It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Gw aja sampe lupa, mau nulis apa lagi, bhahha
donny koq jd gitu, apa gerangan jd dingin bak es batu gitu sma ken..
di lanjut @littlebro
[12]
Aku berjalan menghampiri Donny yang sedang terduduk dilapangan basket. Kuhempaskan tubuhku dan ikut berbaring duduk disampingnya.
Dia menolehku lalu menghadap ke depan lagi. Aku tersenyum menatap langit di kala senja.
“Kenapa?” ujarnya dingin.
“Tak apa. Hanya ada yang berbeda saja,” sindirku.
“Apa?” tanyanya penasaran sambil menoleh ke arahku, aku tak
menoleh, tetap menatap kedepan.
“Itu,” kataku sambil menunjuk langit. “Ada sesuatu yang
membuat langit biru menjadi jingga.”
“Memang ada waktunya, sesuatu dapat berubah,” ujarnya.
“Juga ada penyebabnya,” ujarku pelan. “Menurutmu?”
“Seperti yang kau katakan, adakalanya suatu masalah lebih
baik tidak diketahui orang lain,” uajarnya.
“Kau marah padaku?”
Dia mengangguk. “Sekarang sudah tidak,” ujarnya tersenyum.
“Warna langit bukankah bisa berubah lagi?”
Aku tersenyum mendengarnya.
“Tapi adakalanya tidak dapat seperti dulu lagi,” ujarnya ragu.
Aku mengangguk. “Jika kau sudah siap menceritakan masalahnya apa, katakan padaku,” aku bangkit dari dudukku dan berniat beranjak.
“Sebentar!”
“Hmm?” aku menoleh.
“Aku iri padamu!” ujarnya datar.
“Aku lebih iri padamu,” ujarku tenang.
“Semua orang menyukaimu!”
“Sama sepertimu,” balasku.
“Kau tahu? aku capek dirumah! Mereka selalu membandingkan
sikapku dengan sikapmu! Otaku dengan otakmu! Orang-orang
yang kusayang.. aku capek mendengarnya,” ujarnya dengan nafas memburu.
“Kau tahu? Aku ingin sepertimu. Kamu bisa mencintai wanita
seutuhnya, bisa makan apa saja tanpa ada larangan karena
penyakit. Satu lagi, kurasa aku harus berolahraga teratur biar fisikku sepertimu,” ujarku sambil tersenyum.
“Kau tak tahu aku! Masalahku!”
“Aku menutupi masalahku dari orang lain juga. Tak ada yang
tahu. Bahkan aku tak ingin mengingatnya!”
“Aku suka Silvi. Kau mengetahuinya?” ujarnya.
Aku menggeleng. “Kau sahabat yang baik,” ujarnya sambil tersenyum sinis.
Aku tersenyum kecut.
“Kau tak bilang!”
“Kau tak mengerti!”
“Aku nggak tahu!”
“Apa yang kau tahu tentangku! Kau hanya ingin dimengerti.
Kau selalu menceritakan tentangmu, dan dunia yang tak aku mengerti! Tapi, aku mencoba untuk mengerti, meski aku tidak masuk ke duniamu! Dan kau?”
“Maaf,” gumamku lirih.
“Aku suka dia sejak lama, dan aku tak menyangka dia suka
sama siapa. Kau penghianat!”
“Aku tak tahu tentang dia, juga dengan perasaanmu!”
“Terserah!”
“Bukankah kau lebih beruntung?”
“Hmm?”
“Kau bisa menyatakan perasaanmu kepada orang lain,” ujarku
tegas. “Sedangkan aku, aku hanya bisa mengagumi seseorang
tanpa harus dia tahu. Jika dia tahu, sama saja aku bunuh diri.”
Dia terdiam.
“Kau melupakan hal itu?” aku berjalan meninggalkannya
menuju asrama.
***
“Errr, ngga biasanya gue kebangun karena mau pipis gini,” geramku.
Akhirnya kupaksakan diriku beranjak dari tempat tidur, menuju kamar mandi asrama dengan mata yang masih merem melek.
