It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
#kyknya aku mesti mikir dua kali buat godain kenny -_-
itu greg bneran ayahnya alvin?? ya ampun... kalau alvin tau pasti lgsg berhenti main game
=The Request=
Richard's View
"Jyo, kamu ga berangkat sekolah hari ini...?"
"Uh huh..."
Bocah kecil di hadapanku menggeleng lemah, ia menatapku dengan iba, membuatku tak tega untuk meninggalkannya.
"Ya sudah! Aku juga ga sekolah hari ini!"
"Eh! Jangan! Kamu mesti berangkat sekolah sekarang...!"
"Tapi...?"
"Berangkat!"
Anak kecil itu membentakku dengan kencang, otomatis aku segera mengangguk dan meninggalkannya.
"Aku berangkat dulu! Jangan pergi dari kasur! Aku segera pulang kesini!"
"Okay! Aku tunggu! Bawa juga Tian kemari! Biar kita bisa main sama sama...!"
Aku mengangguk, dan segera pergi dari hadapannya.
"Kamu sudah bicara dengan Jyo?"
Senyuman ayahku segera mengembang begitu aku membuka pintu mobil belakang. Disampingnya, ayah Jyo juga ikut menatapku dari bangku penumpang depan.
"Sudah, aku tadinya mau menemaninya disini, tapi dia ga mau..."
"Kalau kamu mau kamu bisa tinggal dan temani dia..."
"Tapi kalau begitu dia pasti akan marah padaku...."
Ayahku menggaruk kepalanya dengan bingung dan menatap ke arah Ayah Jyo.
"Sudahlah, Jyo memang tidak perlu ditemani, lagipula, kenapa harus Richard ikut ikutan tidak masuk sekolah? Masuk! Kita berangkat sekarang...!"
"B...Baik..."
Ayahku dengan terbata bata mengiyakan perkataannya, kemudian dengan segera menjalankan mobil yang kami tumpangi.
"Nanti malam, kita ada rapat dengan Pak Ardi, jadi kamu tolong aturkan perjanjian dengannya, nanti malam kamu pulang saja duluan, kalau aku sudah selesai nanti aku kasih tau kamu, oh iya, nanti ...."
Aku memejamkan mataku, samar mendengar suara ayah Jyo berbicara dengan ayahku.
Terkejut?
Ya, namaku Richard Christian, dan Jyo barusan, nama lengkapnya adalah Gregorio Giovanny, anak dari majikan ayahku.
Ayahku sudah bekerja cukup lama dengan ayah Jyo, dan itu membuat hubungan keduanya sudah seperti sahabat baik.
Ayah bilang, sebelum ia menikah dengan ibuku, ia sudah bekerja pada ayah Jyo yang saat itu adalah seorang pewaris perusahaan muda.
Semenjak aku lahir, Ayah Jyo sudah banyak membantu ayahku, bahkan memberikan ayahku posisi di perusahaannya, yang membuat kehidupan kami terbantu hingga saat ini.
Ayah Jyo juga menganggap ayahku sebagai keluarganya, tapi ayahku tetap menjaga rasa hormatnya pada ayah Jyo, yang terkadang sering membuat kesal ayah Jyo.
"Ah, sudah sampai, nanti kamu pulang papa jemput ya!"
Aku membuka mataku, tersadar dari lamunanku.
"Ah, ga usah pa! Aku nanti pulang bareng Tian! Katanya Jyo mau ketemu Tian!"
"Ohh, oke deh! Belajar yang bener ya!"
Ayahku mencubit pipiku, aku menatapnya dengan sebal
"Aku sudah bukan anak kecil lagi! Jangan memperlakukanku seperti itu!"
Ayahku dan Jyo berpandangan, kemudian menggeleng heran.
"Anak ini, baru SMP kelas 2, tapi pikirannya sudah terlalu dewasa!"
Ayah Jyo menatapku dengan heran.
"Ah, sudah, ayo pergi! Kita sudah hampir terlambat ke kantor!"
Ayahku menepuk pundak ayah Jyo, yang segera menatap jam tangannya.
"Ayo pergi!"
Aku menutup pintu mobil dengan cepat, dan segera ayahku memacu mobilnya pergi meninggalkan gerbang sekolahku.
Aku menatap bangunan sekolahku dengan santai.
Ahh.
Ya, ini adalah salah satu sekolah ternama, dan masuk ke sekolah ini bukanlah perkara mudah, terutama bila tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar semua fasilitas yang diberikannya.
Aku seharusnya bersyukur, karena berkat ayah Jyo, aku bisa bersekolah disini.
Ayah Jyo selalu memberikan semua yang terbaik padaku dan ayahku, dan dengan menggunakan alasan "Supaya bisa menemani Jyo" dia sukses membuatku dan ayahku tidak berkutik untuk menolak permintaannya.
"Hai! Ichad!"
Aku menghela nafasku, kemudian membalik tubuhku, seorang lelaki dengan bola mata cokelat cerah besar dan rambut kemerahan menepuk pundakku berkali kali.
"Nanti siang kita harus main bola! Kemarin kita kalah sama team sebelah! Kamu sih kemarin ga ikut! Kita perlu latihan lebih baik lagi!"
"Ga bisa Yan, nanti aku harus pulang cepat, kamu juga!"
Tian menatapku dengan bingung.
"Kenapa? Kenapa bisa?"
Aku menghela nafasku lagi
"Jyo sakit, dia harus ditemani, kamu ga mau menemaninya? Dia memintamu datang lho..."
