It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
huuuu.
nanggung bgt critanyaaaaaaa
oh iya, sudut pandangnya saya pake 2. dr pov adniel dan pov writer. hehe. makasih bnyk ya
- - - - -
Aku berhenti memainkan bola basket di tanganku ketika sudah menyebrangi parkiran dan menuju fakultas ku. Ada rame-rame di depan ruang kantor senat mahasiswa. Tapi aku tak mau tau, aku malas berhubungan dengan orang-orang disana. Levi yang tak kunjung menjawab teleponku, atau juga balik menelepon, masih membuatku kesal. Nanti kalau kami bertemu di kelas, aku mau mengomelinya.
“Gila, itu parah banget men!” kata Roby sambil menghampiri ke arahku dan anak basket lainnya yang kebetulan sedang berkumpul di depan ruang ganti.
“Hah? Emang apaan sih Rob?” sahut Erik yang memang selalu tertarik pada hal-hal berbau gossip. Kadang aku juga tak habis pikir kenapa teman-temanku yang berperawakan macho dengan badan tinggi khas pemain basket ini, begitu bawel dan senang bergosip macam cewek-cewek centil yang suka ribut di kantin.
“Dugaan lu bener Rik” kata Roby sambil berusaha menenangkan dulu nafasnya.
“Dugaan yang mana?”
Roby melirik kami satu persatu, sebelum kemudian bicara dengan agak berbisik.
“Soal si homo…”
“Sama Harlan?” sambar Erik dengan mata yang sudah berbinar.
“Bukan, tapi William”
“HAH?!” seru kami nyaris bersamaan.
“Sshh…” Roby cepat menyuruh kami untuk diam.
Perasaanku semakin tak nyaman, lebih tak enak daripada semalam. Sesuatu yang buruk apakah sudah terjadi?
“Emang gimana ceritanya? Di dalem tuh mereka lagi apa?” Fery dan Erik semakin bersemangat untuk meminta Roby bercerita.
“Jadi, katanya semalem, si Leviandra udah berbuat gak senonoh sama William”
“Wah?!” Teman-temanku berseru lagi, sementara aku semakin tak nyaman dengan debaran di dada ku… rasanya jadi sakit.
“Kok bisa, Rob?”
Dan Roby pun menceritakan semua yang sudah di dapatnya dari dalam kantor senat. Menurut cerita yang beredar, semalam William dilecehkan oleh Leviandra, ada beberapa bukti yang sudah melengkapi. Sekarang para senat kembali rapat untuk membahas, apakah Leviandra pantas atau tidak melanjutkan untuk dicalonkan sebagai ketua. What the heck. Kenapa bisa ada cerita seperti itu?!
“Jadi sekarang, di dalem, Leviandra lagi di sidang?” tanya ku, sambil berusaha tetap terlihat tenang.
“Gue gak liat dia. Kabarnya, anak itu udah kabur dari semalem”
“Wah parah” komentar Erik pula.
“Sumpah, gue gak bisa percaya…” gumam Fery sambil menggelengkan kepalanya.
“Kenyataannya emang gitu Fer. Bener kan, gay is actually gay. Pas dia berduaan sama William yang ganteng di tempat sepi gitu, dia pasti gak bisa nahan diri” sahut Roby, ditambahi dengan analisanya yang tumben terdengar masuk akal.
Astaga. Apa benar Levi seperti itu?
Aku berdiri dari duduk ku, dan mendadak jadi semakin tak enak hati. Kalau Levi tak ada disana, terus dimana dia sekarang? Apa dia kabur karena malu? Dia mungkin tak mau menampakkan lagi wajahnya di depanku.
~
Keningku berkerut ketika Dara memperlihatkan beberapa buah foto di dalam handphone-nya. Itu barang bukti yang sudah menggemparkan nyaris seisi kampus, terutama di kalangan para senat mahasiswa. Foto Levi yang sedang berbuat tak wajar dengan William.
Darah ku cukup mendidih sekarang. Levi berpelukan dengan William, dan aku melihat bagaimana dia begitu menikmati berada dalam pelukan cowok itu.
F-ck.
Shit.
