It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
lavinya baik bgt jd tmbh gemes
Ayo dilanjut...
*leviniel
Galaaaaauuuuuu...ƗƗɐƗƗɐƗƗɐ
Lanjuuttt dear..
[#4 – Error]
Tawa Levi memenuhi seisi lapangan basket yang sepi ini, begitu untuk ketiga kalinya aku gagal menembakkan three-point ke ring. Tak seperti biasanya, bola ku meleset terus. Tadi beberapa kali nyaris masuk, namun malah gagal.
Aku menekuk bibirku sebal, sambil membawa bola ku ke dekat Levi yang sedang duduk bersila di pinggir lapangan. Hari Minggu pagi ini, kami memang sedang berada di lapang basket yang ada di komplek perumahan dimana Levi tinggal. Lapang basket ini tampak selalu sepi, karena kebanyakan penghuni rumahnya memang jarang tinggal disini. Kebiasaan komplek perumahan elit.
“Gara-gara elo nih” ujarku sambil duduk dan menselonjorkan kaki ku.
“Kok nyalahin aku?” protesnya.
“Biasanya kalo gak ada lo, three-point gue gak pernah ada yang meleset tau” sahutku sambil agak mendelikkan mata ku pada nya.
Levi malah tertawa lagi, lalu mengambil handuk dari tas ku. Dia mengusapkannya ke keningku, tanpa aku minta.
“Kamu kayaknya grogi, ya Niel?” godanya tiba-tiba.
Aku menoleh padanya, memberikan tatapan sebal, tapi Levi semakin lebar tersenyum.
“Iya kan? Grogi karena aku temenin…” dia makin menjadi.
Aku menjulurkan lidahku, meledeknya. Levi membalas dengan menepuk-nepukkan perlahan handuk ke muka ku, aku mengambil handuk itu dari tangannya, lalu mengelap sendiri keringatku.
“Niel, aku boleh nanya gak?” kata Levi setelah aku selesai meminum air mineral yang dibawakan olehnya.
“Apa?” sahut ku sambil mengusap mulutku dengan punggung tangan.
“Tadi di kampus… kamu ngobrol apa sama Dara?” tanya Levi dengan suara yang agak ragu. Dia mungkin sebenarnya tak mau menanyakan itu karena takut terdengar seperti sedang mencurigaiku. Tapi aku tak bisa menyalahkan dia juga, karena seharian tadi Dara memang tak biasanya, sama sekali tak mau lepas dari sampingku. Lagipula, Levi pun sudah mengakui kalau ia cemburu pada teman baik ku itu.
“Uhm… biasa aja” jawabku sekenanya.
“Biasa gimana?”
“Yah, dia cuma curhat-curhat aja sama gue…”
“Curhat apa?”
“Ya banyak”
“Contohnya?”
Aku memandang Levi agak lekat. Dia sepertinya sungguh sangat ingin tau dengan apa saja yang sudah aku bicarakan dengan Dara. Dia tidak main-main.
“Oh maaf, aku bukan mau ikut campur…” kata Levi lagi, begitu tersadar kalau aku malah memberinya tatapan saja.
“Harus segitunya ya Lev?” aku malah bertanya. “Dara beneran cuma curhat biasa kok”
“Iya maaf, aku cuma gak enak perasaan” katanya jujur. Dia tampak tak mau lebih memperpanjang setelah aku bereaksi seperti itu.
Aku lagi-lagi tak bisa menyalahkan karena aku juga tak tahu kalau misalnya Levi punya insting atau apapun itu tentang keakrabanku dengan Dara – yang sebenarnya harus aku akui sedikit berbeda daripada sebelum-sebelumnya. Aku memang mengira kalau Dara bisa saja menyimpan perasaan padaku, tapi aku juga tak mau menanggapi dengan serius karena pada kenyataannya, aku dan dia jelas tak mungkin. Aku pernah bilang bukan, kalau aku tak terbiasa menjalin hubungan yang lebih dengan seseorang yang sudah menjadi sahabat bahkan sudah aku anggap adik sendiri.
Aku mengacak-acak rambut spike-ku yang agak basah oleh keringat, sambil melihat pada Levi yang sudah mengalihkan lagi perhatian pada buku di pangkuannya.
“Tenang aja, kalo dia macem-macem… gue juga pasti bilang sama lo” kata ku akhirnya, mencoba menenangkannya.
Levi balas melihat ke arahku, kemudian tersenyum tipis.
“Bukan nya kamu malah kesenengan?” ledeknya.
“Lo pikir gue cowok apaan!?” sahut ku cuek. Dia tertawa.
“Tapi waktu itu, kamu diem aja pas dia senderan di bahu kamu…” katanya, kali ini sambil sedikit merajuk.
