It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Kita tak tau, akan dimana cinta kita akan berlabuh. Kita tak akan tau dimana cinta kita itu menjatuhkan jangkarnya. Terkadang, cinta itu egois. Cinta memang egois. Atas kehendaknya sendiri dia menaruh rasa itu, kepada siapapun.
Mungkin kau berharap bahwa kau mencintai si- A, namun nyatanya, cinta itu malah bertumbuh dan berakar di si- B.
Ada bermilyar-milyar penduduk bumi saat ini. Jikalau separuhnya saja pernah jatuh cinta, setidaknya dalam satu hari ada berjuta orang yang sedang menulis cerita tentang cinta, atau mungkin sudah menulis cerita cinta itu dengan akhir yang bahagia. Namun yakinlah, dari berjuta cerita cinta dalam sehari itu, akan ada setidaknya sebuah cerita cinta yang ‘luar biasa’. Cerita cinta yang dari semula sudah menuai kontroversi.
Itulah awal dari cerita ini..
Cerita yang penuh dengan tanda tanya besar. Mengapa bisa terjadi? Mengapa bisa begini? Mengapa ini-ini-ini...
Aku mencintainya, sangat mencintainya. Namun, ada tembok raksasa pemisah yang berdiri dengan gagahnya, membentengi cerita cinta ini. Keyakinan.
Lika-liku hidup memang terkadang tak semudah yang kita bayangkan. Setidaknya, kita telah mampu melewati salah satu tikungan, namun, masih banyak tikungan yang harus kita lajui pula.
Tapi satu hal tentang cinta..
Satu hal yang kuharapkan saat aku memberimu sepucuk Bunga Edelweis. Sama hal dengan arti bunga Edelweis itu sendiri “ cinta abadi”. Satu harap konon kudoakan kepada Tuhan, berharap agar cinta kita abadi, sama seperti Bunga Abadi itu pula.
Akankah kita mampu melewati segala tikungan itu? Akankah kita berhasil mengapai cinta itu? Akankah kita mampu menuliskan akhir yang indah? Walau, Agama yang menjadi jurang pemisah itu?
Teman-teman, cerita itu baru akan dimulai...
Tuhan, ini perpisahan yang berat...
Kali ini, matahari sudah sukses ditelan oleh lautan, meninggalkan selembaran warna merah bercampur jingga dilangit kota besar ini. Burung-burung walet sudah kembali menuju gedung tinggi menjulangnya, membiarkan suara pekikan mereka memenuhi setiap sudut kota. Sebagian warga, pula tampak letih dan berjalan patah-patah menuju rumahnya. Penat kota besar memang membuat semua orang bergidik. Mengais nafkah demi memungut sesuap nasi, sungguh pekerjaan yang begitu berat dikota ini.
Aku melangkahkan kakiku disekitaran gang sempit. Sungguh, aku sangat lelah hari ini.
Anak-anak tampak riang berlarian disekitar gang yang sesak ini, tawa mereka begitu lepas. Entah mengapa, aku sangat iri dengan kebahagian yang tengah dirasakan oleh anak-anak kecil tersebut. Mereka masih kecil, mereka tak perlu memikirkan apa yang akan mereka makan esok. Mereka hanya, main, main dan main. Seolah mereka tak sadar, bahwa orang tua mereka sedang berpeluh untuk mencari secuil nafkah.
Aku menjatuhkan pantatku dikursi rotan yang berada diberanda rumah besar Oma. “ Sudah pulang ,Nanza?,” Oma melangkah dengan tongkatnya menuju kearahku lalu mulai bergabung duduk desebelahku.
Aku mengangguk. Tersenyum. Lalu kembali menyeka peluh yang berada dipelipisku. “tampaknya, kau sangat letih,” tanya Oma lagi. oma 100 persen betul, aku letih.
Lagi-lagi aku mengangguk.
“ Kenapa kau tidak menutup kios itu? Kau masih sekolah Nanza, terlalu muda untuk meneruskan usaha Ibumu itu,”
Sekita hatiku lansung tak enak mendengarkan Oma menyebut Ibu. Aku menelan ludah. “ aku menyukai pekerjaan Ibu, Oma. Aku tak merasa bahwa sekolahku tersendat atau apalah,” ujarku.
Aku berkeyakinan, bahwa aku mampu meneruskan usaha Ibu yang dulu sangat beliau cintai. Aku akan berusaha menyukai apapun yang disukai oleh Ibu.
Oma merapikan letak kacamatanya. Lalu berfikir sejenak dan mengusap lembut tangan keriputnya sendiri. “ aku menyukai pekerjaan ini Oma,” ulangku sekali lagi.