“Gue juga gak nyangka kalo Leviandra kayak gini…” suara Dara menghentikan gerakanku yang sudah akan merebut handphone-nya karena ingin membantingnya. Aku langsung menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
“Dari mana lo dapet itu?” tanya ku datar.
“Dari anak senat. Temen-temen disini ada yang pengen liat”
“Harus ya lo sebarin kayak gini?” suara ku mulai terdengar agak gemetar karena menahan emosi.
“Gue gak nyebarin, Niel. Cuma ngasi liat temen kita yang pengen liat…”
Bego, itu maksudnya sama aja! Gerutuku di dalam hati, agak kasar.
“Ini lho Niel yang gue takutin dulu kalo lo terlalu deket sama Leviandra. Dia emang baik, emang pinter, tapi dia tetep gay. Dan kita gak tau kalo misalnya dia punya niat macem-macem sama lo” kata Dara lagi, jadi menasihatiku.
Aku terdiam. Aku merasa sudah tau lebih banyak soal Levi daripada Dara. Tapi harus aku akui, tingkah tak terduga Levi kepada William itu, sangat mengusikku.
Siapa yang tak akan tergoda oleh William yang ganteng?
Kemungkinan Levi yang tidak bisa mengendalikan diri, mungkin saja terjadi. Dan aku jadi merasa di khianati disini. Apalagi sekarang Levi malah menghilang, tak mengabariku, tak bisa juga aku hubungi. Shit lah.
“Niel, mulai sekarang lo harus dengerin gue ya… Jangan abisin waktu lo sama orang yang gak seharusnya lo temenin” ucap Dara sambil mengusap pelan bahu ku.
Aku hanya bisa terpaku. Perasaanku tak karuan.
Marah, bingung, terluka, sedih… kangen.
- - - - -
Dengan agak asal-asalan, aku mengambil segenggam pop-corn dari mangkuk besar yang barusan dibawakan Mbak Lidya. Beberapa butir pop-corn berjatuhan ke lantai, tapi aku tak peduli. Suasana hati ku sedang buruk sekali dari sejak masih di kampus. Kejadian hari ini sungguh menguras pikiran dan perasaanku.
“Pelan-pelan dong, Niel, berantakan tuh” tegur Mbak Lidya.
Aku tak mendengarkan dan malah mengulanginya ketika mengambil pop-corn lagi.
“Ih ni anak, bisa gak kalo lagi bête di kampus, gak usah dibawa-bawa ke rumah!?”
Aku melirik tajam pada kakak sepupuku itu.
“Mbak gak usah bawel” kata ku dingin, sambil kemudian beranjak dari sofa bermaksud ke kamarku.
Barusan sempat ku lihat wajah terhenyak Mbak Lidya. Meski kami memang sering terlibat pertengkaran-pertengkaran kecil, tapi sebenarnya itu tak pernah ada yang serius. Dan sekarang tampaknya Mbak Lidya sadar kalau aku sedang sangat – sangat bad mood. Jadi dia tak membalas ucapanku, dan hanya memandangku sambil menggelengkan kepalanya.
Aku meminta maaf di dalam hati. Ya, aku lagi butuh waktu untuk sendirian tanpa ada orang yang menegur-negurku dulu.
~
Sambil berbaring di kasur, aku melempar-lemparkan bola basket kesayanganku ke atas. Pikiranku masih berkecamuk, kalut tak jelas. Tadi sempat berpikir, kalau aku ingin menyesali semua ini. Menyesal karena sudah coba-coba mengiyakan untuk berpacaran dengan Levi, menyesal karena aku sudah penasaran pada cowok manis itu. Menyesal karena mungkin… aku mulai seperti jatuh cinta padanya.
Damn.
Aku memeluk bola basketku dan agak menekannya ke dada. Ada rasa sakit disana. Rasa menyesakkan yang seolah pernah diperingatkan padaku sebelumnya. Menyukai laki-laki, dan melibatkan diri pada situasi ini, mungkin bukan sesuatu yang mudah, aku sudah seharusnya lebih menyiapkan diri. Rasa sesak dan sakit ini, menurutku lebih sakit daripada ketika aku ditolak seorang cewek yang sudah lama aku suka.
