It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
sayang suasana oldiesnya kurang kerasa.. sebenernya banyak detail seting yang bisa dijabarkan jadi berkesan ponorogo jaman dulunya,,
IMHO rem onthelnya mending dibikin dari kulit jati yang diletakkan di diatas roda depan dan diinjak dg kaki kalo mau ngerem..
1. What is the meaning of prologue?
Prolog itu pembukaan singkat dari penulis yang bisa memberikan clue pada pembaca tentang konflik cerita. Jadi di atas saya rasa bukan sebuah prolog, tapi langsung masuk cerita. Kenapa sih para penulis di sini selalu repot memberi label prolog padahal sebenarnya itu bukan prolog. Gak usah latah dah. Gak ada prolog juga gak da yang protes kok, itu kan bukan suatu pakem penulisan.
2. Perhatikan EYD. Fungsi di sebagai penunjuk itu dipisah: di rumah, di sekolah, dsb. Sementara bila merujuk kata depan, digabung; dipinang, dijemput, diantar, dsb. Penulisan ku bila di belakangnya kata kerja juga disambung; kujemput, kuantar, dsb.
3. Penulisan terjemahan; "Kalimat (terjemahan) (diakhiri tanda baca)". Jangan seperti di atas. Kalau memang mau dipisah, gunakan footnote/catatan kaki; "Kowe iku[1]," tunjuknya padaku.
Catatan:
[1] Kamu itu.
Intinya jangan seperti di atas.
4. Eksplorasi budaya; tahun 1963, gak ada yang namanya orang tak berpunya, mereka selalu menyebut dirinya kawula, wong cilik atau priyayi bila menyebut orang berada. Dan biasanya yang melamar itu adalah orang suruhan, bukan seorang priyayi, karena tahun 63 gemblak itu setara ma pelacur. Jadi ngelamarnya gak pakai embel2 dijadikan penari ikut rombögan inilah, itulah. Nah, inilah tantangannya etnografi.
5. Kalau mau jadi penulis bener silakan dieksplor dan dipelajari. Kalau mau abal2 juga silakan. Tapi saya harap jadi yang bukan abal2.
ingat jangan latah ma gaya tulisan di forum ini yang kebanyakan "salah".
1. What is the meaning of prologue?
Prolog itu pembukaan singkat dari penulis yang bisa memberikan clue pada pembaca tentang konflik cerita. Jadi di atas saya rasa bukan sebuah prolog, tapi langsung masuk cerita. Kenapa sih para penulis di sini selalu repot memberi label prolog padahal sebenarnya itu bukan prolog. Gak usah latah dah. Gak ada prolog juga gak da yang protes kok, itu kan bukan suatu pakem penulisan.
2. Perhatikan EYD. Fungsi di sebagai penunjuk itu dipisah: di rumah, di sekolah, dsb. Sementara bila merujuk kata depan, digabung; dipinang, dijemput, diantar, dsb. Penulisan ku bila di belakangnya kata kerja juga disambung; kujemput, kuantar, dsb.
3. Penulisan terjemahan; "Kalimat (terjemahan) (diakhiri tanda baca)". Jangan seperti di atas. Kalau memang mau dipisah, gunakan footnote/catatan kaki; "Kowe iku[1]," tunjuknya padaku.
Catatan:
[1] Kamu itu.
Intinya jangan seperti di atas.
4. Eksplorasi budaya; tahun 1963, gak ada yang namanya orang tak berpunya, mereka selalu menyebut dirinya kawula, wong cilik atau priyayi bila menyebut orang berada. Dan biasanya yang melamar itu adalah orang suruhan, bukan seorang priyayi, karena tahun 63 gemblak itu setara ma pelacur. Jadi ngelamarnya gak pakai embel2 dijadikan penari ikut rombögan inilah, itulah. Nah, inilah tantangannya etnografi.
5. Kalau mau jadi penulis bener silakan dieksplor dan dipelajari. Kalau mau abal2 juga silakan. Tapi saya harap jadi yang bukan abal2.
ingat jangan latah ma gaya tulisan di forum ini yang kebanyakan "salah".
mas @shiki yang terhormat, hehe, sebelum nya terimakasih atas sedikit “kuliah” tentang etnografi. Saya paham etnografi kog, silahkan baca karya saya sebelum nya, judulnya lanang, anda akan tahu seberapa paham saya tentang etnografi.