“Gue kan gak tega kalo harus dorong badan dia biar gak senderan” aku masih saja mengelak dengan cuek nya.
Levi tiba-tiba mencubit pipi ku.
“Kamu mah bisa aja jawabnya” katanya, gemas.
Aku agak meringis sambil mengusap-usap pipi ku yang baru dicubitnya, meski sebenarnya tidak sakit sama sekali.
“Udah, pulang yuk? Bi Mar pasti udah nyiapin sarapan” ajak Levi pula sambil lebih dulu berdiri dari duduknya.
“Gue mau pulang aja, Lev”
“Hm? Kenapa? Nanti aja lah, sarapan dulu di rumah”
Aku ikut berdiri dan sedikit melakukan stretching.
“Ada nyokap lo kan?” tanyaku.
“Iya, ibu baru pulang tadi malem. Gak apa-apa, sekalian kamu kenalan”
Aku tak berani membantah lagi, sampai Levi berjalan lebih dulu keluar dari area lapang. Tadi saat aku datang, aku memang melihat sebuah mobil yang lain terparkir di garasi rumah Levi, sudah pasti itu ibunya yang pulang. Well, aku bukannya tak mau berkenalan – hanya saja entah kenapa rasanya jadi grogi. Padahal biasanya aku cepat akrab dengan ibu dari teman-temanku, tapi mungkin karena hubungan aku dan Levi yang bukan sekedar teman, jadi membuatku lebih deg-degan.
Huh, seolah-olah aku mau berkenalan dengan calon mertua?
What the heck.
. . . . .
Ibu Levi atau yang aku panggil Tante Mona, ternyata adalah seorang wanita yang ramah. Setau ku tau dia menjadi direktur di perusahaan yang dulu sempat dipimpin oleh suami nya. Dia juga seorang single-parent yang sendirian membesarkan Levi sejak suaminya meninggal sekitar 10 tahun yang lalu.
Aku lihat ibu Levi masih sangat cantik, tampak cerdas dan jelas seorang wanita yang mapan, namun hingga sekarang entah kenapa dia tak tertarik untuk menikah lagi. Ah tapi itu bukan urusanku.
“Ayo Niel, nambah lagi” kata Tante Mona ketika tanpa sengaja aku meliriknya, disela-sela sedang menyuap nasi goreng ke mulutku.
“Oh iya tante, ini juga masih banyak…” sahutku cepat sambil menghentikan pikiran demi pikiran di benakku. Jujur saja, aku memang agak mengamati ibu Levi, wajahnya yang cantik, ternyata menurun banyak pada Levi. Aku jadi tak heran kalau Levi sering sekali terlihat manis.
“Anggap aja kayak di rumah sendiri, Niel. Tante seneng ada kamu nemenin Levi disini”
Aku mengangguk saja sambil tersenyum.
“Kerjaan tante kan padat, hampir tiap minggu tante harus ke luar kota bahkan ke luar negeri. Levi jadi sering tante tinggal dari dulu. Tapi tante bersyukur, anak tante satu-satunya ini mau ngerti dan gak jadi anak manja” tambah Tante Mona pula, sambil mengusap lengan Levi yang duduk di sebelahnya.
Aku tersenyum lagi, agak kecut dalam hati. Jelas saja Levi tidak bisa manja karena tak ada tempat yang bisa dia jadikan tempat bermanja. Kalau saja Tante Mona tau, Levi mencari kenyamanan dari cowok-cowok (dan salah satunya aku) entahlah, mungkin saja dia tak akan ramah lagi seperti ini padaku.
“Nanti sore tante harus berangkat lagi ke Kalimantan…” Tante Mona menyambung, setelah dia minum dan mengelap mulutnya dengan lap makan.
Levi langsung menoleh ke arahnya. Tante Mona balas melihat pada putera satu-satunya itu, dan memberikan senyuman lembut yang lebih tampak seperti permintaan maaf.
“Jaga diri ya Lev…” kata Tante Mona pula, sebelum Levi sempat mengatakan apapun. Dia mengusap-usap kepala Levi.
“Ibu juga” sahut Levi akhirnya, pendek saja dan kalau aku boleh bilang, dengan senyuman yang agak dipaksakan. Pasti sebenarnya Levi tak mau ibunya cepat pergi lagi. Bayangkan saja, setelah hampir sebulan tak bertemu, ibunya baru kembali semalam – lalu nanti sudah harus pergi lagi. Aku saja yang terpaksa harus berpisah dengan ibu ku, demi kepentingan kuliah, pasti akan menyempatkan diri untuk pulang minimal 2 minggu sekali. Aku tak bisa lama-lama tak makan masakan ibu, juga bercanda dengan ayah dan adik perempuanku.
Tante Mona kemudian melihat padaku.
“Tolong bantu jagain Levi ya, Niel?” pintanya tiba-tiba.