Huh. I don’t know why it has to be like this. Why me?!
Mata ku sudah mulai terpejam ketika aku mendengar alunan ringtone standar dari handphone-ku. Aku membuka lagi mata ku, melepaskan bola basket dari dekapanku dan mengulurkan tangan untuk mengambil handphone yang aku simpan di bawah.
Nama Levi muncul disana. Aku cepat menyentuh tombol OK di layar handphone ku.
“Hallo? Niel?” sapanya begitu aku sudah menyimpan handphone-ku di telinga.
“Kemana aja lo?” sahut ku datar. Aku bangun dan duduk di kasur sambil mencoba menenangkan diri agar tak cepat terbawa emosi.
“Maaf aku baru ngehubungin kamu…”
“Kabur lo? Huh? Lo gak bisa nunjukin lagi muka lo yang sok alim itu sama gue?!” aku menyergahnya, perlahan, emosi yang aku tahan sejak tadi siang memang tetap keluar dari kendaliku.
“Aku gak kabur, Niel. Aku lagi—“
“Lo tau kalo kelakuan lo yang malu-maluin itu udah nyebar ke hampir seluruh kampus?! Semua orang ngomongin lo sekarang, gak akan ada lagi yang mau respek sama lo. Gue tau lo gay, tapi lo punya harga diri kan?!”
Levi tampak terdiam beberapa detik disana. Dia mungkin shock dengan kemarahanku yang tiba-tiba ini, tapi aku lebih baik mengungkapkannya sekarang daripada aku menutupinya dan bertingkah seolah aku tak tau apa-apa.
“Kaget kan lo? Gue udah tau semua, Lev, lo ga bisa ngelak”
“Aku gak ngerti kamu ngomong apa…”
Aku mengernyitkan kening.
“Gue ngomongin soal kelakuan gak bener lo sama William, lo paham sekarang?!” kata ku, dengan sengaja menekan kalimat ku.
“Itu—“
“Apa?! Gue gak nyangka ternyata lo sama aja kayak homo laennya. Wajah lo emang sok manis kan? Lo emang bertingkah sok baik doang” potong ku, semakin kejam menuduhnya. Aku tak peduli. Aku sedang marah sekarang.
“Nggak Niel, kamu salah. Jangan percaya sama yang orang bilang, please” kata Levi dengan suara yang jadi memelas.
“Gue bukan percaya dengan yang orang bilang, tapi gue ngeliat buktinya!”
“Itu gak seperti yang kamu liat. Kamu harus dengerin aku, aku mohon…”
“Kenapa gue harus dengerin lo? Kenapa gue harus percaya sama orang yang udah khianatin dan kecewain gue?!”
“Niel, please… nanti aku kesana buat jelasin semua, tapi sekarang aku belum bisa. Sekarang aku lagi—“
“I don’t f-ckin care! Gue rasa, gue emang harus mulai ngejauhin elo, Lev. Gue gak seharusnya terlibat urusan sama lo. Gue gak seharusnya tau dunia gak bener kayak gini. Udah cukup ya. Terserah lo mau jelasin apa, tapi kayaknya lebih bagus kalo kita gak usah kenal lagi…”
“Niel—“
Klik.
Aku mematikan ponselku dan melemparkannya ke atas bantal.
F-ck! Aku mengumpat dalam hati. Emosi ku sungguh tak bisa di tahan, dan mendengarkan dia yang terus mencoba membela diri, malah membuatku semakin panas. Aku tak bisa berpikir jernih. Aku hanya tau kalau sekarang dada ku sesak karena sakit hati sudah di khianati oleh orang yang baru saja aku mulai sukai.
I hate you, Leviandra… but still I need you.
Levi, you are so cruel!
Argh!
Aku menutupi wajahku dengan bantal dan mengumpat seenaknya disana. Aku harus menyudahi ini karena tadi aku sendiri yang sudah mengatakannya. Lupakan Levi dari sekarang. Aku lebih baik mengubur lagi dalam-dalam perasaan yang seperti mulai tumbuh ini. Tapi kenapa rasanya jauh lebih sakit daripada gara-gara patah hati yang pernah aku rasakan sebelumnya?