Tian melebarkan matanya.
"Apa? Sakit? Oke! Kita ke rumah Jyo aja! Ngomong ngomong kemaren game yang aku~"
Aku menghela nafasku dan melanjutkan perjalananku masuk ke dalam kelas.
"HEI! RICHARD!"
Aku tersentak kaget saat Tian memukul punggungku.
"Sakit! Kenapa sih!"
"Kamu ah! Kamu ga asik banget! Jangan terlalu dewasa begitu lah! Nanti kamu cepat tua lho! Nanti mukamu bakal jadi kayak kakek kakek!"
Aku menghela nafasku lagi, membuat Tian ikut menghela nafasnya dengan jengah, menyerah berbicara denganku.
Orang disampingku adalah Keith Sebastian, anak yang tampan, kalau menurutku, wajahnya sulit di deskripsikan dengan kata kata, tapi yang pasti, dari kami bertiga, di dinobatkan sebagai anak tertampan.
Dan terlemah
Dari kami bertiga, Tian memang paling sering jatuh sakit dan seringkali tidak masuk sekolah, tapi, walau memiliki badan yang lemah, Tian selalu bersikap ceria dan selalu mengajak kami mengikuti banyak kegiatan, memaksa kami untuk selalu memacu jantung kami kalau dia mulai mimisan ataupun jatuh lemas karena kelelahan.
Sungguh anak yang menyebalkan, tapi menyenangkan.
Aku dan Jyo memang sudah sahabat sejak kecil, karena ayahku membawaku semenjak aku jadi balita untuk menemani Jyo kecil yang lahir beberapa bulan setelah aku dilahirkan.
Kebetulan?
Tidak.
Karena ayah Jyo memang sengaja menyamakan tanggal pernikahannya dengan ayahku, dan berusaha keras untuk membuat anak mereka seumur denganku.
Konyol kan?
Syukurnya mereka gagal, dan akhirnya Jyo lahir beberapa bulan lebih muda dariku.
Tian ini adalah teman yang kami kenal saat kami masuk taman kanak kanak, dan sampai sekarang kami masih terus bersama.
Jyo selalu memaksa ayahnya untuk mendesak pihak sekolah kami supaya kami selalu sekelas, mungkin karena itulah kami jadi sahabat baik sampai sekarang.
"Kamu mau terus melamun atau mau pulang sekarang, Ric?"
"Ah..? Pelajaran sudah selesai...?"
"Sudah daritadi! Kamu hebat ya bisa menyalin semua catatan itu sambil melamun..."
Tian menatapku dengan pandangan mengejek.
Aku berdiri dan mengangkat tasku, kemudian tersenyum padanya.
"Yasudah ayo kita pulang! Aku bonceng sepedamu ya!"
Tian mengangguk santai, kami berdua segera menuju parkiran, dan aku mendudukan diriku di kursi belakang sepedanya yang memang sengaja di buat Tian karena Jyo sering merengek meminta Tian memboncengnya.
"Hei, jangan melamun lagi! Kamu bakal cepat tua kalau terus begitu!"
Aku memutar bola mataku.
Entahlah, apa benar sikapku terlalu dewasa?
Atau kenapa?
Mungkin karena aku dibesarkan berdua dengan Jyo, dan mengharuskanku selalu menjaga dan mengawasinya, mungkin itu membuatku jadi terlalu dewasa?
Mungkin
Jyo memang baik, sangat baik malah, tapi sifat buruknya adalah dia ingin semua kehendaknya dipatuhi, dan itu membuatku harus memutar otak berkali kali untuk mencegah keinginan yang mungkin akan membahayakannya.
Hidup dan besar bersama dengan seorang anak yang egois, dan sayangnya kau tidak memiliki kemampuan apapun untuk menolaknya karena dia adalah anak majikanmu, mungkin hal yang menyebalkan ya?
Orang juga sering berprasangka buruk bahwa aku menuruti keinginan Jyo semata mata karena dia adalah majikanku.
Tapi aku tidak perduli.
Karena untukku, selama Jyo mendapatkan kesenangannya, maka aku tidak akan keberatan untuk melakukan apapun.
Dia sudah lebih dari sahabat untukku, tapi juga bukan adikku, walau aku harus bertingkah seakan aku kakaknya.
Entahlah apa yang sudah meracuni pikiranku, tapi aku selalu meletakkan Jyo diatas semua kepentingan lainnya, dan melindunginya adalah tujuanku untuk berada di sampingnya.
"Richard, kalau kamu mau, aku bisa meninggalkanmu melamun seharian di sepedaku, tapi kalau kamu ga keberatan, bisa kita masuk dan ketemu Jyo sekarang?"
Aku tersentak kaget.
Tian sudah menatapku dengan sebal, ia mengatupkan bibirnya dan mencebikkannya kesal.
"Ah! Maaf maaf! Aku agak banyak pikiran akhir akhir ini!"
Tian hanya mendengus sebal, kemudian menatapku dengan kesal.
"Apa kamu kepikiran Jyo lagi? Ayolah! Aku juga kuatir! Cepat kita masuk! Oh, game kemarin masih ada atau gak ya..."
Tian berlari masuk mendahuluiku.
Aku tertawa pelan melihat sikapnya.
Padahal mungkin badannya jauh harus lebih diperhatikan daripada Jyo, tapi begitulah, bagi kami berdua, Jyo seperti seorang adik kecil yang harus diperhatikan.
