It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
yes kawan medankuu....
jangan lupa komen yaa,,
entar gi diupload
salam kangen sayang...
ahhh,
i miss you so badddd
amin-amin-amin
salam kangen...
oh kawannnn...
aku merindukanmuuu
jangan lupa beri komen,,
sebentar lagi part 2 dipost
aku menunggu..
eh bg,
ini mau post cerita
jangan lupa komen yaa
love yuu
Part 2
Bunga Edelweis, Bunga keabadian
Langit senja. Mengukir ribuan formasi awan halus yang menyembul dibalik bukit. Kicauan burung menelisik membahana memenuhi ruang pendengaran. Tersenyum. Suasana baru. Angin senja melewati setiap lekuk tubuh, membuat senja yang berkesan, dikota yang berkesan pula.
Sungguh, aku baru sadar seberapa kayanya Oma. Kini, rumah Oma dibandingkan yang dulu tertinggal jauh. Pilar-pilar raksasa menjadi pemandangan klasik diberanda. Pintu raksasa berwarna putih selaras dengan dinding yang dibuat berwarna putih pula. Rumah raksasa bernuansa Eropa ini ternyata dilengkapi dengan sebuah Gazebo yang berada di dekat kolam berenang, pohon Bonsai raksasa tampak istimewa disampingnya.
Dikota yang indah, hamparan pegunungan barisan nampak menjadi bingkai indah lukisan karya tuhan ini. Dikota besar, namun keadaannya masih sangat terawat.
“ Oma..,” itulah kata pertamaku setelah beberapa kali menelan ludah saat memandang rumah impian semua orang. Oma tersenyum.
“ ini rumahmu kelak,” Oma melangkah tersenyum lalu mulai berjalan tergopoh-gopoh masuk kedalam istana yang katanya kelak menjadi milikku –Oma yang bilang. Aku menelan ludah.
Lalu tak berapa lama, datanglah beberapa wanita paruh baya menghampiri Oma dan menyalami tangan Oma. Setelah itu, 3 wanita tadi lansung mengambil alih koperku dan menyeretnya masuk “ ga usah Bu, saya bisa sendiri,” ujarku menahan koper seretku.
“ jangan gitu den,” ujar Ibu itu. “ ini udah tugas Bibi,” ujarnya polos. Saat itu pula aku yakin, bahwa mereka-lah yang membantu merawat rumah Oma ini. Aku tersenyum. Lalu mereka masuk kedalam rumah sambil menenteng barang bawaan.
–oOo–
Langit bersih tak bersabut awan. Angin malam menyeruak masuk kedalam jendela kamar. Ribuan bintang membentuk formasi indah dilangit. Cahaya rembulan terpantul jelas dari balik kaca jendela kamar baruku. Malam yang indah...
Aku mendesah kelangit-langit malam.
Satu hal yang membuatku sudah berkali-kali menghela nafas dalam beberapa jam terakhir. Aku kangen rumah yang dulu. Aku kangen Vino. Aku kangen jualan bunga. Aku kangen segalanya.
Terkenang Vino, apa yang sedang dilakukannya sekarang?
Apakah dia rindu padaku?
Aku harap jarak yang jauh ini, tak membuat persahabatan ini terpisah pula. tidak akan.
Satu titik kristal air menggelinding bergulir. Membentuk sebuah parit dipipi. Menyesak didada. Mencekam direlung. Helaan nafas tertahan.
Aku rindu...
“ boleh Oma bergabung dalam lamunanmu?,” Oma membuatku hampir terkena stroke. Kini Oma sudah berdiri disampingku. Dengan kekuatan kilat aku menyapu air bening itu. Aku tak ingin terlihat cengeng didepan Oma. Lalu aku tersenyum.
Aku mendongakkan kepala, lalu menggaruk puncak kepalaku. “ eh Oma,”
“ terkadang berpindah itu memang berat. Apalagi harus meninggalkan kenangan-kenangan,” Oma kini sudah duduk disampingku. Aku mengubah posisi dudukku. Menggadah kearah Oma dan menatap wajah senjanya dan menyimak seluruh kata-kata indah yang keluar dari mulutnya.