- - - - -
“Urusan di senat jadi makin kacau” Roby memulai obrolan ketika kami sedang berkumpul di sebuah café yang biasa aku datangi kalau sedang suntuk di rumah. Kebetulan anak-anak basket ku malam ini memang sedang ingin berkumpul disana dan ditambah Dara juga yang sudah pasti selalu ingin ikut kemana pun aku pergi.
Ini hari ke-lima dari sejak masalah besar di senat dan hari ke-lima juga aku tidak bertemu dengan Levi. Aku berusaha untuk tidak memikirkannya dan tidak mencari tau dia sebenarnya kenapa, aku harus konsisten dengan perkataanku di telepon waktu itu – di pembicaraan terakhir kami.
“Iya kan, Ra?” Roby berkata lagi pada Dara setelah meminum espresso-nya.
“Ya gitu deh” ujar Dara yang sedang asik mencubiti roti bakar di piringnya.
“Si Leviandra itu sebenernya kemana sih?” Fery menimbrung.
“Eciye Fery—aw!” Roby yang seperti biasa akan menggoda Fery sudah lebih dulu di antisipasi temanku itu dengan mencubit dadanya. Roby langsung meringis sambil berusaha membalas Fery, tapi Fery sudah siap untuk menghindar. “Sakit, geblek!” gerutu Roby pula.
Erik dan Dara tertawa-tawa melihatnya, sedangkan aku hanya tersenyum tipis. Aku memang tak mood tertawa dari sejak beberapa hari yang lalu.
“Gak ada yang tau dia kemana” kata Dara, mengembalikan obrolan setelah mereka selesai bercanda.
“Gak di cari ke rumahnya?” sambung Erik.
Dara menggelengkan kepalanya.
“Anak-anak bilang, kalo dia masih ngerasa punya tanggung jawab, dia harus muncul sendiri. Kalo nggak, ya berarti dia udah jelas gak akan diterima di senat lagi”
“Batas waktunya sampai kapan itu?”
Kali ini Dara mengangkat kedua bahunya.
“Menurut gue, dia harus kuliah kan? Jadi pasti dia bakal balik ke kampus” Fery kembali menimbrung.
“Anak-anak juga mikir gitu” Dara membenarkan.
Aku menghela nafas, lalu meminum Ice Latte ku sambil melihat ke luar dari jendela di sampingku. Terserah kalau mereka mau menyebutku tidak asik, sekarang. Aku memang sedang tidak tertarik dengan obrolan apapun – apalagi yang berhubungan dengan Levi. Membuat rasa sakit dan kangen di hatiku kembali terjamah.
Dara menoleh ke arahku, mungkin dia menyadari aku yang menjadi lebih pendiam belakangan ini. Entah kalau dia juga menyadari aku jadi seperti ini karena kejadian kemarin-kemarin.
“Rokok Niel?” Dara tiba-tiba menyodorkan sebatang rokok padaku. “Lo keliatan kusut banget, berapa hari lo kagak ngerokok?”
Aku mengambil rokok di tangannya dengan agak ragu. Aku melihat teman-temanku yang lain sudah berpencar, bercanda-canda dengan berisik seperti biasa. Di meja ini hanya tinggal aku dan Dara.
“Lupa” jawabku, pendek. Sejak Levi melarangku agar tidak banyak-banyak merokok, aku memang jadi menguranginya. Hingga aku pun bisa jadi terbiasa sampai berhari-hari tidak menyentuh rokok sedikitpun. Seperti yang Levi bilang, aku mengganti dengan permen dan makanan kecil.
Tapi sekarang, Levi sudah tak ada di dekatku lagi, bukan? Aku bebas kembali melakukan apapun yang aku suka.
“Lo jadi berubah ya…” kata Dara lagi sambil bersiap menyalakan api dari geretan untukku, begitu aku sudah menyelipkan rokok diantara bibirku. “Siapa yang udah bikin lo berubah?”
Aku melepaskan lagi rokok dari bibirku dan menjauhkannya. Dara agak terhenyak, dan dia pun tak jadi menyalakan geretan yang dipegangnya.
