It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Dan siang itu, aku kembali merutuk tentang matahari. Bel sekolahku yang terbuat dari besi rel kereta itu baru saja berbunyi. Dan seketika saja anak-anak berhambur keluar. Mereka berlomba. Berkejaran dengan dengan perut yang sudah tak mau berkompromi lagi.
Sementara aku hanya terpaku di depan kelasku, menatap terik matahari yang tak kunjung usai. Sinarnya silau, membuatku malas untuk beranjak dari sini. Kakiku yang telanjang masih terlalu malas untuk melangkah melewati satu kilometer jarak menuju rumah. Kau tahu, kadang aku merasa sebal. Disaat teman-temanku sibuk menunggui jemputan onthel atau andong orang tuanya, aku malah harus menerima kenyataan bahwa orang tuaku lebih memilih berkutat dengan gaplek dibanding menjemputku. Ya, aku memang sadar, menjemur gaplek memang menghasilkan uang. Sedangkan menjemputku hanya mengundang lelah. Lagipula aku lelaki, rasanya terlalu manja jika harus merengek meminta bapak atau simbok ku menjemput dengan onthel nya. Kami tak punya dokar. Yang kami miliki hanya onthel usang, gubuk reyot bernama rumah, dan tentunya kami punya satu hal: harga diri. Hal yang sudah sangat jarang ditemui di negeri ini.
“Nunggu jemputan Wo? haha,” Nandar, temanku itu mengejekku. Aku hanya tersenyum kecut.
Dan siang itu, aku kembali merutuk tentang matahari. Bel sekolahku yang terbuat dari besi rel kereta itu baru saja berbunyi. Dan seketika saja anak-anak berhambur keluar. Mereka berlomba. Berkejaran dengan dengan perut yang sudah tak mau berkompromi lagi.
Sementara aku hanya terpaku di depan kelasku, menatap terik matahari yang tak kunjung usai. Sinarnya silau, membuatku malas untuk beranjak dari sini. Kakiku yang telanjang masih terlalu malas untuk melangkah melewati satu kilometer jarak menuju rumah. Kau tahu, kadang aku merasa sebal. Disaat teman-temanku sibuk menunggui jemputan onthel atau andong orang tuanya, aku malah harus menerima kenyataan bahwa orang tuaku lebih memilih berkutat dengan gaplek dibanding menjemputku. Ya, aku memang sadar, menjemur gaplek memang menghasilkan uang. Sedangkan menjemputku hanya mengundang lelah. Lagipula aku lelaki, rasanya terlalu manja jika harus merengek meminta bapak atau simbok ku menjemput dengan onthel nya. Kami tak punya dokar. Yang kami miliki hanya onthel usang, gubuk reyot bernama rumah, dan tentunya kami punya satu hal: harga diri. Hal yang sudah sangat jarang ditemui di negeri ini.
“Nunggu jemputan Wo? haha,” Nandar, temanku itu mengejekku. Aku hanya tersenyum
Dan siang itu, aku kembali merutuk tentang matahari. Bel sekolahku yang terbuat dari besi rel kereta itu baru saja berbunyi. Dan seketika saja anak-anak berhambur keluar. Mereka berlomba. Berkejaran dengan dengan perut yang sudah tak mau berkompromi lagi.
Sementara aku hanya terpaku di depan kelasku, menatap terik matahari yang tak kunjung usai. Sinarnya silau, membuatku malas untuk beranjak dari sini. Kakiku yang telanjang masih terlalu malas untuk melangkah melewati satu kilometer jarak menuju rumah. Kau tahu, kadang aku merasa sebal. Disaat teman-temanku sibuk menunggui jemputan onthel atau andong orang tuanya, aku malah harus menerima kenyataan bahwa orang tuaku lebih memilih berkutat dengan gaplek dibanding menjemputku. Ya, aku memang sadar, menjemur gaplek memang menghasilkan uang. Sedangkan menjemputku hanya mengundang lelah. Lagipula aku lelaki, rasanya terlalu manja jika harus merengek meminta bapak atau simbok ku menjemput dengan onthel nya. Kami tak punya dokar. Yang kami miliki hanya onthel usang, gubuk reyot bernama rumah, dan tentunya kami punya satu hal: harga diri. Hal yang sudah sangat jarang ditemui di negeri ini.
“Nunggu jemputan Wo? haha,” Nandar, temanku itu mengejekku. Aku hanya tersenyum
“Di jemput gundhulmu? Simbokku mesti lagi ngulik gaplek saiki, haha” celosku.
[Dijemput kepalamu? Ibukku pasti lagi sibuk dengan gaplek (singkong yang dikeringkan) nya sekarang, haha]
Kulihat Nandar terkikik, lalu berjalan menuju ayahnya yang telah menungguinya di depan gerbang.
“Yawes nek ngono aku dhisik ya Wo?” ujarnya sebelum lalu.
[Ya udah kalau begitu aku duluan ya Wo?]
“Iya, hati-hati” balasku menatap Nandar diatas onthel yang penuh dengan keranjang sayuran.
Sesaat aku menghela nafas. Dan detik berikutnya aku terhenyak. Apa mataku tidak salah? Apa aku sedang mengigau? Aku melihat bapak ku setengah terburu mengendarai onthel menujuku. Aku terdiam menatap bapak yang kesusahan menghentikan onthelnya karena remnya hanya sandal karet yang dijejalkan diantara pelek roda. Jadi, laju roda akan berhenti karena terganjal sandal karet yang diinjak.
“Ayo pulang, nungguin opo kamu disitu?” panggil bapak begitu onthelnya sukses berhenti di hadapanku.
