It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
MELIHATNYA DARI JAUH
Hari Jumat adalah hari pendek. Dan kegiatan MOS, Masa Orientasi Siswa,berakhir pada hari ini. Selepas kegiatan Sholat Jumat, sepenuhnya kegiatan berpusat di persiapan acara penutupan MOS yang akan diagendakan pada hari Sabtu besok. Ya, acara inagurasi lalu dilanjutkan pentas seni, begitu rencananya.
Ricky menuju ke gedung aula di mana sedang ada gladi untuk pentas seni. Meski banyak anak yang duduk-duduk di dalam gedung besar itu, tapi masih tersisa beberapa deret kursi kosong di bagian belakang. Ricky mengambil duduk di deret belakang itu, menyendiri dari anak-anak lainnya. Ya, sudah menjadi sifatnya untuk cenderung memisah dari teman-temannya. Baginya yang penting bisa menikmati apa yang ingin dia nikmati. Dan di tempat itu, dia hanya ingin melihat suasana panggung buat sekedar hiburan, daripada langsung pulang ke kost. Yah, orang-orang di lingkungan kost-nya kadang terlalu aneh dan bikin dia kesal!
Yang sedang berlatih di panggung didominasi anak-anak kelas satu. Bisa dimaklumi, karena sebagai acara penutupan MOS maka yang diprioritaskan untuk tampil di pentas seni adalah murid-murid kelas satu. Mereka berlatih band. Ya, sebenarnya itu terlalu monoton karena namanya pentas seni sekolah selalu saja yang muncul sebagai sajian utama adalah band. Selalu musik! Meski Ricky adalah penikmat musik, tapi tentu bukan dalam tujuan dan tampilan yang begitu monoton. Dia hanya sambil lalu saja melihat anak-anak yang sedang berlatih itu. Bahkan sebagian besar isi kepalanya berada di tempat lain meski matanya tertuju ke atas panggung. Lama-lama dia jengah juga!
Tapi, niatnya untuk pergi dari tempat itu terurungkan. Saat dilihatnya seseorang muncul, masuk ke gedung aula itu. Ricky termangu di tempat duduknya. Siapa lagi yang bisa membuatnya begitu terpaku, jika bukan cowok Indo berambut gelap kecoklatan itu?
Dikta!
Tapi, Dikta tak seorang diri. Di sampingnya seseorang mengikuti. Seorang murid cewek yang wajahnya rupawan, berambut panjang indah dengan bando biru. Tampak teman-teman mereka menyambut. Lalu keduanya duduk di deret depan, bergabung bersama teman-temannya itu. Melihat suasana latihan di panggung, sambil larut dalam canda tawa!
Ricky termangu, melihat dari tempat duduknya yang cukup jauh di belakang. Sulit menangkap wajah Dikta dengan posisi tempat duduk itu. Tapi sudah cukup baginya untuk melihat mereka yang begitu ramai dan akrab satu sama lain. Seperti tak ada beban di sana. Khususnya Dikta dan cewek berbando biru itu, tampak begitu akrab!
Perlahan, Ricky pun tersenyum…
Senyum pahit, tapi tak terbaca sedalam apa pahitnya itu.
“Ricky!”
Mata Ricky terkejap saat seseorang memanggilnya. Tersadar dari lamunan. Dia segera menoleh, dan tertegun saat seorang cewek berambut kriwil duduk di sampingnya sambil melempar senyum.
“Eh… Kamu?” Ricky membalas agak kikuk. “Sorry, aku lupa namamu…?”
Gadis manis itu cemberut. “Nera!” sebutnya agak kesal.
“Oh, iya!” sahut Ricky, tersenyum agak rikuh.
“Ngapain bengong sendiri di sini? Nggak gabung sama yang lain?” tanya Nera.
“Gabung sama siapa? Nonton-nonton aja udah asyik kok!” kilah Ricky.
Nera cuma mendehem sambil senyum-senyum ganjen menghadapi gaya Ricky yang cuek itu. Ya, cuek itu membuatnya menjadi terkesan misterius. Sifat misterius selalu membuat orang jadi ingin tahu. Tentunya jika si misterius itu cukup tampan juga!
Itulah Ricky di mata Nera!
“Hai, Ricky!” tiba-tiba muncul satu cewek lagi menghampiri Ricky.
Oh, sepertinya tak cuma Nera!
Ricky tertegun. Tapi lebih kaget lagi Nera!