“Eh? Oh iya, tante…” jawabku, agak terhenyak.
“Levi bisa jaga diri sendiri kok bu…” sela Levi. “Levi kan udah biasa. Yang penting, ibu harus selalu sehat, jangan kecapean dan cepet pulang”
Tante Mona mengangguk dengan senyuman lebar di wajahnya, dia menarik kepala Levi untuk memberikan kecupan lembut di pipi puteranya itu.
Aku hanya bisa terdiam, entah kenapa jadi merasa sedih sendiri. Jujur, aku tak bisa membayangkan kalau aku berada di posisi Levi. Entah bagaimana Levi melalui hari-hari yang sepi dari sejak usianya hanya 10 tahun.
Aku harap dengan kehadiranku disisinya sekarang, sedikitnya aku bisa memberikan keramaian di hidupnya, meski aku memang bukan orang pertama yang memasuki hidupnya dan aku juga tak pernah tau bagaimana Levi mengatasi rasa sepinya selama ini. Tapi aku ingin di masa sekarang hingga nanti, aku saja yang bisa membuatnya merasa hangat karena memiliki seseorang lagi selain ibunya.
Ah, kenapa suasananya jadi mellow seperti ini? Aku juga kangen ibuku…
- - - - -
Sesekali aku menguap sambil mengacak rambut spike-ku begitu Dara mengganti topik pembicaraan entah untuk yang keberapa kalinya. Tapi dia masih saja bersemangat dan seperti tak terganggu dengan reaksi ku yang sudah dengan sengaja menunjukkan kebosanan.
“… terus ya Niel… eh, lo dengerin gue gak?” Dara menepuk bahu ku, dan aku membuka mata ku, tak sadar sudah memejamkan mata tadi.
“Gue ngantuk, Ra” ujarku jujur.
“Kok ngantuk sih? Sejam lagi masih ada kuliah nih”
“Tau. Yang bikin ngantuk kan cerita elo…” gumamku sambil kembali bersiap memejamkan mata.
“Ih Adniel, nyebelin banget sih lo!” Dara menggurutu dan mencubit bahu ku.
“Aww! Jangan cubit-cubitlah!” protesku, sambil mengusap bagian lenganku yang dia cubit.
“Ya abis, elo nya…” Dara merajuk.
“Haduh Ra, gue gak paham apa yang lo ceritain, ganti-gantinya cepet banget… bentar ngomongin temen lo, bentar lagi ngomongin cowok yang ngajak kenalan di mall… sumpah gue ga konek!” cetusku panjang lebar.
“Ah elo, tapi tadi kayaknya tampang lo ngerti-ngerti aja…”
Aku menggelengkan kepalaku, lalu memandangnya lekat.
“Lo aneh tau ga, gak biasanya lo bawel dan cerita-cerita yang gak penting gitu sama gue” komentarku, frontal.
Dara langsung memudarkan wajah merajuknya, dan jadi datar memandangku.
“Gak penting?” tanyanya.
“Hm” gumamku, mengiyakan, dengan agak ragu.
“Jadi sekarang, gue gak penting buat lo?” katanya, seenaknya membuat kesimpulan.
“Lha, gue gak bilang gitu…”
“Lo udah gak peduli sama gue, Niel?”
“Bukan, tapi lo tuh—“
“Gue gak penting kan sekarang?!” potong Dara lagi, nampak marah. Aku pun segera duduk dengan benar dan memandangnya agak serius.
“Gak usah freak gitu. Gue bingung sama tingkah lo belakangan ini, lo lagi PMS?” kata ku sekenanya, yang penting bisa cepat meredam marahnya.
“Nggak!” jawab Dara ketus.
“Nah, lo marah-marah gak jelas gini, pasti deh lagi PMS… ini tanggal berapa?” aku yang merasa mendapat celah, cepat mengalihkan pembicaraan.
Dara berdecak sambil memutarkan bola mata, membuang mukanya dari ku. Aku tersenyum, dan mencolek pipinya – dia menepis tanganku.
“Heh, kalo lo lagi ada masalah, cerita yang bener, jangan bertingkah gak jelas kayak gini” kata ku, berhenti menggodanya.
“Lo gak pernah dengerin gue” sahutnya masih ketus.
“Lha, kalo lo cuma cerita random gitu, ya gue juga males dengerinnya, neng…”
Dara melirik ke arahku lagi dengan tatapan ngambeknya. Dia pasti agak tergerak oleh panggilan yang biasa aku sebut untuknya.
“Gue kan pernah ngomong serius sama lo, tapi lo kayak gak dengerin gue, Niel” kata Dara akhirnya dengan suara yang lebih normal dan tidak marah-marah lagi.
“Ngomong serius? Kapan?” aku memandangnya, bingung.
