It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
seandainya mau mention gue gpp kok, gue kagak keganggu malahan kebantu,hahahahaa
Sore itu, Ricky menjenguk rumahnya. Rumah yang hampir dua minggu tak dilihatnya. Dia menuntun sepeda motornya memasuki gerbang rumah. Dan tampaklah pemandangan yang menyedihkan hatinya.
Rumah, saksi tumbuh besarnya.
Rumah, saksi kasih sayang kedua orang tuanya.
Rumah, saksi kehancuran keluarganya…
Kini rumah itu begitu muram. Halaman yang dulu biasa terlihat bersih dan rapi, kini kotor oleh daun-daun pohon mangga yang gugur di tanah. Pohon mangga, dulu di situlah Ricky suka bermain memanjati dahan-dahannya, saat ia kecil. Tanaman-tanaman bunga dulu biasanya begitu semarak, kini tampak tak terurus. Beberapa tampak liar, beberapa tampak layu. Kolam yang masih berair, kini tanpa ikan di dalamnya, yang ada hanya lumut dan daun-daun jatuh yang melapuk.
Ricky duduk di teras rumahnya, di kursi kayu yang kusam. Termenung sedih memandangi kondisi rumahnya. Padahal dulu ini adalah rumah yang begitu nyaman dan menyenangkan! Kini semua begini…!
Awal dari perubahan itu, semula pertengkaran-pertengkaran mulai sering terjadi di antara kedua orang tuanya. Kadang Ricky mendengar dari balik pintu, suara cekcok yang tak dia pahami apa sebab muasalnya. Yang dia tahu, keluarga yang dia sayangi itu lambat laun mulai berubah, terasa tak ada lagi kesabaran dan saling pengertian.
Akhirnya, hal yang paling tak diinginkan dalam keluarga manapun, terjadi di keluarga Ricky! Yang terjadi tiga tahun lalu itu adalah, kedua orang tua Ricky berpisah. Ibu Ricky mengajukan gugatan cerai terhadap ayah Ricky.
Ricky hanya diberitahu bahwa alasannya adalah… ibunya sudah tidak mampu bertahan lagi untuk hidup bersama ayah Ricky yang terlalu sibuk dengan pekerjaan! Menjadi dosen yang mengajar di beberapa universitas di luar kota dan hanya pulang di akhir pekan, bahkan kadang lebih dari dua pekan tak pulang!
“Tapi bukankah itu juga demi menghidupi keluarga?” begitu Ricky bertanya-tanya.
“Ibu seorang perempuan, Ricky… Suatu saat kamu akan mengerti!” begitu jawab ibunya.
Saat itu Ricky masih kelas satu SMP, dia belum cukup mampu untuk mencerna penjelasan tersirat dari ibunya itu. Tapi akhirnya ia mengerti, setelah mendengar penjelasan dari kakak perempuannya bahwa ternyata ibu mereka telah berselingkuh dengan seorang pria lain!
“Kenapa Ibu menjadi seegois itu? Dulu Ibu tidak begitu!” suatu ketika Ricky menggugat ibunya.
Ibunya hanya tersenyum berurai air mata.
“Ricky, ikutlah dengan Ibu…!” pinta ibu Ricky. “Ibu tak bisa bertahan lagi dengan Ayah, tapi Ibu ingin tetap merawat kamu, dan juga kakakmu…”
Dengan berat hati, Ricky menggeleng. Matanya berkaca-kaca, tapi mulutnya tanpa kata-kata…
“Tidak, Ibu. Biarpun Ayah tidak pandai mengurus anak, tapi Ayah masih lebih baik dari Ibu!” sahut Saras, kakak perempuan Ricky, menampik ajakan ibunya.
“Sejujurnya, Ayah merasa kalau kalian akan lebih baik jika tinggal dengan Ibu… Bukannya Ayah menampik kalian, tapi Ayah sadar tak akan bisa memenuhi kewajiban dengan baik sebagai orang tua…” bujuk Sang Ayah dengan rautnya yang sayu, dalam kegundahan mencoba mencari jalan terbaik untuk anak-anaknya.
“Kalau Ibu peduli dengan kewajiban sebagai orang tua, Ibu tak akan memilih berpisah dengan Ayah demi orang lain!” tandas Saras menahan kemarahan sekaligus kesedihannya.
Ricky hanya tertunduk di tengah-tengah pertengkaran keluarganya, dalam hati meratap karena keluarganya benar-benar telah terpecah!