“Hai…” balas Ricky ke orang yang baru datang itu. Yang tak dikenalnya!
“Masih ingat sama aku?” tanya cewek bergaya tomboy yang terlihat sangat pede itu.
“Siapa ya?” tanya Ricky bingung.
Cewek itu merengut. “Aku Siska!” cetusnya.
Nera tampak menyembunyikan tawanya. Merasa puas! Karena ternyata, secuek-cueknya Ricky terhadap dirinya dia masih tetap ingat bahwa mereka dulu satu SMP! Dia lebih beruntung dari Siska!
“Aku temanmu SD!” tambah Siska agak jutek, karena tahu Nera sedang tertawa meledeknya.
“Oh, iya! Aku ingat sedikit-sedikit…” sahut Ricky masih agak bingung.
“Halo, Nera!” Siska juga menyapa Nera meski sepertinya tak terlalu ikhlas.
Nera cuma tersenyum kecut. Tentu saja dia lebih suka andai Siska tak ikut-ikut berada di situ, di dekat Ricky! Sinyal persaingan rupanya mulai menyala!
“Oh, Nera ini temanmu?” tanya Ricky.
“Ya gitu deh!” jawab Siska sedikit mencibir.
Ricky jadi kikuk dan sebenarnya juga agak risih saat ada dua cewek sok akrab duduk mengapitnya! Dalam hati ingin mereka cepat pergi saja! Tapi serba salah juga kalau harus mengusir mereka!
“Aku maklum sih, Rick, kalau kamu nggak ingat sama aku. Soalnya dulu aku murid pindahan. Satu kelas sama kamu baru mulai kelas lima!” singgung Siska dengan nada cablaknya. “Tapi aku ingat kok, waktu SD nama panggilanmu bukan Ricky, tapi Adrian! Iya, kan?”
Sesaat raut muka Ricky tampak tak enak saat nama panggilannya waktu kecil itu disebut. Seperti satu bagian yang dia tak ingin orang lain mengungkitnya. Dia pun segera menepis bagian itu dari percakapan.
“Kalau nggak salah, kamu pindahan dari Surabaya kan?” Ricky mengingat-ingat.
“Ah, iya! Benar! Syukur deh, ternyata kamu ingat!” Siska langsung berbinar-binar.
Nera menahan kesal setengah mati melihat tingkah Siska. Sial baginya, sekarang Ricky mulai ingat dengan temannya yang tomboy itu! Padahal kemarin Siska sendiri yang mengaku, dia bilang kalau Ricky itu waktu SD cupu! Tapi sekarang dia bertingkah ganjen di depan Ricky!
“Kamu nggak ikut tampil buat pensi besok, Rick?” Nera mengalihkan Ricky dari Siska yang caper.
“Nggak, aku nggak bisa musik,” jawab Ricky simpul.
“Masa sih kamu nggak bisa musik?” Siska menyambar bahan omongan Nera.
Ricky sedikit malu. “Bisa sih sedikit-sedikit. Tapi belum layak buat jadi tontonan! Mending aku ikut jadi penonton aja!” kelitnya.
“Tapi buat aku layak kok! Namanya bakat harus dihargai, dan semua selalu berawal dari pemula!” sahut Nera.
“Iya, Rick! Itu yang lagi latihan di panggung aja nggak ada keren-kerennya, tapi mereka tetap pede! Kenapa musti minder?” timpal Siska tak mau ketinggalan kereta.
“Tapi ya terserah kamu sih, Rick. Kalau aku percaya sih, biasanya orang yang suka merendah itu justru punya kemampuan lebih! Ibarat padi makin merunduk tandanya makin berisi!” Nera menyalip Siska.
“Tapi kok jadinya kamu yang sok pintar ya, Ra?”
“Eh, aku? Sok pintar gimana maksudmu?!”
“Yaaa… Ngapain pakai pepatah gituan? Kalau menurutku sih buat membuktikan kemampuan itu ya harus dengan menunjukkannya! Kalau nggak ditunjukkan ya orang-orang nggak akan percaya! Itu bukan berarti tinggi hati, tapi karena kemampuan itu memang butuh bukti!”
“Jadi kamu meragukan kemampuan Ricky, Sis?”
“Aku sih nggak ragu, yakin malah! Tapi aku nggak tahu kenapa Ricky nggak mau menunjukkan kemampuannya! Ayo dong, Rick! Tunjukin aja bakatmu!”
