalu menunjukkan ketidaksukaannya setiap aku pulang ke Indonesia selama tiga minggu setahun sekali. Kami memang lumayan sering berargumen, seperti normalnya pasangan lain, bahkan untuk hal-hal kecil. Namun, tidak pernah argumen itu sampai pada tahap yang membahayakan hubungan kami. Ini pertama kalinya kami dihadapkan pada situasi seperti ini.
Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya. Berharap dengan itu, aku bisa menemukan cara untuk membuat Will mengerti dan membiarkanku meraih impianku menjadi Creative Director tanpa harus mengorbankan empat tahun yang sudah kami lewati bersama.
“Will you marry me?”
Aku membuka mata dan melihat Will sudah berlutut di hadapanku, dengan sebuah kotak kecil dengan cincin di dalamnya. Dia sudah mengganti polo shirt yang dipakainya tadi dengan kemeja putih Armani –aku tahu karena Will membeli dua kemeja yang sama persis dengan yang dipakainya sekarang untukku– dan mengenakan arloji Raymond Weil favoritnya. Dia bahkan menyisir rambutnya, sekalipun aku tahu dia belum mandi.
Melihatnya begitu rapi, terlebih lagi kilau dua mata berlian yang tertanam di cincin dari platina itu, aku tidak bisa mengeluarkan satu kata pun dari mulutku. Aku sadar, ini bukan sebuah lelucon, jadi aku tidak akan menganggap Will sedang bercanda. Namun, aku juga tidak mungkin menjawab pertanyaannya tanpa tahu kenapa dia tiba-tiba melakukan ini.
“What are you doing, Will?”
“Aku sebenarnya ingin menyimpan momen ini hingga tiga bulan lagi, ketika hubungan kita genap empat tahun. Tapi, aku harus mengatakannya sekarang karena aku percaya, ini satu-satunya cara agar kamu tetap tinggal disini, bersamaku. Aku tidak bisa melihat diriku bersama pria lain selain kamu, Arta. So, once again, I will ask you, will you marry me?”
Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Will akan mengajukan pertanyaan ini kepadaku. Kami memang tidak pernah benar-benar membahas untuk melegalkan hubungan kami, karena bagiku, pernikahan bukanlah sesuatu yang harus terjadi. Will memang tahu bagaimana membuatku kelu. Jika aku menerima cincin yang sedang ada dihadapanku sekarang, aku sepenuhnya sadar bahwa aku tidak akan pernah bisa meninggalkan Will untuk kembali ke Indonesia. Jika aku menolaknya, untuk tetap pada keputusanku tanpa harus mengorbankan hubungan kami, aku yakin, Will akan menganggap itu sebagai akhir dari hubungan kami.
“Why are you doing this, Will?”
Biasanya, Will akan langsung berang jika aku menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan yang lain. Namun, kali ini, Will hanya tersenyum tipis. Seolah semua amarah yang ditunjukkannya padaku tadi, menguap begitu saja.
“Apakah kamu selalu perlu penjelasan untuk setiap pertanyaan yang aku ajukan, Arta?”
Aku mengangguk. “Utuk apa yang sedang kamu lakukan sekarang, ya.”
“You know I love you. You know that I don’t want you to go back to Indonesia, let alone live and work there, even though, you’re still Indonesian.” Senyum Will mengembang ketika mengucapkan kalimat terakhir. Aku berusaha menahan senyumku. “You know how persistent I can be, out of court. I will do anything to make you stay here, Arta, with me and spend the rest of our lives together. I know how much you want that position and you deservedly so. But, if you have to leave me and live thousand miles away from me, you know I will keep fighting and keep asking you to stay. This ring is not just for asking you to marry me, but asking you to stay. Not only here in Vancouver, but with me.”
Tenggorokanku tercekat.
Will tidak pernah jadi pria romantis. Jadi, melihatnya berlutut dengan cincin serta mengucapkan serentetan kalimat itu, membuat keputusanku untuk kembali ke Indonesia goyah. Aku mencintai Will dan aku tidak meragukan cinta Will kepadaku.
“Say something, Arta.”
