It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
iya betul...
gustiii mimpi apa yah kalo dilamar begitu. mau bunuh diri juga batal kali... hahahaha
ya kalo di Indonesia sendiri sih sepertinya kalo di liat dari porsinya cerpen ini, memang tokohnya udah mateng bgt kan yah, karna sudah ada pemikiran k jenjang yang lebih komit, dan itu akan sulit sekali di terima oleh orang" yang memang kurang atau tidak setuju mengenai legalitas pernikahan sejenis...
*cuma menurut saya ajah loh yah...
tapi makasi om abi aku uda di menyen cerpennya
Aku kembali memandangi tampilanku di cermin. Kemeja batik bermotif Pringgodani berwarna biru indigo, yang aku beli khusus untuk acara ini, terlihat sangat pas di badanku, sementara slim fit pants berwarna hitam yang membungkus kedua kaki jenjangku, membuat tubuhku terlihat lebih tinggi. Jika saja bukan untuk reuni SMA, aku pasti sudah melihat senyum lebar pada bayanganku. Bahkan, fakta bahwa Ingmar akan pergi bersamaku, sama sekali tidak membuatku merasa lebih baik. Ingmar, yang selalu bisa membuat segalanya jadi lebih baik, kali ini belum mampu membuatku merasakan itu. Sejak bangun tadi pagi, pikiranku sudah melanglang buana ke reuni yang akan terjadi satu jam lagi. Jantungku berdegup dengan kencang dan aku gemetar. Mungkin, aku memang membuat kesalahan dengan menyetujui untuk datang ke reuni ini. Seharusnya, aku mengabaikan undangan yang dikirim melalui Facebook, seperti tahun-tahun sebelumnya. Entah malaikat apa yang merasukiku hingga akhirnya aku memutuskan untuk datang.
Tentu saja, semua teman-temanku langsung menjadi heboh.
“Rimba dateng ke reunian? WOW! Musti gelar karpet merah nggak nih?”
“Rimba akhirnya kembali pulang. NGGAK SABAR!!!”
“Rimba ke reunian? Seriusan? Perasaan, semalem nggak ada hujan juga nggak ada angin gede. Rimba, kamu yakin mau dateng?”
Ya, itulah reaksi beberapa temanku ketika mengetahui aku akan datang ke acara reunian SMA, lima belas tahun setelah kami semua resmi melepas seragam putih abu-abu. Sebenarnya, mereka mengadakan reuni setiap dua tahun dan aku, selalu mendapat undangan. Namun, aku terlalu pintar berbohong hingga tidak pernah sekalipun mengindahkan undangan reuni itu. Ketika aku memutuskan untuk datang, aku sudah menyiapkan diriku untuk menjawab berbagai pertanyaan “kenapa” yang akan diajukan sebagian besar temanku. Aku benci harus menjelaskan kemana saja perginya seorang Rimba setelah lulus SMA, karena apa yang terjadi denganku sejak kelulusan itu, tidak akan bisa dirangkum dalam obrolan sepanjang lima menit. Jadi, aku sudah mempersiapkan jawaban yang akan memuaskan mereka tanpa harus meninggalkan pertanyaan dalam benak mereka. Palin tidak, itu yang aku harapkan.
Lalu, apa yang membuatku tidak bisa tersenyum sekalipun aku sudah siap dengan berbagai macam pertanyaan yang mungkin akan diajukan oleh teman-temanku?
Kembali menginjakkan kaki di halaman SMA adalah satu dari sekian banyak hal terakhir yang ingin aku lakukan, jika semua kebahagiaan yang menghampiriku, menguap satu persatu. Tiga tahun yang aku alami di SMA, bukanlah sesuatu yang ingin aku ingat meskipun di sisi lain, selama tiga tahun itu, bisa dibilang, menentukan apa yang aku miliki sekarang. Apa yang dilihat semua orang dariku dari masa itu adalah seorang siswa berprestasi, yang telah menjuarai berbagai lomba pidato dalam Bahasa Inggris, menjadi MVP Player selama dua tahun berturut-turut dalam debat Bahasa Inggris tingkat provinsi, selalu masuk tiga besar sejak kelas satu dan menjadi satu-satunya lulusan yang berhasil mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan kuliah di Jerman melalui beasiswa. Namun, apa yang tidak dilihat oleh semua orang, adalah aku berjuang mengatasi diriku sendiri karena merasa berbeda dengan teman-temanku yang lain. Aku menyadari diriku yang sebenarnya saat perasaan jatuh cinta menguasaiku ketika berada satu tim debat dengan Rendra selama dua tahun. Sejak saat itu, aku tersiksa oleh perasaanku sendiri dan bersikap terlalu keras pada diriku sendiri untuk menyangkal bahwa apa yang aku rasakan saat itu, bukanlah sesuatu yang nyata. Aku terlalu munafik untuk mengakui bahwa perasaanku bereaksi lebih ke kaum pria daripada kaum wanita.
Memasuki kembali gerbang SMA dan menginjakkan kakiku disana, akan membuat semua usahaku untuk menolak diriku yang sebenarnya, kembali. Perasaan yang telah lama mati ketika akhirnya aku bisa menerima siapa diriku yang sesungguhnya ketika berada di Jerman, masih cukup kuat untuk kembali mendatangiku nanti. Itulah alasan kenapa aku tidak bisa tersenyum, sekalipun Ingmar akan ada bersamaku.
“Look who’s the good looking man standing in front of the mirror right now.”
Bayangan Ingmar langsung terlihat di cermin.