Dan waktu pun akhirnya bicara makin jelas, mendatangkan keadaan yang makin menyakitkan. Belum sampai dua tahun bercerai, ibu Ricky telah menikah lagi dengan pria selingkuhannya! Pria yang lebih kaya! Hati Ricky sebagai seorang anak telah dihancurkan oleh sikap ibunya itu!
Pilihan Ricky untuk tetap tinggal bersama ayahnya semakin kukuh, pilihan yang sama dengan kedua kakaknya, Wisnu dan Saras. Kedua kakak Ricky itu punya pikiran yang sama dengan adiknya. Wisnu yang sulung sudah cukup besar untuk memahami keadaan dengan tegar, dan saat itu dia juga sudah tidak tinggal di rumah karena dia kuliah di Jakarta. Tapi Saras tak setegar kakak sulungnya. Saras terlalu tertekan oleh situasi keluarganya, hingga suatu ketika ia tak bisa mengendalikan dirinya dan bertindak khilaf. Dia akhirnya harus menikah muda dengan kekasihnya, tepat selepas SMA, selang tiga bulan setelah pernikahan ibunya. Setelah menikah Saras tinggal bersama suaminya, dalam kerumitan itu ia cukup beruntung karena keluarga suaminya mau berbijak hati mendukung rumah tangga mereka.
Ricky tertinggal di rumahnya, tanpa kedua kakaknya lagi. Tanpa ada ibu. Dengan ayah yang hanya pulang di akhir pekan. Memang sejak perceraian kedua orangtuanya ada Bude yang tinggal dan menemani Ricky di rumah itu, tapi tetap saja sulit untuk menggantikan sosok seorang ibu. Dan menjelang Ricky masuk SMA, kesehatan Budenya memburuk. Akhirnya Bude Ricky dijemput oleh anaknya, untuk tinggal bersama anaknya sendiri di Malang.
Ya, hanya Ricky yang tertinggal di rumahnya…
Bagaimana itu bisa mudah baginya? Keluarga yang dulu bahagia, rumah yang dulu nyaman, kini hanyalah ruang kosong yang kusam tanpa ada lagi tawa di meja makan, atau canda di beranda. Dia akhirnya tak mampu lagi bertahan untuk menyaksikan hari-hari seperti itu. Itulah yang mendorong keputusannya, untuk memilih tinggal di rumah kost saat akan masuk SMA. Agar tak terkungkung oleh bayang-bayang kenangan masa lalu keluarganya, yang terlalu menyedihkan hatinya…
Tapi, kali ini dia ingin pulang. Dia ingin menjenguk rumahnya itu. Karena besok adalah akhir pekan. Mungkin ada yang bisa dilakukannya untuk sisa-sisa yang masih ada di dalam keluarganya, yaitu sosok Sang Ayah yang besok akan pulang. Yah, biarlah ayahnya senang saat pulang melihat rumah itu dalam keadaan bersih. Mungkin besok mereka juga bisa mengisi lagi suasana di meja makan, meski hanya berdua. Begitu pikir Ricky.
Ricky bangkit dari duduknya. Dia menghampiri pintu, memasukkan kunci dan membukanya. Udara pengap menyambutnya. Dia memandang berkeliling. Melihat ruang dalam rumahnya yang begitu suram, semua perabot tampak rapi tetapi lusuh berdebu. Beberapa jaring laba-laba juga terlihat menghias beberapa sudut ruangan.
Ricky melirik salah satu pintu. Letak kamarnya! Dia membuka pintu itu dan memasuki ruangan selebar 3 x 3 meter itu. Matanya sayu menahan haru. Lemari baju, rak buku, meja belajar, tempat tidur, semua seperti kawan karib yang menyambut kedatangannya dengan penuh rindu!
Perlahan, Ricky merebahkan tubuhnya ke atas kasur, mendekap erat gulingnya… Meski tanpa sprei, tanpa sarung bantal dan guling pun bertelanjang, tapi rasanya ada secercah damai di hatinya. Di kamar yang senyap, dalam rumah yang lengang dan temaram di ambang senja, dalam batin ia masih menggugat!
“Kenapa sekarang hanya ada sepi di sini?”
Hanya hening yang menjawab. Dan sebutir air mata yang tergelincir di pipinya…
Sore sudah menjadi senja, dan wajah ruangan kian remang. Ricky tidak lupa, saklar lampu kamarnya ada di dinding belakang lemari. Ia bangkit dan merogoh saklar itu. Lampu pun menyala, kekuningan.