Oma adalah satu-satu temanku sekarang. Setelah semuanya pergi, Oma tetap mengurusku. Walau terkadang beliau sering memarahi aku karena melakukan banyak kesalahan, namun tak lantas aku melawan, karena aku sangat menyayangi Oma.
Aku dan Oma tinggal disebuah perkotaan yang sangat besar. Dan kami bertempat disekitar Gang-gang kecil. Walau kami tinggal hampir disekitar tempat-tempat orang tak mampu, bukan berarti kami pula orang tak mampu. Kami tinggal dirumah yang cukup luas. Berbeda dari pemukiman warga yang sedikit kumuh.
Ini sebenarnya hanyalah rumah persinggah sementara Oma, maksudku, Oma mempunyai banyak rumah besar, salah satunya rumah ini. Dulu oma adalah seorang wanita kaya yang berbaik hati mau membagi nafkah dengan orang-orang sekitar. Dan semenjak Oma berjumpa dengan seorang pria dikampung ini, kisah mereka dimulai.
Oma adalah wanita hebat yang pernah kukenal –selain ibuku.
Kisah cinta Oma tidak direstui oleh ayah Oma. Setidaknya kalian berfikir, “apakah pantas seorang anak pejabat kaya, menikah dengan seorang pengangguran yang untuk mencari makannya saja susah, apalagi untuk makan anak istri?” itu kata Ayah Oma.
Namun oma bebal, sama sepertiku. Oma memilih kawin lari dengan Opa, tanpa persetujuan ayah Oma–tentu saja. dan akhirnya mereka memilih untuk menikah dikampung ini dan mulai merajut sebuah keluarga disini.
“ yasudah Nanza. Kamu pergi membasuh diri, lalu bergabunglah dimeja makan,” oma memutuskan lamunanku. Aku sejenak menangkap pandangan Oma lalu mengangguk dan pergi kelantai atas kamarku.
Diusiaku yang menginjak angka 12 ini, aku tak mau membebani Oma, walau aku masih SMP. Walau masih dianggap sebagai bocah ingusan.
–oOo–
Waktu berjalan dengan cepat. Menutup semua kemungkinan masa lalu. Membiarkan masa lalu yang perih terlupakan begitu saja. kini, waktu berkuasa atas segalanya. Aku berharap agar dapat kembali kemasa lalu.
Kembali kemasa lalu, saat aku bahagia bersama Ibu dan Oma. Berbahagia bersama sahabat terbaikku.
Tentang sahabat terbaik yang dikirim Tuhan.
Semua hari demi hari, pekan demi pekan dan tahun demi tahun selalu kulalui bersama sahabat terbaikku itu. Dalam suka, dalam duka. Kami saling mendukung satu sama lain. Berbisik masih akan ada janji kehidupan kelak. Berbisik bagaimana Tuhan memberikan kita anugrah nafas kehidupan.
Sahabat terbaikku itu, mendorongku perlahan untuk maju kedepan, meninggalkan keterpurukanku setelah Ibu pergi. Sahabat terbaikku itu, selalu menjadi pendengar yang terbaik didunia ini. Menjadi pendengar celotehanku. Mendengar seluruh guratan hidupku yang pilu. Mendengarkan tentang arti kehidupan yang dulu kudefinisikan dengan gampangnya. Namun sekarang, aku baru mengerti arti kehidupan itu. Dimana kita akan, mendapat, dan kehilangan...
“ terkadang, hidup itu ada diatas, dan ada dibawah,” aku menirukan ucapan Oma. “ jadi, kita tak tau kapan kita akan bahagia dan kapan kita berduka,”aku memilih kataku sendiri, kali ini tidak mengcopy ucapan oma.
“ termasuk harus kehilangan seorang sahabat luarbiasa sepertimu, Nanza?,” Vino menatapku nelangsa. Aku meraih bahunya dan memeluknya erat.
“ ini tak akan lama.. ini tak akan lama,” ujarku lirih. Vino memeluk erat tubuhku. Yatuhan, ini memang perpisahan yang berat.
Seandainya aku diberikan kesempatan oleh Tuhan, maka aku tak akan menyiakan-nyiakan kesempatan itu. Walau, sampai sekarang aku masih belum paham apa arti kesempatan itu sesungguhnya.
Suasana kamarku lenggang, hanya detikan jam yang terdengar memenuhi ruangan. Mataku sembab, semalam aku menangis, namun sekarang aku lebih tegar. Lebih dapat mengerti keadaan.