Aku tersenyum ketika kedua lengannya, yang terbungkus kemeja batik bermotif Parang lengan panjang melingkar di pinggangku, sementara kedua mata biru terangnya terpantul di cermin, menatapku dengan penuh kebahagiaan dan dagunya yang terbelah mendarat di atas pundakku, sebelum wajah itu beralih untuk mendaratkan kecupan singkat di pipiku.
“You shaved. Why?”
Aku merasakan anggukan di pundakku.
“I want to know how my good look will affect your high school friends and to test how good my gay radar is. You know, just in the sake of curiosity.”
Aku tidak mampu menyembunyikan tawa kecilku mendengar jawaban Ingmar.
Bertemu Ingmar lima tahun lalu adalah sesuatu yang selalu aku anggap sebagai sebuah titik balik. Aku sudah memutuskan untuk menutup hatiku sampai ada pria yang benar-benar rela menggedornya dengan keras atau bahkan mendobraknya dengan paksa. Ingmar adalah pria itu. Bahkan, ketika aku jelas-jelas menunjukkan kepadanya bahwa aku tidak tertarik sama sekali untuk menjalin hubungan. Ingmar tidak bergeming. Dia sempat menjauh dari kehidupanku selama beberapa bulan, namun setelah kami menjalin hubungan selama beberapa tahun, dia mengakui bahwa itu hanyalah caranya untuk meyakinkan dirinya sendiri, seberapa besar dia menginginkanku. Setelah itu, dia selalu tahu bagaimana membuatku tergantung kepadanya, dengan cara yang sama sekali tidak aku duga. Sampai sekarang, aku masih menganggap Ingmar sebagai seorang pejuang yang tangguh dan tidak mudah menyerah. Paling tidak, untuk mendapatkanku.
“Jangan salah kalau orang akan mengira kamu masih kuliah.”
Dengan rambut pirang yang dipotongnya pendek sebelum datang ke Indonesia, serta rambut-rambut halus di sekitar bibirnya yang sudah dicukurnya, Ingmar terlihat jauh lebih muda dari usianya yang sudah menginjak 32 tahun. Dia jarang mencukur kumis serta jambangnya sampai habis karena dengan rambut-rambut itu, dia terlihat sesuai dengan usianya, apalagi dia juga lebih suka memanjangkan rambutnya hingga mencapai pangkal leher dan kadang menutupi kedua daun telinganya. Belum lagi, aku suka menelusuri rambutnya dan selalu memintanya untuk merapikannya, daripada memotongnya, meskipun aku tahu, Ingmar tidak akan pernah memotong pendek rambutnya. The rough Ingmar, sebutanku untuknya. Namun, dengan rambut pendek dan wajah licin seperti ini, aku khawatir dia akan menimbulkan masalah nanti. Masalah karena banyak wanita dan mungkin juga pria, akan jatuh cinta kepadanya. Dia bukan pria paling tampan yang pernah aku lihat, karena dia bukan seorang model ataupun pria yang suka merawat wajahnya layaknya pria metroseksual. Namun, memang bukan wajahnya yang membuatku akhirnya mengibarkan bendera putih untuk mengakhiri perjuangan Ingmar untuk mendapatkanku.
“Then I’ll act like one,” jawabnya sambil tersenyum. “Are you ready?”
Aku menelan ludah mendengar pertanyaan dari Ingmar. Lengannya masih melingkar di pinggangku dan melihat sorot ceria dari kedua matanya yang dipantulkan oleh cermin di hadapanku, aku tahu, bahwa apapun yang akan terjadi nanti, Ingmar akan berusaha untuk kembali membuat senyumku mengembang. Bukankah itu yang selalu dilakukannya setiap kali aku merasa gugup dan ketakutan akan sesuatu yang buruk? Membuatku tersenyum.
Aku membalikkan tubuh dari bayanganku sendiri dan menatap Ingmar. Lengannya semakin erat mengunci pinggangku dan wajah kami begitu dekat hingga aku memiliki ketakutan bahwa kami akan terlambat karena harus menyelesaikan urusan kami terlebih dahulu. Aku mengangkat lenganku dan melingkarkannya ke leher Ingmar sebelum jemariku menelusuri pipinya yang halus. Selain rambutnya, aku suka menelusuri wajah Ingmar. Tidak pernah ada kata bosan untuk membiarkan jemariku menyentuh setiap lekukan di wajahnya. Menyapu kedua alis tebalnya, sesuatu yang sebenarnya tidak disukai Ingmar karena aku sering melakukannya ketika dia sedang sibuk dengan iPadnya atau memainkan ujung hidungnya yang bengkok seperti paruh rajawali, yang selalu dibalasnya dengan menindih tubuhku dan menggelitikiku hingga napasku terengah-engah, bahkan, ketika libido kami harus dipuaskan, aku masih bisa memainkan jemariku di belahan dagunya meskipun Ingmar sudah seperti kerasukan untuk melumat bibirku. Aku selalu punya alasan untuk menyentuh wajahnya, sekalipun alasan itu terdengar sangat basi, namun, Ingmar tidak pernah menolaknya.
“Lebih baik kita pergi atau kita akan sangat sangat terlambat.”
Bahkan, Ingmar sudah bisa membaca pikiranku. Kami memang akan sangat-sangat terlambat jika tetap berada di kamar ini dengan tubuh kami yang seperti direkatkan oleh sesuatu yang lebih kuat dari lem jenis apapun. Biasanya, aku akan mengucapkan bermacam-macam alasan untuk membuat Ingmar tetap melingkarkan lengannya di pinggangku, namun, kali ini, aku tidak mau membuat kepulanganku ke Indonesia sia-sia. Akan ada nanti, ketika kami punya begitu banyak cerita untuk diungkapkan setelah sesi bercinta kami. Seharusnya, kami sudah ada di lobi saat ini.