Jyo selalu mengerutu karena dia harus lahir lebih muda, dan karena kami memiliki tanggal lahir yang sama sedangkan dia tidak.
Dan itu selalu menjadi alasan untuk kami menarik pipinya sampai memerah, dan terkadang harus membuat kami dimarahi karena Jyo menangis.
"Ah... Tian! Kamu datang!"
Jyo berseru lemah dari kasurnya, wajahnya tampak memerah karena flu yang dideritanya.
"Ah! Jyo! Gimana kamu bisa sampai sakit begini!"
Tian berjalan menghampiri Jyo dengan iba.
"Ahh, aku kemarin hujan hujan..."
"Aku sudah memberitahumu! Tapi kamu yang bandel!"
Seruku dengan sebal. Jyo menundukkan wajahnya, tapi Tian melerai kami berdua.
"Sudah, sudah! Jangan berantem!"
"Tapi dia memang egois!"
"Aku ga egois! Aku cuma mau mandi ujan sekali sekali!"
"Sudah ahh!"
Aku dan Jyo sama sama mendengus sebal.
Mungkin aku memang bersahabat dengan Jyo lebih lama dari Tian, tapi seperti inilah yang terjadi, kami pasti selalu berselisih setiap kami bertemu, dan Tian selalu siap menjadi penengah di antara kami.
"Ah! Udah ah! Hei hei! Denger! Tian! Richard!"
Aku dan Tian segera menoleh ke arah Jyo yang beranjak duduk dengan kesulitan, ia menatap kami berdua.
"Aku ada ide bagus..."
Aku dan Tian menaikkan alis dengan heran.
karena selama ini, ide yang diberikan Jyo tidak pernah sekalipun ada yang bagus.
"Dengar! aku ada ide! Gimana kalau setelah kita lulus sekolah, kita bertiga jadi Dokter...!"
Aku dan Tian menaikkan alis kami dan saling berpandangan.
Memang benar benar ide bodoh.
Maksudku
Bagian mana dari kata kata itu adalah ide?
Tian menggeleng sambil terkekeh.
"Oke oke, kenapa itu bisa dibilang ide bagus?"
Jyo menaikkan telunjuknya dengan ekspresi lucu
"Dengar! Kita bertiga jadi dokter, karena kita kadang kadang bisa sakit, apalagi kamu Tian! Kamu seminggu sekali pasti ga masuk sekolah karena sakit! Gimana kalau kita bertiga jadi dokter, dan kalau salah satu dari kita ada yang sakit, kita bisa menyembuhkannya, kita harus saling menjaga satu sama lain!"
Aku dan Tian kembali berpandangan, kemudian tertawa.
"Ah! Idemu ada ada aja! Tapi aku suka bagian saling menjaga itu! Oke! Kita harus saling menjaga! Dan aku memang bercita cita jadi dokter! Tapi Richard kayaknya enggak sih..."
Tian melirik ke arahku sambil bertutur, membuat Jyo ikut menatapku.
"Hei, apa maksudmu?! aku juga mau jadi Dokter!"
Jyo dan Tian segera berpandangan senang, kemudian melakukan toss sambil tertawa.
Aku segera menghela nafasku dengan berat.
Dokter?
Pendidikan dokter perlu uang yang banyak.
Dan sebenarnya aku tidak ingin menyusahkan ayah Jyo lebih dari ini, aku berencana untuk berhenti setelah aku lulus SMA, dan bekerja di perusahaan ayah Jyo, tapi tampaknya aku harus mengurungkan niatku, dan memaksa mama untuk menabung demi pendidikanku.
Aku akan melakukan apapun demi menjaga Jyo!
Bila masa depanku pun bisa kukorbankan, kenapa bila hanya beberapa jumlah uang tidak, ya kan?
"Sip! Sekarang kita harus menentukan nama baru untuk kita!"
Aku dan Tian kembali berpandangan, dan menghela nafas.
Sudah kami duga, tidak mungkin ada ide bagus keluar dari mulutnya jika tidak diselingi ide bodoh!
"Nama baru? Untuk apa itu?"
Aku bertanya padanya, dan Jyo segera terbahak, kemudian terbatuk batuk.
Aku segera membantunya kembali berbaring.
"Nama untuk kita dong! Kita kan mau jadi dokter! Jadi kita harus pakai nama keren sekarang! apalagi namamu, Tian, kan terlalu childish untuk jadi nama dokter! Masa dokter Tian? Kan ga keren!"
Aku dan Tian kembali berpandangan.
Kadang pikiran anak ini tidak bisa dimengerti.
"Ayo tentukan nama kalian! Aku ambil Rio dari Gregorio! kalau kamu?"
Jyo menatapku.
"Entahlah, Christ?"
Ujarku mengasal, tapi Jyo segera mengangguk.
"Dan kamu Tian?"
Tian mengacungkan jempolnya.
"Keith! Keren kan!!!"
Perkataannya segera disambut dengan huu mantap dari kami berdua, dan lemparan bantal guling yang telak mengenainya.
"Ya sudah! Sekarang ayo kita semua janji sekarang, jangan ada yang sakit lagi! jadi kita bisa jadi dokter yang baik!"
Aku dan Tian mengangguk mantap.
"SIP! Ayo toss!"
Kami bertiga segera menyatukan tangan kami di udara dan segera berteriak lantang, mematangkan janji kami bersama.
***
Tapi sayangnya, janji itu tidak bisa kami tepati.