Aku akan mencoba bersikap dewasa diumur 15ku sekarang ini. Masih teringat saat aku berumur 12 lalu, saat mengeluh dengan semua kepenatan. Dan itu semua akan berlalu pula kan? Waktu memang kejam. Merenggut segala kejadian-kejadian yang istimewa.
Dulu diusiaku 12 tahun tepat sekitar 8 bulan 7 hari telah ditinggal Ibu, aku bersikukuh untuk meneruskan perkerjaan beliau. Pekerjaan yang sangat istimewa. Pekerjaan yang mampu membuat kita turut terbawa suasananya pula.
“ pesawatnya berangkat jam berapa?,” Vino memutus lamunanku. Aku melepas pelukanku.
“ kami mengambil penerbangan terakhir,” ujarku pelan, tersenyum. “ setidaknya kita masih punya 6 jam 43 menit untuk bermain, bukan?,”
Vino tertawa pelan, bening air matanya tampak jatuh bersandingan.
“ lalu kios bungamu?,”
“ biarlah Bibi Ani yang ngurus,”
“ bukankah kau bilang bahwa kau menyukai pekerjaan itu?,” tanya Vino.
Vino, dia tau seberapa aku mencintai pekerjaanku itu. Dia tau seberapa bahagianya aku merapikan bunga-bunga yang terletak ditokoku. Vino, tau banyak hal tentangku, dan aku tau banyak hal tentangnya.
Aku menyeringai. “ itu pekerjaan kita,” aku mengoreksi. Lalu tawa kami pecah bersamaan.
Sedikit rasa sesak itu kembali menyeruak, sama halnya ketika kemarin Oma menyampaikan berita itu. Perpisahan bukan hal gampang, apalagi meninggalkan seorang sahabat terbaik sepanjang masa. Maka aku akan lebih memilih seumur-umur ditolak oleh Fanny –siswi smp yang cantik jelita.
“ SMA dipulau seberang memang lebih baik, dibandingkan kota besar ini,” Vino berujar takzim.
“ tidak... kota ini lebih baik daripada kota manapun,” ujarku.
Kami kembali terdiam. Sibuk didalam fikiran masing-masing.
“ jadi, aku akan pergi sendiri keGereja setiap minggunya..,” Vino kembali membuatku terberenggut rasa sedih.
“ masih ada Fanny,” aku mencoba bergurau. Vino tertawa, lalu kembali terdiam.
“ jadi, kita tidak akan melempari Ibu Rosi dengan Pelajaran Peta Butanya lagi,” Vino mengingatkan kebiasaan jahil kami –melempari Ibu Rosi yang sibuk membuat petanya terlihat jelas, seandainya aku memiliki uang lebih, maka aku akan mengopreasi peta yang buta itu, agar pelajaran memuakkan itu enyah dari jagat raya.
“ hei,, tidak ada lagi Ibu Rosi. Kita sudah lulus Smp dan hendak melanjut Sma,” aku mengingatkan.
“ iye laaaaa,”
–oOo–
Acara perpisahan yang luarbiasa. Seluruh warga digang sempit ini membuat acara perpisahan kecil-kecilan untuk membiarkan aku dan Oma pindah kepulau jauh diseberang. Oma seketika itu terharu. Banyak pula orang-orang gang sempit ini memberikan salam dan kalimat-kalimat terima kasih karena banyak membantu keluarga-keluarga disini.
Oma pun begitu berat melepas kenangan-kenangannya disini. Aku tau, dibalik kaca mata hitam Oma, pasti matanya juga sembab. Aku tau, Oma sangat-sangat begitu berat melepas pergi dari tempat yang penuh kenangan ini.
Bagaimana tidak, Oma sangat berjasa membantu ekonomi keluarga-keluarga disini.
“ Nak Vino.. kok belum pulang. Apa Papa nanti gak marah?,” Oma berujar saat mendapati aku dan Vino sedang asik menikmati makanan-makanan yang diberikan oleh tetangga.
Ini waktu santai, waktu 6 jam 43 menit. Bersyukur karena telah melakukan packing barang kemarin malam.
“ ga kok Oma. Papa dan Mama kan belum pulang ngantor. Sedangkan dirumah cuman ada Bi Umi, males ahh dirumah terus,” Vino berkata sekelak lalu kembali memasukkan potongan Semangka yang berbentuk segitiga sama sisi. Lalu tersenyum kearahku.
“ oh, baiklah.. nanti ikut nganter?,” tanya Oma lagi. Vino menatap Oma lalu melirik kearahku. Aku mengangkat bahu, terserah padamu Vin.