“One kiss won’t make us late.”
Dengan kalimat itu, bibir kami langsung bertemu dan merasakan bibir Ingmar mengunci milikku, rasanya aku tidak akan peduli jika ada gempa yang meruntuhkan gedung ini dan mengubur kami dalam posisi seperti sekarang. What a way to die! Entah kenapa, mengenal Ingmar selama lima tahun, aku masih suka memasukkan setiap ciumannya ke kategori-ketegori yang aku buat sendiri. Bahkan, Ingmar sempat terpaku selama beberapa menit ketika aku memberitahunya tentang kategori-kategori itu. Ciuman yang diberikannya sekarang masuk ke kategori “I-want-to-keep-locking-our-lips-longer-but-we-have-to-go” Bukan tergesa-gesa. Kami masih menikmati ciuman ini namun ada yang jauh lebih penting dari ini. Semua orang tahu, bahwa ciuman bisa menjadi hal yang jauh lebih penting dari apapun jika waktunya memang tepat. Sayangnya, ciuman kami saat ini tidak bisa masuk kategori “let-me-leave-mark-on-your-collarbone-and-let-me-unzipped-your-pants-and-undressed-you”. We really have to go now.
“Let’s go, Rimba! And let me count how many gay guys that I can point out to you later.”
Aku hanya mengangguk.
So, we left.
***
“Rimba!!!”
Hampir setiap teman yang melihatku, ekspresi mereka pasti dua : Tidak percaya karena aku akhirnya datang ke acara reuni dan kaget ketika melihat aku datang bersama Ingmar. Apakah aku tahu bahwa dua ekspresi itu yang akan diberikan teman-temanku? Lebih dari tahu. Aku sangat sadar bahwa membawa Ingmar ke acara besar yang tidak pernah aku hadiri, akan menimbulkan begitu banyak tanda tanya. Paling tidak, sebelum aku resmi memperkenalkan Ingmar sebagai teman dari Jerman yang ingin tahu kehidupan masyarakat Indonesia di kota kecil. Selain itu, aku juga sadar bahwa sebagian besar dari mereka tidak menguasai Bahasa Inggris, jadi, aku cukup tenang dan lega, Ingmar tidak harus menghadapi berbagai pertanyaan rumit yang harus membuatnya menjelaskan dengan panjang lebar. Paling tidak, sejak kedatangan kami, belum sekalipun Ingmar mengeluh kecuali beberapa kali, aku memergokinya menyeka keningnya yang basah oleh keringat. Acara ini memang diadakan di aula, yang meskipun berbentuk joglo dan terbuka dari semua sisi, angin kering yang berembus membuat cuaca yang sudah panas, menjadi semakin panas. Aku yakin, Ingmar berharap bisa melepaskan kemejanya. Aku hanya tersenyum.
Perlu waktu untukku mengenali sebagian besar teman-temanku, karena…15 tahun jelas membuat banyak dari mereka berubah. Terutama teman-teman yang tidak memiliki Facebook atau yang tidak ada dalam daftar pertemananku. Bahkan, aku tidak malu bertanya siapa mereka jika memoriku benar-benar tidak bisa digunakan untuk mengingat nama mereka. I met so many people after high school. Just don’t expect me to remember them all.
Sebagian besar, membawa suami atau anak mereka ke acara ini, sesuatu yang membuatku tersenyum dan merintih di saat yang bersamaan. Tersenyum karena melihat mereka sepertinya bahagia dengan kehidupan mereka sekarang dan merintih karena aku tidak akan pernah bisa memiliki keluarga seperti mereka. Mereka menjalani kehidupan yang normal, kehidupan yang setiap orang di kota ini miliki. Lulus SMA, kuliah, pacaran, lulus kuliah, kerja, pacaran, lamaran, menikah, punya anak. Aku yakin, siklus itu tidak banyak berubah, hanya urutannya saja yang mungkin berubah. Aku jadi berpikir, apakah memang kehidupan seperti ini yang mereka harapkan dulu? Ketika keremajaan masih belum mengenal arti tanggung jawab yang sebenarnya. Ketika yang mengisi waktu mereka hanyalah bersenang-senang, menikmati uang orang tua, menghabiskannya entah untuk berfoya-foya atau untuk membiayai kuliah atau keduanya, menikmati begitu banyak waktu senggang, membolos kuliah, belajar untuk ujian semalaman tetapi tetap mendapatkan B ataupun C. Apakah kehidupan di kota kecil ini yang melintasi pikiran mereka ketika senyum mereka terpampang di foto yang dipasang di ruang tamu keluarga di hari dimana mereka resmi menjadi seorang Sarjana? Mencari pasangan untuk dijadikan istri/suami sebelum menemukannya dan kemudian menikah. Menghabiskan tabungan mereka untuk acara pernikahan dan resepsi yang dihadiri oeh ratusan undangan dan menjalani kehidupan awal pernikahan yang masih penuh dengan keromantisan sebelum perselisihan mulai memasuki usia pernikahan mereka. Ketika kehamilan menjadi sesuatu yang sangat mereka harapkan dan menyiapkan segala sesuatunya, mulai nama dan upacara mitoni atau tujuh bulanan dan saat-saat menegangkan menunggu kelahiran putra/putri mereka. Kebahagiaan yang lengkap karena akhirya mereka menjadi keluarga yang utuh dan ucapan selamat dari teman, saudaraa, tetangga, yang menanyakan kapan akan punya momongan lagi. Uang sekolah yang mulai harus dipikirkan sekalipun anak mereka masih belajar untuk merangkak dan kebutuhan hidup yang semakin bertambah, membuat mereka harus semakin bekerja keras dan terjebak dalam pekerjaan yang mungkin tidak mereka sukai, namun tidak bisa mereka tinggalkan atas nama tanggung jawab.