Satu minggu setelah perjanjian itu kami buat, Keith mendadak mengalami muntah darah parah di sekolah, dan akhirnya dirawat di rumah sakit.
Saat itulah kami baru mengetahui kalau ternyata Keith mengidap Leukimia, dan ia selama ini menyembunyikannya untuk menutup kekuatiran kami.
"Christ, kamu tertidur...?"
Aku merasakan belaian lembut di pipiku, membangunkanku dari tidur ayamku.
"Ah, Keith? Kamu terbangun? maaf, apa aku menindihmu?"
"Enggak..."
Keith tertawa melihatku, mata cokelat cerahnya terlihat sayu, dan wajahnya tampak sangat pucat.
"Rio sudah pulang ya?"
Aku mengangguk.
"Kamu ga pulang?"
"Ga, aku lagi mau menemanimu..."
Keith tersenyum, kemudian menghela nafasnya.
"Syukurlah kamu ada disini..."
Aku mengernyitkan dahiku.
"Christ, terimakasih, karena sudah jadi temanku sampai sekarang..."
Aku mengernyitkan dahiku.
"Dan sampaikan ke Rio, aku juga berterimakasih karena dia terus menemaniku sampai sekarang, karena selama ini, hanya kalian temanku...."
Aku menatapnya dengan bingung.
"Keith, kamu ngomong apa sih?"
Keith tersenyum, tapi setetes cairan bening menetes dari wajahnya.
"Tadi di dalam mimpi, ada orang berpakaian putih bersinar, mukanya cakeep banget, walaupun ga secakep aku..."
Aku meninju bahunya dengan sebal.
"Sudah, jangan bercanda...!"
Aku menepuknya sebal, tapi Keith menggeleng.
"Enggak, aku ga bercanda, dia bilang, sudah waktunya aku untuk pulang, dan dia datang menjemputku..."
Tubuhku bagaikan disiram air es saat aku menatap wajah sayunya, ia mengambil tanganku dan menaruhnya di perutnya.
"Itu artinya aku meninggal, ya Christ...?"
"Enggak, itu bukan, itu cuma mimpi..."
"Dia bilang aku boleh bangun, menikmati sisa waktu yang aku punya, dan aku senang, karena saat aku bangun, kamu yang lagi tunggu aku, bukan mama papa yang cuma menguatirkanku dengan membelikanku obat obat mahal, tapi ga menemaniku sama sekali..."
"Keith, stop, please!"
"Asik ga sih, Christ, jadi kakaknya Rio...?"
Keith menatapku dengan senyuman tipis, tangannya terasa begitu dingin.
Aku mengangguk.
"Iya! Aku seneng banget! Seneng banget!"
Keith tertawa santai.
"Asyik ya? Baguslah, kalau begitu aku bisa tenang kalau aku ga ada..."
Aku merasakan tubuhku gemetaran seluruhnya, semua tubuhku, baru kali ini aku merasa tidak mampu menggunakan otak pintarku untuk apapun.
"Hei, Christ, Kamu janji, kalau nanti aku ga ada, jangan berantem lagi sama Rio! Soalnya aku udah ga bisa lagi kan melerai kalian kalau aku sudah ga ada..."
"KAMU JANGAN BERCANDA KEITH! AKU PANGGIL DOKTER SEKARANG! AKU PANGGIL ORANGTUAMU SEKARANG!"
"Christ, please, dengarkan aku, bisakah...?"
"Ini ga lucu!"
Mendadak Keith terbatuk keras, dan darah segar segera mengalir dari sela jarinya.
"K...Keith... Aku panggil dokter!"
Keith menahan tanganku dengan jarinya.
"Please, waktuku ga banyak Christ! Dengarkan aku!"
Airmataku mengalir deras, menyaksikan sahabatku terbujur lemah dengan bercak darah di sprei putihnya.
"Kamu selama ini terlalu serius, bisakah kamu lebih ramah sedikit? Karena kalau tidak, nanti Rio bakal kesepian. Aku tahu kamu bersikap dewasa karena mau menjaga Rio, aku pun begitu, tapi kamu tahu? Dengan bersikap riang, kamu bisa menjaganya sekaligus menemaninya juga!"
Keith mengembangkan senyumannya. Aroma darah samar tercium, bercampur dengan aroma rumahsakit yang mungkin sejak saat ini akan aku benci.
"Kalau aku sudah ga ada, kamu jangan berantem lagi sama Rio, kamu jangan suka melamun! Kamu harus bisa lebih gembira supaya ada yang menggantikanku menemaninya! Main game itu lumayan asik lho!"
Dia mengedipkan matanya.
"Dan, juga, aku nitip permintaan maaf, untuk Rio, karena ga bisa menepati janjiku untuk jadi dokter bersama dengannya, tapi aku yakin, kamu pasti bisa menemaninya kan...?"
Aku meremas pergelangan tangannya dengan kuat.
"Aku janji, aku ga akan lagi berkelahi dengan Rio! Aku janji aku akan menemaninya selamanya! Aku janji aku bakal lebih ceria! Aku bakal jadi dokter dengan kalian! Tapi kamu harus sembuh! Berhenti bercanda! Please!"
Aku menutup tangannya yang penuh darah ke wajahku, membiarkannya basah oleh airmataku.
"Maaf, Christ, maaf.... Uhuk~!"
Keith kembali terbatuk kuat, menumpahkan tetes tetes darah di sprei putih itu.
"Aku juga mau, punya orang yang bisa dijaga kayak Rio... Aku selalu iri, mau bertukar peran denganmu, selalu iri dengan sikap dewasamu..."
