It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"Sandi. Ada yang nyari kamu diluar," seru Doni padaku.
"Siapa?"
"Laki-laki, gak tau siapa," jawabnya sambil pergi meninggalkanku. Apakah Rino, batinku. Bukannya dia sedang pulang kerumah orang tuanya?
"Maaf, anda mencari saya?" sapaku ketika sampai diluar dan mendapati seorang laki-laki muda yang sedang berdiri dipagar samping rumah makan.
"Kamu Sandi?" tanyanya dengan nada suara yang kurang menyenangkan. Aku punya firasat buruk kali ini.
"I-iya," jawabku sedikit takut dan gugup melihatnya.
"Apa hubunganmu dengan Rino?" tanya dia tanpa basa-basi dengan nada yang sedikit ketus.
"Maaf?" tanyaku tak mengerti.
"Kamu bego' ya?"
"Saya tidak mengerti maksud anda?" aku semakin gemetaran. Kukepalkan tanganku untuk menahan diri agar tidak kelihatan takut. "Dan siapa anda?"
"Okey, langsung saja." ujarnya sambil bersedekap. "Aku minta kamu jaga jarak darinya, karena kamu gak cocok dengannya. Kamu itu hanya orang miskin yang gak punya apa-apa. Kalo kamu masih ingin terus bekerja disini, aku minta kamu enyah dari kehidupan Rino." dia lantas mendekatiku. "Kalo kamu masih sayang dengan adikmu, aku yakin kamu tau maksudku," bisiknya dengan nada mengancam ditelingaku. Aku semakin mengejang dengan tangan dan kaki yang semakin tak bisa menyembunyikan getarannya, perutku juga terasa. Lelaki itu meninggalkanku begitu saja setelah berhasil mengancamku. Dalam sisa waktu kerja itu, aku tak bisa berkonsentrasi dan merasa linglung.
Jujur aku mulai ada rasa sama Rino, kebaikan dan kehangatan yang dia berikan semakin membuat rasa sukaku tumbuh subur padanya. Tapi kalo cuma itu pilihanku. Aku akan melepasnya. Dia pasti akan baik-baik saja tanpa kami, dan adikku adalah segalanya. Kalo aku dipecat dari sini, mau dimana lagi aku bisa bekerja dan bagaimana nasib adikku kedepannya.
"Tok-tok-tok," kudengar suara pintu diketuk dan aku bergegas membukakan pintu dengan mata yang masih sedikit terpejam karena masih ngantuk selepas kerja dan mengantar Arum sekolah. "Sandi," terdengar suara pria memanggil namaku. Aku kontan berhenti dan mematung didepan pintu. Suara yang sangat kurindukan karena seminggu ini tak bertemu dengannya. Tapi aku tak bisa membuka pintu ini dan bertemu dengannya.
Dia tetap kukuh mengetuk pintu dan memanggil namaku. Lama tak ada sahutan dariku membuatnya menyerah dan pergi. Kudengar suara pintu pagar ditutup. Dadaku terasa sesak dan air mata mengalir tanpa kusadari. "Maafkan aku, No!" kataku lirih. Begitu kubuka pintu, kulihat ada sebuah ranjang buah dan sebuah tas. Waktu kubuka, ternyata isinya baju-baju seukuran badan Arum. Mataku semakin mengabur karena genangan air mata yang tak tertahankan. Aku bersimpuh sambil terisak. "Maaf!!!"
Aku mondar-mandir sambil terus memandangi jam dinding yang sudah menunjukkan hampir pukul 11 siang. "Kenapa Arum belum pulang ya jam segini?" batinku khawatir. Biasanya dia sudah pulang dengan teman-temannya dan sampe rumah jam sepuluh untuk membangunkanku. Aku terbangun jam setengah sebelasan dan mendapati rumah kosong. "Kemana kamu dek?" keluhku cemas.
Tak sabar menunggu dan gelisah, kusambar jaket dan bergegas keluar. Setelah kukunci pintu yang kutau Arum punya duplicatnya agar dia bisa masuk tanpa mengetuk pintu. Aku berbalik tapi langkahku tertahan melihat orang dihadapanku. "Tuhan, apalagi ini?" rutukku dalam hati.
"Ada apa?" tanyaku singkat dan hendak pergi mencari Adikku.
"Kenapa kau tak mau bertemu denganku?" tanyanya dengan suara sedikit serak. Aku jadi tertegun dan menatap wajahnya. Rino tampak sedikit berantakan. Ada cambang, kumis dan janggut yg sedikit tumbuh karena telat dicukur.