Sebagian teman-temanku menjalani kehidupan yang normal, meskipun terlihat membosankan bagiku karena terjebak di kota sekecil ini tanpa tahu bahwa ada terlalu banyak tempat indah dan hal-hal menarik lainnya di luar kabupaten ini. Terjebak dalam rutinitas yang mungkin mereka jalani karena mereka harus melakukannya dan mimpi masa muda untuk menjelajahi tempat-tempat di belahan dunia lain atau menjalani kehidupan di kota besar dengan menenteng tas bermerk, berdasi, berjas serta memiliki mobil mewah, terlupakan dan pelan-pelan, terkubur begitu saja karena mereka sadar, tidak mungkin untuk mencapainya. Sudah terlambat untuk mengejarnya. Rasa kasihan menyusupiku melihat betapa mereka cukup puas dengan apa yang mereka miliki sekarang, tanpa ada keinginan untuk mengejar apa yang pernah begitu membuat mereka sangat antusias untuk menjalani hidup. Terlambat, itu yang selalu mereka katakan. Sebuah alasan yang seharusnya tidak ada jika mereka bisa bertahan dengan idealisme mereka dan tidak menyerah hanya karena mereka gagal atau merasa tidak bisa. Alasan, yang menurutku tidak seharusnya mereka katakan.
“Apa yang kamu pikirkan?”
Aku memalingkan wajahku ke Ingmar, yang duduk di sebelahku ketika beberapa sambutan, yang isinya sudah bisa aku duga mengenai apa. Aku terlalu sibuk memerhatikan teman-temanku hingga apa yang sedang diucapkan di panggung, sama sekali tidak menarik perhatianku. Aku bahkan lupa, bahwa Ingmar ada di sebelahku.
“Just a silly thought, I guess.”
“If your facial expression are like that, I’m not sure if that’s a silly thought you have.”
Aku tersenyum. “We’ll discuss that later, okay?”
“Can’t wait,” jawab Ingmar sambil memberiku tatapan menggodanya.
Setelah itu, aku diminta untu naik ke panggung dan memberikan sedikit cerita tentang kehidupanku di SMA dulu, bagaimana kuliahku di Jerman dan kehidupanku setelahnya. Aku tidak terlalu suka pamer dan apa yang baru aku lakukan, menurutku adalah bentuk lain dari menunjukkan kepada orang lain, bahwa aku lebih hebat dari mereka. Mungkin, aku memang lebih hebat dari mereka, bukan karena semua pencapaian yang aku dapatkan, tapi keberanian untuk mengejar apa yang aku inginkan dan menjadi diriku sendiri. Berapa banyak dari mereka yang berhasil melakukannya? Aku percaya, kehidupan yang mereka miliki saat ini, hanyalah sisa ataupun bagian kecil dari impian yang pernah mereka miliki dulu. Berdiri di hadapan teman-temanku, serta menceritakan kehidupanku, bukanlah sesuatu yang aku bayangkan akan terjadi ketika aku menyetujui untuk datang di reuni ini. Hanya Ingmar yang bisa melihat, betapa tidak nyamannya aku berada di atas panggung. Bukan karena aku gugup, tapi karena alasan yang aku utarakan sebelumnya. I don’t like to show off and what I just did, was another way of showing off.
Ketika akhirnya acara berubah menjadi lebih santai dan aku menyapa beberapa guru yang hadir dan mendapatkan pujian betapa bangganya mereka atas semua keberhasilan yang aku raih, mendapatkan tepukan di punggung dan pertanyaan dimana istriku atau berapa anak yang sudah aku punya — yang tentu saja, aku tidak bisa menunjuk Ingmar sebagai pasangan hidupku — yang aku jawab dengan basa-basi dan kebohongan yang sejak pertanyaan itu dilontarkan kepadaku bertahun-tahun yang lalu. Rasanya, Ingmar cukup bisa menempatkan diri karena aku memerhatikan, ada beberapa orang yang mengajaknya mengobrol ketika aku sibuk dengan guru-guru dan teman-teman satu angkatan, yang tidak pernah satu kelas denganku namun bersikap seolah kami cukup dekat dulu.
Apa yang bisa aku katakan tentang mereka tanpa harus mengulangi lagi apa yang sebelumnya aku katakan? Tidak ada.
Ketika akhirnya aku melihat Rendra, laki-laki pertama yang membuatku jatuh cinta dan membuat kehidupanku di SMA sangat bertolak belakang, aku tidak tahu harus bagaimana untuk menyapanya atau memulai obrolan dengannya. Dia terlihat…berbeda.
Rendra yang membuatku jatuh cinta, adalah pria muda dengan tubuh proporsional karena seperti kebanyakan siswa populer di sekolah manapun juga, dia adalah anggota tim basket dan wakil ketua OSIS, yang kharismanya, justru melebihi sang Ketua OSIS sendiri. Entah berapa banyak siswi yang telah mencoba untuk mendapatkan perhatiannya, dan entah berapa jumlah korbannya begitu lulus SMA, Rendra adalah pria impian. Dia tidak seperti gambaran siswa populer yang berkulit putih dan berwajah tampan ala model majalah remaja. Rendra, dengan kulit coklat yang tidak terlalu gelap dan hidung yang mancung serta tatapan mata yang selalu bisa membuat lawan bicaranya merasa diperhatikan sepenuhnya, adalah pria yang menarik karena kualitasnya, bukan karena tampilan fisiknya. Seperti siswi lainnya, hal itu juga yang membuatku akhirnya jatuh cinta kepadanya dan membuatku menyadari, bahwa aku lebih tertarik kepada kaum pria daripada kaum wanita. Rendra, adalah awal dari semuanya.