Ia menarik nafasnya.
"Andaikan aku diberi kesempatan lagi, aku ingin bisa menjaga Rio, berdiri di sisinya, menjadi orang yang dipercaya olehnya, sepertimu..."
Mata sayunya sekarang menatapku dengan tenang.
"Mungkin kesempatan itu tidak akan datang, tapi aku selalu bahagia, aku diberi kesempatan bertemu dengan kalian..."
Keith menutup matanya, menghembuskan nafasnya, dan tak pernah menariknya lagi.
"Keith...?"
"Keith.....?!"
"JANGAN BERCANDA! KEITH! DOKTER! TOLONG AKU!"
***
"....................."
"....................."
Rio meremas kemeja hitamnya, ia meringkuk di sudut mobil, sambil menggigit bibirnya, isakan demi isakan keluar dari mulurnya.
"Jyo, sudah, ya, temanmu sudah senang disana, pasti dia sudah jadi malaikat yang cakep disana..."
Ayahnya berusaha menenangkannya, sementara ayahku hanya membawa mobil dalam diam.
Aku pun terdiam, semua orang memahami kediamanku.
Semua orang menganggap aku masih shock, karena di usia ku yang masih sangat muda ini, aku melihat kematian temanku di depan mataku.
Semua orang menatap dengan iba ke arah kami.
Ayah Keith pun tidak bertanya apapun padaku, karena kuatir membuka ingatan yang dia kira ingin aku kubur dalam
Tapi tidak, ingatan itu akan terus aku simpan, dan tak akan aku lupakan seumur hidupku.
"..........................."
Rio masih meringkuk di kasurnya, saat aku masuk ke kamarnya.
Tetesan tetesan bening airmata terus disekanya, ia terkejut saat melihat aku masuk ke dalam.
"Rio! Ayo kita main Playstation! Aku mau main ini!"
Rio melongo melihatku, aku memamerkan deretan gigiku, dan mengamit tangannya.
"Ayo, kita main! Kamu lama ahh!"
"Kamu sakit? Ric?"
"hei! Namaku Christ ya! Bukan Richard! Nama dokterku Christ!"
Rio tampak menerawang, kemudian mengangguk.
"Dokter, benar, iya, aku harus jadi dokter, ga akan lagi ada sahabatku yang akan hilang, ga akan ada, aku... aku..."
Rio membenamkan wajahnya di dadaku, dan tangisannya segera pecah.
Aku tak bisa menghentikan tangisanku, kami berdua akhirnya menangis bersama, menumpahkan segala kesedihanku.
Aku sudah menanamkan tekad di dalam hatiku.
Ini adalah tangisanku yang terakhir! Mulai saat ini, aku tidak akan lagi menangis, demi senyuman Rio!"
***
"Hei! Christ! Kamu masih belum selesai juga?"
Wajah Rio mendadak muncul di depan mukaku, membuatku berteriak kaget.
"WAAA!"
"Ah! Kamu! Jangan teriak di telingaku!"
Rio mendengus sebal, aku hanya nyengir lebar dan mengatupkan tanganku sambil menundukkan kepalaku.
"Maaf! Maaf!"
"Iya, kamu belum selesai juga mencatat? Ga mau pulang bareng?"
"Eh? Sudah selarut ini? Wah! Aku harus pulang! Tadi mama minta dibawakan Iga Bakar! Ah! Rio! Ayo pulang!"
Aku berteriak panik sambil menarik tangan Rio pergi dari situ.
"Hei, sabar!"
Aku tertawa senang, dan terus berlari sambil menggandeng tangannya pergi.
Sudah tiga tahun semenjak Keith pergi, dan Rio sudah bisa menerima kepergiannya semenjak setahun yang lalu.
Semenjak kepergian Keith, Rio berubah menjadi lebih dewasa dan pengalah, walaupun kadang sifat egoisnya masih muncul sesekali saat ia bersamaku.
Sedangkan aku?
Entahlah, mungkin ini kutukan?
Aku sudah lupa bagaimana sifatku dulu, bagaimana kepribadianku dulu, seakan Keith sekarang hidup di dalamku, dan mencampurkan kepribadiannya di dalam diriku.
Semua orang heran karena aku tidak pernah lagi bersifat dingin dan tenang seperti dahulu.
Banyak yang menyayangkannya, tapi juga banyak yang berkata sifat ini lebih cocok denganku.
Dan bagiku?
Selama itu berarti Rio bisa terus kujaga, maka tidak ada masalah sedikitpun denganku.
"Hai, Christ!"
Aku menengok ke arahnya dengan iga menempel di mulutku, membuat Rio mendengus dengan sebal.
"Aku mau bicara sesuatu denganmu, bisakah...?"
Aku mengangguk, mengunyah iga bakarku, dan menelannya.
"Tentu! Apaan? Bicara aja!"
Aku mengambil es jerukku dan menenggaknya hingga tersisa separuh.
"Ahh!"
"Christ, aku sudah berpikir ini sejak lama, dan setelah aku berpikir matang, aku akhirnya menyadari kalau ini benar.
Aku mengernyit, melihat ekspresi seriusnya.
Aku selalu menanggapinya dengan serius sekarang, karena Rio sekarang jauh lebih serius dan pintar dibandingkan dirinya tiga tahun lalu.
"Apa itu?"
"Kupikir, aku dan kamu...."
"Hmm...?"
"Bisakah kamu berjanji kamu akan menerimanya...?"