“Kenapa kamu yakin, Sis?”
“Ya aku yakin aja, Ra! Kamu sendiri yakin darimana sampai bawa-bawa pepatah segala?”
Ricky cuma terbengong-bengong berada di tengah dua cewek sok akrab yang berdebat soal dirinya! Situasi yang aneh!
Nera tiba-tiba merengkuh telapak tangan kiri Ricky, dan mengamatinya agak dekat. Ricky yang dari tadi bengong jadi agak kaget! Tapi Siska lebih kaget lagi, seperti disambar geledek melihat Nera berani pegang tangan Ricky!
“Nih, lihat jari-jari tangan Ricky! Yang kiri kukunya dipotong tumpul semua, tapi yang kanan masih disisain! Itu artinya jari yang kiri lebih sering buat menekan sesuatu! Biasanya sih, yang kayak gini tipe jari orang yang suka main gitar!” cetus Nera menyampaikan analisanya. Lalu dia tersenyum bangga!
Siska melongo, kalah manuver!
“Iya kan, Rick? Kamu pasti suka main gitar!” cetus Nera dengan pedenya.
“Bukan. Aku main biola!” ujar Ricky simpul sambil menarik tangannya dari pegangan Nera.
Senyum lebar Nera langsung menciut seketika. Siska menutupi mulutnya yang menahan tawa, merasa puas karena Nera salah tebak!
“Yaaa… Biola itu lebih susah dari gitar kan? Bisa main biola pasti juga bisa main gitar kan?!” Nera masih mencoba memperjuangkan asumsinya untuk menutupi malu.
“Itu sih tergantung kebiasaan. Kalau pemain biola nggak pernah main gitar, jadinya ya nggak bisa main gitar!” jawab Ricky santai.
Siska menahan tawa lagi di balik tangan yang menutupi bibirnya. Wajah Nera tampak agak merah dibuatnya!
“Tapi analisa yang lumayan!” sambung Ricky sambil tersenyum tipis.
“Nera aja pede, biarpun salah! Ayo dong, Rick, ikut tampil aja buat pensi besok!” Siska mulai memprovokasi lagi. “Lagian, biola itu keren kaleeee! Pasti pada tercengang gitu nanti!”
“Tapi jangan merasa dipaksa deh, Rick. Kalau terlalu ngeksis, ntar jatuhnya malah jadi nggak cool lagi!” dengus Nera.
“Cieee… Nera muji colongan nih!” Siska menyindir Nera lagi.
Nera melotot kesal ke Siska!
“Memangnya aku kelihatan begitu ya, Rick?” Nera pilih melemparkan sindiran Siska ke Ricky, jenuh serba salah terus!
Tapi… oh, ternyata Ricky sama sekali tak memperhatikan kedua cewek gaul itu! Dia asyik bengong memperhatikan Dikta yang duduk jauh di depan!
Membuat Nera menggegat bibirnya menahan dongkol! Siska cuma bisa menutupi tawanya lagi! Nera tahu dirinya sedang diledek, dia segera berlagak mengusap-usap tangannya sambil menciuminya sendiri, dan melirik sambil tersenyum pamer ke Siska. Tampang Siska langsung berubah masam, sadar bahwa Nera selangkah lebih jauh darinya, berhasil pegang-pegang tangan Ricky!
“Kurang ajar!” Siska mencibirkan bibirnya tanpa bersuara.
Nera gantian menyembunyikan tawanya, melihat Siska yang kalah cerdik darinya!
Kemudian keduanya mulai sadar dengan gelagat Ricky yang asyik dengan pemandangan lain. Siska dan Nera mengikuti kemana arah Ricky memandang. Keduanya segera menemukannya, orang yang sedang diamati Ricky!
“Kamu kenal dengan anak blasteran itu, Rick?” Nera lebih dulu melontarkan pertanyaan ke Ricky, dengan hati-hati.
Ricky tampak gugup sejenak. Dia tersenyum sungkan.
“Iya,” jawab Ricky singkat.
“Namanya Dikta, kan?” pancing Nera.
Ricky hanya mengangguk pelan dengan senyum masam.
“Kamu kenal di mana?” tanya Nera penasaran.
Ricky tampak ragu. Enggan untuk menjelaskan, tapi juga sungkan jika tak menjawab seolah itu pertanyaan sulit! Pertanyaan umum tapi cukup personal bagi Ricky.