“Aku nggak percaya kalau kamu akhirnya mau juga dateng ke acara reunian kita,” kalimat itu meluncur dengan lancar dari mulut Rendra ketika akhirnya kami berjabat tangan.
“Kebetulan memang lagi pas jadwalnya buat pulang ke Indonesia, jadi bisa dateng,” jawabku sambil memberikan senyum lebarku dan merasa, tubuhku seperti dialiri listrik berdaya rendah ketika tangan kami bersentuhan.
Aku memang sudah memiliki Ingmar dan tidak ada satu pria pun yang bisa membuatku jatuh cinta seperti Ingmar, sekalipun jika pria itu punya lebih banyak hal yang jauh lebih hebat dan besar dari Ingmar. Namun, bagaimanapun juga, Rendra adalah awal dari setiap langkah yang aku ambil begitu seragam putih abu-abuku terlipat dengan rapi dan menjadi penghuni lemariku untuk selamanya. Tanpa dia, aku tidak akan memiliki dorongan untuk keluar dari kota kecil ini dan belajar setiap malam dan melahap buku apapun yang bisa membuatku mendapatkan beasiswa di luar negeri. Tanpa dia, aku tidak akan tahu bahwa selamanya, wanita tidak akan pernah mampu membangkitkan libidoku. Tanpa dia, aku tidak akan pernah punya keberanian untuk menjadi diriku sendiri dan melupakan berbagai macam ketakutan ketika akhirnya, aku berhasil mendapatkan beasiswa ke Jerman. Aku berutang pada Rendra dan jabatan tangan kami, membuatku mengingat itu semua dan bagaimana perasaanku terhadapnya dulu. Cinta pertama, memang tidak akan pernah bisa sepenuhnya hilang. It will always has that special spot in your heart, even though most of your heart already belong to someone else.
“Udah jadi orang ya sekarang?”
“Kita semua kan udah jadi orang sejak lahir, Ndra. Kamu ini.”
“Aku nggak pernah nyangka kamu akan sesukses ini, Rimba.”
Aku menggelengkan kepala. “Setiap orang punya definisi sendiri tentang arti sukses, Ndra. Apa yang aku punya sekarang juga nggak lepas dari masa-masa sekolahku disini. Lomba-lomba debat dan pidato itu bener-bener ngebuka jalan yang banyak buatku. Aku juga seneng kalau dulu, kita se tim dan kamu tetep jadi panutan buatku.”
Rendra tertawa.
Tawa itu masih sama. Hanya saja, ada kerutan-kerutan di keningnya yang ikut tertarik ketika dia tertawa. Rendra, secara fisik memang sudah berubah. Tubuh proporsional yang dulu dimilikinya, sudah digantikan dengan perutnya yang sedikit membuncit dan pipinya yang sedikit gemuk. Gaya bicaranya sudah tidak seperti Rendra yang aku lihat ketika dia membantai lawan-lawan kami setiap kami mengikuti lomba debat, hingga aku tidak heran jika dulu, banyak siswa/siswi dari sekolah lain, langsung ciut begitu tahu sekolah kami diwakili Rendra dan aku. Kami seperti penguasa lomba debat karena kemampuan bahasa Inggrisku dan cara Rendra menganalisa setiap pertanyaan dan pendapat, adalah kombinasi yang mematikan, paling tidak itu yang aku ingat. Rendra selalu antusias setiap kali kami membahas tema debat yang kami dapat dan dia bersikeras agar kami membaca buku ataupun artikel yang kami tahu, tidak akan mungkin dijadikan sebagai tema lomba. Rendra, adalah siswa yang rajin dan aku sendiri terkejut, ketika justru aku yang mendapatkan beasiswa ke Jerman dan bukan dia, meskipun dia akhirnya kuliah di Universitas Indonesia, yang tetap lebih baik dari teman-teman kami yang lain, namun tidak sama dengan mendapatkan beasiswa ke Jerman. Sejak itu, aku kehilangan kontak dengannya. Bahkan, aku tidak menemukan nama dia di daftar alumni yang sebagian besar, menjadi temanku di Facebook.
Sekarang, gaya bicara Rendra terdengar seperti dia sudah lelah dengan semua perjuangan dan persaingan yang dialaminya. Intonasi dia menjadi lebih lambat, seperti seorang pendakwah minus suara lantang. Ada begitu banyak yang ingin aku tanyakan kepadanya, namun, aku sadar, bahwa semua pertanyaan itu tidak akan bisa semuanya aku ajukan. Lagipula, aku tidak mau terdengar terlalu penasaran dengan kehidupan Rendra.
“Kamu kerja dimana sekarang, Ndra? Kok nggak bikin Facebook, kenapa? Takut istri cemburu ya ngelihat mantan-mantan kamu dulu?”
Rendra kembali tertawa, namun kali ini, dia membarenginya dengan gelengan kepalanya. Senyumku terpasang melihatnya.
“Aku jadi guru Bahasa Inggris sekarang, sekalian jadi pelatih debat. Istri…cemburu sih nggak, tapi, aku memang nggak terlalu suka Facebook. Pernah punya tapi aku hapus. Aku masih konvensional, Rim. Kamu sendiri, denger-denger, belum nikah juga? Nunggu apa? Jangan bilang kalau kamu belum ketemu jodoh yang cocok.”