Rio menggigit bibirnya.
"Tentu! Aku temanmu! Apa sih yang ga bisa kuterima?"
Aku mengacungkan jempol dan mengedip ke arahnya.
"Kupikir, kita... kita berbeda, Christ....?"
"ha...?"
Aku mengernyit melihat wajahnya, ia tampak salah tingkah.
"Yeah, kupikir ada sesuatu yang lain, yang berbeda dalam diriku dari orang orang lain..."
"Apa itu...?"
"Berjanjilah kamu akan menerimanya..."
"Tentu...!"
Rio melihat ke segala arah, kemudian ia memajukan wajahnya.
"Aku, kupikir aku, aku gay..."
Aku segera tertawa mendengarnya, dan memegangi perutku.
"Sip! Lucu banget! Aku sampai ngakak! Kamu hebat!"
"Aku ga bercanda Christ!"
Tawaku segera terhenti, aku menelan ludahku dengan tidak nyaman.
"Aku serius, aku menyukai laki laki...."
Sekali lagi, aku merasa tubuhku bagai disiram galonan air es, Rio menatapku dengan takut.
"Apa kamu jijik? kamu mau pergi dariku?"
Aku menelan ludahku.
"T..Tidak! Aku menerimamu dong! Apaan sih! Ayo dimakan Iga bakarnya!"
Rio tersenyum, kemudian segera melanjutkan makannya, sedangkan aku harus mengunyah makananku dengan tidak nyaman.
***
BRAK!
"Richard...?!"
Aku mengacuhkan mamaku yang berteriak kaget saat aku masuk dengan gontai ke kamarku dan membanting pintu kemudian menguncinya
Aku menjatuhkan tubuhku ke kasur.
Rio?
Gay?
Tidak mungkin!
Aku selalu menjaganya selama ini!
Dan aku selalu memberikan semua yang terbaik! Aku selalu mengawasinya! Tidak akan sekalipun dia kubiarkan salah langkah!
Tapi apa ini?!
Dia menyukai sesama jenis?
Apa aku sudah salah?
Apa aku salah menjaganya selama ini?
Aku memukul mukul kepalaku, merasa begitu gagal, dan merasa telah mengecewakan Keith, dan Rio.
Apa yang sekarang bisa kulakukan?
Tidak ada.
Tidak ada yang bisa kulakukan!
Aku tidak mungkin memaksanya untuk menyukai wanita kan?
Dia sudah terlanjur salah langkah, sedangkan jalan itu sudah menghilang di belakangnya.
Aku meremas jemariku.
Mereka harus membayarnya!
Mereka harus mempertanggun jawabkan apa yang sudah terjadi pada Rio!
Aku dengan gemas membanting tas sekolahku, tanpa kusadari seberkas kebencian muncul di dalam hatiku.
=======================================
"HEAGH!"
Peri raksasa di hadapanku menjerit kesakitan saat aku menebaskan dan menusukkan pedangku berkali kali ke tubuhnya.
Aku menyeringai saat tubuh peri itu berteriak kesakitan dan mengejang.
Sosoknya segera menghilang, menyisakan beberapa tumpukan barang di tanah.
"LAGI!"
Aku berteriak marah, kemudian mengacunkan pedangku ke arah peri lain.
Seorang peri segera berteriak, dan tak lama kemudian beberapa peri lain segera muncul.
Aku terus menebaskan pedangku.
WOASH!
Dengan terkejut aku menoleh ke belakang, seekor peri yang hampir saja menusukkan tongkatnya ke tubuhku mendadak terbakar dalam api biru, dan berubah menjadi abu.
"Nyaris! Richard! Jangan terlalu berlebihan!"
Aku menebas peri yang tertusuk pedangku sampai mati, kemudian menyarungkannya lagi dan berjalan ke arah pria berpakaian putih biru di hadapanku.
"Alvin..."
"Kamu kelihatan kacau, sedang ada masalah...?"
Alvin menyimpan kembali buku sihirnya, dan mengusap rambutku.
Aku sontak segera menepis tangannya, membuatnya terkejut.
"Jangan sentuh aku!"
"Biasanya kau tidak masalah kalau.."
"Jangan sentuh!"
"Maaf..."
Alvin terdiam, wajah dinginnya tetap tidak menunjukkan ekspresi apapun.
"Ayo, kita pulang, aku dapat daun teh dari drop monster! Kita minum berdua..."
Ujarnya santai, kemudian mendorongku keluar dari hutan, dan masuk ke dalam kemah miliknya.
"Apa kau ada masalah?"
Aku menggeleng, Alvin menghela nafasnya, ia kemudian berdiri dan mengambil teko kecil di lemari.
"Ya sudah, kalau begitu, aku akan memanaskan air di dapur umum, tunggulah disini sebentar, tehnya akan segera siap..."
Alvin beranjak keluar dari tendanya, meninggalkanku sendiri.
Aku termenung sejenak, tapi tak lama kemudian sebuah buku kecil bersampul cokelat menarik perhatianku.
Aku mengambil buku di meja kerja itu, dan membukanya.
Sebuah jurnal perang?
Alvin menuliskan dengan rapi semua jurnal perangnya.
Tapi tunggu dulu.
Apa ini?
Dia menuliskan semua yang terjadi denganku dan dirinya?
Aku membalik halaman demi halaman, membacanya, sampai pada sebuah halaman, dan membaca tulisan itu dengan terbata.