Suasana asrama sudah sepi sejak jam 9 malam tadi, ini sudah jam 2 dini hari. Ugh! Lama sekali jalan menuju kamar mandi.
Aku juga tak mungkin berlari, takutnya bisa memmbangunkan
mereka yang sedang tidur.
Setelah sampai ke kamar mandi dan segela urusan di dalamnya aku keluar dan berniat kembali ke kamar. Tapi ada sesosok yang cukup membuat diriku terlonjak kaget.
“Ngapain disitu aja?” ujarku.
Kulihat sesosok pria seumuranku. Sepertinya kau pernah
melihat dia dengan baju yang sama. Baju jarsey dengan jeans
pendek dan sepatu bola. Terlalu konyol kelihatannya.
Rambutnya sepertiku, lumayan panjang, tapi dia sedikit ikal.
Pipinya sedikit chubby. Jika diliat, sekilas dia mirip ajun yang main di film PJP itu.
“Eh, beneran lo bisa liat gue?” balasnya berbalik tanya.
“Sebenarnya sih ngga tau yah, pengelihatan gue tentang kalian,
gue pikir udah menghilang sejak gue lulus SD, tapi ternyata
masih berfungsi,” aku tersenyum geli.
“Hmm? Lo ngga takut?”
“Kalo makhluknya kaya elo sih ngga takut,” aku terkekeh
pelan. “Kecuali beberapa temanmu yang mempunyai wajah tak
karuan. Gue yakin gw bisa kabur saat ini juga.”
“Hmm, kiraiin lo ngga takut lagi,” ujarnya sambil mentertawakanku.
“Errr, btw lo ngapain disini? Ngintipin gw tadi yah?”
“Eitts enak aja! Aku bukan makhluk sepertimu! Catat itu!”
ujarnya sengit.
“Hahaha!” aku tertawa. “Jangan-jangan dia stalker gue!” ucapku
dalam hati.
“Gue bukan stalker! Cuma nyari tau tentang lo!”
“Gawat! Dia bisa baca pikiran,” batinku. Lagi-lagi dia terkekeh.
“Apa bedanya dengan stalker?!” ujarku.
“Dikira gw 'tanho'?!”
“Apaan tuh?” aku mengernyitkan dahi
“Setan maho!” dia tertawa mengejek.
“Sial lo!”
“Gue Dicky!” ujarnya sambil menyodorkan tangan kanannya..
Aku lupa, aku tak bisa memegang bagian tubuhnya. Lagi-lagi
dia tertawa. “Lo jail banget ya! Gue Kenda!”
“Btw, gue disuruh temen gue untuk cari informasi tentang lo,”
jelasnya sambil melipat lengannya di dada.
Kuhempaskan bagian tubuhku ke kursi kecil yang berada di
dekat mesin cuci. “Untuk apa?”
“Hmm, gue ngga bisa ngasih tau pasti alasannya. Entar, lo tanya aja sama dia. Intinya kita ingin berteman dengan kamu. Ngga masalahkan?”
“Hmmm, boleh. Lagian kayanya seru. Asal ngga ngelebihin batas aja. Tau tempat masing-masing. Dan ngg saling merugikan,” ujarku sambil tersenyum.
“Sipp!” ujarnya sambil mengancungkan kedua jempolnya. “Gue pergi dulu ya!”
“Kemana?”
“Kemana-mana!” ujarnya sambil terkekeh pelan. Baru beberapa
detik aku mengerjapkan mataku, dia sudah menghilang.
Aku berjalan kembali ke kamarku sambil tersenyum geli.
“Aneh!” gumamku singkat.
***
Selama jam istirahat berlangsung, aku menghabiskan waktuku untuk membaca komik one piece edisi terbaru yang sempat ku beli beberapa waktu lalu. Kusesap minuman botolan yang sempet dibelikan Joe tadi.
“Ken!” ujar Joe sambil menghampiriku.
“Hmm?” gumamku.
“Lo tau nggak?”
“Nggak lah situ aja belum ngomong!”
“Oh, iya,” katanya sambil menggarku-garuk kepalanya. “Temen kelas Donny lagi mau ngerjain Donny. Besok dia ulang tahun kalo ngga salah?”