“Tuh kan…” cetusnya, dan merajuk lagi.
Aku menggaruk-garuk belakang kepalaku yang sebenarnya tak gatal. Ok, beberapa hari yang lalu Dara memang seperti pernah membahas tentang perasaannya yang makin berbeda. Seperti yang Levi duga, tampaknya Dara benar mulai jatuh cinta padaku – dan jujur, aku memang tidak begitu menggubrisnya saat itu.
Like I said, aku tak pernah terbiasa dengan hubungan yang awalnya sudah teman baik kemudian harus menjadi kekasih. I’m sorry, but no way.
Aku nyaris tak tau harus mengelak seperti apa lagi, ketika Levi tiba-tiba muncul disana, tersenyum padaku dan Dara. Thanks God. Rasanya dia jadi seperti malaikat penolong yang dikirim Tuhan untukku – ya memang berlebihan, tapi kedatangannya sangat memberikan kesejukan bagiku, bagaikan angin surga yang belum pernah aku rasa juga sebelumnya (ok, berlebihan lagi).
“Hey Lev!” aku langsung menyapanya, memanfaatkan untuk mengalihkan suasana.
“Hai” sahut Levi. Ia menyimpan sebuah bungkusan dari kantong kertas di pangkuanku. “Ini dari ibu” katanya.
“Hah?” aku mengambil bungkusan itu sambil memandangnya, agak bingung.
“Sebelum ibu ke Kalimantan kemarin, ibu kan baru dateng dari Jogja malemnya, dia bawa oleh-oleh. Itu buat kamu, katanya” jelas Levi.
“Oh…” aku mengintip ke dalam bungkusan, yang tampaknya seperti kain batik dan kaos khas Jogja. “Thanks ya Lev, bilangin sama Tante Mona” kata ku sambil kembali melihat pada cowok di depanku.
“Ok” sahut Levi masih sambil tersenyum.
“Oleh-oleh dari nyokap lo? Kok gue gak dibagi, Lev?” sela Dara tiba-tiba yang tadi hanya terdiam memperhatikan obrolanku dan Levi, aku yakin dia pasti mencoba mencerna dan menangkap ada apa sebenarnya diantara kami.
“Eh, iya maaf Ra, itu ibu gue ngasih buat Adniel, soalnya kemarin dia maen ke rumah” kata Levi, menjelaskan dengan halus dan apa adanya.
Aku jelas tak bisa mencegah, tak ada kesempatan untuk tidak mengakui kalau aku memang sudah menghabiskan hari Minggu ku di rumah Levi.
“Oh, jadi Adniel maen ke rumah lo…” ulang Dara sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia seperti tak mau memperpanjang, tapi dari raut wajahnya, aku tau, dia menyimpan kecurigaan lagi – atau ketidak sukaan?
“Iya, dia minjem tugas gue” sambung Levi lagi, sebelum aku berpikir untuk mengatakannya. Aku jadi meliriknya, dan dia hanya tersenyum sekilas padaku. Dia paham kalau aku pasti tak akan suka karena dia sudah bicara terlalu banyak soal kami, jadi dia cepat meng-cover nya dengan kenyataan kalau aku suka sekali menyalin tugasnya.
“Ah, udah gue duga” komentar Dara. Raut wajahnya jadi terlihat lebih tenang. “Kalo gitu, kapan-kapan gue boleh dong maen ke rumah lo?”
“Boleh lah, dateng aja Ra” sahut Levi.
Dara jadi tersenyum manis pada pacar ku itu. Dasar cewek.
“Ya udah, gue ke kelas duluan” kata Levi lagi, sambil bersiap pergi dari hadapanku dan Dara.
“Ok, thanks ya bro!” sahut ku, sambil melambaikan tangan padanya. Levi membalas ditambah dengan senyuman.
“Eh, Leviandra, tunggu! Bareng!” seru Dara yang tiba-tiba beranjak dari sampingku, dia melangkahi kaki ku begitu saja untuk keluar dari bangku panjang yang sejak tadi kami duduki ini. Tanpa melihat dulu padaku, dia langsung menyusul Levi yang menunggunya dan mereka berdua menuju kelas bersama.
Aku menggerutu saja pelan, sambil memasukkan bungkusan isi oleh-oleh dari Tante Mona ke dalam tas.
. . . . .
“Eh Lev, weekend ini lo ada acara ga?” tanya Dara begitu Levi sudah menyimpan tas nya di sebuah bangku, di jajaran paling depan. Dara ikut duduk di sebelahnya.
“Weekend ini… gue belom tau, Ra. Kenapa?” sahut Levi. Cowok manis itu memang belum tau kalau Sabtu ini apa dia akan memiliki acara atau tidak. Dia ingat kalau pacar nya adalah orang yang spontan, semua yang mereka lakukan lebih sering karena keinginan yang mendadak.