“Eh.. dingaren (tumben) bapak jemput” ujarku nyengir.
“Iki penting! Dadi kowe kudu cepet muleh neng omah! Makane bapak jemput kowe!”
[Ini penting! Jadi kamu harus cepat pulang ke rumah! Jadi bapak jemput kamu!]
“Emang ada apa to Pak?”
“Udah ndak usah banyak nanya, cepat naik!”
Maka tanpa banyak basa-basi lagi aku bergegas menuju bapak dan menghempaskan pantaku pada jok onthel yang keras. Sebenarnya aku sedikit penasaran. Tidak biasanya bapak sampai menjemputku ke sekolah. Aku juga penasaran apa yang membuat bapak menyuruhku cepat pulang. Tapi sudahlah, toh nanti aku juga bakal tahu apa yang dimaksudkan bapak tadi. Maka dengan setengah susah payah, bapak mulai menggenjot pedal onthel menyusuri jalanan berbatu di tengah terik siang itu.
PINANGAN MENGGIURKAN
dari sini kayanya bakal seru nih ceritanya. lanjutkan!!!
Lalu selanjutnya tiga paragraf awal agak gimana. Aku baca agak terhenti. Yang daun jati jatuh karena panas matahari (bukannya itu siklus alami jati dengan meranggas, lalu jatuhnya dauh biasanya akibat angin atau jaringan ikat di daun putus).
Ke belakang udah mulai panas dan lancar.
hahaha, dr awal lgsung Kena semprot. soal daun jati, emang sech salah. Tapi bayangin aja narasi it adalah pemikiran bocah kampung kelas 5 SD di pedesaan. hehe
Tapi Bapak tidak langsung menjawab. Ia malah menarik tanganku dengan kasar.“Sudahlah ndak usah banyak tanya. Nanti kamu juga tahu!” celosnya sambil terus menarik tanganku masuk kedalam rumah.
Dan sesampainya didalam, aku menemukan Simbok yang tengah terpekur pada kursi anyam. Sementara disampingnya, duduk seorang lelaki berwajah asing. Umurnya sekitar empat puluhan. Garis wajahnya yang keras nampak diselimuti kumis dan jenggot tebal yang membuatnya terlihat berwibawa. Blangkon batik membebat rambutnya yang pekat. Sementara tubuhnya yang gempal, diselimuti basofi hitam yang nampak mewah. Aku yakin, dia bukan lelaki biasa selayak kami. Ia pasti orang penting di kabupaten. Atau setidaknya, sesepuh di sanggar-sanggar reog.
“Eh, kamu sudah pulang Wo?” sapa Simbok begitu menyadari kehadiranku. Bapak masih memegangiku, sementara kulihat lelaki itu nampak tersenyum melihatku.
“Sudah Mbok,” jawabku singkat. “Ini sebenarnya ada apa to Mbok? Diluar itu dokar sama sapi nya siapa?” jeda. “Terus ini kenapa banyak banget palawija?” pungkasku seraya menunjuk karung-karung besar berisi palawija di dekat pintu.
Tapi Simbok tak langsung menjawab. Kulihat ia nampak berbisik pada lelaki disebelahnya, memohon diri. Kemudian tanpa basa- basi menghampiriku dan menarik tanganku menuju pawon (dapur). Bagai kerbau dicocok hidung, aku hanya menurut saja melihat tindakan Simbok dan Bapak yang mendadak aneh itu.
“Sebenarnya ada apa sih Mbok? Bisa Simbok jelaskan semuanya?” pekikku pelan sembari melepas genggaman Simbok pada pergelanganku. Aku sudah tak tahan dengan semua keanehan ini. Aku butuh penjelasan. Kenapa tiba-tiba saja semua jadi aneh seperti. ini.
Simbok nampak kikuk, rautnya diliputi keraguan.
Aku terdiam, tak memahami apa yang dikatakan Simbok barusan.
“Simbok sudah berpikir hampir ribuan kali le, Simbok memang harus melakukan ini.”
Aku termangu, “Melakukan apa? Aku tak mengerti maksud Simbok!”
“Kamu tahu kan Wo kalau kita ini bukan orang berpunya? Kita ini orang miskin! Buat makan saja Simbok sama Bapakmu harus menjemur gaplek! Dan sebentar lagi kamu lulus SD, Simbok ndak yakin apa Simbok bisa melanjutkan pendidikan mu ” Simbok mendesah berat.
Aku terdiam. Tercekat. Antara memahami dan tidak.
“Kamu tahu lelaki yang sekarang duduk di ruang tamu itu?” lanjut Simbok setengah berbisik.
Aku menggeleng. Tak mengenali sosok asing yang kini tengah duduk di kursi anyam itu.
“Dia itu Warok Joyo, konglomerat kaya pemilik sanggar reog di Ngaseman” jelas wanita kurus itu pelan. “Tadi pagi dia datang kesini dan menawarkan pinangan menggiurkan sama Simbok.”
Aku mendelik, “Pinangan?”
Sesaat, Simbok menghela nafas. Berat.
“Warok Joyo menawarkan masa depan buat kamu. Dia menawarkan banyak hal untuk keluarga kita. Dia bawa tiga ekor sapi buat Bapakmu. Dia juga bawa palawija-palawija itu buat Simbok. Adikmu Utari juga bakal disekolahkan sampai tamat sama dia. Asal kamu...” Simbok memberi jeda.
“Asal aku kenapa Mbok?” tanyaku penasaran.
“Asal kamu mau dipinang Warok Joyo dan diboyong ke Ngaseman buat jadi penari Jathilan.”