"Aku tak ada waktu untuk itu, No." Jawabku. Rino tampak kaget dengan nada suaraku yang sedikit ketus, sama kagetnya denganku.
"Apa aku ada salah padamu?" tanyanya lagi. Aku benar-benar tak bisa menanggapinya saat ini. Arum lebih penting bagiku.
"Maaf! Aku harus pergi." kutinggalkan Rino yang mematung mendapati sikap sinisku. Aku bergegas menuju tempat-tempat yang menurutku mungkin didatangi Arum. Tempat pertama yang kukunjungi adalah sekolah. Tapi hanya kesunyian yang kudapat. Kucari kesetiap sudut sekolah dan kedalam kelas, tapi tak juga ada tanda-tanda keberadaannya yang membuatku semakin prustasi. Tapi aku harus berpikir positif. Dia pasti ada dirumah teman-temannya, karena dia tak pernah pergi jauh.
Kutanyakan pada semua teman-teman Arum, tetangga, bahkan orang-orang yg kujumpai, tapi hasilnya tetap nihil.
"Kamu dimana, Dek?" ratapku dan mulai sesenggukan, tak kuhiraukan air mata yg sedari tadi keluar. Orang-orang yang melihatku jadi ikutan khawatir dan merasa simpati, beberapa ikut bantu mencari, aku berterima kasih pada mereka.
Sudah lewat jam 2 siang. Matahari masih bersinar dengan teriknya seperti usahaku yang tak juga surut untuk menemukannya. Aku hampir seperti orang gila mencari adikku yang tak kunjung ketemu. Kucoba kembali kerumah, tapi yang kudapat bukannya kelegaan malah membuatku bertambah emosi.
"Kenapa kau masih disini?" tanyaku tak sabar. Bukannya tertunduk, dia malah memegang kedua lenganku dengan kuat.
"Ada apa?" tanya Rino seakan mengerti kegelisahanku.
"Bukan urusanmu," jawabku ketus. "Cepat pergi dari sini!"
"Tidak sebelum kau katakan padaku ada apa."
"Rino, sakit!!" aku merintih karena Rino semakin kuat menekan lenganku.
"Ada apa?"
"Bukan urusanmu," jawabku melemah dan mulai merasa sesak.
"Mana Arum?" tangisku langsung tumpah saat Rino menyebut nama adikku. Aku menangis sejadi-jadinya. Rino yang melihatku begitu kacau lantas memelukku. Aku mengerang didadanya. "Ada apa?"
"Arum hilang, No." rintihku. "Aku sudah mencarinya kemana-man, tapi dia tidak ada." tangisku semakin merebak. "Aku tak bisa kehilangan dia," Rino hanya diam saat kupukuli dadanya. "Aku tak bisa...." aku hampir saja pingsan, tapi Rino mendekapku dengan erat.
"Kak.....!!!" hatiku seakan melesat saat kudengar ada suara anak kecil yang memanggilku. "Kak Sandi," serunya lagi, tapi aku kembali lemas saat kudapati bahwa dia bukan Arum adikku. "Aku melihat Arum." sontan aku berlari kearahnya.
"DIMANA.!!!" aku jadi histeris mendengarnya, anak kecil itu mundur karena ketakutan melihat reaksiku, tapi dia tidak lari. "Dimana, Dek!!"
"Di Musholla dekat sekolah Kak," tanpa pikir panjang aku lari keluar. Aku yang terlalu bersemangat mendengar berita itu jadi tak memperhatikan jalan didepanku yang sukses membuatku terjerembab diselokan kecil depan rumah.
"Aaaarrgghhh.....!!!!" erangku saat kulihat kakiku berdarah, kulitnya terkelupas terkena dinding selokan yang pecah. Rino menyusulku dan membantuku berdiri, tapi aku tak terlalu menghiraukannya ataupun luka dikakiku. Aku bahkan tak sadar kalau celana dan sendalku berwarna hitam terkena kubangan air. Aku tetap berlari dengan kaki terpincang-pincang dan dada yang semakin sesak. Sesampainya didepan Musholla aku teriak-teriak memanggil nama Arum. Aku yg sadar kaki dan celanaku penuh najis tak bisa masuk kedalam, makanya aku kembali berteriak memanggil namanya.