“Sayangnya, jawabannya memang itu, Ndra,” jawabku sambil nyengir. “Udah punya anak berapa kamu?”
“Dua, yang satu enam tahun dan yang satunya lagi baru dua tahun. Mampir lah kapan-kapan ke rumah, biar bisa aku kenalin sama istri dan anak-anakku kalau Bapaknya dulu juga jagoan lomba debat.”
Kami tertawa.
Namun, aku merasa mengkhianati diriku degan tawa itu karena di dalam hati, aku tidak bisa tertawa mengetahui bahwa Rendra, juga memiliki kehidupan yang sama dengan sebagian besar orang yang hadir di acara reunian ini. What a waste! Rendra punya potensi untuk jadi orang hebat, lebih hebat dariku. Menjadi guru Bahasa Inggris dan menjadi pelatih debat memang bukan hal yang buruk, bahkan, aku menganggap bahwa profesi sebagai pengajar itu adalah profesi yang mulia. Tapi, Rendra ditakdirkan untuk bisa jadi lebih dari itu. Dia bisa menjadi diplomat yang handal atau seorang direktur di sebuah perusahaan besar karena kemampuan analisisnya. Menjadi seorang guru dan menetap di kota kecil ini, bukanlah bayangan yang aku lihat untuk seorang Rendra ketika kami masih duduk di sekolah ini. Dia mungkin menikah karena tuntutan orang tua dan keluarganya dan menjadi guru, mungkin juga bukan sesuatu yang diinginkannya tapi lebih karena orang tuanya menginginkan dia menjadi abdi negara dan tetap tinggal di kota ini. Rendra memang sangat mematuhi dan menghormati orang tuanya, seperti sebagian besar anak pada umumnya. Mungkin, dia hanya tidak punya keberanian untuk menentang kedua orang tuanya, sekalipun hal yang ditentangnya itu bukanlah sesuatu yang buruk, melainkan sesuatu yang menentukan hidupnya. Mungkin, memang itulah yang terjadi dengan sebagian besar teman-temanku. Mereka, lebih memilih sesuatu yang pasti dan aman daripada menantang diri mereka sendiri untuk menjadi orang yang bertahan pada pendirian dan mimpi mereka.
Jujur, aku kecewa Rendra menjadi seperti ini. Sangat kecewa.
“Kamu kapan kembali ke Jerman, Rim?”
“Harus nemenin Ingmar ke Bali, karena dia pengen kesana, mungkin traveling sedikit ke Komodo atau ke Papua atau ke Sulawesi, masih belum tahu. Dia belum pernah ke Indonesia, jadi, harus nemenin dia kemanapun dia mau.”
Rendra hanya mengangguk. “Kok dia mau kamu ajak kesini? Pasti kaget kalau kota ini kecil banget.”
Aku tertawa. “Dia memang mau ikut, jadi ya, aku nggak bisa nolak dia.”
“Disini nggak pernah ada bule, jadi temen kamu itu dikerubungin banyak orang, cewek-cewek terutama.”
Kami mengarahkan pandangan ke Ingmar, yang memang sedang dikelilingi beberapa wanita. Jelas sekali, mereka mencoba mendapatkan perhatian Ingmar dengan bahasa tubuh mereka. Aku tersenyum tipis membayangkan apa yang akan diceritakan Ingmar keapadaku nanti. Mungkin, dia akan kapok untuk aku ajak ke acara seperti ini. Aku bisa membayangkan kalimat seperti apa yang akan meluncur dari mulutnya tentang wanita-wanita itu. Untung saja, Ingmar sudah menjadi milikku, hingga aku hanya mampu tertawa geli dalam hati melihat wanita-wanita itu mencoba menarik perhatiannya.
“He loves that.”
“Aku seneng bisa ketemu kamu lagi, Rim. Jarang-jarang kamu pulang kan?”
Aku tersenyum sebelum mengeluarkan kartu namaku dan mengulurkannya ke Rendra.
“Kalau kamu butuh apa-apa, materi apapun buat pelajaran kamu atau buat debat yang nggak bisa kamu dapet disini, kasih tahu aku, Ndra. Aku pasti bantu. Terus, kalau kamu mau ke Jerman, harus ngasih tahu aku. Awas aja kalau nggak.”
Rendra menerima kartu namaku dan karena kartu nama itu adalah kartu nama bisnis, jadi gelar studi serta jabatanku tertera disana, yang membuat Rendra kemudian menganggukkan kepalanya.
“Kamu benar-benar jadi orang hebat, Rim.”
“Jabatan dan gelar itu nggak penting dalam pertemanan, Ndra. Jangan lihat itunya. Aku masih Rimba kok.”
Demi isi pikiran Rendra sekarang, ketika dia mengamati kartu namaku, aku rela menukar satu hariku sebagai manusia kepada iblis. Hatiku, sekalipun aku berusaha untuk tidak memikirkan kata ini, trenyuh melihat Rendra. Bayangan Rendra ketika berada di ruang debat dan semangatnya yang menggebu-gebu untuk mematikan lawan dengan sanggahan-sanggahan cerdasnya dan kerutan di keningnya ketika lawan memakan umpan kami sebagai kamuflase atas teriakan gembira di dalam dirinya, karena sekali lagi, tim kami akan menang, bersanding dengan Rendra yang saat ini berdiri di depanku, sama sekali saling bertentangan. Rendra yang sekarang seperti sebuah lembaran buku kusam yang tinta di dalamnya sudah luntur dan sampul bukunya kusut serta ada beberapa robekan di sana-sini. Ingin rasanya aku mengatakan kepadanya bahwa apapun mimpi yang ingin dicapainya dulu, dia masih bisa meraihnya sekalipun dengan kemungkinan dan hasil yang berbeda. Namun, aku sadar bahwa ucapan seperti itu akan mendapatkan balasan yang sudah aku duga. Sekalipun itu dari Rendra. Jadi, aku menahannya dan membiarkan perasaan trenyuh dan kecewa itu menguasaiku tanpa bisa melakukan apapun untuk mengubahnya.