“Menurut lo, gue berubah?” tanyaku.
“Ya…”
“Gue jadi lebih baik atau jadi lebih buruk?”
“Hm…”
“Nilai gue makin banyak yang bagus, Ra. Gue juga jadi rajin ngerjain tugas, gue bisa ngatur waktu belajar sama maen basket, dan gue juga udah ngurangin rokok. Lo tau kan kalo rokok itu gak baik buat kesehatan, apalagi gue ini pemaen basket…” aku malah membeberkan sendiri semua perubahan yang memang sudah terjadi padaku selama ini. Semua perubahan yang secara sadar aku ingat adalah berkat Levi.
Shit.
Aku menyimpan rokok itu di meja dan menarik nafasku dalam-dalam. Dara masih memandangi ku, dia mungkin bingung kenapa aku mendadak jadi emosional begini.
“Jadi, emang ada yang ngerubah lo?” tanya Dara akhirnya setelah selama beberapa saat kami malah jadi terdiam.
“Ada” jawabku, agak pelan, tapi yakin.
“Leviandra?” dia menyebut nama yang sebenarnya sudah tak mau aku ingat lagi… dan kenapa dia bisa menebaknya!?
Aku tak menjawab. Aku diam. Tidak mengiyakan dan tidak menyalahkan. Beberapa saat mata kami hanya saling memandang, sampai kemudian Dara menyerah lebih dulu. Dia menghela nafas dalam-dalam, sebelum akhirnya beranjak dari dekatku.
She must be already knew something more. Aku mendecakkan lidahku pelan, lalu menjambak rambut spike-ku. Aku tak mau peduli lagi.
Mata ku kembali melihat keluar dari jendela. Tiba-tiba saja hujan turun disana.
Menyebalkan. I hate these kind of feeling.
What a chaos.
~
“Lho, Den Adniel?” sapaan seseorang yang khas, membuat ku yang sedang duduk di pinggir jalan yang ada di sekitar rumah Levi, jadi terhenyak.
Aku memang tengah berpikir, apa aku harus ke rumah Levi atau jangan, tapi ternyata Bi Mar tiba-tiba sudah lebih dulu melihatku. Aku berpikir ingin ke rumah Levi bukan karena apa-apa, aku hanya merasa masalahnya akan semakin clear kalau kami saling bertatapan muka – ok, sekalian juga untuk sedikit membuang kangen ku.
“Ngapain Den Adniel di disini?” tanya Bi Mar lagi sambil berjalan menghampiri ku. Dia sepertinya baru kembali dari warung karena ada bungkusan kresek di tangannya.
Aku tersenyum gugup.
“Eh nggak Bi…” kataku jadi bingung sendiri.
“Motornya rusak?” tanya Bi Mar lagi sambil melihat pada motorku yang aku parkir di dekatku.
“Nggak kok Bi…”
“Ke rumah dulu atuh yuk?” ajak Bi Mar pula. “Gak apa-apa gak ada Den Levi juga, Den Adniel gak usah canggung sama Bibi” tambahnya, sambil tertawa pendek.
Aku tersadar.
“Levi nggak ada, Bi?” tanyaku akhirnya.
“Iyalah, Den Levi kan masih di Kalimantan…”
Aku nyaris membelalakan mata ku, dan cepat berdiri dari duduk ku.
“Di Kalimantan. Bi?!” ulangku, terkejut.
Bi Mar mulai tampak bingung, mungkin dia tak mengharap kalau aku malah akan bereaksi tidak tahu-menahu seperti ini.
“Den Adniel… gak tau gitu?”
Aku cepat menggelengkan kepalaku.
“Jadi, dari kemarin-kemarin Levi gak masuk kuliah itu, dia di Kalimantan?!”
Bi Mar mengangguk pelan, dan sekarang raut wajahnya jadi agak suram.
“Ibu nya Den Levi kecelakaan, katanya koma, jadi Den Levi harus nyusul dulu kesana…”
Ya Tuhan.
Malam itu, akhirnya aku semakin tak bisa tidur nyenyak.