Lemari itu, Ricky ingat satu hal lagi tentang lemari itu! Ia memegang erat-erat lemari itu, lalu menggesernya hingga salah satu sisi yang merapat ke dinding kini terbuka dan terlihat jelas. Ricky menatap sisi lemarinya itu…
Ada sebuah gambar. Coretan berbentuk dua orang anak laki-laki. Ricky tersenyum, ia ingat bahwa satu dari coretan itu adalah buah tangannya. Sedangkan yang satu lagi adalah hasil coretan kawan masa kecilnya, Dikta.
Ya, Dikta pernah bermain ke kamar itu. Suatu ketika sepulang sekolah, mereka berdua bermain di kamar itu. Dengan crayon warna kuning, Ricky menggambar anak laki-laki dan menulis nama ‘Dikta’ di atasnya untuk meledek temannya itu. Dikta membalas dengan cara yang sama, menggambar anak laki-laki dengan crayon warna biru lalu menuliskan nama ‘Adrian’ di atasnya.
Ricky tersenyum haru menatapnya, seperti melihat lagi sosok masa kecilnya bersama Dikta tertawa-tawa di kamar itu…
Lalu ingatannya melambung lebih jauh membawanya pergi dari kamar itu. Menuju kembali ke suatu hari di masa lalu, di suatu tempat yang tinggi dan sepi, hanya ada dirinya dan Dikta…
Saat itu, mereka ada di lantai atas sebuah gedung. Itu adalah salah satu gedung Departemen Store terkenal di Kota Solo. Mereka menyelinap ke lantai atas yang terbuka itu setelah selesai menonton bioskop. Di tempat yang tinggi itu, mereka bisa melihat wajah Kota Solo yang anggun menjelang senja.
Matahari sudah disepuh keemasan oleh cakrawala petang. Di jalan-jalan di bawah sana, tampak para pedagang angkringan mendorong gerobak mereka dan sebagian sudah menata lapak dengan lampu minyak yang telah menyala. Burung-burung sore menghias udara. Menara-menara masjid tak lama lagi pasti akan mengumandangkan adzan. Sedangkan menara Keraton, Panggung Sangga Buwana, seperti biasa menjulang gagah dengan wajah sunyinya yang sarat misteri. Wajah kota itu, menghadirkan senyum di bibir dua sahabat kecil itu…
“Andai aku punya jaring seperti Spiderman, aku ingin berayun ke menara-menara itu!” seloroh Dikta berimajinasi.
“Apa kau juga ingin bergantung terbalik, lalu menunggu perempuan cantik menciummu?” balas Adrian mencandai imajinasi Dikta.
“Hahaha…” Dikta tertawa lugu sedikit tersipu. “Menurutmu film Spiderman yang kita tonton tadi bagus?”
“Ya, keren! Tapi adegan ciuman itu… sepertinya kita belum cukup umur buat menontonnya!” sahut Adrian.
“Yaa… Memang sih. Tapi kenapa penjaganya membiarkan kita masuk? Berarti tidak apa-apa kita menontonnya!”
“Mungkin karena kita bawa uang, dan kita bayar!”
Dikta meringis. “Memangnya, apa ciuman seperti itu berbahaya sih?” gumamnya bertanya-tanya. “Dan kenapa mereka melakukannya di bibir ya?”
Adrian nyengir malu-malu. “Nggak tahu lah! Mungkin itu yang membedakan antara pacar dengan orang lain. Kalau dengan pacar, maka dilakukan di bibir!” cetusnya sok tahu.
“Ya, mungkin. Apakah itu juga karena… lebih enak?” Dikta bertanya-tanya lagi.
“Kalau dilakukan dengan cara bergantung terbalik seperti di film itu, aku tidak yakin itu enak! Karena melihatnya saja aneh!” balas Adrian sambil tertawa. “Tapi entahlah. Buktinya mereka mau melakukannya!”
“Ya, dan kelihatannya mereka juga senang saat melakukannya. Berarti selain dengan pacar, nggak boleh melakukan ciuman di bibir ya?”
“Yaahhh… Entahlah! Yang aku tahu, hanya orang pacaran yang melakukannya. Di film-film begitu!”
Lalu keduanya terdiam agak lama.
“Apakah menurutmu itu menjijikkan?” tiba-tiba Dikta bertanya lagi.
Adrian agak kikuk menjawabnya. “Kalau orang suka melakukannya, berarti mereka tidak jijik kan? Aku nggak bisa menilainya, aku kan belum pernah melakukannya!” ujarnya polos.
Dikta manggut-manggut. Adrian memandanginya, seperti merasa kalau Dikta menyimpan sesuatu. Semacam keinginan…!