“Oh, iya gue inget kok,” ujarku siingkat.
“Terus lo ngga ikutan, Ken?”
“Entar yang ada si Donny nya marah lagi sama gue. Tau aja dia sekarang lagi sensi gitu!” jelasku.
“Iya juga. Eh, katanya juga lagi panas tuh di kantor sekolah,
orang tua Aris di panggil. Kayaknya dia terkena kasus lagi,”
“Hmm, lo update banget?” sindirku. Heran ini sekolah khusus
cowok, tapi kalo soal berita mudah sekali menyebar.
Dia tertawa cukup keras. “Eh, btw lo ngga ada hubungannya
kan dengan soal kasus si Aris?”
“Hmmm,” aku berpikir dan akhirnya aku menggeleng pelan..
lama beudd..haghag
tp nampaknya lebih menarik..
cuzz lah lanjut lg..
Oya stlh perckapanny sma Dony mang gag kembli akur ya? Q kira mreka akn kmbli best friend an lg.
[13]
“Malem ini gue harus cari cara gimana caranya biar bisa masuk ke kamarnya Donny,” batinku. “Aduhh!”
“Ken! Niat maen kagak?!” ujar Rio dari seberang sana.
Ya, untuk menghabiskan waktu sore ini, aku dan beberapa
teman-teman yang lain bermain badminton, sebagian juga ada yang memilih olahraga lainnya. Kuambil raketku yang terjatuh.
Aku ngga nyangka Rio yang bertubuh lumayan besar,
bermainnya cukup ligat.
“Ih, iya!” jawabku langsung memberikan servis bola kepadanya.
“Jangan bengong lagi,” ujarnya.
Beberapa saat kemudian aku berhenti bermain, kurasa
pernapasanku kembali kurang stabil.
Aku memillih duduk di pinggir lapangan, sambil melihat
beberapa temanku berolahraga. Tak terasa aku sudah 3 bulan disini. Jauh dari keluarga, terkadang di hari sabtu dan minggu
aku tidak pulang dikarenakan ada tugas yang harus di
selesaikan bersama di sekolah. Lagian capek juga kalau pulang
balik terus menerus.
“Minum!” ujar Joe yang tanpa kusadari telah duduk
disampingku.
Kuambil minuman isotonik dari tangannya. “Makasih,” ujarku lalu meminumnya beberapa teguk.
“Capek loh,” gumamku.
“Asma lo kumat?” ujarnya menatapku.
“Hampir!” aku menghela nafas.
“Iyalah 2 jam lo ngga berenti main,” ujarnya. Aku terkekeh.
“Kan boring juga di asrama terus,” balasku.
“Errr, terserah dah,” ujarnya sambil menyenggol bahuku
dengan lengannya. “Btw gimana hubungan lo sama Donny?”
“Menurutmu?”
“Dunno,”
“Membaiklah, tapi ya gitu..”
“Kayak orang pacaran aja kalian berdua,” ujarnya sambil tertawa.
“Menurutmu?”
Dia mengernyitkan dahinya.
“Btw, lu ngga ngasih apa-apa ke Donny?” tanyanya.
“Gundam,” ujarku sambil tersenyum.
“Lo cari masalah sama dia?” ujarnya sambil mengernyitkan dahi
tak percaya. “Sangka lo mau ngasih hadiah ulang tahun ke adek lo.”
“Biar!” ujarku tak acuh lalu beranjak menuju asrama.
***
Kuambil robot gundam punyaku yang ada di lemari lalu memasukkannya kedalam kotak kado untuknya. Ya, aku sudah mempersiapkan kado untuknya dari juah hari sebelumnya saat aku pulang.
Aku punya beberapa koleksi robot gundam, yang kuberikan
adalah robot yang dia inginkan dulu. Robot yang kurakit
kurang lebih 10 jam, gundam wing ew, kalo dulu sih limited.
Dikerjaiin sampai rapih yang MG, skala 1:100.