“ sama seperti Oma. Dulu, Oma harus berpindah dari tempat ini, ketempat lain,” Oma memperbaiki letak kaca matanya. aku memperhatikan setiap garis-garis yang terlukis diwajah Oma, inilah guratan perjuangan itu.
“ aku sudah sering mendengar tentang itu Oma,” aku mengingatkan Oma.
Oma selalu menceritakan tentang perjuangan hidupnya. Seolah itu hal baru yang belum pernah ia ceritakan padaku. Selalu pula aku seksama mendengar untaian kata yang terkoar dari mulut tua Oma. Terakhir kali aku mendengar cerita Oma saat malam terakhir aku berada dipulau seberang, malam terakhir ketika aku harus membuat basah bantalku. Malam terakhir ketika aku duduk ayunan tua yang terbuat dari ban Fuso raksasa. Berayun berirama dibawah naungan pohon Rambutan. Maju-mundur. Terhenti. Maju-mundur. Air mata itu tumpah lagi.
Lalu, malam ini, aku kembali mendengar cerita perjuangan hidup Oma. Tersenyum ketika Oma menyinggung tentang cinta. Dan tertawa ketika mendengar bagaimana Oma harus melakukan Sporing. Dan mendesah pelan ketika Oma bercerita tentang wanita yang melahirkanku tanpa naungan cinta dari sang Ayah.
“ Pernah dengar Bunga Edelweis?,” Oma tersenyum kearahku yang sedari tadi melerai kantuk. Aku menguap lalu menggeleng. Malas merajaiku.
Oma tersenyum. “ Itu bunga keabadian, cinta Abadi, Kenangan Abadi,” ujar Oma.
Untuk kali ini, kantukku menguap bersama longlongan anjing tetangga. Aku bangkit duduk dan memasang wajah penasaran. Oma tertawa. “ Konon, orang yang dapat mengambil bunga edelweis dan memberinya kepada sang kekasih, kelak cinta mereka akan abadi,”
“ benarkah itu Oma?,” aku berujar takzim.
“ itu mitos. Entahlah. Tapi Opa dulu memberikan bunga Edelweis kepada Oma,” lalu wajah tua Oma sedikit membendung ketika menyinggung Opa. Aku mengusap jemari Oma. Oma tersenyum. “ Bunga itu hanya tumbuh diPuncak Gunung saja. tepat dipuncak gunung itu,” Oma menunjuk kearah luar kaca yang menunjukkan gunung yang berselimut malam. “Bunga yang indah, bunga yang dapat bertahan lama. Abadi,”
Bunga Edelweis, Bunga Abadi.
“ lalu, bagaimana Opa dapat mengambil bunga itu?,” aku tertarik akan cerita Oma.
Oma lagi-lagi tersenyum “ hanya cinta yang mampu menjelaskannya. Cintalah...,”
Hanya cinta yang mampu...
–oOo–
Alangkah sempurnanya tinggal dan menetap dikota baru ini. Sejuk damai dan tentram. Ditambah lagi dengan sekolah yang tidak melakukan Mos untuk menyambut siswa tahun ajaran baru, itu sekolahku kelak. Mengapa demikian?
Oma mengatakan bahwa dulu, dikota ini sering terjadi hal-hal yang tidak diinginkan saat melakukan MOS. Dan itu bukan terjadi sekali ataupun dua kali. Sering. Well, pada akhirnya, pemerintah kota ini mengeluarkan peraturan agar masa orientasi siswa dimusnahkan. Dilenyapkan. Dan D-I-L-A-R-A-N-G!
Berita baik untukku? Of course honey.
Tak perlu menenteng kaleng-kaleng coke dileher. Tak perlu mengalungkan pete, jengkol, cabe, ataupun bawang-bawang. Uhh, ogah ahh.
Dan satu hal yang paling membuatku semakin menyukai peraturan baru pemerintah itu. Mos sudah tinggal kenangan and that’s mean tidak ada lagi acara bentak -membentak. Kalian belum tahu bahwa aku paling tidak bisa dibentak..?
Well satu kejadian.
Dulu, saat Vino dan aku ketahuan menaruh bangkai tikus didalam laci Pak Patar –guru Biologi super kejam. Dan karena ketahuan melakukan tindak kriminal itu, aku dan Vino masuk keruang BP. Disaat itulah kami berjumpa dengan Ibu Linda yang suaranya selalu naik beberapa oktaf. Terkenal dengan makiannya yang menusuk relung hati.