- - - - -
Tante Mona rupanya mengalami kecelakaan mobil di Kalimantan, itu sebabnya Levi mendadak menghilang. Seperti yang dia bilang di telepon, ternyata dia memang bukan menghindar atau kabur dari masalah yang sedang terjadi di kampus. Dan waktu itu, ketika ibunya sedang tergolek koma, aku malah memarahi Levi di telepon. Padahal mungkin dia membutuhkan dukungan dari ku. Dia pasti sangat sedih. Kalau sampai terjadi hal yang tak diinginkan pada ibu nya, bagaimana Levi nanti? Dia akan benar-benar menjadi sendirian.
Aku yang sudah tak bisa berkonsentrasi untuk belajar siang ini, akhirnya memutuskan untuk bolos kuliah dan berniat tidur di ruang ganti saja. Aku sungguh butuh tempat untuk sendiri, memikirkan apa yang sebaiknya aku lakukan. Sejak mengetahui kabar tentang Tante Mona, aku masih belum bisa memutuskan – apa aku harus menarik lagi semua kata-kata kejam ku pada Levi!?
Langkahku terhenti begitu aku akan memasuki ruangan yang sudah biasa dipakai oleh anak-anak basket itu. Aku mendengar percakapan dua orang disana. Dengan berhati-hati, aku mencoba melihat ke dalam dari pintu yang sudah sedikit ku buka.
William dan Harlan.
“Lu berlebihan, gue gak suka cara lu yang kayak gitu, Will…” kata Harlan sambil mengusapkan handuk kecilnya ke pelipisnya yang penuh keringat.
William tertawa.
“Lu sebar aja sama anak-anak kalo gua bikin pernyataan palsu, nanti bukan gua doang yang malu, tapi lu juga…” sahutnya dengan percaya diri, dia juga dengan sengaja mendekatkan wajahnya dengan Harlan, memberi temannya itu senyum menyebalkan.
Aku mengernyitkan kening, belum begitu paham dengan apa yang sedang mereka bahas. Tapi perasaanku agak tak enak.
“Leviandra punya salah apa sih sama lu?”
Deg.
As I thought, obrolan mereka memang ada hubungannya dengan Levi.
“Dia homo, itu salah dia” jawab William enteng, dan malah tersenyum dengan semakin menyebalkan. Dia melepas baju basketnya yang basah oleh keringat, lalu duduk di samping Harlan. “Dia masih sok jual mahal padahal udah keliatan dari mukanya mupeng banget pengen pegang punya gua, hahahaha… najis lah pokoknya”
Aku menelan ludahku, dan menggenggam erat knop pintu, sambil terus berusaha menenangkan diri dalam hati. Jangan sampai aku masuk kesana, lalu mengamuk pada cowok kurang ajar itu.
F-ck. Tahan Niel.
“Sumpah Will, lu kelewatan…” Harlan terlihat sangat terganggu. Aku jadi ingat kalau dia memang sangat baik pada Levi. Aku tak mau mengartikan dan mengurusi soal itu sekarang. Yang lebih penting saat ini adalah, bahwa aku sudah menemukan kenyataan yang sebenarnya.
William ternyata membuat cerita palsu. Dia sengaja menjebak Levi dan menyebarkan bukti bohong agar Levi tak lagi mendapat pendukung, agar orang-orang membencinya. Sialan.
“Lu gak seharusnya curang kayak gini…”
“Ini bukan curang, tapi hanya menyingkirkan yang gak perlu, Lan”
“Lu mestinya yakin sama diri lu. Lu harusnya bisa buktiin kalo Leviandra emang ga bisa lebih baik daripada lu, dengan cara yang fair—“
“Harlan! Gua bukannya gak mau fair-play, tapi gua emang gak mau saingan sama dia. Berapa kali sih gua harus ngomong sama lu?!”
“Tapi kenapa?!”
“Buat gua, derajat gua sama dia itu beda dan gak bisa dijadiin saingan, paham lu?!
Harlan terdiam mendapat bentakan dari William. Aku nyaris membuka pintu lagi kalau saja tidak cepat menenangkan diri. Gila. Aku tak pernah menyangka kalau William ternyata seorang homophobia yang norak. Selama ini yang aku lihat, dia selalu tampak ramah pada siapapun.