"ARUUUMMMM!!!!" teriakku dari luar. "Ini kakak Dek. Keluar sayang!" pintaku sambil terisak. "Arum, keluar dek!" mungkin penampilanku sangat berantakan, untung Musholla ini agak jauh dari pemukiman, jadi tak ada yang menyaksikan. Alangkah terkejutnya dan tercabik-cabiknya hatiku saat kudapati adikku bermata sembab sambil memakai mukena. Aku melambaikan tangan memintanya mendekatiku dengan air mata yang semakin berlinang. Begitu dia didepanku, kudekap adikku dengan erat, erat sekali. Rasanya dadaku mau meledak saking sakitnya.
"Kamu kenapa dek?" tanyaku merintih. "Kenapa kamu gak pulang?"
"Maafkan Arum kak!" arumpun ikut menangis bersamaku.
"Kenapa? Untuk apa?"
"temen-temen Arum jahat kak!" katanya sambil terisak. "Mereka bilang Arum miskin dan gak punya orang tua," dia menangis tersedu-sedu, aku yang mendengarnya jadi tak kuasa menahan sesak didada dan akupun mengerang.
"Aaaaaarrrrggghhhh........!!!!! Tuhan.!!!!Cukup aku yang kau timpakan kesedihan. Jangan adikku.!!!! Jangan Arumku..!!!" teriakku pada-Nya.
"Jangan salahkan Tuhan kak!! Arum kesini untuk berdoa pada-Nya," jawab adikku lugu. Aku yang mendengarnya semakin terisak hebat.
"Kenapa mereka berkata seperti itu padamu?" tanyaku sedikit emosi.
"Arum gak nakal Kak!" elaknya. "Arum gak pernah jahat sama mereka. Mereka yang jahat sama Arum," jawabnya dan memelukku semakin erat.
"Arum!" aku hanya bisa menyebut namanya.
"Kakak jangan nangis! Arum minta maaf! Arum hanya berdoa kepada Tuhan supaya kakak diberi rejeki yang banyak dan minta agar Abi dan Ummi lekas pulang, supaya Arum gak diejek lagi sama teman-teman," hatiku semakin tercabik-cabik mendengar ucapannya.
"Maafkan kakak Rum! Kakak memang cengeng," kataku sambil mengusap air mata dan berusaha tersenyum. "Ayo pulang!"
"Arum ambil tas dulu Kak," setelah dia kembali, aku gendong dia. Waktu aku berbalik, langkahku terhenti melihat Rino yang tengah berdiri dipintu pagar musholla. Dia menghampiri kami dengan mata yang berkaca-kaca.
"Kamu tau kami miskin. Apa kamu tidak malu dekat dengan kami dan menjadi ejekan orang. Kami sudah cukup susah dengan semua ini, jadi tolong jangan tambah lagi kesulitan kami," kataku dingin pada Rino.
"Aku tak perduli," Bantahnya. "Terserah apa yang dikatakan orang. Yang kutau adalah aku bahagia bersama kalian."
"Kebahagiaan macam apa yang bisa kau dapatkan dari orang miskin seperti kami?"
"Apa bedanya orang miskin dan kaya? Yang jelas kalian membuatku bahagia. Aku menyanyangi kalian dan aku mencintaimu," pernyataan terakhirnya telak memukulku.
"Berhentilah bercanda, No!" sergahku dingin. "Aku hanya akan dikira pemeras dan memanfaatkanmu."
"Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?"
"Karena itulah kenyataannya! Aku tak mau ada yang salah paham dengan hubungan kita," jawabku sedikit keras.
"Apa karena Sultan? Karena itu kau tak mau lagi bertemu denganku?" aku diam tak tau harus menjawab apa. " Aku tau dia menemuimu dan mengancammu. Aku sudah memberinya pelajaran dan memperingatkannya untuk tidak meneruskan perbuatan tololnya itu."
"Itu tak merubah apapun, No." sahutku lemah.
"Walaupun kau menendangku atau mengusirku berkali-kali, aku takkan pernah berhenti menemuimu," tegasnya.
"Terserah padamu," akupun menyerah dan memutuskan untuk segera pulang.
Rino benar-benar membuktikan ucapannya. Dia tak pernah absen seharipun untuk datang kerumah. Alasan terbesarnya adalah dia ingin bertemu adikku. Itu memang benar, karena Arum jadi semakin dekat dan manja padanya. Rino tanpa segan padaku selalu membawakan buku cerita dan makanan untuk Arum, membantunya mengerjakan PR dan belajar, terkadang juga suka maen boneka dan bercanda bersama. Sebenarnya aku suka karena dia tak merasa risih bersama anak kecil dan berada dirumah kecil ini, tapi aku tetap merasa canggung dan enggan untuk membuka hatiku padanya.