“Thanks, Rim. Nanti pasti aku kabari kalau aku butuh sesuatu.”
“Eh, Rimba, aku boleh nyulik Rendra bentar kan? Ada yang mau aku omongin nih, penting!” Suara Rika tiba-tiba saja hadir diantara kami dan aku serta Rendra, saling bertatapan sebelum akhirnya aku mengangguk.
“Diculik lama juga nggak papa, asal nanti dibalikin ke rumah aja,” candaku, yang disambut Rendra dengan tawa, sebelum akhirnya, mereka berlalu dari hadapanku.
Aku akan bertemu mereka lagi nanti, jadi, tidak ada perlunya untuk mengucapkan selamat tinggal atau pamit. Acara masih belum selesai.
“Those women…Fiuh!”
Aku langsung memalingkan wajahku ke arah Ingmar, yang mukanya sekarang terlihat memerah dan butir-butir keringat yang sepertinya masih terus membasahi kening dan lehernya. Ingin rasanya aku mengeluarkan sapu tangan dari saku celanaku dan menyeka keringat itu, namun, tentu saja aku tidak melakukannya. Aku tidak akan memberikan bahan yang bisa mereka putar balikkan dengan bumbu-bumbu yang tidak ada hingga menjadi gosip dan kabar burung, meskipun jika kabar burung itu adalah benar. Paling tidak, aku harus menahan rasa kesal akan tertutupnya pola pikir orang-orang ini terhadap kaum seperti kami. Jadi, aku hanya memberikan tatapan minta maaf karena tidak bisa melakukan apapun untuk membuat Ingmar lebih nyaman dengan kondisinya sekarang.
“Kita bisa pulang sekarang kalau kamu mau.”
Ingmar menggeleng. “We’ll stay.”
“Kamu yakin?”
“100%! This probably your last reunion anyway, so better enjoy while you can. I’m not sure you can put up with all of these fake things and closed-minded people.”
Aku menatap Ingmar dan memasang ekspresi yang aku berikan setiap kali dia mengeluarkan opini sarkastisnya tentang sesuatu. Entah itu memang benar-benar yang mengisi pikirannya atau hanya berusaha untuk membuatku kesal. Kali ini, aku yakin bahwa apa yang dikatakannya adalah apa yang mengisi pikirannya. Dan aku harus setuju dengan Ingmar. This is probably will be my last reunion.
“Well, why don’t we go back to the hotel, then? Your charms have blinded so many women here, shouldn’t we heading back to our little sanctuary and do our own thing?”
Kali ini, Ingmar menatapku dengan tatapan terkejut.
“Wow, look who’s this little town boy has turned into.”
“Stop it, Ingmar. Let’s go. You better sweating for something else, right?”
“I bet you’re right.”
Sementara aku menghampiri Rendra dan beberapa teman yang kebetulan ada di dekat Rendra dan Rika, untuk berpamitan, Ingmar kembali mendapatkan perhatian itu drai beberapa wanita. Bahkan, ketika sepasang kaki kami melangkah meninggalkan tempat reuni, aku masih harus melambaikan tanganku kepada beberapa orang yang melambaikan tangannya kepadaku. Mungkin, mereka akan mencatat alamatku dari kartu nama yang aku berikan ke Rendra dan memutuskan bahwa saatnya mereka menjilat seorang Rimba, entah untuk tujuan apa. Aku tidak akan terkejut jika nanti mendapati email atau surat dari mereka yang menyapaku seolah kami adalah sahabat baik selama kami ada di SMA. Terkadang, terlalu mudah untukku membaca apa yang akan orang-orang itu lakukan.
Ingmar benar, bahwa ini akan jadi reuni terakhirku. Aku tidak tahu apakah akan ada lagi kemauan untuk datang ke acara seperti ini lagi, sekalipun jika aku sedang ada di Indonesia. Aku berubah. Aku bukan Rimba yang dulu. Jerman, Ingmar, masa kuliah, perjalananku ke beberapa negara, pekerjaan dan orang-orang yang aku temui, telah mengubah persepsi dan pendapatku tentang mereka. Bukan salah mereka tentu saja, karena mereka tidak melakukan apapun yang membuatku harus bersikap seperti itu. Hanya saja, aku menilai, mereka menjalani kehidupan yang pura-pura. Kehidupan yang sebenarnya tidak mereka inginkan namun tetap mereka jalani, atas berbagai macam alasan konyol yang sebenarnya tidak harus ada.
Aku merasa lega ketika akhirnya keramaian itu perlahan menjauh dari pendengaranku.
We left. We left the fake life. We left the closed-minded people. We left…to our little sanctuary where fake and closed-minded, will never exist between us.