“Double-date yuk?”
“Hah?”
Dara mengangguk, lalu lebih mendekatkan badannya dengan Levi.
“Lo punya pacar, kan? Gue mau jalan sama Adniel, biar tambah rame aja kalo double-date” kata Dara, agak memelankan suaranya.
Levi terpaku sebentar. Dia sama sekali tak tau kalau pacarnya punya rencana akan jalan dengan Dara. Tapi dia tak mau cepat menuduh. Levi percaya kalau Adniel pasti tak akan menyembunyikan apapun di belakangnya.
“Oh ya? Emangnya kalian—“
“Nggak, belum. Gue lagi pedekate sama dia. Nah, belakangan ini kan gue liat lo berdua akrab. Siapa tau kalo kita double-date, dia bisa lebih santai dan mau mengenal gue dengan lebih dekat lagi” jelas Dara dengan bersemangat. Entah sejak kapan cewek itu mendapatkan ide-nya, tapi Levi sungguh tak enak kalau harus menurunkan semangatnya yang seperti menggebu-gebu.
“Setau gue, kalian berdua udah temenan lama, Ra… apalagi yang mesti dikenal dengan lebih jauh?” komentar Levi.
“Ya banyak. Gue pengen dia ngenal gue lebih dalam, sebagai Dara yang bukan sekedar dia jadiin temen. Lo ngerti lah, Lev” kata Dara sambil tersenyum agak malu.
Levi mengangguk-anggukkan kepalanya, menahan rasa tak nyaman di hatinya. See? Ini sesuai sekali dengan apa yang dia takutkan selama ini.
“Ok” cetus Levi akhirnya, menyetujui begitu saja.
“Beneran?” kata Dara dengan mata yang berbinar. Levi mengangguk saja.
“Lo, bakal bawa cowok lo?” tanya Dara pula.
Levi tersenyum.
“We’ll see”
- - - - -
“Gue mau jalan sama Dara…” kata ku setelah beberapa saat tadi kita mengobrol berbasa-basi. “Dia ngajakin gue jalan weekend ini”
Levi tampak terdiam dulu beberapa detik diujung telepon sana.
“Oh”
“Gak apa-apa kan?”
“Gak apa-apa”
Aku mengernyitkan kening mendengar jawabannya yang tak seperti biasa. Levi biasanya akan freak setiap kali aku bilang ada urusan bersama Dara, sampai aku harus menenangkannya berkali-kali. Tapi sekarang tidak? Tampak aneh dan terus terang aku agak kecewa. Memang, aku akui kalau aku menikmati setiap kecemburuan yang Levi tunjukkan.
“Serius?”
“Iya”
“Kok?”
“Kenapa?” Levi malah balik bertanya.
“Nggak, cuma heran…”
Levi tertawa pelan.
“Kamu kan udah lama juga gak jalan sama dia pas weekend, terus, aku percaya kalian gak ngapa-ngapain” jelasnya.
Aku berguling ke samping, lalu menekuk bibirku. Sungguh, reaksinya yang ini tidak seperti yang aku harapkan.
“Lagian nanti juga aku nyusul…” cetus Levi lagi.
“Hah? Maksudnya?” aku bangun dan duduk di tempat tidurku.
“Dara ngajakin double-date”
Mata ku agak membelalak, lalu memindahkan posisi handphone-ku ke kuping sebelah kanan.
“Double-date? Dia ngajak lo?”
“Iya”
“Terus?” aku mengernyitkan keningku juga, merasa ada yang tak beres.
“Ya, aku mau”
“Ja- jadi maksudnya gimana?”
“Ya, kamu sama Dara dan aku sama—“
“Siapa? Lo sama siapa?” potong ku cepat.
“Aku mau bawa temen ku”
“Temen? Siapa?”
“Ya, nanti juga kalian kenalan…”
Aku menarik nafas, mencoba menenangkan diri. Mendadak aku jadi terpikir kenapa Levi dengan mudahnya menyetujui ajakan konyol Dara. Tapi kita juga tak bisa melakukan apapun, aku tak mungkin bilang, kalau Levi adalah pacarku dan aku tak setuju kalau kami harus double-date seperti ini.
“Beneran… cuma temen kan?” perlahan, aku mencoba memastikan.
“Iya” sahut Levi cepat dan ditambahi dengan tawa pelan di suaranya.
Argh, aku tak mau terlihat kalau sedang kalut sekarang.
“Ya udah—“
“Pacar aku kan kamu, Niel” potong Levi, begitu aku akan mengalihkan pembicaraan. Aku jadi terpaku sendiri, wajahku memanas dan nyaris lupa dengan apa yang ingin aku katakan.