"Aku.... Aku tampaknya menyukai Richard, bukan sebagai teman, tapi aku menyukainya lebih dari itu, aku.... Mencintainya..."
Aku terperangah mendengarnya.
Sempurna sudah hari ini
setelah seorang sahabat baik yang terus kujaga mengaku dirinya Gay, sekarang aku harus menerima kenyataan bahwa aku disukai oleh seorang Gay yang lama menjadi temanku.
Apa yang aku lakukan...?
........................................
Aku menyeringai, menutup buku itu, dan menaruhnya kembali ke meja.
Alvin masuk ke tenda tak lama setelahnya, dan menatap datar ke arahku.
"Tehnya siap!"
Aku tersenyum kearahnya, kemudian merangkul bahunya, membuatnya menjatuhkan teko itu, dan menelan ludahnya.
"Alvin... Maukah kamu membuatku bahagia...? Aku percaya kau adalah orang yang bisa membuatku mencapai semua impianku..."
Alvin terperangah, kemudian ia membuka mulutnya.
"T..Tentu, aku pasti akan melakukan apapun untukmu..."
Aku menyeringai
Tentu saja.
Aku harus mencari kaum terkutuk itu, yang membuat semua harapanku menjaga Rio sirna, dan membuat mereka merasakan akibatnya, dan sekarang aku sudah menemukan satu, dan dia menyukaiku.
Kenapa tidak aku menggunakannya?
***
"Christ..."
Aku menoleh ke belakang, senyuman tengil yang lama kurindukan membuatku harus ternganga.
"K..Keith...?"
Keith menatapku dengan senyuman lebar, kemudian membuka tangannya.
"Aku merindukanmu..."
Aku terisak pelan, memeluk tubuh sahabatku dengan seluruh kekuatanku.
"S...Sesak!"
Aku melepaskan pelukanku, dan ia segera tersenyum lebar.
"Christ! Aku sudah menemukan caranya! Aku menemukan cara untuk bisa menjaga Rio!"
Aku mengernyitkan dahiku.
Maksudmu?
Keith hanya menggeleng.
"Ah, sudahlah, aku kemari bukan untuk memberitahumu itu..."
Keith menatapku kembali dengan wajah sayunya.
"Kamu kehilangan arahmu...."
Aku menatapnya bingung
"Apa maksudmu...?"
"Kamu tidak lagi melakukan yang kau janjikan padaku..."
"Apa? Aku selalu menjaga Rio! Aku selalu menemaninya...! Aku selalu membuatnya bahagia...!"
"Kamu tersesat Christ! Kau terlalu terbebani kenyataan yang tak bisa kau terima, dan sekarang kau hanya menemaninya dengan senyuman palsu itu, padahal di dalam hatimu, kau menghujatnya..."
"Apa maksudmu...?"
"Pikirkanlah..."
"Hei!"
Sosoknya perlahan memudar.
"KEITH!"
Aku terbangun, dengan nafas memburu.
Aku menyeka keringat yang membanjiri wajahku.
"A.Apa...."
Detakan jantungku terasa begitu kuat, aku menyeka keringatku.
"Apa maksudmu Keith...."
=======================================
"Christ...."
"Aku sudah menunggumu..."
Aku membalik tubuhku, sekali lagi bertemu dengan wajah sayunya.
"Aku sudah tidak bisa lagi berada di sisinya..."
"Apa maksudmu, Keith?"
Keith menatapku dengan sedih.
"Aku harus kembali menitipkannya padamu..."
Keith menatapku dengan sedih.
"Tapi dia sudah punya seseorang yang akan menemaninya sekarang..."
"Keith...?"
Keith memelukku, kemudian ia menatapku sedih.
"Aku percaya, kau bisa kembali menemukan jalanmu..."
Keith berbalik, dan pergi meninggalkanmu.
"KEITH!"
dan lagi lagi, aku terbangun.
Aku menatap ke arah luar, sinar matahari tampak sudah menembus jendelaku.
"Ahh..."
Aku menyeka kedua mataku.
Hari sabtu....
Hari ini adalah agresi pasukan Rio ke Central.
Dan mungkin hari ini adalah waktu bagiku untuk menyelesaikan semuanya
Ya...
Semua harus diakhiri.
=======================================
Aku memandangi dua bayangan putih yang pergi menjauh, meninggalkanku didalam kegelapan.
"Ukh.. Uhuk!"
Aku menumpahkan darah di dalam mulutku ke tanah, dan berusaha keras menopangkan diriku ke tongkat yang berdiri disampingku.
Inikah akhirnya?
Aku kalah...
Aku tersenyum.
Paling tidak aku sudah kembali menemukan jati diriku.
Ya.
Aku tidak bisa memaksakan kehendakku, dan aku harus menerima kenyataan bahwa Rio adalah orang yang disukai Alvin, bukan aku.
Aku sudah kalah di dalam perang ini.
Mungkin ini adalah balasan dari kekejamanku dulu?
Nasib mempermainkan perasaanku dan aku harus menerima kekalahan ini?
Tapi aku tidak menyesal...
"Christ..."
Aku terperangah, saat sosok itu perlahan muncul di hadapanku, dengan pakaian seorang priest hitam.
Memang tampak lebih tua, tapi itu jelas adalah wajah Keith.
"Keith...?"
"Ya..."
"Kau... Bagaimana kau ada disini?"
"Kau sudah kembali, kembali menemukan dirimu..."
Aku tersenyum, mengangguk, dan memeluknya.
"Aku merindukanmu, kau terlihat tampan sekarang!"