“Oh, kalo gitu gue juga gak sederajat sama lu…” cetus Harlan akhirnya setelah beberapa saat mereka hanya saling memandang tanpa suara.
“Lu bukan homo, jangan sembarangan…”
“Ya, gue harusnya jadi homo, biar Gilang gak usah mati dengan sia-sia” sambar Harlan dengan tegas.
Kalimatnya itu sukses membuat wajah William langsung menegang. Aku mulai tak begitu mengerti dengan pembicaraan mereka, yang sepertinya memang hanya mereka saja yang tau.
“Kebencian lu sama gay, gak akan bikin lu bisa melupakan keadaan di masa lalu, Will. Kalo aja waktu itu gue bisa jadi gay dan bisa ngebikin Gilang jatuh cinta sama gue, dia gak perlu mati sia-sia cuma karena penolakan lu…”
William tampak mulai lemas. Dia tak menyahut lagi dengan emosi. Dari perkataan Harlan yang aku simak, sepertinya memang ada cerita di masa lalu antara mereka dan orang yang bernama Gilang. Entahlah.
“Gilang mati bukan gara-gara gua… gua sayang sama dia, Lan. Dia sahabat gua” gumam William, setelah dia duduk lagi di bangku dan jadi menundukkan kepalanya. Dia terlihat sedih.
Untuk pertama kalinya aku melihat kapten tim ku yang keren, dan barusan juga masih menunjukkan keangkuhannya, sekarang mendadak begitu rapuh. Perkataan Harlan tampak sangat menamparnya.
“Gue tau. Siapapun gak ada yang menduga kejadiannya bakal kayak gitu. Tapi harusnya itu jadi pelajaran buat lu, Will. Lu gak usah numbuhin kebencian sama sesuatu yang belum tentu lebih buruk daripada lu”
William kali ini mengusap wajahnya. Dan jadi terpekur disana, tampak terpukul. Harlan duduk disampingnya lagi, dan menepuk pundak temannya itu.
“Kita harus ngebenerin semuanya, Will. Kita gak bisa ngebiarin. Kelakuan lu yang kayak gini, justru malah lebih hina dan sama sekali gak sesuai sama lu. Gue tau lu cuma kepengaruh Dara. Lu di manfaatin sama dia buat hal yang dia benci sendiri. Yang bermasalah itu dia, bukan elu”
Perkataan panjang lebar Harlan semakin membukakan pikiranku, membuatku tersadar dan membuatku… kesal setengah mati. Aku berhenti mengintip, menutupkan pintunya dengan hati-hati, lalu menyandarkan tubuhku pada tembok yang ada disana. Everything’s clear now.
Sialan. Parah, aku ditipu oleh teman baik ku sendiri.
Ternyata Dara yang ada di balik semua ini. Dia yang membenci Levi,. Seharusnya aku sudah menyadari itu dari sejak dia menunjukkan rasa keberatannya karena aku semakin akrab dengan Levi. Aku sungguh tak menyangka Dara yang sudah lama aku kenal, Dara yang lucu dan rasanya tidak mungkin melakukan hal seperti ini, ternyata bisa menjadi begitu nekat dan kejam.
Hanya karena dia… menyukai ku. Dia sampai berani membuat kekacauan sebesar ini. F-ck that f-cking love.
. . . . .
Mbak Lidya yang sedang menyiram bunga sore itu tampak heran melihat aku yang memang tidak biasanya sudah sampai di rumah sebelum pukul 5. Tanpa menyapanya lebih dulu, aku segera masuk, dan melemparkan tas ku ke atas bantal besar yang tersimpan di depan televisi. Aku sendiri menjatuhkan tubuhku di sofa, dan menekan-nekan tombol remote seenaknya setelah melepas sepatu ku.
“Niel, kok tumben udah pulang? Gak latihan basket lu?” tanyanya setelah selesai menyiram tanaman kesayangannya. “Lha, itu barang-barang lu bawa naik semua!” katanya pula sambil menunjuk tas dan sepatu ku yang berantakan di sana. Aku tak menggubris dan masih saja menekan-nekan tombol remote tivi dengan asal. Mbak Lidya jadi mengamatiku. Dia yang sedang berkacak pinggang sambil mengernyitkan keningnya, tiba-tiba mengulurkan tangan untuk memegang keningku.