“Dia temanku SD,” jawab Ricky akhirnya.
“Hahhh?!!” Siska yang paling kaget. “Teman SD? Berarti dia teman kita, Rick? Kok aku nggak tahu?!”
“Dia pindah waktu mau naik kelas lima. Kamu masuk setelah dia pindah,” ujar Ricky.
Siska menepuk jidatnya. Diam ternganga!
Sedangkan Nera diam-diam masih mengamati bagaimana cara Ricky memandangi Dikta. Tapi untuk masalah yang satu itu, Nera sungkan untuk menanyakannya langsung.
“Terus kenapa nggak nyamperin dia aja?” Siska memancing Ricky.
“Lihat aja, dia baru sibuk sama teman-temannya. Nggak enak…” gumam Ricky masam.
Nera dan Siska turut mengamati Dikta. Mereka dapat melihat cewek berbando biru yang duduk di sebelah Dikta dan tampaknya sangat akrab dengan Dikta!
“Itu si Anggi!” desis Siska.
“Kamu kenal, Sis?” tanya Nera.
“Nggak, cuma tahu aja. Nike sempat cerita ke aku soal Anggi, mereka sekelas! Dia itu tipe orang yang ingin populer. Suka cari muka di depan senior maupun guru. Pokoknya cewek yang demen pencitraan banget gitu lah! Itu kata teman-temannya sih…” ujar Siska berbisik-bisik.
“Berarti Anggi sama Dikta juga sekelas dong! Dan sekarang dia caper sama Dikta gitu?” kulik Nera.
“Mungkin aja. Nggak bisa dipungkiri lah, dapat gebetan bule itu semacam prestis tersendiri! Iya, kan? Yah, meskipun itu kembali ke soal selera juga sih…” urai Siska.
Nera manggut-manggut. Ricky diam-diam menyimak kasak-kusuk kedua cewek yang duduk bersamanya itu.
“Sekarang kamu udah lihat si Dikta kan, Sis? Menurutmu dia cakep apa nggak?” pancing Nera ke Siska.
“Ummhhh… Cakep sih, Ra! Tapi tetap aja kesannya biasa gitu… Seperti aku udah bilang, ini soal selera aja!” gumam Siska.
Lalu kedua cewek itu kembali berpaling memandangi Ricky.
“Menurutmu Dikta cakep apa nggak, Rick?” dengan beraninya Nera bertanya pula ke Ricky.
Ricky tertegun disodori pertanyaan seperti itu!
“Kamu minta aku menilai sesama cowok?” dengan tangkas Ricky tak langsung menjawab.
Nera tergugup sesaat. “Ya, sah-sah aja kan?” kelitnya.
“Kalau menurutmu dia cakep nggak?” Ricky balik bertanya.
“Yaa… Ya cakep sih…!” jawab Nera kikuk.
“Yaaa, kalau yang cewek-cewek aja bilang cakep, berarti yang cowok ngikut aja!” timpal Ricky sambil tersenyum tenang.
Nera dan Siska bungkam. Gagal memancing penilaian objektif dari Ricky!
“Kalau aku cakep nggak, Rick?” Siska gantian bertanya dengan genit, tersenyum pede!
Ricky melongo beberapa saat.
“Ya ilah! Siska, lugu banget sih nanyanya?!” sindir Nera mulas!
“Kalian berdua tampan!” celetuk Ricky.
Tuinggg!!!
Seperti ada tawon menyengat ubun-ubun Siska! Sedangkan Nera merasa ada setrika me-rebonding rambutnya!
Tampan???!!!
“Hahaha… Becanda!” ceplos Ricky santai. “Aku cabut dulu ya!”
Dengan enteng Ricky bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan kedua cewek gaul sok akrab itu. Siska dan Nera masih melongo di tempatnya!
Begitu Ricky sudah menghilang di balik pintu keluar…
“Anjrittt! Sialan banget tuh si Ricky! Dia bilang aku tampan?!” gegat Nera mencabik rambutnya!
“Hahaha… Kalau kamu sih memang nggak pantas disebut tampan, Ra! Tapi kalau aku jadi berasa pujian deh! Komentar dia tuh sexy banget tahu nggak?!!” sumbar Siska.
“Sis, makin aneh aja kamu ah! Heuhhh… Lagian dia tadi cuma becanda!” cetus Nera.
“Nha kalau dia cuma becanda ngapain kamu pakai uring-uringan segala?!” balik Siska.