Keith tertawa mendengar perkataanku.
"Ya, tampaknya tugas kita selesai disini, eh?"
Aku tersenyum, mengangguk padanya.
"Yeah, tapi aku masih punya tugas darimu di dunia nyata!"
Keith tertawa.
"Maaf kalau merepotkanmu!"
"Tidak, tapi memang dari awal itu adalah tujuan hidupku..!"
"Begitukah...?"
Aku mengangguk, tapi sungai darah kembali menemukan jalannya keluar dari mulutku.
"Tampaknya sudah hampir selesai..."
Aku mengangguk, dan jatuh terduduk.
Keith duduk di sampingku, menemaniku di sisiku.
"Tutuplah matamu, jangan takut, aku ada disini, di sampingmu."
Aku merasakan ia merangkul tubuhku.
Aku memejamkan mataku, dan segera semuanya terasa begitu ringan.
***
GAME OVER
***
Aku tersadar dengan airmata sudah membanjiri mataku.
Keith?
Rasanya kerinduanku kembali menguasai tubuhku.
Semua memori masa kecil kami kembali berputar, sampai kenangan pahit di malam kepergian Keith berputar di kepalaku.
"Richard...? Jyo, ada Jyo datang!"
Aku segera melepaskan peralatan gameku, dan menyeka airmataku.
"Ah, Iya! Sebentar!"
Aku segera merapikan pakaianku, dan membuka pintuku.
"Rio!"
Aku segera menarik tangan Rio masuk ke dalam kamarku.
"Christ! Maaf!"
Aku memiringkan kepalaku, menatapnya.
Rio berlutut di depanku, dan memegang tanganku.
"Maafkan aku, karena aku semuanya jadi sekacau ini sekarang!"
Aku segera menarik tangannya agar ia berdiri, dan menepuk pipinya.
"Sudahlah! Kalau kamu mau minta maaf, kamu harus melakukan sesuatu untukku!"
"Apa itu...?"
"Aku punya janji, dan sekarang, aku mau kau yang melakukan janji itu padaku!"
***
".........."
Disini sekarang aku berdiri
Di taman tempat aku dulu sering bertemu dengan Alvin saat dia masih dirawat disini.
Aku menatap ke arah dua sosok yang sedang tertawa senang sambil bercanda satu sama lain.
Senyumanku tak bisa aku hilangkan, aku tersenyum saat melihat mereka, dan mengambil sebuah boneka kemerahan dari dalam tasku.
Sebuah boneka daruma, dengan satu mata.
Aku mengambil pulpen tinta di saku celanaku, kemudian menggambarkan sebuah mata di boneka itu.
"Alvin, dengan ini janjiku lunas...!"
===END===
@Just_PJ @adhiyasa
@princeofblacksoshi @littlebro
@danielsastrawidjaya
@hwankyung69
@ularuskasurius @rulli arto
@congcong @Dhika_smg
@seventama @prince17cm
@rarasipau @catalysto1 @fian_pkl
@marvinglory @chachan
@idhe_sama @totalfreak
@rarasipau @bb3117
@sigantengbeud
@adywijaya @adinu @dewaa91
@nero_dante1 @003xing
@reyputra @masdabudd
@FeRry_siX
DIAPDETT
Hachifusa, sebagai perlambang delapan aspek kesempurnaan, sering disebut juga sebagai EightFold Rune, Rune ini memiliki kekuatan besar yang menguasai segala aspek di dalam kehidupan manusia. Sebagai lambang kesempurnaan, Rune ini menguasai delapan aspek yang disebut sebagai Kou, Chuu, Tei, Chi, Gi, Shin, Jin, Rei, delapan aspek dalam jalan kesempurnaan manusia.
Delapan aspek ini membuat Hachifusa menjadi Rune yang sangat mempengaruhi keadaan pemiliknya.
Pemilik Rune ini adalah Yuber, yang tampaknya lebih menampilkan sisi negatif sebagai lambang kebalikan dari delapan aspek diatas. Karena aspek negatif dari rune ini, Yuber menggunakan kegelapan sebagai atributnya, dan menggunakannya untuk menguasai berbagai hal, seperti tubuh, emosi, dan berbagai aspek lain yang termasuk dalam 8 aspek Hachifusa
Mengendalikan kegelapan, dan menggunakannya untuk menguasai tubuh tubuh tak bernyawa adalah satu dari hal yang sering dilakukan Yuber, karena ia sendiri tidak pernah menyukai ada manusia lain di sisinya saat ia bertarung.
btw udah kayak bf aja dong ada gath nya sgala.. haghaghag..
@silverrain
T-T
tega ya..
keith dibikin metong 3x
trus keith yg ada di game sapose emm?
auhh...
#speechless
@seventama kenapa kecewa?
@masdabudd wkwkwkwk jadi siapa yaa?
@rarasipau tuh udh dibikinin kan
@nero_dante1 sblum itu juga kamu mesti berhadapan ama Kevin
wkwkwkwk
@hwankyung aduh
spinoff yg mana aja?
by request aja deh ya
kalo smua keteran
1 per 1 by req
hehehehe
bentar deh,, kalo si Keith di dunia nyatanya udah metong <-- (ketularan tenty @yuzz), trus gimana caranya dia masuk di game??
kalo kata master @silverrain
--flasback--
"baca ulang.
semoga tau deh abis baca ulang"
-- **--
engga paham!!
(
#buatpelangipakaitangan
@dhika_smg thanks udah ikut sampai sini