Aku ingat sekali, dulu dia pernah meminta mainan ini. Kalau
tidak salah saat SD kelas 5 atau 6, lupa. Tapi, aku keukeh ngga ingin memberinya robot itu. Padahal dia berniat
menukarnya dengan 2 jenis robot gundam yang lain. Dan
akhirnya kami ribut lagi.
Dari kecil kami suka mengoleksi benda ini. Benda yang menurutku bukan hanya sebuah mainan
robot, tapi juga benda seni. Karena banyak macam skala dan
jenisnya, yang susah buat dirakit. Jadi tidak semua orang bisa
merakitnya, kecuali orang yang punya kesabaran dan kreasi
tinggi buat ngerakit itu robot.
Setelah kumasukkan dengan rapih kedalam kotak, kubawa
kadonya menuju kamar Donny. Ini jam makan malam jadi pasti
kamar udah pada kosong.
Kubuka pintunya perlahan-lahan, lalu masuk tanpa
membunyikan suara langkah kaki. Setelah menaruh kado
lemarinya akupun keluar. Semoga saja dia melihatnya.
***
“Ken, dia nyari lo dari tadi,” ujar Joe dengan ekspresi serius.
Aku yang sejak tadi membaca komik dikelas terhenti karena
mendengar perkataan Joe. “Dia siapa?”
“D3B!” ujarnya dengan nafas memburu.
“Emang ada perlu apa mereka sama gue?”
“Ngga tau, coba lo inget-inget?”
Aku menggeleng pelan. “Tidak ada.”
“Aku khawatir tentang itu,” ujarnya. “Lebih baik lo menghindar dari dia.”
Aku tersenyum.
***
Aku gelisah setengah mati dari tadi. Sejak tadi Aris, Kim, dan
Roland sudah berulang kali mengintip ke arahku melalui celah
jendela. Ada apa lagi ini sebenarnya?
Dan akhirnya waktu tiba, jam KBM untuk hari ini pun berakhir
dengan ditandai bunyi bel yang nyaring itu.
Aku memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam tas sebelum
akhirnya keluar dari kelas.
“Kamu! Ikut gue sekarang juga!” ujar suara Aris dengan nada
mengancam.
Aku mengernyitkan dahi. “Ada apa?”
“Sudah ikut saja!” ujarnya dengan raut wajah setannya. “Land,
Kim! Seret aja dia!”
“Gue bisa jalan sendiri kali!”
“Jangan cerewet!”
Aku mengikutinya hingga sampai mereka berhenti di sebuah
gedung mulltimedia di sekolah. Kami masuk setelah membuka
Aris kunci yang entah dia dapat dari mana.
“Langsung aja! Gue banyak hal yang harus gue urus daripada ngurus anak kayak macam lo!”
Aku terdiam. Dia mencekikku.
“Lo yang ngasih HP ke guru BP?”
Aku memutar otakku. “Ya, kenapa?”
Dia mengeratkan genggaman tangannya di leherku. “Kau tahu?
Kau sudah membuat maluku dengan menyerahkan HP itu ke
guru!”
Aku mengernyitkan dahi. Bukannya dia berterima kasih dengan
hal itu?
“Kau tak tahu berapa banyak video porno di HP aris?” sahut
Roland.
Aris tersenyum sinis. Aku memejamkan mataku, berharap
dalam hitungan ke tiga saat aku membuka mata, ke tiga orang
konyol di depanku lenyap dari bumi. “Mana kutahu apa isinya!”
“Tetap saja kau salah bodoh!” ujarnya sambil meninju peerutku yang sukses membuat perutku keram.
Aku menahan tangis dan amarahku. Aku tak ingin kelihatan tolol seperti mereka. “Lakukan sesukamu,”
“Tenang saja, aku hanya butuh satu lagi,” ujarnya sambil
tersenyum.
“Sudah puas?” ujar seseorang dari belakang. Bukankah itu
Bobby?
“Bukan urusanmu!”
“Kau tak berhak menyakitinya!”
“Sudah kubilang, bukan urusanmu!” teriak aris.
Bobby melayangkan tinjuannya tepat di wajah Aris. “Sejak dulu mana urusanmu yang benar, Kak?”