“Becandanya tuh yang nyebelin!”
“Tapi kamu masih tetap suka sama dia kan?”
Nera mengambeg tak menjawab!
“Cieee… Malu-malu segala buat ngaku! Mana udah pegang tangannya juga?!” canda Siska cablak. “Sini, aku juga pingin cium bekas tangannya tadi!”
“Iihhh! Apaan sih?!” Nera melepaskan tangannya yang akan dicium Siska.
Siska cuma tertawa-tawa melihat Nera yang dongkol.
“Eh, tapi menurutmu Ricky tadi tulus nggak sih waktu komentar soal Dikta? Kayaknya dia sengaja menghindar dan pura-pura ngikut pendapat kita, kalau Dikta itu cakep!” Siska berbisik-bisik.
“Dia itu nggak cuma cuek, tapi juga pintar ngeles! Padahal jelas banget kalau cara dia memandangi Dikta itu ada kesan yang nggak biasa! Something banget gitu kesannya!” beber Nera dengan tampang masih tengsin.
“Jadi… Ricky sama Dikta itu kayaknya bukan teman biasa ya?”
“Soal itu susah juga sih, Sis. Soalnya kita cuma mengamati Ricky, tapi kita nggak tahu apa-apa soal Dikta!”
“Kalau menurut nalurimu gimana, Ra?”
Nera berpikir-pikir sesaat. “Kayaknya sih, sinyalnya Ricky itu memang menganggap Dikta bukan teman biasa! Tapi masalahnya belum tentu Dikta punya perasaan yang sama dengan Ricky kan?” gumamnya.
“Apa mungkin karena itu, Ricky malu-malu buat nyamperin Dikta?” kulik Siska.
“Yahhh… Bisa jadi! Tapi, waktu berteman kan mereka masih SD! Apa anak SD aja udah main cinta-cintaan? Kalau cowok sama cewek sih masih ada peluang. Lha ini cowok sama cowok?”
“Tapi, jujur aja deh, Ra! Kamu berharap nggak, Ricky sama Dikta itu ada feel semacam… cinta…?”
Nera berpikir-pikir lagi. Lalu ia tersipu. “Yah, secara kita Fujoshi, memang kita pinginnya begitu kan?!” bisiknya.
“Kalau iya, menurutmu siapa yang Seme, siapa yang Uke?” pancing Siska, sambil tersenyum berimajinasi.
“Begitu kenal langsung, si Ricky itu aura Seme-nya lebih kuat ternyata! Dia itu cowok banget!” gumam Nera malu-malu.
“Iya, benar! Tapi, menurutmu dia cocok di-pairing sama Dikta?”
“Melihat Dikta kayaknya tipe anak kalem gitu, ya cocok sih…! Jadi, kita mulai pairing mereka berdua nih?”
Nera dan Siska berpandang-pandangan. Perlahan-lahan mereka saling tersenyum sendiri. Setelah tadi sempat bersaing memperebutkan perhatian Ricky, kini mereka berbagi imajinasi bersama! Tak peduli dengan mereka yang bermain di panggung, tak peduli dengan mereka yang ramai mengobrol di geng masing-masing! Siska dan Nera melayani dunia andai-andai yang memenuhi kepala mereka sendiri.
“Tapi… lama-lama aku jadi merasa, kita ini rebutan tiket buat jadi selingkuhan Ricky!” celetuk Siska tiba-tiba.
Nera diam tersipu-sipu, merasakan hal yang sama. Lalu Siska pun tertawa.
“Hahaha… Sudahlah, Ra!” seloroh Siska sambil menggablok bahu Nera. “Jadi Fujoshi memang susah-susah gampang! Kita memuja cowok sampai kita rela menjodoh-jodohkan mereka satu sama lain. Tapi dalam hati, sebagai cewek kita tetap butuh perhatian dari mereka… Butuh cinta dari mereka! Hmmhhh… Jalani aja, lihat aja nanti bakal gimana jadinya. Take as fun!”
Nera tersenyum kecut. Tak menjawab apa-apa.
Ya, memang begitulah mereka!
Lalu mereka tersadar akan sesuatu yang berlangsung di panggung. Para pemain band itu sudah turun dari panggung dan beberapa saat panggung di aula itu kosong.
“Ayo, siapa lagi berikutnya? Buat yang kelas satu dulu, yang kelas dua sama tiga gilirannya nanti!” lontar Pak Bayu, guru kesenian yang menjadi koordinator latihan.