“Kamu ingin mencobanya?” tuding Adrian.
Dikta memandangi Adrian dengan wajah agak tersipu. “Dengan siapa? Kalau kita kan bukan pacar!” kelitnya.
“Pemain film itu juga belum tentu benar-benar pacaran kan? Tapi mereka tetap melakukannya!” sanggah Adrian, seperti menyembunyikan maksud tersirat.
Dikta tampak ragu. “Jadi, kamu mau mencobanya?” dia malah balik bertanya.
Adrian nyengir. Dia memandangi Dikta beberapa saat dengan malu-malu. Kemudian dia bergerak mendekat, hingga tepat di depan wajah Dikta. Adrian yang polos itu tampak masih ragu, begitu juga Dikta. Tapi mereka semakin merapat…!
“Mungkin… kita memang perlu mencob…”
Belum selesai Adrian berucap…
Cup!
Dikta lebih dulu menempelkan bibirnya, tepat di bibir Adrian!
Beberapa detik lamanya…!
Lalu Dikta melepas ciumannya. Adrian diam ternganga menatap Dikta, kaget bercampur gugup, bercampur malu! Keduanya lantas menarik wajah masing-masing, tersipu dengan pipi yang bersemu merah.
Diam-diam, Adrian menggeliatkan bibirnya sendiri, merasakan bekas hangat dari bibir Dikta yang lembut itu… Masih terasa sisa itu! Adrian tersenyum dalam kepolosannya yang tersipu malu…
“Kamu cuma menempelkan bibirmu. Kalau di film tadi sepertinya nggak cuma ditempelkan…” lontar Adrian lugu.
Ucapan Adrian membuat Dikta makin tersipu!
“Sudah ah! Sudah sore, kita sebaiknya pulang!” hindar Dikta sambil beranjak dari dekat Adrian.
Adrian tersenyum-senyum melihat tingkah Dikta yang tampak kikuk itu. Akhirnya dengan santai ia mengikuti langkah Dikta, meninggalkan tempat itu.
“Oke, okeee…” gumam Adrian dengan senyum nakalnya yang begitu polos.
Keduanya, dalam hati sebenarnya juga tertawa seperti irama riang dari langkah bayi yang belajar melompat! Girang yang malu dan sulit diungkapkan!
Dua sahabat kecil itu mengambil sepeda yang mereka parkir di bawah. Lalu segera mengayuhnya untuk pulang. Menembus pupusnya senja sambil bercengkrama di atas sepeda, saling meledek dan menertawakan tingkah mereka tadi. Pengalaman pertama yang begitu berani dalam kepolosan mereka!
Ciuman pertama…!
Mungkinkah itu bisa mereka lupakan?
Yang pasti, tidak bagi Ricky! Tidak! Tak akan dia melupakannya. Dia masih mengingatnya dengan jelas, bahkan bagai hadir kembali bayang-bayang masa kecil itu di kamarnya yang remang dan senyap. Sebagai sebuah kenangan yang begitu sejuk dan haru…
Betapa semua hanyalah kenangan…
Ricky memejamkan mata bersama senyumnya yang terkembang rapat. Menghirup kembali bayang-bayang kenangan itu. Lalu membuka mata, dan semua telah kembali sepenuhnya dalam suasana kamar yang remang, dan hanya ada dirinya.
Bunyi handphone memecah kesenyapan.
Ricky membuka pesan yang masuk di handphone-nya. Pesan dari ayahnya…
“Ricky, maaf ayah tdk jd pulang mggu ini. Bsok ayah jd pmbcara sminar di Purwokerto, menggantikan tman ayah yg skit mndadk. Ayah sibuk utk prsiapan. Tp tlg rmh tetap dijenguk ya..”
Ricky menutup kembali menu handphone-nya. Tangannya meremas erat. Ingin rasanya ia melempar benda kecil itu ke tembok hingga pecah! Karena marah, kecewa dan sakit hati menghadapi keadaan yang sulit untuk diharapkan lagi!
Tapi dia hanya mendesah, menghela nafas…
Ia telah berusaha mengais kembali kebahagiaan dalam keluarganya, sedikit saja…
Dan juga telah digoda oleh kisah-kisah manis di masa lalu yang membuatnya sangat rindu!
Bilamana semua itu terulang?
Sudah mustahilkah?
Ia hanya bisa tertunduk lesu, bersimpuh di sudut kamarnya yang sunyi.
Seorang diri, bersama sepi…
Besok akan dilanjut lagi!
hhhmmmhhh