“ NGAKU!! SIAPA YANG MASUKIN BANGKAI HEWAN PENGERAT ITU DILACI PAK PATAR?!!,” bentak Ibu Linda setelah kami masuk keruang BP tanpa Ba-Bi-Bu. Aku dan Vino terdiam. Enggan menjawab. Vino tau akan kebiasaanku yang tak mampu dibentak. Dan saat itu, Vino memegang erat tanganku. Menenangkanku.
“ NGAKUUU!!!,” kali ini suara Ibu itu tertuju kearahku. Satu aliran aneh menyeruak masuk sendiku. Menusuk sarafku. Dan menekan nadiku. Aku sesak nafas. Pelipisku berkeringat. Vino panik. Kepalaku oyong. Lututku bergetar, saat itu pula aku pingsan.
Sebenarnya, ceritanya masih panjang. Tapi aku tak ingin membuat halaman ceritaku ini diisi oleh kejadian yang memalukan, memilukan, menyedihkan itu. Tidak akan.
Karena ceritaku ini bukan bertujuan untuk menyeritakan tentang kelemahanku, namun tentang cerita cinta luar biasa itu..
–oOo–
Pagi pertamaku dikota indah ini, disambut oleh nyanyian ribuan burung. Disambut aroma embun yang menyejukkan hati.
Hari ini, aku masuk kesekolah. Bersemangat memakai seragam baru dan barang-barang baru. Tertawa pelan karena sadar bahwa lengan bajuku sedikit kebesaran. Oma turut tertawa.
“ tidak perlu diantar?,” tanya Oma. Aku menggeleng dan tersenyum. “ baiklah anak muda, selamat memasuki sekolah baru. Jangan nakal,” ujar Oma. Aku mengangguk. “ ah-ya. Sekolahmu hanya beberapa blok dari sini,”
“ a-a. Oma udah bilang kalimat itu 5 kali dalam pagi ini,” aku terkekeh. Oma tertawa.
“ oh anak muda. Orang tua ini sudah mulai pikun,” ujar Oma.
Aku tertawa lagi. benarkan..? pagi ini, aku memang sangat ceria.
“ Oma, aku berangkat dulu,” ujarku sambil mencium pipi keriput oma.
“ hati-hati anak muda. Tuhan Memberkatimu,”
Aku melangkah dengan sukacita yang meluap sejak ayam tetangga berkokok tadi pagi. Masih sukacita. Hanya tinggal sepelemparan batu lagi, maka aku akan sampai digerbang besar sekolahku SMAN 99.
Namun naas. Tak terhitung detik guntur menggelegar dipuncak langit. Dalam sekejap langit pagi tadi terkepung oleh awan hitam pekat. Pagi indah kini berubah menjadi mendung .
Langit indah terusir sudah. Kicauan burung kini tak terdengar lagi, diganti oleh suara ketukan keras dari langit. Angin kencang menderu-deru membuat deretan pohon mahoni terguncang hebat. Semua amat mendadak. Datang begitu saja, dalam sekejap tumpahan berlaksa-laksa air dalam volume besar membasuh kota baru ini. Sontak aku mencari perlindungan. Aku berlari menuju pos satpam yang terlihat kosong. Tak ada waktu lagi untuk berlari masuk kedalam sekolah. Tak ada lagi waktu berlari beriringan bersama murid lain yang menghindari tumpahan hujan.
Siswa-siswi berlari pontang panting. Tas-tas baru mereka menjadi payung darurat. Baju putih mereka kini sudah basah oleh air hujan. Sibuk menghindari hujan aneh yang entah kenapa tiba-tiba datang. Beberapa siswa tampak mengomel. Lihatlah, hujan ini merusak hari pertama sekolah ini.
Aku menghela nafas berat. Ujung rambutku basah. Percikan air pula membasahi seragam baruku. Aku mendekap ranselku. Dingin air hujan ini menusuk sampai ketulang. Oh, aku baru sadar bahwa kota ini adalah kota hujan.