Aku menatap sepasang mata cokelat itu. Berusaha untuk mencari setitik kebohongan disana. Namun, tentu saja aku tidak menemukannya. Will hanya berbohong jika memang dia harus melakukannya dan kebanyakan, tentang kasus-kasus yang ditanganinya agar aku tidak khawatir. Dalam hubungan kami, kejujuran adalah sesuatu yang kami sama-sama minta. Tidak peduli jika itu menyakitkan ataupun sulit untuk diterima. We always told the truth.
“What will you do if I say yes?”
“So, is it a yes?”
Aku mengangguk.
Mungkin, inilah alasan kenapa banyak orang menyebut cinta itu buta. Aku tidak akan mengingkari, bahwa melepaskan posisi yang begitu aku inginkan dan kembali ke Indonesia setelah sekian lama bermukim di Vancouver, akan menimbulkan penyesalan dalam diriku. Aku sangat menginginkannya.
Tapi, Will benar. Pada akhirnya, aku memang harus memilih, sesulit apapun itu bagiku, aku tetap harus menentukan pilihan. Aku akhirnya memang memilih Will. Memilih untuk tinggal di Vancouver bersamanya, melegalkan hubungan kami dan melupakan mimpiku untuk menjadi seorang Creative Director. Apakah ada yang lebih penting daripada memiliki seseorang seperti Will?
Apakah aku menyesal?
Bagaimana mungkin aku menyesali keputusan untuk bersama dengan orang yang aku cintai? Dalam kisah cintaku dan Will, aku meragukan bahwa akan ada kata sesal terselip dalam setiap keputusan yang menyangkut hubungan kami. Will tidak akan pernah membuatku menyesal. Tidak akan pernah.
Akhirnya bisa posting cerita ini juga, hahahaha.
Sebenernya, cerita ini aku ikutin LMC Pop Urban, yang theme-wise, sebenernya aku banget. Cuma, pengalaman dulu2, aku tiap ikut lomba begituan, aku selalu ngirim cerita straight, kali ini, aku pengen nyoba ngirim cerita gay. Dari awal, memang udah skeptis kalau bakal lolos tapi aku hajar aja. Berharap, mungkin, juri2nya cukup open minded nerima cerita dengan tema gay. But, they didn't, hahahaha. jadi, setelah nunggu sebulan lebih, dan diumumin siapa2 aja yg lolos, namaku nggak ada, so I decided to post it here instead.
Pengalaman ini jadi cukup ngasih aku gambaran, bahwa di Indonesia ini, masih susah buat nerima cerita yang temanya beda dari mainstream. Memang sih, ada beberapa novel Indonesia yg bertema gay, tapi pembacanya sendiri kayaknya masih belum cukup menerima cerita2 sejenis sebagai sebuah karya sastra, bukan yang lain. So, I'm glad and sure, a bit disappointed. Well, mungkin lomba2 begini ini bukan jalanku, hahaha.
Colek2 siapa ya? maaf, udah lama nggak diupdate jadi kalaupun mau bales komen2 kallian, kayaknya juga udah basi, hehehe.
@Venussalacca @masdabudd @Matt_Ivan @EllaWiffe10 @kiki_h_n @tialawliet @RifqiAdinagoro @yeltz @hwankyung69 @chandisch @andhi90 @Zhar12 @tama_putra @adinu @Emtidi @WinteRose @arieat @yuzz @jakasembung @Adra_84 @tyo_ary @alvian_reimond @Adam08 @BB3117 @marobmar @faghag @budhayutzz @rarasipau @zackattack @rendifebrian
Sebenernya, ada satu cerita lagi yang udah selesai aku tulis, the longest short story I've ever written! LOL. Cuma, belum aku baca dan re-writing, jadinya belum bisa dipost. Mungkin minggu depan. The next short story is short of experimental to me. Jadi, mungkin bakal ada yg suka dan bakal ada yg nggak.
Buat yang cerpen ini, semoga pada suka dan mengobati kegalauan yang aku timbulkan akibat Lukas dan Satya, hahahaha.
trus berkarya ya mas iyas....