“Hm…” gumamku akhirnya. Levi hanya membalas dengan tawa lagi.
Haduh.
- - - - -
Dara duduk sangat dekat denganku, begitu kami tiba di sebuah café di daerah Dago. Café ini memang cukup terkenal dan beberapa artis juga biasa menjadikannya tempat untuk hang-out karena tempatnya yang enak dan nyaman.
Levi sudah datang dengan seorang cowok yang dia bilang adalah temannya. Cowok itu ganteng, lebih tinggi dari Levi meski tidak lebih tinggi dari ku – entah kenapa tapi aku jadi berpikir sepertinya mereka bukan sekedar teman biasa. Maksudku, mungkin mereka memiliki masa lalu? Ahk, aku tak mau peduli, setidaknya untuk sekarang. Levi sudah meyakinkanku kalau orang itu hanya teman, dan posisi kami juga sedang berada dalam suasana double-date yang seenaknya sudah direncanakan Dara. Aku terpaksa harus berpura-pura.
“Terry, pacarnya Leviandra ya?” tanya Dara setelah beberapa saat kami selesai berkenalan kemudian mulai memesan makanan.
Aku cepat melirik pada mereka dengan tatapan tajam. Cowok bernama Terry itu, menengokkan dulu wajahnya pada Levi, seperti meminta bantuan, bagaimana dia harus menjawab.
“Bukan, Ra. Kita cuma temen kok” jawab Levi akhirnya, yang kemudian melirik aku juga, sekilas dengan senyuman di bibirnya.
“Ohya? Terus pacar lo?”
Levi hanya menggelengkan kepalanya, ambigu.
“Kita temen deket” sahut Terry tiba-tiba yang tampaknya agak sok tahu membaca situasi dan mengira Levi sedang membutuhkan penyelamatan.
Heck, temen deket?!
“Oh… gue ngerti” kata Dara akhirnya sambil menganggukkan kepala, dia tersenyum mencurigakan juga sambil perlahan melirik ke arahku. Aku cepat berpura-pura sibuk dengan Latte Ice yang tadi aku pesan, padahal dalam hati aku menggerutu, kenapa Dara harus merencanakan semua ini lalu bertanya-tanya dengan ingin tau seperti itu. Mengesalkan.
“Jadi, abis ini kita kemana? Karaoke?” tawar Levi, mengalihkan pembicaraan lagi.
“Ide bagus!” sambar Dara, sebelum aku sempat menolak. Aku pikir, double-date bodoh ini akan cepat selesai setelah kita selesai makan, kenapa Levi malah menawarkan untuk ke tempat lain!?
Dengan sengaja aku mendelik ke arah pacarku itu, entah dia menyadari atau tidak rasa keberatanku, tapi dia malah terus tersenyum… dengan manis.
Errr.
. . . . .
Karaoke never could be these sucked for me before today.
Aku memang tak begitu suka ke karaoke, tapi kalau teman-temanku mengajak berkumpul disini, aku pasti tak mau melewatkannya karena ingin bersenang-senang dengan temanku. Namun hari ini, karaoke menjadi tempat paling menyebalkan buatku. I hate to be here right now.
Levi dan Dara sedang bernyanyi-nyanyi riang dengan suara mereka yang apa adanya. Aku hanya duduk di sofa sambil meminum soft drink yang ku pesan. Aku melirik pada Terry yang juga hanya duduk dan bertepuk tangan sambil tertawa sesekali. Dia sempat melirikku, lalu mengajakku untuk ikut menyanyi-nyanyi. Dara juga menarik tanganku beberapa kali, tapi aku hanya menolak dengan alasan kekenyangan. Hingga aku pun agak sedikit lengah, lalu tak bisa mencegah ketika Terry ikut berdiri, bernyanyi dari mic yang sama dengan Levi dan tangannya…
Anjrit! Dia merangkul pinggang Levi! WTF, that’s so gay!
Well, of course coz they’re gays. Argh.
Entah datangnya dari mana hawa panas yang sekarang mengitari badanku. Aku beberapa kali minum, sampai soft drink ku sudah nyaris habis di gelas. Aku berdiri, lalu berjalan keluar ruangan karaoke tanpa bilang dulu pada mereka, sebelumnya mata ku masih menatap tajam pada Levi yang makin keasikan di peluk Terry, begitu juga Dara yang sama sekali tak menyadari ada adegan yang menyebalkan di dekatnya.
Aku cepat berlalu, memerlukan udara segar.
~
Aku menyalakan sebatang rokok begitu sudah berada di luar, duduk di bangku yang ada di sebuah koridor yang menuju ke toilet pria. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya lagi.