Hari ini yang adalah hari ulang tahun adikku. Pagi-pagi aku bangunkan Arum sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan sebuah kue tart kecil dan lilin berbentuk angka 7 yang sukses membuatnya kaget dan terharu.
"Selamat Ulang Tahun Adekku Sayang," ucapku lembut sambil mencium pipinya.
"Kakak....., Makasih," jawabnya sambil tersenyum lucu.
"Ucapkan doa dan tiup lilinnya," tuntunku bersemangat. Arumpun menutup mata sambil berdoa, kemudian meniup lilinnya.
Malamnya kami kedatangan tamu. Aku ijin libur kerja hari ini karena ingin menemani Arum seharian penuh dihari Ultahnya.
"Surprise!" seru seorang lelaki dari balik pintu yg tak lain adalah Rino, aku bengong melihatnya membawa kue tart besar dengan lilin ber-angka 7 diatasnya.
"Bagaimana kamu tau?" tanyaku heran.
"Boleh masuk?" hanya itu jawabnya. "Dia belum tidur kan?"
"Belum, Lagi nonton TV."
"Syukurlah," katanya terlihat lega.
"Masuk!"
"Selamat Ulang Tahun. Selamat Ulang Tahun...." Rino menyanyikan lagu sambil menuju ruang TV.
"Kakak!!!" teriak Arum yang melihat Rino masuk dan langsung memeluknya.
"Eehhh..., hati-hati Arum! Nanti kuenya tumpah," ujar Rino sambil tertawa.
"Ayo berdoa dan tiup lilinnya," Arum mematuhinya.
"Padahal tadi udah sama Kak Sandi," terang Arum ceria.
"Itu kan kak Sandi, Kak Rino kan belom," candanya. "Kakak juga ada hadiah buat kamu. Taraaaa!!!" seru Rino sambil menyodorkan kado yang dibawanya. Waktu dibuka, Arum terlihat sangat gembira dapat hadiah boneka panda yang lucu. Aku jadi ikut bahagia melihatnya.
Sepanjang malam kami bercengkrama dan bercanda. Arum tampak sangat bahagia hari ini. Terima kasih Tuhan atas segala kemurahan yang Kau berikan. Karena kelelahan, Arum tidur sangat pulas. Kurebahkan dia dengan hati-hati dikasur, kuselimuti dan kukecup keningnya dengan sayang. "Semoga harimu akan lebih indah lagi kedepannya."
"Sudah tidur ya?" Rino mengagetkanku dan langsung memelukku dari belakang waktu aku baru keluar dari kamar. Aku yang terkejut, tak serta merta menepis pelukannya, karena aku juga menikmatinya.
"Terima kasih," ucapku pelan.
"Untuk apa?"
"Untuk semua kebaikanmu pada kami."
"Sama-sama," sahutnya seraya mengecup leherku. Bulu kudukku langsung meremang dibuatnya. "Aku sayang padanya dan aku cinta padamu," aku kembali terdiam mendengar penuturan cintanya untuk yang kedua kali.
"Aku juga mencintaimu," sahutku lirih dan melepaskan pelukannya. Kulihat sorot tak percaya dan bahagia dimata Rino.
"Katakan sekali lagi!" pinta Rino dengan suara yang agak berat.
"I Love U," dan Rino langsung mencium pipiku. Dia terlihat sangat bahagia, begitu juga denganku. Aku bersyukur karena diberi seseorang yang mau menerima keadaanku dan adikku apa adanya, dan begitu menyanyangi kami.
"I Love U too," sahutnya. Perlahan didekatkannya wajahnya padaku dan mengecup bibirku lembut. Ini ciuman pertamaku, dan ciuman terindah sepanjang hidupku. Aku mencintaimu, No. And I love my little sister. Akupun memeluk Rino dan merebahkan kepalaku didadanya. Aku sangat bersyukur atas semua yang terjadi hari ini. Terima kasih Tuhan untuk semuanya. Aku tak tau bagaimana kehidupan kami kedepannya, tapi aku akan menghadapinya.
END.
Bwt chilung,yg sbr y.
Bwt bay jay,smoch smoch we lag,hahay
Padahal ini cerita udah tenggelam ke page buntut, eh sekarang malah nongol di page awal. hahaha...
bukankah setiap cerita yg saya buat selalu ada kemiripan.
bukankah setiap cerita yg saya buat selalu ada kemiripan.