“Lu sakit?” tanyanya.
Aku menggeleng saja tanpa melihat padanya. Dia makin merasa kalau ada yang tak beres denganku. Dia pun duduk disampingku dan perlahan kembali memegang kepalaku, mengusap rambut spike-ku yang berantakan.
“Heh, lu ada masalah?”
Aku terdiam beberapa detik, masih bertahan dengan pride-ku, kalau aku tak mungkin menceritakan apa yang sedang aku alami. Aku pantang untuk curhat mengenai masalah yang menurutku serius, pada siapapun. Curhat memang terdengar terlalu seperti perempuan untukku, lagipula, aku tak mau membagi beban pada orang yang sudah mendengarkan curhatanku.
“Niel? Gak usah bohong sama gue ya… gue udah tau banget elu”
Aku melepaskan remote di tanganku - ego ku sudah tak bisa membendung perasaanku lagi. Tanpa menyahut ucapannya, aku langsung memeluk kakak sepupuku itu. Mbak Lidya tampak terkejut, karena kami memang jarang sekali berpelukan sebelumnya – kalau bukan dalam situasi formal (baca: terpaksa)
“Gue bego Mbak… gue gak mau dengerin dia dulu, gue gak mau percaya sama dia…” gumamku begitu tubuh mungil kakak sepupu ku sudah aku dekap erat-erat.
“Dia?”
“Levi” jawabku tanpa ragu.
Mbak Lidya tampak terdiam beberapa detik, mungkin dia harus mencerna dulu kemana arah pembicaraan yang aku maksud. Tapi aku ingat kalau Mbak Lidya pernah bilang, dia tak akan menentang atau ikut campur jika ternyata aku memang gay. Itu juga alasannya kenapa sekarang, aku berpikir untuk bercerita, berbagi keresahanku dengannya. Karena Dara, sudah tak mungkin lagi menjadi teman baikku. Dia sudah mengecewakanku dan tak mau aku maafkan begitu saja.
“Gue sayang sama Levi, Mbak” kata ku akhirnya.
Perlahan, Mbak Lidya melepaskan pelukanku. Dia memandangku, serius namun lembut. Dia seperti sedang mencoba mencari kesungguhan juga di mataku.
“Terus? Lu udah bilang sama dia?”
Aku menggelengkan kepalaku, agak gugup.
“Lu harus bilang dong…”
Aku menggigit bibirku samar.
“Gue malah bilang, gak mau kenal lagi sama dia. Sekarang dia pasti benci banget sama gue” ujar ku.
“Itu resiko buat lu. Kalo lu beneran sayang sama dia, lu harus terus nyoba dan bikin dia mau maafin lu”
Seperti yang aku duga, kakak sepupuku yang biasanya aku ajak bertengkar ini – sebenarnya adalah wanita dewasa yang lembut, baik hati dan bisa menenangkan pikiranku. Seolah dia memang bisa jadi pengganti ibu untukku selama berada disini.
“Mbak, gue gak pernah kayak gini sebelumnya. Gue juga pantang buat narik kata-kata yang udah gue ucapin. Kenapa dia bisa jadi seolah-olah ngerubah gue…”
“Karena lu sayang sama dia, Niel. Udah saatnya lu tunjukin kalo emang lu gak mau kehilangan dia”
Mbak Lidya tersenyum dan balik memelukku lebih dulu. Dia mengusap kepalaku seperti usapan seorang ibu pada anaknya.
“Cinta emang gak tau tempat, gak tau waktu dan gak pandang bulu” tambahnya pula.
Aku membenarkannya dalam hati. Lama-lama perasaanku memang semakin jelas.
If I love you too, Lev?
= = = = =
><
sial, ternyata si dara yang d balik semua itu.. hrrrrr
lanjut mas
g nyangka dara ky gt
pgn liat usaha adniel bwt minta maap ke levi
Bnyakin adegan roman-nya,haheho..