1. Oke, prolog itu kata anda memberi sedikit clue terhadap pembaca. Baik saya setuju. Saya tidak latah, tapi memang saya selalu menulis prolog pada setiap cerita saya.
2. Tentang eksplorasi budaya jawa, saya memang belum memunculkan nya. Karena ini masih tahap introducing. Jadi saya belum mau menguarkan tentang ponorogo di masa lalu.
3. Soal priyayi atau kamu wong cilik. Istilah itu saya kurang setuju. Anda pernah baca novel jadul berjudul Para Priyayi? Istilah itu berlaku untuk menyebut kalangan bangsawan (kerajaan) jaman dulu. Bukan untuk menyebut orang kaya.
4. Masalah footnote, saya hanya memikirkan kenyamanan pembaca. Saya hanya tidak mau ketika pembaca membaca sebuah dialog asing, mereka tak tahu artinya. Kalau pakai footnote seperti yang anda sarankan, saya takut pembaca sudah terlanjur kehilangan feel pada kalimat sementara mereka harus mencari penjelasan pada bagian paling bawah cerita.
6. Soal EYD, maaf saya angkat tangan. Tapi bukan berarti saya tak serius jadi penulis.
7. Saya agak kurang setuju dengan istilah gemblak= pelacur. Gemblak itu fungsi utamanya adalah sebagai penari jatilan, bukan pelacur. Cuma dalam praktiknya aja mereka disalah gunakan sebagai 'pelacur'. Kemudian soal warok yg biasa mengutus orang untuk meminang, itu tidak benar. Jarang. Menurut riset saya, ketika teman saya jadi gemblak, kebanyakan mereka dijemput sendiri warok yang membawa anak buah.
oke, terimakasih.
“Tidak! Aku ndak mau Mbok!” pekikku gusar. Menyuruhku menerima pinangan Warok Joyo sama saja dengan menjualku kepada lelaki itu. Setega itukah orang tuaku padaku. Tegakah mereka menjual anak kandungnya hanya demi tiga ekor sapi, palawija, dan beberapa lembar uang.“Pokoknya Bowo ndak mau!”
“Tapi Warok Joyo akan menyekolahkan mu sampai tinggi! Sampai kamu jadi orang berguna!” cetus Simbok. Setitik air mata nampak di pelupuk matanya.
Untuk kesekian kalinya aku terdiam.
“Apa kamu mau terus-terusan jadi orang miskin Wo! Apa kamu mau hidup bergantung pada singkong- singkong kering itu!” pekik Simbok.
“Tapi bukan berarti Simbok menjualku pada lelaki itu!”
Dan, PLAKK! Sebuah tamparan dari Simbok megenai wajahku. Telingaku panas.
“Jangan pernah kau sebut Simbok menjualmu!”
“Tapi itu kenyataan nya kan Mbok!”teriakku putus asa.
Kulihat Simbok mengelus dada. Air mata yang sedari tadi ditahannya akhirnya jebol juga. Meleleh pada wajahnya yang kuyu. Tangis pelannya membuncah. Mendadak saja dadaku nyeri.
“Simbok cuma pengen derajat kamu terangkat le,” ujarnya disela isakannya. “Simbok cuma ndak pengen kamu terus merutuk karena terlahir dari keluarga miskin Wo!”
Aku mengkerut. Ucapan Simbok barusan seperti ujung tombak lancip yang menancap pada dinding sanubariku. Aku tiba-tiba saja merasa ciut. Sampai saat ini aku tetap saja jadi si bocah kecil yang egois dan pongah.
“Tapi Bowo ndak mau pisah sama Simbok, sama Bapak, dan sama Utari” desisku pelan. Wajahku terbanjiri oleh air mata. Aku menangis.
Simbok mendekatiku, lantas memelukku erat.
“Maafkan Simbok Wo! Maafkan Simbok! Simbok janji, kalau kamu sudah di Ngaseman, Simbok pasti menjengukmu.”
penulisan memang penting tapi setiap orang punya gaya masing2 untuk menuturkannya...
Ayo ceritanya dilanjut....
Nice story...