Kesal, sebal, muak, semuanya campur aduk dan aku tak mengerti kenapa bisa begitu. Apa aku cemburu? Otak ku sudah error? Aku dan Levi memang berpacaran dan aku juga jelas tak akan suka kalau dia dekat-dekat dengan orang lain lagi, tapi itu kan hanya sepele – lagipula Levi sudah memastikan kalau Terry hanya temannya. Kenapa aku harus begini berlebihan!? Aku posesif? Tidak mungkin!
“Niel”
Sebuah tepukan terasa di pundakku. Aku berhenti menghisap rokok ku dan menoleh, menemukan Levi sudah berada disana. Aku cepat mengalihkan lagi pandanganku, mengacuhkannya.
“Kok kamu disini?” tanya Levi pula sambil duduk di sampingku.
“Agak pusing tadi di dalem, berisik” elak ku.
Levi mengamatiku, kemudian perlahan, mengambil rokok di tanganku dengan sopan. Aku tak sempat menghindar dan jadi membiarkan dia mengambilnya.
“Masa atlit basket ngerokok” komentarnya, sambil membuang rokok ku ke dalam tempat sampah terdekat.
“Emang kenapa?” aku menaikkan sebelah alisku.
“Gak boleh” katanya tenang. Aku yang berniat untuk marah, karena dia sudah begitu lancang membuang rokok ku begitu saja, ditambah juga kekesalanku sebelumnya – malah jadi tak bisa karena melihat dia tersenyum.
Seumur hidup aku baru tau ada cowok selembut dia.
“Ah rese lo” aku pun menggerutu dan mendecak pelan.
“Kenapa kamu jadi ngambek kayak gini?” tanyanya.
“Siapa yang ngambek?!”
“Kamu. Pasti gak suka liat aku sama Terry…”
“Nah itu lo tau!” sergahku. “Kenapa lo diem aja waktu dia pegang-pegang lo?!”
“Megang-megang biasa aja kan Niel…”
“Biasa apanya?! Dia megang pinggang lo!” sahutku agak sewot.
“Terus? Kamu gak suka? "
“Iyalah!” aku mengakuinya begitu saja, meski kemudian cepat memalingkan wajahku begitu melihat senyuman puas di wajah manis Levi.
"Kenapa kamu gak suka? Padahal aku juga biasa aja waktu Dara nempel-nempel sama kamu"
Aku cepat melihat padanya lagi dengan tajam.
“Gak usah nanyain hal yang udah lo tau jawabannya. Dan lo juga tau sendiri kalo si Dara emang gitu, kencan dodol ini juga kan dia yang ngerencanain” ujarku geram.
“Aku gak tau” kata Levi cuek dan meneruskan menggodaku.
“Argh” aku pun mengerang sebal sambil mengacak rambut ku. Levi tertawa sambil mengulurkan tangan untuk merapikan kembali rambutku, aku tak mengelak karena sentuhan tangannya memang ajaib dan tak bisa aku abaikan.
“Iya deh, aku ngerti, Niel” katanya.
“Kalo gitu jangan pura-pura bego!”
“Yah aku kan pengen denger langsung alesannya dari kamu”
“Lo emang seneng ngerjain gue, iya kan?!” tuduhku. Aku memegang tangannya yang masih mengusap-usap rambutku.
Perlahan tatapan tajamku malah memudar dan jadi lebih lekat memandang wajah manisnya. Dia masih tersenyum lembut, menggugah hatiku. Halah. Tapi memang, setelah sekian minggu dari sejak aku mengiyakan untuk berpacaran dengannya, aku jadi memahami dia lebih dalam. Yang paling melelehkan aku adalah kebaikan hatinya.
“Gue… cemburu” ungkapku tiba-tiba.
Levi agak melebarkan mata besarnya, semakin membuat gemas. Seperti wajah terkejutnya waktu itu, ketika aku mendadak mencium keningnya.
“You are” sahutnya kemudian. “Yes you are” dia pun tersenyum senang.
Aku menarik tangannya untuk menutupi wajahku yang belakangan ini sering sekali terasa panas karena… memerah. Sial. Sial.
Levi tertawa, lalu mengusap kepalaku dengan tangannya yang lain. Aku mengangkat wajahku lagi, berusaha memandangnya. Kami saling menatap beberapa detik, sampai kemudian aku mendekatkan wajahku dengannya.
Levi tampak mulai gugup. Suasana disini tidak gelap seperti saat di dalam bioskop dan di sekeliling kami – walaupun sepi, sangat memungkinkan jika ada orang yang mendadak muncul disana.
“Kenapa lo buang rokok gue?” tanyaku, tanpa melepaskan jarak diantara wajah kami.
“Kamu gak boleh ngerokok banyak-banyak” jawabnya.