“ apa bisa gitu Oma?,”
“ tentu. Nanti kamu pulang sama abang supir,”ujar Oma, Vino mengangguk lalu tersenyum kearahku.
Lalu Oma kembali menuju beranda depan dan bergabung dengan tetangga-tetangga yang masih berkerumunan.
“ kita tinggal punya waktu sekitar 2 jam 15 menit lagi,” ujarku.
4 jam terakhir, aku dan Vino menghabiskan waktu bersama di kamar, bermain PS sebentar, tertawa bersama, menimpuk satu sama lain menggunakan guling. Dan terakhir, berujung dimeja makan, membantai semua makanan-makanan yang terhidang.
“ kita kekios bunga yaa,” pinta Vino. Aku tersenyum, lalu mengangguk. Setidaknya untuk terakhir kali.
Tampa membuang-buang waktu, kami keluar dari rumah besar Oma yang masih padat akan orang-orang. Menyeruak melewati orang-orang yang sedang berkerumun. Diteriaki Oma untuk menyuruh kami sesegera mungkin kembali. Lalu berlari kecil menelusuri gang-gang sempit yang kini terlihat begitu lenggang. Tertawa terbahak-bahak saat kakiku terperosok jatuh kekubangan air.
“ aku akan merindukan saat kita berjualan bersama disini,” ujarku setelah sampai dipelataran kios bungaku.
Bunga-bunga sudah tampak sedikit layu, karena belakangan hari ini aku tidak membuka kios.
Aku rasa, aku akan sangat merinduku kiosku kelak. Kios yang dulu digunakan Ibu untuk menjual bunga-bunga indah. Pelataran kios itu tampak masih digantungi oleh bunga-bunga yang aku lupa namanya. Putih bunga itu menyembul keluar dari pot gantungannya. Aroma segar menyeruak bercampur dengan udara tercemar kota besar ini.
“ya... aku juga,” Vino bersuara.
Lalu dalam waktu berkisar 1 jam lebih, aku dan Vino menghabiskannya dengan membersihkan ruangan kios, yang walau sebentar lagi akan kutinggalkan. Setidaknya, aku berharap suatu saat nanti kios ini akan tetap ada.
“ kau akan tetap mengurus kios ini, bukan?,” ujarku sambil mencabut daun lili yang tampak membusuk dan membuangnya ketempat sampah. Lalu merapikan gugusan tanah hitam legamnya.
“ tentu,” Vino tersenyum.
“ setidaknya, sampai aku kembali,” ujarku tertahan. Ya, setidaknya sampai aku kembali.
“ pasti,”
Aku menarik nafas pelan, lalu mengusap pelipisku yang sedikit berkeringat
Akankah aku kembali kesini?
–oOo–
“ KAMI BERHARAP AGAR PARA PENUMPANG PENERBANGAN BLA BLA BLA TUJUAN BLA BLA BLA SEGERA MELAKUKAN CHECK IN, TERIMAKASIH,” ini sudah kedua kalinya pengumuman itu berkumandang. Dan ini juga sudah kedua kalinya aku mengumpat dalam hati.
Sekarang, untuk saat ini, semua terasa begitu menyedihkan. Ternyata –akan– kehilangan sahabat hampir sama rasanya dengan kehilangan Ibu. Oh dear..
“ berjanjilah untuk kembali,” ujar Vino. Seberkas air mata tampak menyembul dari balik kelopak matanya.
“ ohh.. ayolahh.. kau sudah berjanji untuk tidak menangis lagi bukan?,” ujarku sambil menyentuh bahunya.
Vino mengangguk lalu menunduk.
Tak ada lagi air mata yang berjatuhan. Biarlah semua terkenang. Biarlah itu tertutup, biarlah cerita lalu terkunci rapat. Aku akan siap menghadapi segala intaian masa depan. Tapi aku akan berjanji, aku akan kembali lagi untuk Vino. Kembali kekota penuh dengan kenangan ini.
Aku melangkah menuju gate pembatas.
“ Bonanza!,” Vino memanggilku, aku menghentikan langkahku. “ aku –––––––––-,” seluruh kalimat itu tak terdengar karena suara pesawat yang mendarat mengalahkan suara teriakan Vino, aku tak medengar lanjutan kalimat dari “aku”. Namun aku hanya mengangguk dan tersenyum. Vino menundukkan kepala, dan satu tetes air mata itu jatuh lagi.
Aku juga Vino, aku akan merindukanmu..
I do hope your story will be great again...
Gantinya without sunshine ya....,,tapi harus lebih baik lgi lol.....!