Lalu sebuah motor dengan suara besar tampak melaju dengan kencang . Melomba kencangnya angin. Pengendara motor itu dalam sekejap berhenti dipos satpam. Mencari perlindungan.
Aku semakin menggenggam erat ranselku. Dingin itu kian menusuk.
“ Dingin yaa Bro ...,” suara berat seseorang bergabung dengan suara riak hujan yang jatuh ketanah. Seorang baru telah bergabung dalam pos satpam.
Aku memutar tubuhku hendak menjawab. “ ii.....,”
Darahku berhenti mengalir. Jantungku berdetak cepat. Sebuah sentruman aneh menuju saraf otakku. Nafasku tertahan ditenggorokan. Sendiku melemas. Dadaku terasa sesak. Bibirku gemetar. Sekejap badanku terasa panas. Pelipisku berkeringat. Kini, aku tak merasakan dinginnya hujan. Kini, panas itu membungkus jiwaku. Waktu melambat, membiarkanku terpaku akan sosok tampan dihadapanku. Mata indahnya tertuju kearahku. Rambutnya basah oleh hujan. Hidungnya yang mancung dan tajam. Bibirnya yang merekah sempurna. Kulitnya yang putih bersih. Tubuhnya yang tinggi dan kokoh. Seragamnya basah, menampilkan pemandang yang menakjubkan. Membuat lukisan itu tercetak dengan sempurna. Oh dear..
Saat itu, aku melihatmu..
Melihat tatapan perjanjian..
Melihat indahnya dunia dibalik mata cermerlangmu..
Membuatku tak mengerti akan rasa aneh ini,
Tolong sadarkan aku..
Panas itu kini lenyap, terbang melayang entah kemana. Namun jatungku masih berdegup kencang. Menyadarkanku dalam waktu yang tersendat. “ ii.. yaaaa,” ujarku berbisik. Kekuatanku habis ditelan oleh pesonanya.
Pria bertubuh besar itu berbalik menatap lurus kedepan. Tersenyum sekilas. Aku ingin mati Oma...
Aku masih terpaku. Ribuan tahun yang lalu, saat orang belum fasih mendefenisikan arti rasa ini, semua terasa begitu tabu. Namun, hal itu terjadi didetik ini. Membuatku menguak lebar-lebar apa arti ini.
Oh Tuhan, biarlah hujan ini berlansung lama. Bila perlu berjam-jam. Agar aku dan dia terkunci didalam keadaan aneh ini. Tak apalah aku harus menanggung rasa sesak. Tak apalah aku harus mati kedinginan.
Namun kali ini Tuhan tak mendengarkanku. Hujan itu mereda secara perlahan. Membuat titik kecil diatas tanah. Membuat sedikit awan hitam bergeser dari tempatnya. Kini matahari sudah tampak sedikit menyembul dibalik pekatnya awan.
Hujan itu berhenti. Meninggalkan kubangan air dijalanan. Membiarkan semua orang tersenyum lebar. Meredakan Pohon Mahoni yang sudah letih diombang-ambingkan angin.
Kini hujan benar-benar reda.
Membiarkanku yang masih terpaku dalam rasa aneh. Membiarkanku terdiam dalam seribu bahasa. Hujan tidak adil kali ini, membuat perjumpaan yang singkat.
Kini, derap kaki pria tampan itu menjauhi pos satpam, tempat dimana aku masih terpaku. Tanpa menoleh sedetik pun kearahku.
Oh dear...
#lompat2 sambil tabur kembang
I'll need tissue(cry),sport my lip(smile),lol
tampaknya cerita ini akan sangat bagus dan emotional
oh ya
aku punya permintaan untuk kak Pieterrr
bisakah tulisannya direnggangkan sedikit?
nampaknya mataku sulit beradaptasi
dengan tulisan rapat yang panjang
[-O< [-O< :o3 ^:)^ :x :bz =D> [-O< [-O<
Inget dulu waktu my first love, di dompet gw ada fotonya n di situ juga gw taro edelweis saling berdampingan :x
Tp yg abadi dia dalam memory gw X_X
*duh curcol #-0
Smoga karyanya pieter makin yahud n abadi jg di sini n memori bfers [-0<
Lanjuuuuttttt....
Karna MR. TAMPAN
Ayo semangat, lanjut lagi