“Gue udah biasa ngerokok, tau”
“Mulai sekarang jangan dibiasain”
“Kenapa lo ngatur-ngatur gue? Lo gak berhak campurin hidup gue meski lo pacar gue…”
“Karena aku care sama kamu” potongnya, sebelum aku panjang lebar memprotesnya dengan kekanakan.
Aku terdiam, melanjutkan menatap mata imut nya.
“Kamu bisa makan permen, atau makan-makanan kecil kalo lagi pengen ngerokok, ok?” kata Levi lagi.
“Gue gak mungkin bawa gituan”
“Fine, kalo gitu, aku yang bawa”
Aku mengernyitkan kening, kemudian menjatuhkan tatapan mata ku pada bibirnya. Pikiran error yang busuk, melintas begitu saja di benakku.
“Kalo gue cium lo aja, gimana?” tawarku, iseng.
Levi tampak terkejut sebentar, sebelum kemudian tersenyum dan mengangguk. Dia mendekat, lalu mengecup bibirku pelan.
“It’s better, daripada kamu ngerokok” bisiknya.
Aku membeku.
Tidak, otak error ku masih berjalan dan aku tak mau ciuman yang singkat saja.
. . . .
Aku mendorong Levi ke sebuah tembok di balik tangga darurat yang kebetulan ada di ujung koridor tadi. Tempat ini aman, kalau pun ada yang melihat kami, berarti kami memang sedang sial.
“Niel?” Levi bertanya dengan tatapan cemas bercampur bingung di mata nya.
“Sshh” aku menyimpan jari telunjukku di bibirnya, sebelum kemudian menggantikannya dengan bibirku.
Levi memang tampak bingung, namun dia tak mengelak begitu aku mulai menciumnya. Kami memejamkan mata, aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang lembut. Wangi mint dari mulutnya bercampur dengan wangi tubuhnya yang selalu seperti bayi. Hangat, lembut, membuatku betah berlama-lama.
Aku mendekap tubuh kecilnya yang terasa pas di lenganku, dan membiarkan dia bersandar dengan nyaman pada tembok di belakangnya. Bibir kami menyatu dengan tanpa paksaan, begitu juga ketika aku mulai menautkan lidahku dengan lidahnya, dia mengimbangiku dengan sempurna.
F-ck this, but I feel like dying right now.
Aku jadi ingat dengan komentar salah satu temen cewekku yang suka mengamati tentang gay. Dia bilang, ciuman gay adalah ciuman ter-seksi dan terpanas yang pernah dia lihat secara langsung. Lalu, dia juga berani jamin kalau some of gays adalah good kissers.
Ok, aku percaya itu sekarang. Levi is really hot and really a good kisser.
Jujur saja selama beberapa kali aku berpacaran dengan cewek, dan aku ingat-ingat, tidak ada satu pun dari mereka yang bisa membuat ku merasa benar-benar menikmati sebuah ciuman, merasakan kalau tubuhku seperti dibawa melayang ke langit ketujuh seperti ini. Aku yakin memang karena ini Levi. Hanya dia yang bisa melakukannya padaku.
Ya ampun… ibu, ayah, sepertinya putramu satu-satunya ini sudah jatuh cinta pada seorang laki-laki.
Aku membuka mata ku lebih dulu setelah melepaskan bibirku perlahan. Levi juga membuka matanya, kemudian mengulas senyuman lembutnya lagi padaku.
Damn.
Aku benar-benar error.
- - - - -
“Niel” panggil Dara di sela-sela aku mengemudikan motorku. Dia duduk di belakang dengan tangan yang memeluk ku erat.
“Apa?” kata ku sambil membuka kaca penutup helm ku. Aku sedikit memiringkan wajahku, sambil terus mengamati laju motorku.
“Tadi, lo sama Leviandra ngilang kemana?”
Deg.
“Ngilang? Nggak kok”
“Gue malah jadi berduaan sama Terry”
Aku tertawa.
“Gue ngerokok di koridor, sendirian kok” kata ku berbohong demi kebaikan.
“Masa? Tapi tadi kalian datengnya barengan”
“Oh i- iya, gue ketemu Levi pas dia keluar dari toilet”
“Hm…” Dara menggumam, entah dia percaya atau tidak – terus terang aku tak peduli. Aku kembali menutupkan kaca helm ku, dan mulai mempercepat laju motorku, agar tak memberinya kesempatan untuk bertanya lagi.
Malam Minggu ini tak begitu berantakan juga untukku.
Ciuman ku dan Levi tadi, seperti semakin mengungkapkan kalau hubungan kami tak akan hanya sekedar main-main. Aku mungkin perlahan mulai benar-benar membalas perasaannya.
Bibirku mengulas senyuman sendiri. Kalau sudah berciuman seperti itu, apa mungkin akan terjadi hal yang lebih jauh diantara kami? Could we?
Shit, this f-ckin error brain of mine.
- - - - -