Terjadi tarik-ulur, lempar-hindar soal pemain berikutnya yang ingin mencoba alat-alat yang sudah disiapkan di panggung. Tak ada yang mau, masih ragu dan malu-malu. Hingga…
“Ya udah, aku coba deh!” Dikta berdiri dari duduknya.
Anggi yang berbando biru itu bertepuk tangan paling bersemangat, baru kemudian diikuti teman-temannya yang lain yang ikut men-support Dikta untuk naik ke panggung! Dikta duduk menghadapi keyboard, sendirian menjadi pusat pandangan teman-temannya.
Suara musik pun bergema jernih! Suara denting piano dari jari-jari Dikta yang bermain di atas tuts keyboard, menarik semua orang untuk mendengarkannya…!
Siska dan Nera terpana di tempat duduknya.
“Lagu ‘Indonesia Pusaka’ bisa dibikin sekeren itu???” gumam Siska terbengong-bengong. “Tanpa penyanyi, tapi keren banget…!”
“Jazz! Kelas banget!” Nera ikut berdecak.
“Nggak semua orang bisa main seperti itu!” sahut Siska.
Semua yang ada di ruangan itu seperti tersihir! Semua siswa, termasuk anak-anak senior kelas dua dan tiga, begitu juga beberapa guru yang ada di situ, terpukau oleh permainan Dikta yang begitu mengalir penuh improvisasi tanpa cacat!
“Dia harus ikut audisi buat beasiswa musik!” bisik Pak Bayu kepada rekannya.
“Iya, Pak. Besok akan diumumkan info audisinya…” balas Pak Januar, guru Bahasa Indonesia, rekan Pak Bayu yang ikut mengkoordinir gladi di tempat itu.
Tak hanya yang ada di dalam gedung aula itu. Di luar aula, seseorang masih belum melepaskan perhatiannya kepada Dikta…
Ya, Ricky!
Dari balik celah jendela, Ricky melihat bagaimana Dikta memainkan musiknya dan memukau semua orang. Dalam hatinya, Ricky tak heran. Dia tahu, Dikta memang mampu melakukan itu. Dia sudah melakukan itu sejak dulu…! Ayahnya adalah guru musik dan mengajar di salah satu sekolah musik terkenal di Solo, sebelum mereka pindah. Dia telah dididik sejak kecil untuk mengerti musik. Dan Ricky juga belajar banyak darinya…!
Hingga musik menjadi bagian dari persahabatan mereka!
Tapi kenapa Ricky begitu sungkan untuk menyapa Dikta kembali? Keraguan apakah yang ada di dalam hatinya itu?
Angin siang yang hangat mengibas, menggoyangkan dahan-dahan dan menggugurkan daun-daun, menjatuhi rambut dan pundak Ricky yang diam termangu. Seolah menyapa, “Kenapa kau ragu, Anak Muda?”
Ricky cuma tersenyum sayu.
Lalu melepas pandangannya, berpaling dari celah jendela. Mengayun langkahnya yang malu-malu, meninggalkan serambi aula yang bergemuruh oleh suara tepuk tangan!
Dia tetap pergi dengan hati sepinya…
http://ceritasolitude.wordpress.com/2012/08/09/polling-soal-ricky/
Diisi ya! Terima kasih!
Iya simple Kak,
Kesan Fujoshi sekarang jg jd simple ya Kak
Suka pair co ma co, udah dibilang fujoshi ya?
Heheh...
Sou ka...
fujoshi-nya berasa bgt, abang @Oksenaar tau bgt yah kalo fujoshi itu ada tingkatannya, ada yg addict bgt sampe calm biasa aja =_____=a survey kmana bang?
btw, ceritanya keren deh! bener kata yg blg ceritanya ngalir~ emang ngalir bgt >w<// #thumbsup maen k blog-nya boleh ye bang #kedip2
fujoshi-nya berasa bgt, abang @Oksenaar tau bgt yah kalo fujoshi itu ada tingkatannya, ada yg addict bgt sampe calm biasa aja =_____=a survey kmana bang?
btw, ceritanya keren deh! bener kata yg blg ceritanya ngalir~ emang ngalir bgt >w<// #thumbsup maen k blog-nya boleh ye bang #kedip2
Ah gak sabar buat scene romance. Aku yakin ricky uke!
@oksenaar kok gak pernah mention aq sih mas bro