Cerita ini sebenernya eksperimental banget buatku. Kenapa? gara2 penasaran sama Stream Of Consciousness dan baca The Years-nya Virginia Woolf nggak kelar, aku jadi pengen nulis cerita sejenis. Stream Of Consciousness itu aliran yg ceritanya jarang ada dialognya, kebanyakan sih isi pikiran tokoh utamanya yang dieksplore. Jadilah cerita ini. Mungkin memang belum sempurna dan masih harus banyak belajar, tapi, seru juga nulis dengan aliran begini. Banyak banget yg bisa dieksplore Dan ini cerpen paling panjang yg pernah aku tulis. 4759 kata! Hahaha. Sebelum ini, Battle Of Love yg paling panjang, 3654 kata
jadi, aku udah yakin, bakal ada yg suka dan bakal ada yang nggak. Tapi, balik lagi, it's kind of experimental to me, jadi ya, segala sesuatu yang berlabel eksperimen, pasti jatuhnya cuma dua : gagal atau sukses
Semoga sih pada suka, hehehe.
@yeltz :
@tialawliet : LOL. Udah lah, move on dong, hahahaha. Kan udah dikasih kisah yg indah2 sebagai pelipur lara #halah
@kimo_chie : Thank you
@kiki_h_n : Will do!
@arieat : banget! hahaha
@tyo_ary : Iya, sapa juga yg mau nolak tawaran begitu kan? hahaha
@Kim leonard :
@BB3117 : Aku nggak bilang bakal stop nulis cuman karena kmrn nggak lolos kan? Of course I'm not gonna stop writing. Aku cuma bilang, kalau tema2 seperti cerita yg aku tulis itu msh dipandang sebelah mata, msh segmented dan msh belum begitu bisa dilihat sebagai murni sebagai sebuah cerita. Begitu....
@Matt_Ivan : Iya, setuju banget. Masih kurang laku dijual, lol. Menurutku sih, karena stigma gay yang masih dianggap aneh dan nggak normal di sebagian besar masyarakat, jadinya, cerita yg bersangkutan dengan itu pun ikut2an dicap bukan sesuatu yg lazim. Inginnya sih cerita2 gay yang memang bagus, diapresiasi karena ceritanya, bukan karena temanya atau hal2 lainnya, tapi ya mungkin belum waktunya aja, hehehe
@Adam08 : Aku bingung mau kasih judul apa, akhirnya ya Satya itu, hahaha
@tama_putra : mana sih ceritaku yang sad ending? *belagak bego* perasaan, setelah KAI, ceritaku nggak ada yg endingnya bener2 sedih banget deh. Menurutku sendiri sih, KAI itu cerita terakhir yg endingnya bener2 nyese, sampai yg nulis pun masih tetep mau nangis kalau bac alagi #eh
@WInteRose : Hahahaha, ayo move on!
Colek2
@Venussalacca @masdabudd @EllaWiffe10 @RifqiAdinagoro @hwankyung69 @chandisch @andhi90 @Zhar12 @adinu @Emtidi @yuzz @jakasembung @Adra_84 @alvian_reimond @marobmar @faghag @budhayutzz @rarasipau @zackattack @rendifebrian
DAFTAR CERITA DI ANTOLOGI (biar gampang kalau mau baca, tinggal klik halamannya aja ) Udah 35 cerita aja nih, busyet! Bakal diupdate kalau ada cerita baru
Page 1 – YANG TAK TERKATAKAN ; HOHENZOLLERNBRÜCKE ; PELANGI SETELAH BADAI
Page 2 – BANDARA ; PENJAGA HATI
Page 3 – DUA DUNIAKU ; PENANTIAN
Page 4 – LAST MINUTE
Page 5 – DATE ; SEHABIS PROM
Page 6 – UNTUK TOBY
Page 7 – MALAM TERAKHIR
Page 8 – WHEN 3 BECOME 2 ; WHILE WE WERE WALKING
Page 9 – MEI
Page 10 – KETIKA HUJAN
Page 11 – HEART SHOCK
Page 12 – CINTA DI UJUNG WAKTU
Page 13 – BLACK NIGHT ; LOVE FROM THE PAST
Page 14 – POSTCARD
Page 16 – AWAL KEDUA ; LIFE’S GAME
Page 17 – THE LOUNGE
Page 18 – BATTLE OF LOVE
Page 20 – DECISION
Page 21 – THE LETTERS
Page 22 – SURGA PAGI
Page 24 – THE EVENING PROMISE
Page 27 – AT THE HOTEL
Page 33 - A PHOTO
Page 36 - PAVO'S SANCTUARY
Page 38 - NEW BOY
Page 40 - STAY
Page 41 - REUNION
Page 43 - DECEMBER
Cheers,
ABI
saya suka SEMUA cerita kamu, tapi tidak dgn cerita REUNION ini,,
saya tidak suka bukan karena kamu bereksperimen dgn cara kamu menulis,, tp ttg bagaimana kamu menggambarkan prinsip dan idealisme yg d percayai oleh rimba,,
Rimba seolah-olah menganggap bahwa orang yg sukses adalah orang yg bisa mengejar mimpinya sewaktu kecil dan hidup sesuai potensinya,, dan satu lagi yg saya tangkap, bahwa d cerita d gambarkan bahwa kehidupan normal itu (sekolah, kuliah, menikah, punya anak) itu membosankan., saya sangat tidak setuju
menurut saya sukses tidak selalu seperti itu,, seiring waktu berubah, orang2 pun berubah, begitu pun idealisme dan cara pandang hidup,, impian masa kecil ataupun potensi yg kita miliki tidak harus selalu jd tujuan hidup kita,, seperti saya bilang tadi,, seiring berjalannya waktu, semua orang berubah dan itu tidak selalu jelek,,
sukses bisa aja artinya sesimpel kata bahagia,,
mungkin rendra dan yg lainnya tidak hidup sesuai potensi nya, tapi ketika mereka bisa hidup BAHAGIA dgn keluarganya dan anak2nya,, dan mereka menikmatinya, itu lebih dari cukup untuk menikmati hidup dibanding semua hal indah d luar sana,,